• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

B. Tinjauan Umum tentang Corporate Social

CSR dalam sejarah modern dikenal sejak Howard R. Bowen menerbitkan bukunya berjudul Social Responsibilities of The Businessman pada era 1950 – 1960 di Amerika Serikat. Pengakuan publik terhadap prinsip – prinsip tanggung jawab sosial yang beliau kemukakan membuat dirinya dinobatkan secara aklamasi sebagai Bapak CSR. Bahkan dalam dekade 1960-an, pemikiran Bowen terus dikembangkan

74

Burhanuddin Salam, Op.cit., hal. 165

Lihat juga K. Bertens, Op.cit., hal 27 – 32 yang menyatakan bahwa ada 3 (tiga) macam tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan tingkah laku yaitu :

1. Hati nurani

Suatu perbuatan baik, jika dilakukan sesuai dengan hati nurani, dan suatu perbuatan lain adalah buruk, jika dilakukan bertentangan dengan suara hati nurani. Dalam bertindak bertentangan dengan hati nurani, setiap orang menghancurkan integritas pribadi, karena menyimpang dari keyakinan yang terdalam.

2. Aturan/ kaidah emas

Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan kaidah emas yang berbunyi “Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana anda sendiri ingin diperlakukan”. Perilaku saya bisa dianggap secara moral baik, bila saya memperlakukan orang tertentu sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan. Mengapa begitu? Karena saya (dan setiap orang) tentu menginginkan agar saya diperlakukan dengan baik. Saya harus memperlakukan orang lain dengan baik pula.

3. Penilaian masyarkat umum (audit sosial / social audit)

Bahwa menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah menyerahkannya kepada masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini bisa disebut “audit sosial”. Untuk mencapai suatu tahap obyektif, perlulah penilaian moral dijalankan dalam suatu forum yang seluas mungkin . Oleh sebab itu audit sosial menuntut adanya keterbukaan. Tingkah laku yang kurang etis biasanya dilakukan dengan tersembunyi. Sebaliknya, tingkah laku yang baik secara moral tidak menakuti transparansi. Orang yang berlaku etis bersedia membukakan perbuatannya bagi penilaian masyarakat umum. Perilaku sosial itu bersifat baik secara moral, bila tahan uji dalam audit sosial. Perilaku bersifat buruk secara moral, bila secara umum dinilai sebagai tidak baik.

oleh berbagai ahli sosiologi bisnis lainnya seperti Keith Davis yang memperkenalkan konsep Iron Law of Social Responsibility.75

Defenisi CSR masih beragam dan memiliki perbedaan defenisi antara satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya, CSR mengenai tanggung jawab sosial perusahaan yang merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap para pihak lainnya atau stakeholder, selain tanggung jawab perusahaan terhadap pemegang saham

(shareholder). Selanjutnya Merrick Dodd, menyatakan bahwa pengertian tanggung jawab sosial perusahaan adalah : ”suatu pengertian tanggung jawab terhadap para buruh, konsumen dan masyarakat pada umumnya dihormati sebagai sikap yang pantas untuk diadopsi oleh pelaku bisnis...”

76

Selanjutnya Saleem Sheikh menjelaskan bahwa CSR merupakan tanggung jawab perusahaan, apakah bersifat sukarela atau berdasarkan undang – undang, dalam pelaksanaan kewajiban sosial – ekonomi di masyarakat. Beliau mengamati bahwa CSR meliputi 2 (dua) hal yang utama yaitu : corporate philanthropy (filantropi

75

Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 37 bahwa dalam sumber tersebut, dinyatakan ide dasar yang dikemukakan Bowen adalah mengenai kewajiban perusahaan menjalankan usahanya sejalan dengan nilai – nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Beliau menggunakan istilah sejalan dalam konteks itu demi meyakinkan dunia usaha tentang perlunya mereka memiliki visi yang melampaui urusan kinerja finansial perusahaan.

Selanjutnya dalam konsep Keith David dikemukan bahwa penekanan pada tanggung jawab sosial perusahaan memiliki korelasi positif dengan size atau besarnya perusahaan, studi ilmiah yang dilakukan Davis menemukan bahwa semakin besar perusahaan atau lebih tepat dikatakan, semakin besar dampak suatu perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya, semakin besar pula bobot tanggung jawab yang harus dipertahankan perusahaan itu pada masyarakatnya.

