• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 322009005 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 322009005 BAB III"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

131

Bab III

Konstruksi Kebebasan Berekspresi

dalam Regulasi Isi Media

A.

Kebebasan Bereskpresi sebagai Hak Asasi

Manusia di Indonesia

Media di Indonesia berkembang menjadi sarana demokrasi yang menyentuh setiap lini

kehidupan masyarakat. Eksistensi media

diwujudkan dengan perannya selalu menyertai setiap perkembangan kehidupan masyarakat di dunia dan di Indonesia pada khususnya. Media

memang menjadi sarana mutakhir untuk

menyebarluaskan semua informasi sehingga dapat mengembangkan wawasan dan pengetahuan warga masyarakat.

(2)

132

tepat tanpa mengebiri manifestasi hak asasi manusia itu sendiri.

Kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia, di Indonesia konstruksi hukumnya

dielaborasi dari sumber-sumber hukum

internasional. Pijakan utamanya tetap berasal dari Universal Declaration of Human Rights (1948) yang menitikberatkan pada Article 19. Selanjutnya sebagaimana telah diterangkan pada bab-bab sebelumnya, kebebasan berekspresi yang tercantum dalam UDHR tersebut mendapatkan

penegasan-penegasan di dalam konvensi-konvensi

internasional lainnya yang diadakan demi

penghargaan terhadap kebebasan manusia.

1.Pengakuan Kebebasan Berekspresi di dalam Konstitusi

Tentang kebebasan berekspresi, perjalanannya di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan hak asasi manusia secara universal. Kebebasan berekspresi menjadi satu bagian diantara bagian-bagian lain dari hak asasi manusia,

yang kemudian sejarah pemikiran dan

perkembangannya berjalan beriringan.

(3)

133

berekspresi, maka ratifikasi yang dilakukan dapat menjadi acuan dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang memiliki muatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip internasional yang universal. Pengakuan atas prinsip-prinsip hak asasi manusia tersebut dituangkan dalam berbagai produk hukum ratifikasi dalam beberapa ketentuan perundang-undangan di Indoneisa. UDHR diratifikasi melalui

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Sedangkan ICCPR diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik).

(4)

134

Konvensi-konvensi tersebut juga mendorong pembentukan sistem hukum media massa di Indonesia, yang akan berlaku efektif bilamana mencakup persoalan kepemilikan media (media ownership) dan peran serta masyarakat madani (civil society).

Ratifikasi-ratifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah (baca: negara) Indonesia, menimbulkan letak dasar yang fundamental bagi pembentukan peraturan perundang-undangan bagi kebebasan berekspresi. Demikian halnya sehingga konsep-konsep mengenai kebebasan berekspresi dan perkembangannya di dunia, baik langsung maupun tidak langsung, menginspirasi para pembentuk undang-undang untuk memberikan perhatian yang komprehensif terhadap makna hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi. Pada titik inilah, tatanan hukum Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari arus perkembangan hak asasi manusia di

dunia, yang sejalan dengan upaya-upaya

penghargaan terhadap kepentingan masyarakat dunia.

Instrumen-instrumen hukum internasional

tersebut, memberikan cakupan kebebasan

(5)

135

Konstitusi sebagai landasan berbangsa dan bernegara, memuat segala hal yang berkaitan dengan kehidupan negara yang diaturnya. Prinsip-prinsip hak asasi manusia juga diakomodasi di dalam dasar negara tersebut. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah diamandemen beberapa kali, memberikan arahan-arahan tentang kehidupan berbangsa yang menghargai hak asasi manusia.

Di dalam batang tubuh UUD 1945 Amandemen telah disebutkan secara jelas bahwa: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28). Di samping itu, Pasal 28E ayat (3) juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Pasal ini mengindikasikan bahwa ada penghargaan kepada warga negara untuk bebas merdeka berpendapat, yang kemudian ditegaskan sekali lagi dalam Pasal 28F: setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

(6)

136

dikenal sebagai era kebebasan media. Berlandaskan pada Pasal 28F UUD 1945 Amandemen, maka pemahaman warga negara tentang kebebasan berubah. Dari yang terintervensi secara sistematis melalui kebijakan politis, menjadi berpeluang berpendapat sejak secara regulatif diakui sebagai hak konstitusional. Bahkan, sebagai warga negara, mereka diperkenankan (secara konstitusional pula) untuk memperoleh informasi dari berbagai saluran.

Adanya perlindungan dan jaminan hukum terhadap kebebasan berekspresi di berbagai

peraturan-perundang-undangan, tidak melulu

menjadi sumber perlindungan secara teknis, namun yang perlu dilihat adalah bagaimana hukum dasar (baca: konstitusi) memberikan jaminan yang paling mendasar dan substansial. Meskipun sebagai landasan hukum konstitusional, bukan berarti bahwa hak atas kebebasan berekspresi juga tidak dibatasi. Secara substansial, kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia juga dibatasi dalam prasyarat otentik yang ditentukan dalam UUD 1945 juga.109

109 Sehubungan dengan adanya Putusan MK No.132/PUU-VII/2009, oleh

(7)

137

Konstitusi juga memerintahkan adanya

peraturan dan pembatasan dari hak-hak asasi manusia dalam suatu undang-undang dalam beberapa pasal:

a. Pasal 28I ayat (5): “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan” b. Pasal 28J ayat (1): “Setiap orang wajib

menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”

c. Pasal 28J ayat (2): “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib

tunduk kepada pembatasan yang

ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

(8)

138

dan keinginan masyarakat khususnya mengenai persoalan hak asasi manusia yang tertuang di dalam Pasal 28. Bahwa kemerdekaan atau kebebasan media harus dijamin oleh negara yang dilaksanakan dengan tetap mengingat manfaatnya

untuk tetap menjaga integrasi nasional,

menegakkan nilai-nilai agama, kebenaran, keadilan, moral, dan tata susila, serta memajukan

kesejahteraan umum, dan mencerdaskan

kehidupan bangsa. Dalam konteks ini pula, kebebasan juga harus dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.Representasi Kebebasan Berekspresi sebagai Isi yang diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan

Dengan diakuinya kebebasan berekspresi sebagai bagian penting bagi hak asasi manusia di dalam konstitusi, maka tetap saja dibutuhkan adanya pembentukan undang-undang yang secara

khusus mengimplementasikan perlindungan

terhadap hak asasi manusia secara komprehensif dan berlaku sebagai payung hukum hak asasi manusia yang utama di Indonesia (umbrella act).

(9)

139

1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini pula yang menjiwai pembentukan peraturan perundang-undangan tentang media di Indonesia. Di dalam undang-undang tersebut, dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) bahwa setiap orang berhak

untuk mempunyai, mengeluarkan, dan

menyebarluaskan pendapat sesuai dengan hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui

media cetak maupun elektronik dengan

memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Dengan demikian, secara aplikatif, ketentuan di dalam Pasal 28 UUD 1945 telah diwujudkan dalam suatu undang-undang tertentu tentang hak asasi manusia, dan khususnya tentang hak atas kebebasan berekspresi.

