Bagan 3.1. Konvensi, UUD, dan Undang-undang
2. Harmonisasi Isi Media
Terlepas dari kedudukan konstitusi,
keberadaan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi di dalam konvensi tetap memberikan sumbangsih inspirasi terhadap pembentukan undang-undang. Pasal 28 dan Pasal 28F memang mendasari perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, namun diperlukan undang-undang yang mengatur lebih rinci. Kebebasan berekspresi menjadi isu yang paling utama, terkait dengan pengaturan
terhadap isi. Muatan tentang kebebasan
berekspresi sudah selayaknya dimaknai dengan derajat yang sama bilamana diatur dalam undang- undang teknis. Jadi isi media menjadi kunci
bagaimana kebebasan berekspresi dapat
diwujudkan melalui pers, penyiaran, internet dan film. Perwujudan tersebut dilindungi undang- undang dan harus dapat selaras antara undang- undang yang satu dengan undang-undang yang lain.
Isi media yang diatur, berkaitan dengan cara pandang terhadap kebebasan berekspresi, yakni tentang hak untuk mengekspresikan diri melalui
media apapun. Artinya dalam kerangka
harmonisasi hukum, yang melihat pada tiga aspek yakni legal substance, legal structure, dan legal culture, maka ketentuan undang-undang yang mengatur tentang kebebasan berekspresi harus diuji.
259
Terbitnya peraturan perundang-undangan tentang media, yang diarahkan pada tujuan perlindungan terhadap akses dan sarana informasi yang digunakan oleh masyarakat, menimbulkan persoalan tersendiri. Pers, penyiaran, internet dan film adalah hal-hal yang paling mudah diakses dan menjadi sumber informasi bagi masyarakat di berbagai kalangan. Isi masing-masing media ini menjadi penentu, apakah isi tersebut menyiratkan kebutuhan atau hanya menjadi sensasi. Produksi isi, menimbulkan dua kepentingan, yakni kepentingan berekspresi dan kepentingan tujuan (atau manfaat) yang akan diperoleh. Pada sisi ini,
undang-undang menyediakan perlindungan.
Bagaimana undang-undang melindungi isi tanpa melukai hak subyek lain, ini yang harus diselaraskan. Mengingat bahwa pers, penyiaran, internet dan film pada satu titik akan bertemu, memiliki kepentingan masing-masing pada aspek
bisnis dan non-bisnis, serta sekaligus
menyinggung prioritas subyek.
Mengatur tentang isi media, melalui berbagai undang-undang yang teknis, menyebabkan ada keharusan untuk menyelaraskan kepentingan yang sama, yakni tentang kebebasan berekspresi. Pelibatan substansi konvensi dalam harmonisasi vertikal dan horizontal tidak dapat dipisahkan dari upaya harmonisasi terhadap prinsip dalam konvensi. Baik aturan tentang isi pers, isi
260
penyiaran, isi internet (dokumen dan transaksi elektronik), dan isi film, mengindikasikan ada tidaknya keselarasan, keserasian tentang hal sama yang diatur: kebebasan bereskpresi dalam berbagai bentuknya. Kebebasan berekspresi kemudian menjadi bagian yang integral dari sistem hukum.
Membandingkan perlakuan keempat undang- undang tentang media, kebebasan berekspresi dapat dilihat dari makna “…an information and ideas of any kinds…” yang seharusnya muncul dalam ketentuan tentang isi. Masing-masing undang-undang mengatur dengan cara yang khas. Semenjak diakuinya kebebasan berekspresi sebagai hak asasi di dalam UUD 1945, yang kemudian diterbitkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka kebebasan berekspresi menjadi hak konstitusional yang harus dilindungi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dapat dianggap sebagai undang- undang pertama pada era reformasi yang secara tegas meletakkan dasar kebebasan terhadap media (khususnya media pers). Undang-undang ini pula yang memuat tentang kemerdekaan pers sebagai
bentuk perlindungan terhadap freedom of
expression secara otentik.
UU Pers menegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah utama adanya. Penegasan tersebut juga bermaksud agar terhadap pers nasional tidak
261
dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran. Untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pada perkembangannya, UU Pers dengan prinsip kemerdekaan pers yang dimilikinya, kemudian memberikan inspirasi bagi terbentuknya peraturan perundang-undangan yang lain di bidang media. Aspek kebebasan sebagai hak menjadi landasan fundamental bagi perwujudan kebebasan berekspresi. UU Pers telah memulai dengan membebaskan muatan materi pers secara bertanggung jawab. Setelah UU Pers, terbitlah UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman yang dalam kerangka harmonisasi hukum media, pada prinsipnya mengatur substansi yang sama. Jadi, UU Pers sudah mengatur demikian adanya, sehingga undang-undang yang lain juga berada pada konsep kebebasan berekspresi yang sama.
