• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PERANAN PEMERINTAH, PERUSAHAAN DAN

D. Peranan Pemerintah, Perusahaan dan

2. Perusahaan Sebagai Pelaku Bisnis

Perusahaan kini juga harus berperan sebagai agen sosial perubahan (agent of social change). Ini cara bijak menyelamatkan lingkungan dan sekaligus kelangsungan bisnisnya. CSR –dahulu disebut community development– adalah wacana baru

tentang peran korporasi dalam pembangunan sosial-ekonomi sejak 1960-an. Tujuannya agar perusahaan turut mengambil peran mengatasi kemiskinan

dan keterbelakangan masyarakat di mana perusahaan itu berdiri. Perusahaan yang telah menyisihkan sebagian laba bersih operasionalnya, juga memiliki kewajiban membayar pajak, yang sudah barang

tentu mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) dan menambah devisa negara. Oleh karena itu, eksistensi

perusahaan yang demikian, seharusnya mendapatkan penghargaan oleh pemerintah atas partisipasinya dalam

pengupayaan pensejahteraan masyarakat, pengembangan SDM, dan menjaga kondisi lingkungan, agar juga

perusahaan tetap memiliki spirit, komitmen dan konsistensi dalam memotret dan mengartikulasikan variasi

persoalan di masyarakat, dan barangkali mampu menjadi preseden terhadap perusahaan-perusahaan yang lain dan

ke depan. Bahkan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) pada bidang lingkungan yang

diusung Kementrian Lingkungan Hidup memberikan penilaian perilaku sosial perusahaan dalam

berjudul “Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara”

menguraikan 13 (tiga belas) dasar – dasar / asas – asas umum pemerintahan yang baik” (general principle of good administration) dalam membuat aturan hukum, yaitu :

1. Asas kepastian hukum (principle of legal security)

2. Asas keseimbangan (principle of proportionality)

3. Asas kesamaan (dalam pengambilan keputusan pangreh) – (principle of equality)

4. Asas bertindak cermat (principle of carefuleness)

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation)

6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence)

7. Asas permainan yang layak (principle of fair play)

8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of resonanbleness or prohibition of arbitrariness)

9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation)

10. Asas meniadakan akibat – akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision)

11. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life)

12. Asas kebijaksanaan (sapientia)

mengimplementasikan CSR dengan mengkategorikan perusahaan menjadi 4 (empat) peringkat yang juga

dikaitkan dengan pemikiran yang digagas oleh John Elkington dengan mengelompokkan korporasi berdasarkan

kesamaan sifatnya dengan 4 (empat) jenis serangga yang memiliki karakter yang berbeda, yaitu :130

Peringkat I : Perusahaan Lebah Madu (Hijau)

Tabel 1. Kategori Perusahaan Menurut Implementasi CSR

Keterangan

a. Perusahaan yang sudah menempatkan CSR pada strategi inti dan jantung bisnis. CSR tidak hanya dianggap sebagai keharusan tetapi kebutuhan (modal sosial)

:

b. Perusahaan meyakini ada nilai tukar atas aspek lingkungan dan sosial terhadap aspek ekonomi dan usahanya hanya dapat sustain apabila di samping memiliki modal finansial, harus memiliki modal kapital dan sosial.

c. Korporasi lebah madu bersifat menumbuhkan (regenerative), karena korporasi ini menerapkan prinsip – prinsip etika bisnis, manajemen pengelolaan sumber daya alam yang stategis dan sustainable. Perusahaan ini mendapatkan citra positif, kepercayaan dan dukungan dari masyarakat.

Peringkat II : Perusahaan Kupu – kupu (Biru)

Keterangan

a. Perusahaan menilai praktek CSR akan memberikan dampak postif terhadap usahanya karena merupakan investasi, bukan biaya.

:

b. Korporasi jenis ini memiliki komitmen kuat terhadap agenda – agenda CSR dan secara sukarela mempraktekkannya

c. Perusahaan meyakini investasi sosial akan berdampak pada lancarnya operasional perusahaan di samping citra dan reputasi positif yang diterima.

d. Beberapa perusahaan yang mendapatkan penghargaan (CSR Award) untuk kategori ini antara lain : PT. Petrokimia Gresik Tbk., PT. Riau Andalan Pulp & Paper, dan Nike untuk perusahaan global.

Peringkat III : Perusahaan Belalang (Merah)

a. Korporasi ini umumnya bersifat degeneratif dan tidak sustain bisnisnya, cenderung mengeksploitasi sumberdaya melampaui daya dukung ekologi, sosial dan ekonomi serta secara kolektif menghasilkan dampak negatif di tingkat regional dan global.

Keterangan :

b. Perusahaan kategori ini umumnya berasal dari peringkat hitam yang mengimplementasikan CSR setelah

130

Harapan Untuk Berbagi Madu, Harian Kompas, tanggal 4 Agustus 2007. Lihat juga Yusuf Wibisono, Op.cit., hal. 64 - 66

mendapat tekanan dari stakeholdersnya sehingga dengan terpaksa memperhatikan isu lingkungan dan sosial. CSR dipandang sebagai komponen biaya yang akan mengurangi keuntungan perusahaan.

c. Muncul stigma negatif pada perusahaan bahkan tidak akan mampu berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan. Ditinjau dari beberapa sisi, kasus PT. Freeport Indonesia memiliki kemiripan dengan kategori ini.

Peringkat IV : Perusahaan Ulat (Hitam)

a. Sistem ekonomi yang didominasi korporasi ulat pasti akan memakan kapital alam dan sosial. Kegiatannya degeneratif.