Di Indonesia terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan media, yang juga mendorong perkembangan bisnis media. Diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Berkaitan dengan eksistensi kebebasan

berekspresi pula, undang-undang tersebut

mengatur mengenai substansi yang hendak

disebarkan. Masing-masing undang-undang

(10)

140

medianya masing-masing. Hanya saja kemudian apakah ada singgungan dan atau bahkan kesepahaman yang sama, yakni bagaimana kebebasan berekspresi dikonstruksikan dalam wujud isi media yang memenuhi ekspektasi hak asasi manusia.

a.Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Salah satu embrio kebebasan berekspresi pada tataran peraturan perundang-undangan teknis adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini membuka kesempatan bagi

seluruh adresaat-nya untuk bebas untuk

mengaktualisasikan diri, melalui media pers, cetak maupun non-cetak.

Undang-undang ini dibentuk sebagai respon atas upaya untuk melaksanakan prinsip demokrasi dan keadilan di bidang hukum, khususnya menjadi upaya pengejawantahan perlindungan kebebasan setelah dirubahnya UUD 1945 pada era reformasi. Undang-undang ini juga

menggantikan kedudukan Undang-Undang

(11)

141

konsideran undang-undang ini menyebutkan latar belakang kelahirannya, yaitu:

a. Kemerdekaan pers, merupakan

perwujudan kedaulatan rakyat dan

unsur penting dalam kehidupan

demokrasi, sesuai dengan amanat Pasal 28 UUD 1945;

b. Kemerdekaan pers, yang merupakan

perwujudan dan kemerdekaan

menyatakan pendapat secara lisan dan

pendapat, merupakan hak asasi

manusia;

c. Kemerdekaan pers harus bebas dari campur tangan kekuasaan;

d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 yang mengharuskan adanya SIUPP, harus dicabut, karena menghambat kebebasan pers.110

Dengan disahkannya Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka

110 Terdapat persamaan antara UU No. 40/1999 dengan UU No. 11/1966 dimana

keduanya lahir pada gejala awal suatu rezim yang sama-sama memimpikan diwujudkan proses demokrasi dengan menggunakan kemerdekaan pers sebagai salah satu pilarnya. Adapun prinsip dasar dalam kedua undang-undang tentang pers tersebut menjanjikan pencabutan semua belenggu yuridis pada rezim represif yang sebelumnya mendera kehidupan pers. Ketentuan-ketentuan yang identik diantaranya: sensor dan pembredelan pers, ketentuan tentang SIT dan SUPP, perlindungan terhadap tugas jurnalistik, dan pembebasan pers dari belenggu yuridis dan politis.

(12)

142

dimulailah era baru kebebasan pers, telah membawa banyak perubahan bagi dinamisasi kehidupan media di Indonesia.111 Bagi insan media, dengan adanyanya undang-undang baru

ini memberikan peluang baru untuk

mendapatkan keragaman informasi yang

bersumber dari adanya keragaman isi maupun keragaman kepemilikan media.

Selain memberikan peluang bagi

munculnya berbagai lembaga pers baru, UU No. 40 Tahun 1999 juga memberikan dampak lain yang signifikan. Kemerdekaan dan keterbukaan para pelaku media pers semakin terlindungi dalam hal menjalankan aktivitas jurnalistik,

yakni mencari, memperoleh, memiliki,

menyimpan, mengilah dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang tersedia. Disamping itu, undang-undang ini menjadi tonggak baru sejarah kebebasan pers yang kemudian dikenal sebagai kemerdekaan pers.

Kemerdekaan pers sebagai konsep yang diperkenalkan melalui undang-undang ini, bermaksud untuk memberikan jaminan hak asasu manusia yang merupakan salah satu ujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang

111 Indikator awal meningkatnya jumlah penerbitan lembaga pers. Data Direktorat

(13)

143

sangat penting menciptakan kehidupan

bermsyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pendapat yang tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus dijamin.112 Selain itu, dinyatakan pula dalam Pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999 bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.

Hal-hal yang diatur secara berbeda dibanding dengan peraturan perundangan yang sebelumnya113 adalah pers dan kebebasan pers

yang diakui sebagai kemerdekaan pers

merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasas prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (Pasal 2). Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (Pasal 4 A1). Pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 Ayat 2). Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 Ayat 3). Serta dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan

112 Lihat konsideran UU No. 40 Tahun 1999.

113 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

(14)

144

hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak (Pasal 4 Ayat 4).

Undang-Undang ini mengandung materi yang memberikan jaminan atas kebebasan pers sebagai hak asasi dan sebagai wujud atas adanya kedaulatan rakyat. Adanya ketentuan-ketentuan yang tegas yang menolak ancaman eksternal terhadap kebebasan pers seperti:

a. penyensoran, pembredelan atau

pelarangan penyiaran, Pasal 4 ayat (2);

b. tindakan yang menghambat atau

menyebarluaskan gagasan dan

informasi, Pasal 4 ayat (3);

c. kepada siapa saja yang melakukan

ancaman terhadap kebebasan pers dapat dipidana, Pasal 18 ayat (1); dan,

d. pelanggaran-pelanggaran terhadap

kewajiban penghormatan terhadap

norma-norma agama, ras kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat (1)), dapat diancam pidana, Pasal 18 ayat (2).

Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut mendorong agar kegiatan pers yang bebas dan dilindungi oleh undang-undang, tidak diintervensi oleh pihak manapun, sekaligus juga memberikan pengakuan bahwa kebebasan pers

(15)

145

kemerdekaan pers (seharusnya) dapat

dilaksanakan secara bertanggungjawab.

Asas tanggung jawab (responsibility) media terhadap publik penikmat media, juga dimuat oleh karena pers memiliki potensi melakukan kekeliruan dalam melaksanakan aktivitasnya. Kekeliruan dapat berdampak negatif pada aspek kepentingan orang atau sekelompok orang, baik langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu, diperlukan mekanisme pertanggungjawaban pers atas tindakan negatif yang dilakukannya. Mekanisme tanggung jawab pers kemudian dimunculkan dalam undang-undang, dengan maksud bahwa persoalan yang timbul oleh

karena aktivitas pers sudah selayaknya

diselesaikan melalui pertanggung jawaban pers yang diperuntukkan pers sendiri. Karya pers

jurnalistik yang bermasalah mempunyai

mekanisme tanggungjawabnya sendiri.

(16)

146

pers harus memiliki syarat prakondisi tertentu. Pasal ini juga menjadi satu-satunya ketentuan yang secara eksplisit menyatakan kewajiban atas

sesuatu muatan pers yang hendak

disebarluaskan.

Hal menarik berikutnya adalah bahwa dengan diundangkannya UU No. 40 Tahun 1999 ini, dipertegas adanya suatu lembaga yakni Dewan Pers yang dimaksudkan untuk menjadi pelindung kebebasan pers, yang tidak lagi menjadi penasihat Pemerintah.114

b.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

Isu pertama yang didengungkan ketika undang-undang ini disusun dan disahkan adalah undang-undang ini tidak ditandatangani oleh Presiden RI pada waktu itu, Megawati Soekarnoputri. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 memang merupakan inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat pada masa itu kemudian tidak mendapatkan tanda tangan Presiden sebagai

bentuk pengesahan. Oleh karena tidak

ditandatangani oleh Presiden, maka

114 Dewan Pers pertama kali dibentuk pada tahun 1968 berdasarkan UU No. 11

(17)

147

undang tersebut tetap menjadi produk hukum yang mengikat bagi penyelenggaraan kegiatan penyiaran radio dan penyiaran televisi.