Keserasian dan keselarasan substansi tentang isi media, sudah selayaknya memiliki karakter yang sama antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain. UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman sebenarnya
berada pada satu frame, yakni dalam
mengimplementasikan kebebasan berekspresi
dengan situasi tanggung jawabnya. Terdapat dua hal yang harus dicermati, bahwa peraturan
262
perundang-undangan secara horizontal memiliki karakter mirip, sekaligus juga memuat prinsip konvensi di koridor yang sepaham. Hal ini diajukan sebagai cara untuk melihat apakah terdapat tumpah tindih aturan undang-undang saat memuat prinsip kebebasan berekspresi.
Kerangka harmonisasi menekankan pada penyusunan sistem hukum nasional, maka cakupannya ada pada legal substance, legal structure dan legal culture. Aturan tentang isi media yang sudah dibentuk harus mencerminkan ketiga hal ini. Disandingkan dengan prinsip kebebasan berekspresi, maka isi media yang diatur harus dapat memuat substansi, struktur dan budaya. Sekalipun, UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman merupakan undang-undang dengan spesifikasi khusus, keempatnya sudah seharusnya berada pada karakter yang sama.
Tentang legal substance, konvensi dan UUD
1945 telah mengakui adanya kebebasan
berekspresi, ruang lingkup dan pembatasannya. Isi media yang diatur di UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman pada prinsipnya memiliki karakter yang sama. Masing-masing mengatur mengenai tiga hal utama tentang isi, yakni: bentuk isi media (pers cetak atau elektronik, siaran, internet dan film), mekanisme perlindungannya, serta batasan-batasan isi. Pada bagian sebelumnya, dijelaskan bahwa bermula
263
dari pengakuan atas kemerdekaan pers di UU Pers yang dijamin secara bebas, memberikan inspirasi kepada media lain untuk mewujudkan kebebasan berekspresi. Media mampu menjadi sarana yang efektif untuk menyebarluaskan informasi, dengan standar konvensi. Penekanan utama pada keempat
undang-undang ada pada public order yang
dianggap penting, sehingga perlu diberikan perhatian. Public order juga menyiratkan satu kondisi yang mempertemukan kepentingan pers, penyiaran, internet dan film pada satu titik persinggungan.
Terdapat tiga substansi pada kepentingan umum atau public order yang menjadi titik temu persinggungan dan/atau persamaan.172 Hal itu adalah kerukunan hidup antarumat beragama, kesusilaan, serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Persinggungan terjadi
bilamana substansi isi sebagai informasi
disebarluaskan melalui media pers, penyiaran, internet dan film pada waktu yang hampir bersamaan. Informasi tersebut dapat menjadi isu yang menggugah kepentingan umum. Bahkan UU Penyiaran memperluas makna kepentingan umum yang bisa menyangkut muatan yang dapat mengganggu hubungan internasional.
172 Dapat dilihat pada Pasal 13 UU Pers, Pasal 36 ayat (1) dan (5) UU Penyiaran,
Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 6 UU Perfilman. Masing-masing mengatur bahwa ada keadaan yang dilindungi terkait kepentingan yang lebih luas, seperti SARA, kesusilaan dan kemanusiaan.
264
Harmonisasi tentang isi media menciptakan warna tersendiri ketika pers diberikan larangan terhadap iklan yang memperlihatkan penggunaan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya. Serentak, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman mengatur pula agar masyarakat terlindungi dari ancaman terhadap public health tersebut. Substansi isi media ini memperlihatkan ada pemahaman yang serupa antar undang- undang tentang keberadaan ancaman terhadap public health, kemudian memuatnya secara lugas di dalam undang-undang.
Pada kenyataannya, isu-isu substansial yang berkaitan dengan isi media, berada pada irisan pertemuan antar undang-undang. Misalnya, isu tertentu menjadi isi pers yang kemudian disiarkan secara luas melalui media penyiaran dan media internet. Maka perdebatan yang muncul adalah
undang-undang yang mana yang akan menjadi lex
specialis-nya. Hal ini sangat bergantung pada letak isu yang menjadi sentral dari semua permasalahan media yang muncul dan pertimbangan para pelaku. Ancaman terhadap kebebasan berekspresi, dapat mengenakan kebebasan pers, kebebasan penyiaran dan kebebasan internet sebagai wujudnya.
Tentang legal structure sendiri, masing- masing undang-undang, terkecuali UU ITE, membentuk wadah organisasi khusus (atau
265
aparat) yang memiliki wewenang untuk
mengendalikan. Dengan membentuk lembaga- lembaga khusus tersebut, peraturan perundang- undangan tentang media berada pada konsepsi yang serupa, yakni bahwa wujud kebebasan berekspresi harus diawasi dan dikendalikan secara proporsional. Lembaga tersebut juga berwenang
untuk memberikan perlindungan terhadap
eksistensi hak lain yang cenderung dilukai oleh implementasi hak kebebasan berekspresi oleh subyek. Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Lembaga Sensor Film, dibentuk dengan landasan undang-undang, dimana organisasi
tersebut melibatkan subyek-subyek yang
profesional di bidangnya. Aspek profesionalitas dipentingkan, oleh karena isi media perlu dinilai, apakah layak untuk dapat dikonsumsi khalayak. Kelayakan tersebut diukur dengan pedoman dan/atau standar tertentu, sehingga dapat diberikan label ijin siar atau lolos sensor. Lembaga-lembaga memberikan penilaian terhadap isi pers, isi penyiaran dan isi film. Bilamana struktur hukum merupakan upaya membentuk aparat yang berfungsi sebagai pengatur dan pengendali, maka Dewan Pers, KPI dan LSF adalah wujud organisasi organik yang mendorong keseimbangan antara pelaksanaan hak dengan dan pencegahannya agar tidak berlebihan.