Keterangan :

b. Menjalankan bisnis semata – mata untuk kepentingan bisnis itu sendiri.

c. Tidak peduli pada aspek lingkungan dan sosial di sekelilingnya.

d. Muara dari aktivitas usaha kategori ini kolaps dan tutup. Kasus Bojong dapat menjadi representasi untuk kategori ini.

Sumber : “Harapan Untuk Berbagi Madu”, Harian Kompas, tanggal 4 Agustus 2007 dan Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, (Gresik : Fascho Publishing, 2007), hal. 64 - 66

Dengan demikian diharapkan seluruh perusahaan dapat segera take action untuk bermetamorfosis ke

arah korporasi lebah madu. Lebah bekerja dengan prinsip tanpa merusak apapun yang terlibat dalam usahanya

untuk menghasilkan madu. Lebah justru menumbuhkan dan menjaga keberlanjutan tanaman yang sari bunganya

diambil. Jenis korporasi inilah yang menurut John Elkington menjadi bentuk ideal perusahaan dalam porsinya

yang adil dan seimbang. Jika semua perusahaan mau menjalankan korporasi lebah madu, bisa dibayangkan betapa

banyak dan manisnya madu yang dapat dinikmati oleh semua pihak.

Di Asia, penelitian oleh Chambers dan kawan-kawan terhadap penerapan CSR di tujuh negara (India,

Korea Selatan, Thailand, Singapura, Malaysia, Filipina dan Indonesia). Masing-masing negara diambil 50

perusahaan yang berada pada peringkat atas berdasarkan pendapatan operasional untuk tahun 2002. Kemudian

dikaji implementasi CSR-nya. Hasilnya, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling rendah pelaksanaan CSR

dan derajat keterlibatan komunitasnya dibandingkan enam negara lainnya. Oleh karena itu, perusahaan-

perusahaan di Indonesia baik lokal, nasional maupun multinasional, saat ini berlomba-lomba dalam menerapkan

CSR.131

131

Yusuf Wibisono, Op.cit.,hal. 72

Selain itu di Indonesia, saat ini juga terdapat sejumlah lembaga yang sangat concern terhadap upaya-

upaya peningkatan CSR, seperti Indonesia Business Links (IBL), Corporate Forum for Community Development

(CFCD), Business Watch Indonesia (BWI). PT. Unilever Indonesia, Tbk mengadakan program kali bersih sungai

brantas, PT. Telkom, Tbk melakukan kegiatan PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan), PT. Avon

Indonesia melakukan sosialisasi pencegahan kanker payudara, PT. HM Sampoerna memberikan beasiswa bagi

pelajar dan mahasiswa diberbagai sekolah dan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta dan lain-lain. Studi

Public Interest Research and Advocacy (PIRAC) mengenai riset CSR pada tahun 2003 terhadap 226 perusahaan di

10 kota besar di Indonesia menyebutkan, bahwa CSR merupakan salah satu aktivitas jamak yang dilakukan oleh

perusahaan. Hasilnya, menunjukkan bahwa rata-rata per tahun sumbangan perusahaan nasional dan lokal masing-

masing sebesar Rp 45 juta dan Rp 16 juta. Angka ini masih jauh di bawah perusahaan-perusahaan multinasional

yang mencapai Rp 236 juta per tahun.132

Oleh sebab itu, langkah mulia dari perusahaan untuk menyisihkan sebagian dari laba operasionalnya

kepada masyarakat, mesti didukung berbagai pihak secara jujur tanpa adanya penyelewengan-penyelewengan

yang bersifat politis dan ideologis baik dari pemerintah (pusat dan daerah), LSM, dan masyarakat serta pihak-

pihak tersebut saling mengontrol agar arah gerak CSR di berbagai bidang tepat sasaran. Sedangkan bagi

perusahaan yang tidak melaksanakan CSR hendaknya diberi sanksi, tentu dengan cara yang berkeadaban sebagai

entitas negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat).

Seperti, mengajukan gugatan perwakilan (class action) dan lainnya.133

Selain itu, diharapkan sebuah perusahaan tidak menganut paradigma kapitalistik, karena akan

menciptakan generasi berjiwa dan bermental layaknya rayap-rayap yang hanya bergerombol untuk menggerogoti

kekayaan sumber daya alam tanpa memperhatikan masyarakat sekitar dan keberlangsungan lingkungan. Ketika

Suatu perusahaan, jangan pernah mengidap penyakit amputasi sosial, yakni kelumpuhan rasa untuk

menolong ketika menyaksikan warga tidak mampu (miskin) di sekitarnya karena hal ini dapat mengundang

bertebarannya konflik horizontal sehingga perusahaan akan merasa dirugikan oleh sikap dan perilaku merusak

warga. Hal ini bisa dilihat, misalnya, pada masyarakat Papua yang menuntut perusahaan PT. Freefort Indonesia

secara anarkis karena telah sedemikian gerah dengan eksploitasi perusahaan terhadap potensi alam daerah,

sementara itu kesejahteraan warga tidak bergeser ke arah yang lebih baik.

132

Andi Firman, Ibid.

133

logika kapitalistik mendeterminasi setiap perusahaan atau para pengusaha, tentunya akan mengkibatkan

ketersediaan potensi alam terkuras habis, sehingga secara psikologis masyarakat akan banyak mengidap

ketidaktentraman memandang masa depan (shock future). Memang CSR tidak memberikan dampak finansial

secara seketika, tetapi harus diyakini bahwa CSR mampu meningkatkan performa bisnis dalam jangka panjang.

Jika masih banyak kalangan yang memandang konsep CSR sebagai program yang tidak menguntungkan

(profitable), maka tidak urung CSR akan menjadi beban dan tuntutan semata. Sebaliknya, jika CSR di pandang

sebagai investasi sosial, maka perusahaan telah mendeklarasikan dirinya telah memiliki GCG.