• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan yang Dihadapi dalam Program STBM

Dalam dokumen program sanitasi total berbasis masyarakat (Halaman 154-158)

untuk 5 Rumah dan Gotong Royong

5. PEMBAHASAN

5.2 Hambatan yang Dihadapi dalam Program STBM

Pada saat pelaksanaan program STBM di daerah desa Ligarmukti, baik fasilitator maupun co-fasilitator mengalami beberapa hambatan yang berasal dari masyarakat dan dari kondisi lingkungan desa tersebut. Berdasarkan temuan

lapangan pada bab 4, hambatan yang di alami dapat dikatagorikan kedalam kendala – kendala yang dijelaskan oleh Watson dalam Adi (lihat bab 2, h. 25), berikut akan dijelaskan hambatan menurut Watson yaitu hambatan yang berasal dari dalam individu.

5.2.1 Adanya Warga yang Tidak Menerima

Hambatan pertama yang dirasakan baik fasilitator maupun co-fasilitator yaitu adanya warga yang tidak menerima akan adanya perubahan. Hal tersebut disebabkan oleh warga yang sudah merasa nyaman dengan kebiasaan yang dilakukan selama ini seperti membuang BAB di sungai, empang dan sebagainya sehingga beberapa masyarakat tidak merasa terganggu karena hal tersebut sudah menjadi nilai yang mereka jalankan di lingkungan masyarakat Ligarmukti. Selain itu bagi beberapa warga yang memiliki empang, warga tersebut menganggap bila BAB sembarangan di empang dapat memberikan keuntungan bagi ikan yang mereka pelihara (lihat bab 4, h.108-109). Hal ini merupakan salah satu dari hambatan yang berasal dari dalam individu yang di katakan oleh Watson sebagai kebiasaan (habit) (lihat bab 2, h. 26) dimana individu tersebut akan beraksi terhadap kebiasaan yang mereka anggap paling menguntungkan dan dalam hal ini beberapa warga mengganggap bahwa kebiasaan membuang kotoran tinja di sungai, empang ataupun kebun manjadi hal yang sudah biasa dilakukan sebagai nilai yang sudah mereka jalankan selama ini selain itu juga menguntungkan bagi mereka.

5.2.2 Adanya Warga yang Masih Mengharapkan Bantuan

Hambatan selanjutnya yaitu hambatan dimana dalam proses perubahan warga mengandalkan adanya bantuan finansial karena warga menganggap bahwa perubahan yang dilakukan membutuhkan dana dan mereka merupakan masyarakat yang sebagian besar adalah masyarakat yang memiliki pendapatan ekonomi menengah kebawah (lihat bab 3, h. 53). Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan (dependence) (lihat bab 2, h. 26) dari beberapa warga terhadap adanya bantuan yang akan diberikan oleh fasilitator padahal sejak awal fasilitator sudah mengatakan bahwa beliau datang tidak membawa bantuan, kejadian ini

menunjukkan beberapa masyarakat yang belum mandiri dan hal ini menghambat perubahan pada masyarakat. (lihat bab 4, h. 109)

5.2.3 Pola Pikir Masyarakat yang Lamban Untuk Berubah

Fasilitator dan co-fasilitator dalam penerapan penyadaran pada pelaksanaan program STBM ternyata tidak semua warga dapat menangkap langsung dan aktif dalam menerima perubahan. Baik fasilitator maupun co-fasilitator pernah mengalami masa dimana warga yang sudah mendapatkan pengetahuan kesehatan mengenai tidak baiknya BABS (buang air besar sembarangan) sangat lamban untuk bergerak kearah perubahan yang lebih baik. Bahkan selama berbulan-bulan jamban yang dibuat oleh warga tidak terselesaikan ada juga warga yang memang malas untuk membuat jamban. Hal ini termasuk dalam hambatan kestabilan (homeostasis) (lihat bab 2, h. 26) dimana warga tetap pada kebiasaan lama dan tidak mau berubah, karena proses penguatan dalam upaya mengubah perilaku masyarakat tidak dilakukan secara terus menerus, pemicuan yang dilakukan hanya satu kali pada setiap RT sehingga membuat warga menjadi malas untuk berubah (lihat bab 4, h. 109-110).