76

Halyani Hj Hassan, Corporate Social Responsibility, disampaikan pada 5th Asian Law Institute Conference, tanggal 22 – 23 Mei 2008, di Singapura, hal. 1 bahwa Merrick Dodd, proponent of corporate social responsibility viewed that : “ A sense of social responsibility toward employees, consumers, and the general public may thus come to be regarded as the appropriate attitude to be adopted by those who are engaged in business ………”

Halyani Hj. Hassan juga berpendapat bahwa CSR harus didukung dan dilihat sebagai suatu konsekuensi alamiah bagi perseroan terbatas dan kepribadian hukum yang terpisah.

korporasi), bahwa perusahaan melakukan peranan jasa sosial dan trusteeship principle (prinsip perwalian), dimana direksi bertindak sebagai wali bagi pemegang saham, kreditur, buruh, konsumen dan komunitas yang lebih luas. Ramon Mullerat menggambarkan CSR sebagai sebuah konsep yang mana perusahaan secara sukarela sebagai penghargaan kepada stakeholders yang lebih luas dengan memberikan kontribusi terhadap lingkungan hidup yang lebih bersih dan kehidupan masyarakat yang lebih baik melalui interaksi yang aktif dengan semua pihak.77

S. Zadek, M. Fostater dan P. Raynard membagi CSR ke dalam tiga generasi yakni mulai dari yang sifatnya sekadar filantropis, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari strategi bersaing jangka panjang perusahaan, serta yang terakhir yang lebih maju lagi, yakni yang berorientasi pada advokasi dan kebijakan publik.

78

The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) juga menggambarkan CSR sebagai : “business’ commitment to contribute to sustainable economic development, working with employees, their families, the local community, and society at large to improve their quality of life.” (yaitu komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerja sama dengan pegawai, keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup bersama).79

Menurut defenisi The Jakarta Consulting Group, tanggung jawab sosial diarahkan baik ke dalam (internal) maupun keluar (eksternal) perusahaan. Tanggung

77

Ibid. 78

Sri Hartati Samhadi, Ibid.

79

jawab internal (InternalResponsibilities) diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas yang optimal dan pertumbuhan perusahaan, termasuk juga tanggung jawab yang diarahkan kepada karyawan terhadap kontribusi mereka kepada perusahaan berupa kompensasi yang adil dan peluang pengembangan karir. Sedangkan tanggung jawab eksternal (External Responsibilities) berkaitan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang.80

Secara umum CSR merupakan peningkatan kualitas hidup mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada, dan dapat menikmati, memanfaatkan serta memelihara lingkungan hidup atau dapat dikatakan sebagai proses penting dalam pengaturan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari stakeholders

baik secara internal maupun secara eksternal.81

Magnan dan Ferrel juga memberikan defenisi CSR sebagai “A business acts in socially responsible manner when its decision and account for and balance diverse

80

A.B.Susanto, Corporate Social Responsibility, (Jakarta : The Jakarta Consulting Group, 2007), hal. 22

Defenisi The Jakarta Consulting Group tentang CSR : 1. Internal Responsibilities

a. Towards shareholders in terms of profit and growth

b. Towards employee in terms of employment and career challenges which are mutually beneficial

2. External Responsibilities :

a. Company as tax payer and quality – job providers

b. Increasing welfare and competence of the society (in company related and non- related area

c. Preserving the environment for future generation

81

stake holder interest.” Defenisi ini menekankan kepada perlunya memberikan perhatian secara seimbang terhadap kepentingan berbagai pihak stakeholders yang beragam dalam setiap keputusan yang diambil oleh perlaku bisnis melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab.82

Versi lain mengenai defenisi CSR diberikan oleh World Bank. Lembaga keuangan global ini memandang CSR sebagai : “the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representative the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development.” (yaitu komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan bekerjasama dengan para pegawai dan melibatkan komunitas lokal serta masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup, yang mana cara- cara ini baik untuk bisnis dan pembangunan). CSR Forum juga memberikan defenisi, “CSR means open and transparent business practices that are based on ethical values and respect for employees, communities and environment.” (CSR berarti praktek bisnis yang terbuka dan transparan berdasarkan nilai – nilai etis dan penghargaan bagi para pegawai, komunitas dan lingkungan). Sementara sejumlah negara juga mempunyai defenisi tersendiri mengenai CSR. Uni Eropa (EU Green Paper on CSR) mengemukakan bahwa “CSR is a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders

on a voluntary basic.” (CSR adalah suatu konsep dimana perusahaan

82

mengintegrasikan keprihatinan terhadap lingkungan dan sosial terhadap kegiatan bisnis dan interaksi mereka dengan stakeholder mereka berlandaskan dasar sukarela).83