Urgensi dari undang-undang ini adalah untuk mengembangkan demokrasi yang sekaligus memecah cengkeraman sekelompok pemodal yang selama ini mengangkangi keberadaan lembaga penyiaran di Indonesia. Undang-Undang

Penyiaran adalah regulasi dengan visi

menyerahkan regulasi penyiaran kepada publik (yang direpresentasikan dengan dibentuknya Komisi Penyiaran Indonesia), serta mendorong

adanya keragaman kepemilikan untuk

menciptakan keragaman muatan.115

Undang-undang ini juga hendak

mendorong terbentuknya sistem penyiaran di Indonesia yang demokratis, dengan bertumpu pada dua hal: diversity of content dan diversity of ownership. Dua hal inilah yang menjadi isu sentral dalam kajian peraturan perundang-undangan tentang penyiaran. Semangat yang hendak dibangun melalui isu sentral itu adalah bahwa tersedianya informasi dapat menunjang kepentingan publik (public interest) untuk menuju kebaikan publik (public good).

Dalam kerangka pembentukan peraturan perundang-undangan tentang penyiaran, ada beberapa aspek yang dipertimbangkan dan

(18)

148

menjadi bahasan. Aspek-aspek itu adalah: persoalan teknikal atau aspek teknologi (technology aspect), aspek hukum perizinan, aspek hukum program siaran, dan aspek hukum pidana dalam penyiaran. Aspek teknologi berkaitan dengan teknik operasional lembaga

penyiaran, yakni penggunaan spektrum

frekuesnsi sampai dengan digitalisasi penyiaran, dimana ada keterkaitan antara pranata hukum nasional dan hukum internasional.

Aspek hukum perizinan penyiaran,

memaparkan tentang kelembagaan dan

mekanisme perizinan penyiaran di Indonesia, baik berdasarkan undang-undang penyiaran maupun peraturan pelaksanaannnya. Aspek hukum program siaran meliputi aturan tentang boleh dan tidak boleh suatu program disiarkan, standar program dan isi siaran, serta aturan hukum lain yang harus dipatuhi oleh praktisi penyiaran.

Aspek-aspek tersebut sekaligus

memberikan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang, khususnya pada aspek program

siaran yang mendorong Undang-Undang

(19)

149

diselenggarakan berdasar Pancasila dan UUD 1945 dengan asas-asasnya: manfaat, adil dan

merata, kepastian hukum, keamanan,

keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Sedang isi siaran harus sesuai dengan Pasal 3 yakni

bertujuan untuk memperkukuh integrasi

nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera,

serta menumbuhkan industri penyiaran

Indonesia.

(20)

150

Berkaitan dengan isi siaran, maka dibuatlah program siaran yang dalam kerangka tersebut dapat diketahui tentang dua hal: bentuk ‘kewajiban’ dan ‘larangan’ terhadap isi siaran. Adapun dimuat bahwa lembaga penyiaran dalam menyampaikan program siarannya memiliki empat kewajiban, yakni:

a. Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk

pembentukan intelektualitas, watak,

moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

b. Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.

c. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran

wajib mencantumkan dan/atau

(21)

151

d. Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

Sementara di dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 dicantumkan hal sebagai berikut:

(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga

persatuan dan kesatuan, serta

mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

(2) -...

(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

(5) Isi siaran dilarang:

a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;

b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau

c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan.

(22)

152

Pasal yang sama pula, dicantumkan pula tentang larangan-larangan tentang isi siaran. Larangan ini terkelompok dalam dua kategori, yakni yang pertama adalah kelompok isi siaran yang mengandung tindakan-tindakan pidana dan diskriminasi. Kandungan isi siaran yang dilarang adalah yang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; menonjolkan

unsur kekerasan, cabul, perjudian,

penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, aga-ma, ras, dan antar golongan.

Sedang yang kedua adalah isi siaran yang mendiskreditkan norma-norma sosial serta interaksinya dalam hubungan internasional. Isi siaran ini dilarang memperolokkan, meren-dahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. Undang-undang ini juga mengatur hal-hal lain yang terkait dengan isi siaran, diantaranya tentang Bahasa Siaran, Relai dan Siaran Bersama, Ralat Siaran, Arsip Siaran, Siaran Iklan, serta Sensor Siaran. Hal-hal tersebut melekat pada content yang hendak disebarluaskan dalam rangka penyelenggaraan siaran.

(23)

153

mendapatkan perhatian khusus. Korelasi yang nampak adalah hubungan antara Pasal 35 dengan Pasal 43 dimana ada penekanan mengenai ‘hak siar’. Adapun hak siar adalah hak yang dimiliki oleh lembaga penyiaran program atau acara tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya.

Bahkan secara teknis, Undang-Undang Penyiaran membentuk lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengawasi isi siaran, yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).116 Komisi inilah yang kemudian membuat suatu Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).117 Di dalam ketentuan ini disebutkan bahwa Pedoman Perilaku Penyiaran merupakan panduan tentang batasan-batasan mengenai apa

yang diperbolehkan dan atau tidak

diperbolehkan berlangsung dalam proses

116 KPI disebut sebagai lembaga negara independen (independent state

body/agency), yang dalam struktur ketatanegaraan KPI diklasifikasikan sebagai lembaga negara independen yang dibentuk oleh undang-undang (bukan konstitusi). Pembentukannya didasarkan atas pemikiran agar KPI berfungsi sebagai regulator di bidang penyiaran (self regulatory body) yakni untuk menjalankan prinsip diversity of ownership dan diversity of content dalam demokratisasi penyiaran. Lihat Masduki, Hukum Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal. LKiS; Yogyakarta, 2007. Hal. 206-209.

117 Ditetapkan pertama kali melalui Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia

(24)

154

pembuatan program siaran, sedangkan Standar Program Siaran merupakan panduan tentang batasan apa yang diperbolehkan dan atau yang tidak diperbolehkan ditayangkan dalam program siaran.118

P3/SPS dibentuk dengan tujuan untuk mengatur perilaku lembaga penyiaran dan lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam dunia penyiaran di Indonesia. Pedoman ini dibutuhkan oleh mereka yang berkepentingan di dunia penyiaran oleh karena adanya pemanfaatan frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dan pemanfaatannya tersebut harus ditujukan demi kemaslahatan masyarakat yang sebesar-besarnya. Standar baku ini menjadi pedoman bagi lembaga penyiaran untuk terus menerus memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri

bangsa yang beriman dan bertakwa,

mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera.119

Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) adalah dasar untuk penyusunan Standar Program Siaran (SPS). Keduanya merupakan dua kerangka yang saling berkaitan satu dengan

(25)

155

yang lainnya. Pedoman Perilaku Penyiaran mengatur hal-hal yang menyangkut penyusunan standar program siaran120:

Tabel 3.1. P3 dan SPS

Penghormatan - Terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras dan antar golongan;

- Terhadap norma kesopanan dan kesusilaan;

- Terhadap hak privasi dan pribadi; Perlindungan - Terhadap hak-hak anak, remaja dan

perempuan;

- Terhadap hak-hak kelompok masyarakat minoritas dan marjinal;

- Terkait kekerasan dan sadism;

- Terkait narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), alcohol dan perjudian; Tertentu - Penggolongan program siaran;

- Prinsip jurnalistik;

- Bahasa, bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan;

- Sensor dalam program siaran; - Lembaga penyiaran berlangganan;

- Program siaran kuis, undian berhadiah, dan penggalangan dana;

- Siaran pembuka dan penutup; dan - Pengawasan, pengaduan dan

penanggung jawab.