5.2.4 Persepsi Warga yang Merasa Nyaman untuk Membuang Tinja di Sungai dan Empang

Warga merasa bahwa buang BAB di sungai lebih enak karena selain sudah menjadi suatu kebiasaan dan warga juga sudah merasa nyaman dengan membuang BAB di sungai. Selain sungai, warga juga membuang BAB ke empang dimana ada beberapa warga yang memiliki empang untuk memelihara ikan. Di empang inilah biasanya warga memberi makan ikan dengan menggunakan kotoran mereka. Karena mereka menganggap ini menjadi suatu keuntungan maka, warga tidak mau melepaskan kebiasaan membuang BAB ke empang.(lihat bab 4, h.110). Hambatan ini termasuk kedalam kategori hambatan berasal dari diri individu yaitu karena kebiasaan (habit) (lihat bab 2, h.26) karena warga merasa nyaman dengan apa yang sudah menjadi rutinitas yang mereka lakukan seperti di empang dan sungai. Bahkan ada warga yang sudah membuat cubluk karena cubluknya rusak mereka kembali pada kebiasaan lama yaitu BAB di sungai.

5.2.5 Alasan Warga Bahwa Air Susah Dijangkau

Ketidaktersediaan air di cubluk menjadikan salah satu alasan warga tidak mau BAB di cubluk dibandingkan dengan di sungai yang banyak tersedia air dan juga di kebun. Bila dilihat kondisi saat ini di desa Ligarmukti akses air hampir di setiap rumah sudah baik dengan adanya program WSLIC-2, maka dari itu ketidaktersediaan air yang dikatakan warga merupakan alasan dari warga karena warga lebih puas BAB di sungai disamping lebih simpel juga tidak perlu susah-susah mengangkat air. Maka dari itu ini menjadi hambatan yang berasal dari diri individu termasuk kedalam katagori hambatan hal yang utama (primacy) (lihat bab 2, h. 26), walaupun warga telah mendapatkan pengetahuan baru mengenai bahaya membuang BAB di sungai, tetap membuang tinja di sungai karena mereka merasa hal tersebut mendatangkan kepuasan, walaupun sudah di berikan simulasi program STBM, pada saat prakteknya warga kembali kepada kebiasaan lama karena kebiasaan yang mereka lakukan sudah terpola. (lihat bab 4, h. 110)

Adi berkata bahwa dalam setiap melakukan usaha pengembangan masyarakat, pastinya akan mengalami namanya suatu hambatan seperti yang diungkapkan oleh Watson di atas. Berdasarkan pernyataan Adi (lihat bab 2, h. 29) masih banyak hambatan-hambatan yang di alami oleh community worker selama melakukan intervensi dan untuk setiap hambatan yang dialami oleh setiap

community worker, pastinya berbeda di setiap wilayah dan berikut adalah hambatan yang ditemukan dari hasil wawancara dan observasi yang tidak ada dalam klasifikasi oleh teori Watson yaitu hambatan yang muncul bukan dari masyarakat atau individu itu sendiri namun dari lingkungan geografis dimana mereka berada yang menjadi hambatan untuk masyarakat berkembang.

5.2.6 Wilayah yang Susah Dijangkau

Beberapa Wilayah di Desa Ligarmukti berada di tebing-tebing dan pelosok sehingga untuk menuju ke wilayah tersebut memerlukan waktu lebih panjang karena jarak tempuh lebih jauh dibandingkan wilayah lainnya. Kesulitan tersebut diperparah dengan kondisi jalan yang masih berbatu dan apabila hujan wilayah tersebut tidak dapat dijangkau karena fasilitator tidak dapat menuju wilayah

tersebut dengan menggunakan kendaraan bermotor karena kondisi jalan yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan (lihat bab 4, h. 111). Bila dilihat dari hasil observasi dan wawancara, memang di daerah Ligarmukti masih banyak wilayah yang susah dijangkau. Untuk pembangunan itu sendiri tidak semua daerah dapat terjangkau masih ada beberapa daerah pelosok yang belum mendapatkan akses jalan yang bagus sehingga terisolasi (lihat bab 3, h. 48).

5.2.7 Kondisi Tanah yang Berbatu

Di desa Ligarmukti memiliki struktur tanah yang didalamnya terdapat batuan kapur dengan ukuran yang besar, (lihat bab 3, h. 48) hal ini menjadi hambatan warga untuk membuat cubluk ataupun jamban (lihat bab 4, h. 111).

Dalam dokumen program sanitasi total berbasis masyarakat (Halaman 154-158)