Di Indonesia, defenisi CSR secara etimologis kerap diterjemahkan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan. Namun setelah tanggal 16 Agustus 2007, CSR di Indonesia telah diatur dalam Undang – undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan Undang – Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disingkat dengan UU PT bahwa CSR yang dikenal dalam Undang – undang ini sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi : ”Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”

84

83

Yusuf Wibisono, Op.cit., hal. 7-8 84

Undang - Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 ayat 3. .

Meskipun terdapat defenisi – defenisi tentang CSR yang beragam, namun konsep CSR ini menawarkan sebuah kesamaan, yaitu keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan. Selain itu ada beberapa isu yang terkait dengan CSR antara lain Good Corporate Governance (GCG), Sustainable Development, Protokol Kyoto, Millenium Development Goals (MDGs) dan Triple Bottom Line.

Tatakelola perusahaan yang baik (GCG) diperlukan agar perilaku bisnis mempunyai arahan yang baik. Intinya, GCG merupakan sebuah sistem dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi demi tercapainya tujuan korporasi. Dalam arti luas mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders dapat dipenuhi secara proporsional. Dalam hal ini sedikitnya ada 5 (lima) prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi para pelaku bisnis yaitu, Transparency (Keterbukaan Informasi),

Accountability (Akuntabilitas), Responsibility (Pertanggungjawaban), Independency

(Kemandirian), Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran). Adapun hubungan antara GCG dengan CSR terdapat pada prinsip responsibility yang merupakan prinsip yang paling dekat dengan CSR. Dalam prinsip ini, penekanan yang signifikan diberikan kepada

stakeholders perusahaan. Penerapan prinsip ini diharapkan perusahaan dapat menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya seringkali menghasilkan dampak eksternal yang harus ditangggung oleh stakeholders. Oleh sebab itu, wajar bila perusahaan juga memperhatikan kepentingan dan nilai tambah bagi stakeholders-nya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep GCG. Sebagai entitas bisnis yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungannya, perusahaan memang mesti bertindak sebagai good citizen yang merupakan tuntutan dari good business ethics.85

85

Selanjutnya, CSR juga dapat ditelusuri melalui konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep ini secara sederhana didefenisikan sebagai pembangunan atau perkembangan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Istilah pembangunan berkelanjutan mulai populer setelah terbitnya buku “Silent Spring” karangan Rachel Carson seperti yang sudah dikemukan sebelumnya. Sejak saat itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dengan dilakukannya berbagai konferensi antara lain Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm (1972), KTT Bumi di Rio de Janeiro (1992), KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg (2002)86

Protokol Kyoto yang dideklarasikan di Jepang juga membahas isu global yang berkaitan dengan peningkatan suhu bumi akibat efek gas rumah kaca/ Green Houses Gases (GHGs). Peranan seluruh negara diharapkan dalam menjaga laju pemanasan global akibat peningkatan emisi gas rumah kaca tersebut.

dan konferensi lainnya yang masih terus dilakukan oleh berbagai negara untuk menangani permasalahan global secara bersama dimana isu yang membahas pembangunan berkelanjutan yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial selalu menjadi agenda pertemuan. Hal ini juga merupakan konsep CSR yang selanjutnya berkembang di berbagai negara.

87

86

Ibid., hal. 13 - 24 87

Ibid., hal. 27

rumah kaca tersebut ternyata didominasi oleh perusahaan – perusahaan multinasional di berbagai negara terutama negara Amerika Serikat sebagai kontributor emisi terbesar dunia. Hal ini semakin menyadarkan para pelaku bisnis untuk berkomitmen menerapkan CSR demi kepentingan bersama.