Dengan melihat substansi dari peraturan teknis yang disusun dan ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sebagai regulator di bidang

120 Pasal 5 Peraturan KPI Nomor: 02/P/KPI/12/2009 vide Pasal 5 Peraturan KPI

(26)

156

penyiaran, peraturan teknis tersebut, secara substantive dibuat dengan mengacu berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002.

c.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik

Akhirnya pada tanggal 25 Maret 2008 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan oleh DPR-RI yang kemudian diundangkan secara resmi oleh Presiden RI pada tanggal 21 April 2008. Undang-undang ini lahir dari proses dirancangnya dua Naskah Akademik dan dua Rancangan Undang-Undang (RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi dan RUU Transaksi Elektronik).121 Bahwa kedua rancangan undang-undang tersebut merupakan respon dari perkembangan dunia teknologi, khususnya yang berkaitan dengan perkembangan teknologi jaringan/networking melalui internet. Dipahami

juga bahwa perkembangan ini harus

mendapatkan tempat untuk diperhatikan oleh negara, oleh karena implikasi teknologi ini dapat mempengaruhi dimensi-dimensi perekonomian,

121 RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi disusun dan dibahas oleh Fakultas

(27)

157

perdagangan, bahkan juga sampai pada kehidupan ekonomi dan sosial.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

adalah merupakan undang-undang yang

pertama di Indonesia yang secara khusus mengatur mengenai kegiatan yang menggunakan sarana internet. Dua muatan besar yang diatur di dalam undang-undang ini sebenarnya hanya mengenai pengaturan transaksi elektronik dan tentang tindak pidana cyber. Materi muatan itu merupakan implementasi dari perkembangan global tentang penggunaan media internet sebagai sarana teknologi yang memungkinkan penyebaran informasi dan kegiatan lainnya yang dapat dilakukan. Prinsip-prinsip di dalam instrumen hukum internasional yang menjadi

referensi adalah UNCITRAL Model Law on

Electronic Commerce, UNCITRAL Model Law on Electronic Signature, Convention on Cybercrime, EU Directives on Electronic Commerce, dan EU Directives on Electronic Signature.

Di dunia cyber, diberlakukanlah asas

ekstrateritorial karena jangkauan cyber

merupak dunia virtual yang bersifat lintas

negara, sehingga perlu dipertimbangkan

(28)

158

cyber sebagai domainnya.122 Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur di dalam undang-undang tersebut, baik yang berada di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan bersama.123 Adapun yang dimaksud dengan

merugikan kepentingan Indonesia adalah

meliputi, tetapi tidak terbatas pada, kerugian yang ditimbulkan terhadap kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat

dan martabat bangsa, pertahanan dan

keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara serta badan hukum negara.

Secara yurisdiksi, undang-undang ini juga menjangkau setiap perbuatan hukum tidak hanya dilakukan di Indonesia, namun di luar wilayah Indonesia, dilakukan oleh warga negara Indonesia, maupun warga negara asing, badan

122 Asas ekstrateritorial yang terdapat di UU ITE dikembangkan dari

pemberlakuan asas teritorialitas, asas nasionalitas aktif, dan asas nasionalitas pasif yang terdapat dalam KUHP. Bahwa asas tersebut merupakan prinsip-prinsip yang berlaku di undang-undang pidana suatu negara berlaku bagi setiap orang-pribadi kodrati, baik warga negara itu maupun warga negara asing yang berada di dalam wilayah negara itu-baik yang melakukan perbuatan pidana di dalam wilayah negara tersebut, baik wilayah darat maupun laut. Di dalam KUHP, asas territorial terdapat pada Pasal 2 yang menyatakan bahwa aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia. Sedang perluasan dari asas ini sebagaimana terdapat pada Pasal 3 KUHP yang menyatakan ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara.

(29)

159

hukum Indonesia maupun badan hukum asing, dimana perbuatan hukum tersebut memiliki akibat hukum di Indonesia, oleh karena pemanfaatan informasi teknologi intik informasi elektronik dan transaksi elektronik dapat bersifat lintas territorial atau universal.124

keberlakuan undang-undang ini yang

menjangkau semua orang yang melakukan perbuatan hukum (khususnya tindak pidana) baik di dalam dan di wilayah negara Indonesia, memberikan ruang yang lebih luas bagi negara

sendiri untuk memastikan bahwa ada

perlindungan bagi perkembangan teknologi informasi yang bertanggung jawab.

Dalam konsep ini diperluaslah makna prinsip universality: universal interest jurisdiction, dari dimana setiap orang berhak menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan, menjadi

kejahatan kemanusiaan (crime against

humanity), genocide, pembajakan pesawat, dapat diperluas: internet privacy, hacking, cracking, viruses sepanjang termasuk very serious crime

124 Lihat Pasal 4 KUHP yang memuat asas nasionalitas pasif. Bahwa

(30)

160

dikembangkan menjadi extra territorial

jurisdiction.125

Pengembangan asas territorial menjadi asas

ekstrateritorial dikarenakan bahwa asas

territorial dirasa belumlah cukup untuk menjerat seseorang yang melakukan perbuatan hukum di

luar wilayah suatu negara. Dengan

perkembangan teknologi informasi yang

berbasiskan dunia cyber mendorong banyak negara untuk menambahkan keberlakukan prinsip-prinsip atau asas-asas lain agar peraturan perundang-undangan tetap berlaku dalam kondisi-kondisi yang tidak dapat dijangkau dengan asas teritorialitas. Dunia cyber memerlukan asas ekstrateritorialitas karena pelaku perbuatan hukum belum tentu hadir dalam wilayah negara yang bersangkutan.

Pasal 1 angka 1 UU ITE menyatakan bahwa

Informasi Elektronik adalah satu atau

sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah

125 Sigid Suseno dalam Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar

(31)

161

diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Di UU ITE diberikan pengertian mengenai Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,

digital, elektromagnetik, optikal, atau

sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Secara khusus, dapat dilihat bagaimana UU ITE mengatur tentang konten media, namun karakternya lebih kepada substansi media yang dilarang. Konten126 pada dasarnya merupakan informasi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang.127 Oleh karena itu, konten perlu

126 Istilah “konten” merupakan terjemahan dari bahasa Inggris: content yang

diartikan sebagai adalah informasi yang tersedia melalui media atau produk elektronik. Konten ini dapat disampaikan melalui berbagai medium seperti internet, televisi, CD audio, bahkan acara langsung seperti konferensi dan pertunjukan panggung. Istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menguantifikasi beragam format dan genre informasi sebagai komponen nilai tambah media.

Lihat: Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2008.

