• Tidak ada hasil yang ditemukan

Limitasi Kebebasan Berekspresi dalam Isi Media

Dalam dokumen T2 322009005 BAB III (Halaman 74-121)

Bagan 3.1. Konvensi, UUD, dan Undang-undang

4. Limitasi Kebebasan Berekspresi dalam Isi Media

4. Limitasi Kebebasan Berekspresi dalam Isi Media

Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi sebagai hak, maka pembatasan tersebut berhadap-

hadapan dengan konsepsi hak kebebasan

berekspresi sebagai derogable right dan inalienable right. Keterkaitannya menentukan bagaimana sebagai hak, kebebasan berekspresi diberikan

batasan yang memadai, sah dan tidak

mengintervensi terlalu jauh. Kebebasan sendiri memang bersifat asasi, namun tidak kemudian diartikan sebagai sebebas-bebasnya dalam artian yang deskriptif. Akan ada senantiasa pembatasan baik oleh kelemahan yang bersifat internal (psikis, moral) maupun oleh batasan yang bersifat eksternal seperti paksaan dan sejenisnya.141

Pada pembahasan di bab sebelumnya, dinyatakan bahwa kebebasan berekspresi memiliki batasan-batasan yang ditetapkan oleh hukum internasional. Batasan-batasan tersebut adalah batasan yang penting, baik oleh siapa batasan itu

141 Samsul Wahidin, Hukum Pers. Cet ke-1. Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2006.

205

dibuat, konsekuensi, dan landasan yang paling sah untuk menetapkan batasan tersebut. John Stuart Mill142 memandang penting hal ini, dengan

menyatakan bahwa “even opinions lose their

immunity when the circumstances in which they are expressed are such as to constitute their expression a positive instigation to some mischievous act”.

Pandangan tersebut bermaksud

mengemukakan tentang tindakan kekerasan dapat

muncul dengan dibiarkannya kebebasan

berekspresi diwujudkan tanpa batas, yang justru menimbulkan efek negatif. Oleh karena kovenan- kovenan telah diratifikasi di Indonesia, maka batasan yang ditetapkan oleh hukum internasional sudah sepantasnya menjadi acuan bagi peraturan perundang-undangan tentang media di Indonesia agar sejalan dengan hukum internasional. Dalam

perkembangan hak asasi manusia secara

internasional, hak asasi manusia bisa dibatasi secara hati-hati. Kovenan sendiri mengakui bahwa hak atas kebebasan berekspresi menerbitkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Pada masa lalu di Indonesia dikenal adanya frasa “bebas yang bertanggung jawab”, dimana frasa ini menjadi isu yang khas. Akan tetapi, pada masa itu pula,

142 John Stuart Mill memberikan kata kunci ‘instigation’ atau ‘penghasutan’ yang

tersirat dalam keadaan bebas berkata-kata, yang dapat mendorong timbulnya tindakan-tindakan kekerasan yang membahayakan jiwa.

Lihat: John Stuart Mill, On Liberty, Chapter III, On Individuality, As One of The Element of Well Being. 1859. (http://www.utilitarianism.com/ol/three.html).

206

pembatasan yang demikian bertolak belakang dengan kenyataan. Faktanya pada masa lalu, pengekangan terhadap kebebasan berekspresi cenderung represif. Berbagai upaya pengertian mengenai persoalan “bebas yang bertanggung jawab” diakomodasi dalam hukum internasional sebagaimana tercantum dalam ICCPR tadi. Rumusan mengenai “kewajiban dan tanggung jawab khusus”, diurai di dalam Article 19 ICCPR.143

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam melakukan pembatasan terhadap wujud-

wujud kebebasan berekspresi diantaranya

berhadap-hadapan dengan public order, public health, public moral, national security, public safety, dan rights and freedoms of others. Peraturan perundang-undangan tentang media kemudian harus memperhatikan hal-hal tersebut, bilamana aspek legalitas untuk melakukan pembatasan (prescribed by law) sebagai dasar, tanpa melukai makna kebebasan itu sendiri.

ICCPR yang telah berlaku di Indonesia sejak diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, memperkenankan pembatasan hak asasi dengan dilakukannya three part test.144

143 Dalam konteks yang lebih seimbang, kebebasan itu harus senantiasa dibarengi

dengan tanggung jawab, bahkan bila diperhadapkan pada kebebasan dalam arti sosial. Kebebasan dalam arti sosial tersebut, mengharuskan seseorang untuk melakukan tindakan dengan memperhatikan kebebasan orang lain yang juga mempunyai hal yang sama. Lihat Samsul Wahidin, op. cit. Hal. 56

144 Lihat Article 18 section 3 ICCPR yang naskah aslinya berbunyi: “Freedom to

207

Pertama, pembatasan harus dilakukan hanya melalui undang-undang. Kedua, pembatasan hanya diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah disebutkan dalam Article 19 section 3 ICCPR.