Pada tahun 2000, dilaksanakan KTT Millennium (Millennium Summit)

sebagai wujud dari kepedulian dunia terhadap kemiskinan dengan lahirnya United Millennium Declaration yang berupa Millennium Development Goals/ MDGs. Tujuan dari MDGs antara lain menghapuskan tingkat kemiskinan, pencapaian pendidikan dasar secara universal, serta menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan. Jelas hal ini juga dapat diwujudkan melalui CSR sebagai bagian untuk pencapaian MDGs.88

Pertemuan yang diadakan di Kyoto, Jepang pada bulan Desember 1997 mencetuskan sebuah protokol yang kemudian dikenal dengan Protokol Kyoto dan terbuka untuk ditanda-tangani dari tanggal 16 Maret 1998 sampai dengan 15 Maret 1999 di Markas Besar PBB, New York.

88

Ibid., hal. 30 - 32

Selain itu, CSR juga terkait dengan konsep Triple Bottom Line. Istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya ”Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan konsep triple bottom line dalam istilah

economic prosperty, environmental quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar profit, perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak

lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi financial-nya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Aliran pemikiran yang semakin diminati dan semakin punya daya tarik untuk masa yang akan datang adalah aliran yang menyakini bahwa kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable).89

Di Indonesia, beleid CSR lebih dikenal dengan Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebagaimana yang sudah termuat dalam Undang – Undang No. 40 Tahun 2007 sebagaimana yang telah disahkan oleh DPR dan pemerintah. UU tersebut membuat kegiatan atau program TJSL menjadi wajib. Ketentuan itu termaktub pada Pasal 74. Konsep CSR juga telah banyak berkembang di negara lain dan bagi Indonesia mengadopsi CSR yang awalnya berkembang di negara kapitalis karena menilai hal ini perlu diatur mengingat semakin besarnya jumlah perusahaan di Indonesia yang menjalankan CSR setengah hati disertai kerusakan lingkungan yang semakin parah. Jika melihat sasaran CSR yang memperhatikan aspek lingkungan dan sosial maka kedua aspek tersebut yang memiliki kecenderungan sebagai latar belakang pengaturan CSR di Indonesia yang lebih dikenal dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

90

89

Ibid., hal. 32 - 37 90

”Kadin Anggap Pasal CSR dalam UUPT Tak Mendasar”

keukeuh CSR harus diatur dalam UU ini. Partomuan adalah salah satu konseptor UU PT yang mewakili pihak pemerintah. “Masih banyak perusahaan kakap setengah hati menjalankan CSR,” tuturnya. Lagipula, Partomuan menilai kini ada tren yang sedang berhembus, “from voluntary to mandatory”. Meskipun dari pihak Kamar Dagang dan Industri keberatan dengan kewajiban melakukan

C. Konsep CSR dalam Etika Bisnis dan Perusahaan

Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) kepada masyarakat merupakan investasi signifikan dalam mempertahankan eksistensi suatu perusahaan. Pemikiran yang mendasari CSR yang sering dianggap inti dari Etika Bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban – kewajiban ekonomis dan legal tetapi juga kewajiban – kewajiban terhadap pihak – pihak yang berkepentingan (stakeholders), karena perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi dan memperoleh keuntungan tanpa bantuan pihak lain. CSR merupakan pengambilan keputusan perusahaan yang dikaitkan dengan nilai – nilai etika, dapat memenuhi kaidah – kaidah dan keputusan hukum dan menjunjung tinggi harkat manusia, masyarakat dan lingkungan. Penerapan CSR merupakan salah satu implementasi etika bisnis.

Konsep hubungan antara perusahaan dengan stakeholder dapat ditelusuri dari zaman Yunani kuno, sebagaimana disarankan Nicholas Eberstadt. Beberapa