127 Josua Sitompul. Cyberspaces, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum

(32)

162

diatur karena alasan penting, yakni pertama,

perlunya perlindungan hukum seperti

perlindungan seperti perlindungan yang

diberikan dalam dunia nyata atau fisik (realspace). Meskipun di dunia virtual, faktanya adalah kumpulan orang-orang dari dunia fisik dan ada dampak dari semua jenis transaksi elektronik via dunia virtual (cyber) tersebut yang dirasakan secara nyata. Sedangkan alasan yang kedua adalah bahwa dengan adanya internet, informasi dapat disebar dan diteruskan ke berbagai penjuru dunia dengan seketika serta dapat diakses dari berbagai negara. Misalnya saja pengguna internet seringkali menggunakan

nama alias atau anonym. Konten yang

disebarkan (apapun akibatnya), dapat berasal dari subyek-subyek yang belum tentu bisa diketahu identitas aslinya.128

Di dalam UU ITE ada perbuatan-perbuatan yang dilakukan subyek pengguna media teknologi informasi, yang dapat dikategorikan sebagai tindakan pidana. Perbuatan-perbuatan tersebut berkaitan erat dengan substansi atau isi media, yakni yang disebut sebagai konten-konten yang dilarang, diantaranya dalam beberapa pasal berikut:

(33)

163

Tabel 3.2. Ketentuan tentang Isi dalam UU ITE Pasal 27

ayat (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Pasal 27

ayat (2)

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

Pasal 27

ayat (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pasal 27

ayat (4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki

muatan pemerasan dan/atau

pengancaman. Pasal 28

ayat (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Pasal 28

ayat (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi

yang ditujukan untuk

(34)

164

Pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Pasal-pasal dalam UU ITE tersebut pada dasarnya memuat konteks larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan

sebagai ancaman terhadap kebebasan

berekspresi. Artinya bahwa implementasi atas kebebasan berekspresi pada UU ITE mengarah

pada bentuk-bentuk larangan terhadap

perbuatan yang dianggap menciderai kebebasan berekspresi pada beberapa hal yang terkait, yakni: (a) kesusilaan, (b) perjudian, (c) penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, (d) pemerasan dan/atau pengancaman, (e) kerugian konsumen, (f) rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dan (g) ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

d.Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

(35)

165

secara akomodatif. Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan aktivitas film di Indonesia. Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman disusun dengan maksud sebagai peraturan yang merespon adanya reformasi di bidang politik dan kebudayaan, dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong terciptanya paradigma baru, khususnya mengenai film. Dalam undang-undang ini pula, aspek-aspek yang menjadi perhatian adalah perlindungan hukum terhadap

aktivitas perfilman, sensor dan/atau

penyensoran film, serta peran serta masyarakat luas di bidang perfilman yang difasilitasi negara.

Sebagai karya seni kebudayaan, film dapat ditampilkan dengan atau tanpa suara yang mengandung arti bahwa film menjadi media komunikasi massa yang dapat menyampaikan pesan dan gagasan kepada publik. Film juga menjadi bentuk ekspresi yang mempunyai fungsi pendidikan, hiburan, informasi, dan pendorong karya kreatif. Oleh karena fungsi tersebut, maka film dapat berfungsi ekonomi

yang mampu memajukan kesejahteraan

(36)

166

Undang-undang ini hendak mengatur

segala aktivitas di dunia film, yang

diselenggarakan di Indonesia. Baik aspek tata kelola, produksi, pemasaran, pembuatan dan aktivitas-aktivitas stakeholders di bidang film di Indonesia. Film memang produk kesenian yang berbeda dengan produk seni yang lain, yang di dalamnya hampir memuat segala ekspektasi dari pembuatnya dan ditujukan kepada khalayak yang berasal dari berbagai latar belakang. Film memuat hal-hal yang merupakan wujud ekspresi pembuatnya (dan segala pihak yang terlibat) untuk mencapai suatu pesan tertentu yang hendak disampaikan kepada masyarakat penikmatnya.

Film adalah bagian dari kebudayaan yang mampu menjadi sarana untuk tujuan-tujuan pencerdasan bangsa, sebagai pengembangan kualitas manusia yang berpotensi budaya, film juga dianggap dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu untuk mendapatkan perhatian khusus dalam hal substansinya yang mudah terkontaminasi dengan nilai-nilai asing yang bersifat negatif. Hal-hal tersebut menjadi

latar belakang alasan dibentuk dan

(37)

167

Film dapat diproduksi di dalam negeri dan dapat pula merupakan film-film yang diproduksi oleh pembuatnya di luar negeri. Maka dari itu film dapat diedarkan dari luar negeri ke dalam negeri. Pemerintah sebagai pelindung atas

beredarnya film, harus mampu untuk

memberikan perlindungan bagi peredaran film di Indonesia yang dimaksudkan untuk tetap dapat mewujudkan kecerdasan kehidupan bangsa, terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa,meningkatnya harkat dan martabat bangsa, berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa, meningkatnya kesejahteraan masyarakat, dan berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan.

Film sebelum beredar dan dipertunjukkan di Indonesia wajib disensor dan memperoleh surat tanda lulus sensor yang dikeluarkan oleh lembaga khusus yakni lembaga sensor film. Sensor pada dasarnya diperlukan untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film dari adanya dorongan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan

zat adiktif lainnya, serta penonjolan

pornografi,penistaan, pelecehan dan/atau

penodaan nilai-nilai agama atau karena pengaruh negatif budaya asing.129 Adapun mekanisme penyensoran dilaksanakan dengan

(38)

168

prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui Pemerintah.

Sedangkan film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor.

Di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman memuat bahwa peran strategis perfilman, pembiayaan pengembangan perfilman, lembaga sensor film, dan badan perfilman Indonesia dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah. Selain itu masyarakat wajib

dilindungi dari pengaruh negatif film,

masyarakat juga diberi kesempatan untuk berperan serta dalam perfilman, baik secara perseorangan maupun secara kelompok.

(39)

169

dilakukan sesuai persyaratan penyusunan Undang-undang, dengan melibatkan seluruh elemen ataupun stake holder yang terlibat dalam dunia perfilman baik itu budayawan kemudian akademisi, praktisi-praktisi perfilman, para pengamat film dan kebudayaan, bahkan juga

para artis serta pengusaha-pengusaha

perfilman.

Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 secara substansial mengatur hal-hal yang berkaitan dengan film, yakni tentang bagaimana proses pembuatan film, mengatur tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan pendidikan atau skill tentang perfilman, isi film, metode penayangan dan cara mengedarkan film. Pada undang-undang ini diperkenalkan kategorisasi film yang yang layak dikonsumsi oleh penikmatnya, yakni golongan umur tertentu, waktu tertentu. Tentang cara peredaran film juga diatur agar tidak terjadi monopoli oleh salah satu pihak tertentu saja.

(40)

standar-170

standar kualitas tertentu yang ditetapkan agar tidak memberikan dampak negatif terhadap konsumennya. Satu hal yang menarik dalam undang-undang ini yang berkaitan dengan isi dalam kebebasan berekspresi adalah tentang adanya self sensor sebagai isu yang banyak dibahas. Pengguntingan film yang ditiadakan, dikarenakan para pembuat film dibebaskan untuk memproduksi filmnya sendiri untuk kemudian diajukan ke lembaga sensor. Lembaga sensor kemudian memberikan penilaian sesuai dengan kriteria. Bilamana tidak sesuai dengan kriteria, maka lembaga sensor mengembalikan film dimaksud kepada pembuatnya, disertai dengan permintaan untuk memperbaikinya sendiri. Inilah yang disebut dengan self sensor.