Ketiga, pembatasan tersebut benar-benar

diperlukan untuk menjamin dan melindungi tujuan yang sah tersebut. Dengan berpijak pada konsepsi tersebut, maka pembatasan terhadap kebebasan berekspresi (sebagai hak) tetap dapat dilakukan dengan prasyarat tertentu. Permasalahannya adalah bagaimana kerangka hukum nasional untuk memberikan batasan-batasan terhadap kebebasan berekspresi, tanpa menciderai konsepsi pembatasan sebagaimana ditentukan di dalam instrumen hukum internasional.

Tentang bentuk pembatasan ini, sebenarnya tiap-tiap negara dapat mengatur pembatasan dalam berbagai bentuk bidang hukum. Isi media yang dibatasi, dapat secara hukum diatur di bidang- bidang hukum yang berlaku di negara tersebut. ARTICLE 19 Organization, menyatakan berikut:

prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others.” Oleh UU No. 12/2005 diterjemahkan sebagai: “Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.” Pernyataan tersebut menentukan bahwa ada kewajiban pembatasan yang dilakukan dengan berdasarkan hukum.

208

Different States organize their laws in different ways, and content restrictions may be found in all sorts of laws, such as criminal, civil, administrative an so on. In principle, international law does note prescribe any particular type of law for content restrictions in the domestic legal system, although the first part of the first part of three-part test does require such restrictions to be

sufficiently accessible and clear.145

Negara-negara yang meratifikasi konvensi internasional tersebut, tidak dikekang untuk melakukan pembatasan dalam bentuk aturan tertentu yang khusus yang membatasi kebebasan berekspresi, namun diberikan kebebasan untuk mengatur. Maksudnya adalah bahwa negara melalui bidang-bidang hukumnya, yang tersebar dan berlaku di negara tersebut, memberikan batasan terhadap konten media. Baik hukum pidana, administrasi, dan bidang hukum lainnya, yang pada

pokoknya sebenarnya demi melegalisasi

pembatasan oleh negara.

Article 19 ICCPR memberikan gambaran tentang kewajiban negara untuk memberikan perlindungan terhadap pelaksanaan kebebasan bersekspresi bagi setiap warga negaranya. Kewajiban negara ini untuk menghormati hak asasi manusia (obligation to respect) yang mengacu pada tindakan negara untuk tidak mengintervensi

145 ARTICLE 19 dalam Asian Pocketbook on Freedom of Expression, op. cit. Hal.

117. Organisasi ini memberikan panduan bahwa three-past test harus dipenuhi sebagai bentuk perlindungan atas pembatasan itu sendiri agar tetap sah dan ditetapkan oleh negara, tanpa menciderai makna kebebasan berekspresi itu sendiri.

209

pelaksanaan hak asasi manusia. Di samping itu, negara harus melindungi hak asasi manusia (obligation to protect) yang menekankan pada tindakan-tindakan untuk menghadapi human rights abuse (pelanggaran hak asasi) yang dilakukan oleh pihak lain. Pemenuhan terhadap kewajiban- kewajiban tersebut adalah dengan menekankan adanya upaya-upaya positif negara melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang- undangan (legislated), pengadilan yang efektif, dan/atau aspek administratif yang dilakukan untuk memberikan jaminan terhadap implementasi atau perwujudan hak asasi manusia sampai pada tingkat yang paling konkrit. Inilah kewajiban negara untuk memenuhi yang disebut obligation of fulfil.

Tentang pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia, berdasar pada ketentuan dalam Article 19 ICCPR, dapat dilihat pada dua hal berikut.

a. Pembatasan berdasar ketentuan otentik

Secara otentik, setelah dilakukannya

ratifikasi, di dalam konstitusi Indonesia,

dicantumkan tentang bagaimana pembatasan harus dilakukan dan pembatasan itu adalah sah. Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi memang diperkenankan dengan syarat bahwa undang-undang mencantumkan secara tertulis, yang berarti ada landasan hukum yang jelas.

210

Sebagaimana temuat dalam Pasal 28J UUD

1945 Amandemen, yang pada pokoknya

menyatakan bahwa:

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,

setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Disamping pembatasan yang ditentukan secara otentik di dalam konstitusi, Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai payung hukum hak asasi manusia, memberikan pengaturan dalam beberapa pasal sebagai berikut:

Pasal 70

Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adli sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pasal 73

Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang- undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan

211

penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.