266
Meskipun UU ITE tidak membentuk lembaga tertentu untuk menjadi pengendali, negara bertindak langsung maupun tidak langsung untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi melalui media internet, dengan melarang konten-konten tertentu yang dapat mengancam eksistensi hak lain. Negara di media
internet bermutasi menjadi watch dog yang
berbeda fungsi dengan Dewan Pers, KPI dan LSF, dimana negara bertindak langsung dan tidak langsung melalui hukum pidana. Dalam konteks harmonisasi, sebenarnya menjadi tidak selaras, bahwa internet yang merupakan sarana dengan tujuan yang sama dengan sarana informasi yang lain, namun eksistensi negara tampak lebih kuat. Jadi bilamana harmonisasi hukum secara horizontal, tentang legal culture, UU ITE berada pada sisi substansi yang berbeda. Sementara jika diharmonisasikan dengan muatan materi di dalam konvensi, maka pembentukan lembaga tertentu
untuk mengawal kebebasan berekspresi,
merupakan hal yang sangat intepretatif. Asumsi negara, apapun wujudnya, bisa diatur sesuai
kebutuhan.173 Meskipun tidak membentuk
lembaga, UU ITE memperkenankan hadirnya
173 Siracusa Principle menyatakan bahwa “state organs or agents responsible for
the maintenance of public order (odre public) shall be subject to controls in the exercise of their power through the parliament, courts, or other competent independent bodies.” Pernyataan ini memberikan penjelasan bahwa dipandang perlu untuk membentuk lembaga tertentu yang melaksanakan kontrol bagi pelaksanaan kebebasan berekspresi tanpa menciderai kepentingan publik.
267
negara melalui ketentuan hukum pidana untuk mengamankan amanat undang-undang.
Tentang legal culture, peraturan perundang- undangan tentang media dirumuskan untuk membentuk lingkungan yang berbeda dengan masa lalu. Sistem hukum media yang baru secara normatif hendak mendorong masyarakat untuk lebih terbuka terhadap informasi yang berkembang
melalui saluran-saluran informasi. Baik
pengakuan terhadap kebebasan berekspresi
sebagai hak, mekanisme perolehan dan
penyebaran informasi melalui media dan batasan- batasan terhadap kebebasan berekspresi, diajukan untuk membentuk masyarakat Indonesia untuk memberikan penghargaan dan penghormatan. Legal culture baru yang hendak dikembangkan dan menjadi tujuan normatif di dalam undang- undang adalah untuk mendorong lingkungan media yang lebih terbuka dan ekspresif sekaligus transparan.
Hal ini ditunjukkan dengan menempatkan upaya pemenuhan hak masyarakat atas informasi, penegakkan nilai-nilai dasar hak asasi manusia
yang demokratis, dan kebebasan yang
bertanggung jawab. Isi media menjadi kunci bahwa pembentukan kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh informasi yang dimuatnya. Oleh karena itu lembaga-lembaga media memiliki tanggung jawab untuk mampu menjaga arus
268
informasi yang akurat, aman, serta kebenarannya sangat terbukti atau teruji. Pengolahan isi juga menyangkut representasi masyarakat pemakainya, sehingga masyarakat dapat turut berkembang seiring perkembangan pengetahuan dan informasi yang tersedia.
Indonesia sebagai negara pihak dalam konvensi, yang turut serta meratifikasi Universal Declaration of Human Rights dan International Convenant on Civil and Political Rights, bermaksud untuk menjadi subyek internasional yang menghormati hak-hak universal. Kebebasan berekspresi yang menjelma sebagai hak yang berkembang secara masif pada beberapa dekade belakangan ini, perlu diantisipasi agar tetap terwujud namun penuh tanggung jawab. Makin bervariasinya sarana atau media untuk menjadi saluran, negara Indonesia sebagai negara demokratis, wajib memberikan perlindungan yang sama kepada warga negaranya maupun subyek lain di Indonesia. Ketiadaan batas untuk mendapatkan informasi, menyebabkan negara perlu membentuk aturan yang mampu menjaga persatuan dan kesatuan. Aturan itulah yang secara harmonis dapat mewujudkan isi media yang bertanggung jawab,
sebagai wujud kebebasan berekspresi yang