Mengembangkan kebebasan berekspresi di bidang perfilman, undang-undang mengatur mengenai isi film yang terdapat pada Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi:

a. mendorong khalayak umum melakukan

kekerasan dan perjudian serta

penyalahgunaan narkotika,

(41)

171

c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antar suku, antar ras, dan/atau antargolongan;

d. menistakan, melecehkan, dan/atau

mendoai nilai-nilai agama;

e. mendorong khalayak umum melakukan

tindakan melawan hukum; dan/atau

f. merendahkan harkat dan martabat

manusia.

Isi yang diatur di dalam perfilman juga menyangkut iklan dalam film yang disebut iklan film, yang pada dasarnya secara substansi tidak boleh bertentangan dengan Pasal 6 tersebut di atas. Secara otentik undang-undang ini menggunakan kalimat larangan, sehingga mengindikasikan ada ruang batasan bagi pelaksanaan isi film. Sejalan dengan itu, pada pasal-pasal lainnya juga dibatasi isi film yang berkaitan dengan beredarnya film, yakni: adanya kewajiban bagi pemerintah untuk

mencegah masuknya film impor yang

(42)

172

Ada yang menarik yang dapat menjadi perhatian juga, yakni bahwa pada Pasal 2 dan 3, pemerintah berkewajiban melindungi dan memfasilitasi setiap produksi film. Sedangkan pada Pasal 17 tertera bahwa pembuat film wajib melaporkan judul, isi, dan rencana produksi film kepada Kementerian Kebudayaan dan pariwisata sebelum memulai proses produksi. Jadi semenjak awal ada upaya untuk membuka ruang produksi film kepada pemerintah dengan maksud agar ada kejelasan tentang hal apa yang hendak dibuat (film).

B.

Kebebasan Berekspresi dalam Peraturan

Tentang Media di Indonesia

Media berpijak pada ideologi yang berorientasi kepada massa, sehingga media menjadi sarana atau lembaga sosial yang memiliki pengaruh dalam perkembangan kehidupan masyarakat dewasa ini. Media dalam kerangka yang demikian memiliki beberapa fungsi yang antara lain130:

1. Fungsi informasi: bahwa media telah menjadi alat untuk mencari dan mendapatkan informasi bagi masyarakat.

2. Fungsi agenda: bahwa media menjadi agenda kerja bagi masyarakat, dimana masyarakat

130 Hari Wiryawan, Dasar-Dasar Hukum Media. Pustaka Pelajar; Yogyakarta,

(43)

173

memiliki rencana-rencana oleh karena pengaruh media.

3. Fungsi penghubung orang: bahwa medi

memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengetahui keadaan, posisi dan kegiatan orang lain di tempat lain, sehingga dengan demikian media menjadi alat untuk menghubungkan manusia yang satu dengan yang lainnya.

4. Pendidikan: bahwa media memberikan pesan

tentang pendidikan.

5. Fungsi membujuk: bahwa media memiliki

kekuatan untuk membujuk atau merayu pendengar, penonton atau pembacanya demi melakukan sesuatu.

6. Fungsi menghibur: bahwa media memberikan

hiburan melalui apa yang ditampilkan dan disebarkan olehnya.

(44)

174

media penyiaran sebagian besar adalah bukan karya jurnalistik.131 Untuk mengatur media, dibentuklah hukum media yang menjadi sarana regulasi dan bertujuan untuk mengatur media massa. Disebut dengan hukum media, dikarenakan merupakan kumpulan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang media yang berbeda. Meskipun sebenarnya bila

dilihat aspek-aspek pengaturannya memiliki

kemiripan satu sama lain. Demikian sehingga hukum media sebagai hukum yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan media massa, sebagai alat komunikasi massa. Hukum media sendiri meliputi hukum media cetak, hukum media penyiaran, film, hukum siber (cyber law), dan hukum pers (baik pers cetak, penyiaran maupun pers via internet). Ketentuan yang diatur di dalamnya adalah yang mengenai isi media, prosedur penggunaan media, kepemilikan media, dan sebagainya, yang kesemuanya melibatkan media sebagai obyek sentralnya.

Pada situasi yang demikian, maka

memunculkan konsepsi mendasar, yakni bahwa ada alasan-alasan penting mengapa kemudian media harus diatur. Bertolak dari kepentingan hak asasi manusia, maka ada beberapa hal yang menyebabkan media harus diatur. Pertama, pertimbangan kepentingan umum atau kepentingan

(45)

175

publik. Bahwa pernyataan pendapat, apapun itu, berkaitan dengan keberadaan media sebagai alat untuk menyebarluaskan. Demikian maka media pada dasarnya menjadi alat untuk menyatakan pendapat secara luas yang digunakan oleh masyarakat. Media kemudian menjadi penting untuk diatur, dimana media harus mendapatkan perlindungan dari upaya-upaya pengekangan atau gangguan-gangguan terhadap pernyataan pendapat. Media diatur agar masyarakat terhindar dari

hambatan-hambatan yang berakibat pada

terganggunya hak asasi manusia.

Di sisi lain, ada kepentingan bisnis yang menyertai hadirnya media. Pengelolaan media oleh subyek-subyek organisasi/lembaga, menyebabkan ada orientasi bisnis yang juga berpengaruh pada kepentingan ekonomi. Kepentingan bisnis ini berhadap-hadapan dengan kepentingan bisnis, dimana kepentingan privat organisasi yang

berorientasi bisnis mempengaruhi aspek

kepentingan umum. Demikian maka hukum media hendak menjembatani tiga unsur utama: media, kepentingan bisnis dan kepentingan umum.132

132 Pendapat Hari Wiryawan mengemukakan bahwa hukum media dibentuk dari

tiga inti dasar: media, kepentingan umum dan kepentingan privat perusahaan. Hukum media hendak menjaga agar kepentingan umum dapat terjaga dari media, dan tetap menyadari bahwa media harus menghidupi dirinya sendiri.

(46)

176

Bilamana media harus diatur di dalam hukum, maka yang harus dicermati dalam konteks ini adalah bagaimana kebebasan berekspresi diberikan ruang untuk ‘bebas’ dan ‘diatur’ olehnya. Kebebasan berekspresi, sekali lagi merupakan bagian dari hak asasi manusia, menggunakan

media sebagai wadah untuk menegaskan

eksistensinya. Media adalah salah satunya. Media dewasa ini menjadi saluran utama bagi upaya mengembangkan kebebasan berekspresi.

Sejalan dengan hal tersebut, ada tujuh penyimpangan media yang dikemukakan oleh Paul Jhonson demikian133:

Pertama, distorsi informasi, yakni praktek mengurangi hal penting atau malah menambahkan hal yang tidak penting bagi publik (pola

rekonstruksi pemberitaan terhadap suatu

pemberitaan). Kedua, dramatisasi fakta palsu, yang dilakukan dengan bertumpu pada kekuatan narasi dari narrator. Ketiga, mengganggu privasi, alibi demi kepentingan publik dengan cara memaksa nara sumber untuk bersedia menyampaikan

sesuatu yang sifatnya privasi. Keempat,

pembunuhan karakter, dengan mencari sisi gelap atau kesalahan seseorang yang dikemukakan dengan penuh tendensius.