CSR seperti yang diungkapkan oleh Hariyadi Sukamdani, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) yang ini lagi mangkel dengan DPR -juga pemerintah. Pangkal persoalannya, kedua lembaga ini sepakat menelurkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Yang bikin Hariyadi keki adalah beleid tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan (TJSL). Bahasa kerennya corporate social responsibility (CSR). UU tersebut membuat kegiatan atau program yang satu ini menjadi wajib. Ketentuan itu termaktub pada Pasal 74. Menurut Hariyadi, klausul ini muncul tiba-tiba. “Kubu pemerintah pun kaget. Ketentuan soal CSR diapungkan oleh anggota DPR, tanpa kajian yang mendasar dan hanya bersifat emosional,” ujar Hariyadi, yang mengaku mendapat “bisikan” dari salah seorang anggota dewan. Hariyadi melanjutkan, keputusan emosional itu terbit lantaran kasus lumpur Lapindo yang berlarut-larut. “Harus kita akui ada beberapa anggota dewan yang konstituennya di Jawa Timur,” sambungnya. Namun perhatikan pendapat dari Pakar hukum administrasi negara, Gayus Lumbuun, menjelaskan memang sulit memasukkan etika ke dalam aturan hukum formal. Namun itu bukan berarti tak mungkin. Gayus mencontohkan reformasi etik pada dunia usaha di Amerika Serikat pada 1967. Gayus sendiri mencatat setidaknya ada tiga aturan di Indonesia yang membuat etika menjadi hukum. “Ada ketentuan administrasi negara, perdata, serta pidana.”Karena itu, Gayus kali ini condong membela Partomuan -dan parlemen- yang menghidupkan kewajiban CSR. Maklum, Gayus juga saat ini menjabat legislator dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) -meskipun tak terlibat menukangi UU PT. “Ingat, kita pernah dijajah sebuah perusahaan selama seratus tahun, yakni oleh VOC. Bahaya kalau perusahaan bebas berbuat apa saja,” tuturnya mewanti-wanti.

pengamat menyatakan CSR berhutang sangat besar pada konsep etika perusahaan yang dikembangkan gereja Kristen maupun fiqh muamalah dalam Islam. Pada dekade 1980-an dunia Barat menyetujui penuh adanya tanggung jawab sosial itu. Tentu dengan perwujudan berbeda di masing-masing tempat, sesuai pemahaman perusahaan terhadap apa yang disebut tanggung jawab sosial.91

Responsibility, pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, di antaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggungjawab selain kepada shareholder juga kepada stakeholders.

Etika bisnis sebagai etika terapan sesungguhnya merupakan penerapan dari prinsip – prinsip etika pada umumnya. Konsep responsibility (tanggung jawab) dan

fairness (keadilan) merupakan prinsip-prinsip etika tersebut yang diimplementasikan dalam wujud CSR. Oleh sebab itu, mengkaji konsep CSR berarti membicarakan konsep tanggung jawab (responsibility) perusahaan dan perwujudan keadilan

(fairness) sebagai etika bisnis.

92

Fairness, menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak

shareholder dan stakeholders sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

91

Belajar CSR”

92

Diharapkan pula, fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.93

Selanjutnya, perusahaan adalah perwujudan dari kepentingan manusia dalam melakukan usaha sehingga sifat yang sama antara perusahaan dengan manusia. Sesuai dengan teori realistis (teori organ) yang menganggap bahwa suatu perusahaan yang berbadan hukum dalam suatu tata hukum sama saja layaknya dengan keberadaan manusia selaku subjek hukum. Dalam hal ini, badan hukum tersebut bertindak melalui organ – organnya.94 Hal ini juga didukung oleh pandangan kolektiktivitas

yang melihat pada sifat kolektif perusahaan yang bertahan pada moralitas sasaran, strategi, prosedur dan pengendalian perusahaan. Paham ini menolak melihat bagaimana seluruh organisasi ditunjang oleh manusia, yaitu individu – individu yang mampu memutuskan bagi mereka sendiri apakah dan bagaimanakah mereka mematuhi persyaratan kolektif. 95

93

Ibid., hal. 12 94Munir Fuady,

Doktrin – Doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 4

Lihat juga Pasal 1 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa “Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris.”

95

Peter Pratley, Op.cit.,hal. 114.

Ibid., lihat juga pernyataan dari W. Michael Hoffman yang mengkritik pandangan individualis (yang berlawanan dengan pandangan kolektif) yang mengatakan bahwa hanya manusia individual yang bertanggung jawab secara moral berarti tidak mengakui bahwa kesatuan kolektif seperti perusahaan, bala tentara, negara berbangsa tunggal, staf pengajar, dan panitia memang menghasilkan hal – hal dengan cara – cara yang tidak hanya dapat direduksi atau dapat diterangkan oleh kumpulan perilaku individual. Keseluruhan kesatuan kolektif lebih dari sekedar akumulasi dari bagian – bagiannya karena individu – individu yang membentuk kumpulan tersebut (dan yang tindakannya jelas – jelas perlu bagi kelompok untuk bertindak) diatur dalam hal tujuan kooperatif,