133 Paul Jhonson dalam Iswandi Syahputra, Rezim Media: Pergulatan Demokrasi,

(47)

177

Kelima, eksploitasi seks, dengan

memanfaatkan eksistensi perempuan yang

dikonstruksi secara seksual, dari penggunaan kostum yang minim sampai dengan menonjolkan bagian-bagian tertentu dari tubuh perempuan. Keenam, meracuni benak/pikiran anak, yakni dengan mengeksploitasi kesadaran berpikir anak secara tidak normal padahal tidak mendidik (memaksa anak berperan dalam sebuah adegan agar tayangan seakan-akan layak dikonsumsi anak). Dan ketujuh, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dimana ada produksi opini dan mendistribusikannya sebagai wacana yang dapat membentuk dan menggiring opini publik lewat mass deception.

Perkembangan media dan hukum media, tidak dapat dilepaskan dari eksistensi hak, khususnya hak atas kebebasan berekspresi. Perlu

diamati dan dikaji bagaimana kebebasan

(48)

178

khalayak. Meskipun media yang digunakan berbeda, namun pada titik tertentu terdapat identitas, yang notabene adalah implementasi dari kebebasan berekspresi, dalam kerangka prinsip yang identik.

Berkaitan dengan hal tersebut, keberadaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP) memang tidak dapat dilepaskan dari eksistensi hak atas kebebasan berekspresi. Akan tetapi ketiga undang-undang tersebut dalam penulisan ini tidak dapat dikaji secara mendalam,

khususnya dalam hal isi media. UU

Telekomunikasi, UU Pornografi dan UU KIP tidak mengatur mengenai isi media sebagai isu utama dalam perkembangan bisnis media. Bilamana

dilihat, memang UU Pornografi mengatur

bagaimana pornografi di media massa, namun perihal pornografi hanya menjadi sebagian kecil isu dalam kebebasan berekspresi. Pornografi bukanlah satu-satunya isu sentral di isi media yang diatur di dalam empat peraturan perundang-undangan yang menjadi norma dasar isi media di Indonesia.

(49)

179

mengenai perkembangan teknologi informasi di Indonesia. UU Telekomunikasi juga mengatur mengenai tata cara penggunaan teknologi informasi yang tidak berhubungan erat dengan isi media secara langsung dan hanya mengatur hal-hal yang bersifat teknis. Pengaturan tersebut menjadi tidak dapat dijadikan titik tolak dalam penulisan ini dikarenakan isu mengenai isi media tidak menjadi fokus utama, sehingga UU Telekomunikasi tidak mengatur secara detail.

UU KIP memang merupakan salah satu

perwujudan kebebasan berekspresi, yakni

menekankan pada penyelenggaraan negara yang harus dilakukan secara terbuka atau transparan. Undang-undang ini juga menjamin setiap orang untuk memperoleh informasi publik sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Implikasinya

adalah bahwa masyarakat terlibat lebih banyak dalam penyelenggaraan negara, yakni dapat mengawasi serta terlibat saat proses penentuan kebijakan publik. Keterlibatan tersebut pada akhirnya akan menghasilkan penyeleggaraan negara yang lebih berkualitas. Partisipasi seperti itu

menghendaki adanya jaminan terhadap

(50)

180

negara yakni hak setiap orang untuk memperoleh informasi publik, kewajiban setiap badan publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/ proporsional, dan dengan cara sederhana, serta informasi dengan pengecualian yang bersifat ketat dan terbatas, sekaligus kewajiban badan publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan informasi.

Oleh karenanya, UU KIP hanya mempertegas eksistensi kebebasan berekspresi dalam rangka hubungan masyarakat dengan negara, yakni khusus mengenai penyelenggaraan negara yang

bertanggungjawab. UU KIP tidak secara

komprehensif memberikan landasan bagi isi media yang pada masa ini berkembang sebagai komoditas

bisnis media. Demikian sehingga, UU

Telekomunikasi, UU KIP dan UU Pornografi tidak menjadi landasan isi media yang merupakan representasi kebebasan berekspresi berdasarkan Pasal 28F UUD 1945 Amandemen. Meskipun demikian, secara substansial, dapat membentuk kerangka hukum media yang dapat mendukung implementasi keempat undang-undang tentang media di Indonesia.

Kebebasan berekspresi hendak dilihat

(51)

undang-181

undang tersebut mampu memberikan sarana perlindungan, secara otentik, maupun prakondisi yang dibentuk demi tujuan dan asas kebebasan berekspresi itu sendiri. Undang-undang selain memberikan pengakuan terhadap eksistensi hak, juga mempengaruhi bagaimana nantinya aktivitas-aktivitas ekonomi dan bisnis di bidang media. Ruang lingkup dan batasan menjadi semakin penting manakala bisnis media berkembang, dikarenakan komoditas yang disebarluaskan adalah isi media itu sendiri.

Isi media, baik isi pers, penyiaran, internet

dan film, yang kemudian disebarluaskan,

mengandung minimal dua sisi kepentingan. Isi media berdiri diantara kepentingan perlindungan hak asasi manusia dengan kepentingan bisnis media yang berkembang di lingkungan masyarakat. Pada sisi sebagai hak asasi adalah jelas, yakni bagaimana kebebasan berekspresi sebagai hak harus dilindungi negara, melalui seperangkat ketentuan dan kebijakan-kebijakan lainnya yang mendukung eksistensinya sebagai hak. Namun di sisi lain kebebasan berekspresi menjelma menjadi sebuah komoditas yang merupakan kunci dalam perkembangan bisnis media, yakni obyek untuk ditampilkan sekaligus ‘dijual’ demi mendapatkan

keuntungan. Dengan demikian, kebebasan

berekspresi mempertemukan (minimal) dua

(52)

182

perlu dicermati bagaimana bisnis media

berkembang tanpa meninggalkan sisi perlindungan hukum atas hak. Diperlukan keseimbangan, untuk mengatur dan menempatkan aspek bisnis tanpa melukai aspek hak asasi manusia.

1. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Kebebasan Berekspresi dan Isi Media

Mengatur penetrasi bisnis media melalui peraturan perundang-undangan tentang media,

khususnya mengenai apa yang hendak

disebarluaskan, menitik beratkan pada bagaimana ada keseimbangan antara aspek hukum dengan aspek bisnis. Pertemuan keduanya menentukan bagaimana perkembangan media sebagai bisnis sekaligus sebagai wujud kebebasan. Oleh karena itu, muatan pers, muatan penyiaran, muatan internet serta muatan film, dapat diatur dengan bijaksana.

Setidak-tidaknya ada dua konvensi tentang hak asasi manusia yang dapat menjadi referensi utama dalam mengimplementasikan kebebasan berekspresi di dalam konstitusi negara-negara yang meratifikasinya. UDHR dan ICCPR menjadi rujukan utama. Khususnya mengenai muatan media yang berhubungan erat dengan kebebasan berekspresi, UDHR dan ICCPR memberikan nilai pengakuan

sebagai hardlaw yang menginspirasi adanya

(53)

183

Salah satu kewajiban yang harus dilakukan bagi negara-negara yang telah meratifikasi konvensi, termasuk Indonesia, maka ada kewajiban untuk mengadopsi substansi konvensi dalam peraturan perundang-undangan dan atau bahkan

melakukan upaya-upaya lain tang dapat

memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak tersebut.

Sebagai hak, maka kebebasan berekspresi yang dilindungi di dalam konvensi, secara

mendasar, Indonesia telah berani

mencantumkannya di dalam konstitusi. Di dalam

UUD 1945 Amandemen (yang kedua),

mencamtumkan ada tiga pasal yang secara khusus dan tegas memuat jaminan atas kebebasan berekspresi, yakni:

Pasal 28

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 28 E ayat (3)

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

(54)

184

Pasal 28F

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi

dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,

memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Keberadaan pasal-pasal tersebut telah

membuat tegas bahwa negara di dalam konstitusi, memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi (apapun bentuk kalimatnya). Ketiga pasal tersebut menjadi dasar konstitusional yang (seharusnya) dijadikan acuan untuk pembentukan peraturan perundang-undangan tentang media. Pertanyaan yang dapat diajukan dalam konsep hak berkaitan dengan yang tercantum di atas adalah apakah pasal-pasal tersebut dapat dikatakan mampu mengakomodasi prinsip-prinsip hukum internasional.

(55)

185

Pengakuan atas kebebasan berekspresi sebagai hak yang penting di dalam ruang

demokrasi, sebelum disahkannya UDHR, pada

sidang pertama PBB tahun 1946 sudah dinyatakan bahwa Resolusi PBB No. 59 (I) bahwa hak atas

informasi merupakan hak asasi manusia

fundamental dan standar dari semua kebebasan yang dinyatakan ‘suci’ oleh PBB. Dengan meratifikasi konvensi-konvensi tersebut, maka ada

kewajiban bagi pemerintah untuk

mengimplementasikan nilai-nilai universal dalam peraturan perundang-undangan.

Ketentuan dalam Pasal 28 UUD 1945 Amandemen adalah jelas, bahwa ada segi pengakuan terhadap hak di dalam konstitusi. Hak yang tercantum dengan demikian dapat disebut sebagai hak konstitusional, yang berarti bahwa hak itu berasal dari undang-undang dasar. Berkaitan dengan isi media, maka di dalam UUD 1945 Amandemen tidak menyatakan ketegasan tentang apa yang dapat dimuat. Akan tetapi, dengan

memberikan landasan konstitusi, maka

(56)

186

berkaitan dengan Pasal 28 tersebut, diarahkan pada fungsi hukum sebagai pengontrol berbagai institusi kemasyarakatan dan kenegaraan. Fungsi ini menciptakan dua hal, preventif dan represif. Fungsi preventif sebagai bentuk pencegahan dalam berbagai aturan yang bersifat prevention regulation, yakni desain dari tiap tindakan yang akan dilakukan oleh masyarakat. Di sisi lain, ada fungsi represif yakni mengajukan penanggulangan sebagai penyelesaian sengketa atau pemulihan keadaan yang diakibatkan adanya perencanaan tindakan tersebut.134

Kebebasan berekspresi sebagai hak yang kemudian harus diatur dan dikelola dengan tepat berkaitan dengan akomodasi peraturan perundang-undangan nasional tentang media. Implikasi dari adanya peraturan perundang-undangan tentang media adalah bagaimana peraturan perundang-undangan tersebut dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip dasar kebebasan berekspresi dalam konvensi.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka hubungan antara konvensi, UUD 1945 dan undang-undang yang dibentuk untuk kepentingan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dalam isi media yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, dapat dilihat dalam bagan berikut:

(57)

187

Bagan 3.1. Konvensi, UUD, dan Undang-undang

Prinsip-prinsip yang tertuang dalam Article 19 UDHR dan Article 19 ICCPR menjadi inspirasi bagi muatan materi di dalam konstitusi maupun dalam peraturan perundang-undangan. Keberadaan Pasal 28 UUD 1945 mengatur bahwa kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan ditetapkan dengan undang-undang, yang kemudian ditimpali dengan Pasal 28F yang membebaskan segala saluran informasi, maka terbentuklah undang-undang tentang pers, penyiaran, internet dan film. Undang-undang tersebut tetap harus menjunjung tinggi pemaknaan terhadap hak asasi.

(58)

188

pada Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan bahwa

setiap orang bebas untuk mempunyai,

mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Hal ini berarti bahwa undang-undang tentang hak asasi manusia juga memberikan landasan hukum sebagai jaminan terhadap kebebasan berekspresi di dalam hukum nasional.

2. Menjamin Hak atas Kebebasan Berekspresi di dalam Hukum Nasional

Memberikan jaminan terhadap kebebasan berekspresi melalui peraturan perundang-undangan memberikan tantangan tersendiri bagi para

pembentuk undang-undang. Selain harus

(59)

189

Dalam hal ini ada tiga konsepsi mendasar di dalam konvensi yang harus menjadi perhatian,

yakni: pertama, hak untuk menyampaikan

pendapat tanpa dibatasi. Kedua, hak untuk

mencari, menerima dan memberikan informasi dan gagasan. Dan ketiga, jenis informasi dan gagasan yang dilindungi. Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang media, terbagi atas undang-undang tentang pers, penyiaran, cyber, dan perfilman. Masing-masing mengatur secara tersendiri tentang bagaimana mengimplementasikan isi media.

(60)

190

berpikir, yang pada gilirannya mampu bertindak memperbaiki hidupnya dari hari ke hari.135

Pengakuan terhadap kebebasan berekspresi menjadi kunci dalam pelaksanaan perlindungan hak tersebut. Substansi dasar “Everyone shall have the right to freedom of expression” menyiratkan bahwa pelaksanaan kebebasan berekspresi dapat dimuat dan diatur baik dalam konstitusi maupun di

dalam undang-undang tentang media.

Kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat melalui berbagai saluran yang tersedia, yang kemudian dijamin di dalam konstitusi dan

undang-undang, memberikan kesempatan kepada

masyarakat untuk memperoleh informasi. Tentang pengakuan atas kebebasan berekspresi dapat dilihat dalam tabel berikut:

135 Ana Nadhya Abrar, Analisis Pers: Teori dan Praktik. Cahaya Atma Pustaka;

Gambar

Tabel 3.1. P3 dan SPS
Tabel 3.2. Ketentuan tentang Isi dalam UU ITE
Tabel 3.3. Pengakuan Kebebasan Berekspresi sebagai Hak
Tabel 3.4. Lembaga Negara di Bidang Media
+6

Referensi

Dokumen terkait

a. Perasaan takut dalam kehidupan sehari-hari untuk menempatkan diri secara realistis. Cara menempatkan diri ini berbeda bagi setiap individu. Ada yang menghadapi

Hal diatas sejalan dengan yang diungkapkan oleh Pramudia (2006) dalam jurnal yang menyatakan bahwa, tujuan dari kegiatan orientasi peserta didik baru antara lain agar

Pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang turut ambil bagian dalam pembangunan bangsa sehingga, setiap lapisan masyarakat berhak menerima pendidikan yang

Bintarto (1983) mengartikan kota sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis,

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi akademik mahasiswa aktivis organisasi untuk setiap mata kuliah pada setiap semester ada yang

2.5.6 Cakupan Pelayanan Kesehatan Neonatus 0-28 hari (KN Lengkap) Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar paling sedikit tiga kali dengan

• SDS init dikarang untuk membantu pembeli, pemproses atau mana-mana pihak ketiga yang mengendalikan kimia yang disebutkan di dalam SDS; malahannya, ia tidak

DAFTAR HARGA BARANG BANGUNAN KABUPATEN KOTAMADYA (MEI 2016)..