Jangkauan pembatasan ini merupakan ketentuan normatif yang berhubungan erat dengan tujuan pembatasan sebagaimana termuat dalam Article 19 section (3) ICCPR. Bahwa konvensi tersebutlah yang memberikan klausul pembatasan hak, yang sejatinya tidak hanya diterapkan secara umum, namun penerapannya diatur hak per hak. Konstitusi dan UU HAM memang memberikan batasan serupa dengan maksud dalam Article 19 section (3) ICCPR pada dua hal yang penting, yakni bahwa pembatasan hak dilakukan dengan ditetapkan melalui undang-undang,146 dan dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Dua ketentuan ini layak menjadi inspirasi bagi pembatasan-pembatasan terhadap isi media, yakni bahwa peraturan perundang-undangan harus mampu memberikan batasan yang tepat. Demikian dapat dilihat perbandingan pembatasan yang dilakukan oleh masing-masing ketentuan sebagaimana dalam tabel berikut:

212

Tabel 3.5. Perbandingan Pembatasan

ICCPR UUD 1945 UU No. 39/1999

ditetapkan oleh hukum/undang-undang dalam suatu masyarakat yang demokratis ketertiban umum, kesehatan publik, moral publik, keamanan nasional dan keamanan publik, hak dan kebebasan orang lain, hak atau reputasi orang lain, kepentingan kehidupan pribadi orang lain yang berkaitan dengan pembatasan terhadap pers dan publik pada pengadilan

pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum

pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, pertiumbangan moral, keamanan, ketertiban umum, kesusilaan dan kepentingan bangsa

Dasar perlindungan terhadap hak atas kebebasan berekspresi tidak melulu berada pada ruang lingkup perwujudan hak yang sebebas- bebasnya, namun juga membatasi implementasi hak yang dapat dianggap membahayakan. Terbukti bahwa secara otentik, masing-masing ketentuan yang menjadi acuan, memiliki kesamaan visi untuk memberikan ruang bagi adanya intervensi terhadap hak atas kebebasan

berekspresi. Klausul pembatas di dalam

ketentuan-ketentuan di atas ditujukan pada pembatasan yang berbasiskan pada dua hal yang

213

sama, yakni bahwa secara normatif, pembatasan harus ditetapkan oleh hukum atau undang- undang, dan pembatasan itu dimungkinkan di adakan pada suatu lingkungan masyarakat yang demokratis.

Perbedaan konsepsi hanya terletak pada

jangkauan pemahaman terhadap makna

kepentingan lain yang bersinggungan terhadap hak. Cakupan terhadap kepentingan lain ini mengarah pada eksistensi hak dan juga kepentingan umum yang berhadap-hadapan

dengan hak atas kebebasan berekspresi.

Permasalahannya adalah bagaimana peraturan

perundang-undangan mampu

mengimplementasikan apa yang sudah tertuang dalam konsep pembatasan yang diatur di dalam ICCPR, UUD 1945 dan UU HAM.

Materi muatan di dalam undang-undang yang teknis kemudian harus menyesuaikan dengan yang diatur oleh konvensi dan norma dasarnya. Hal ini secara sederhana dapat dilihat di masing- masing asas yang tercantum di masing-masing undang-undang. Di dalam tabel berikut dapat dilihat asas-asas yang mendasari peraturan:

214

Tabel 3.6. Asas dalam Undang-Undang Media UU Pers Pasal 2 dan 3

Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip- prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

UU

Penyiaran Pasal 2 Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.

UU ITE Pasal 3

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.

UU

Perfilman Pasal 5 Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.

Asas-asas yang menjadi dasar di peraturan perundang-undangan tersebut, secara prinsip memberikan pembatasan yang tersirat. Bahwa kebebasan berekspresi dapat dilakukan dengan tetap melakukan penghormatan terhadap nilai- nilai yang ada di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga masyarakat menjadi subyek yang mengontrol terhadap kebebasan berekspresi.

215

Asas tersebut berfungsi memberikan koridor terhadap ruang kebebasan berekspresi yang hendak diwujudkan dalam isi media. Terhadap isi pula, asas-asas ini adalah inspirasi, sehingga menunjukkan bagaimana peraturan perundang- undangan menyerap prinsip-prinsip universal yang disediakan oleh konvensi-konvensi internasional. Keberadaan asas-asas ini di dalam undang- undang menjadi prinsip pembatasan pertama yang dapat dilihat. Implementasi dari maksud dalam frasa “…to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers..” menjadi inspirasi bahwa kebebasan berekspresi yang terdapat pada peraturan perundang-undangan tentang media, sejalan dengan maksud dari konvensi. Indikasinya dari cakupan asas-asas yang dimuat dan menjadi

dasar pengembangan wujud kebebasan

berekspresi di dalam undang-undang.

Pembatasan yang dapat dilihat melalui asas, dapat diketahui dimana pers dan kemerdekaannya dibatasi oleh koridor prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum serta ada kewajibannya menjadi kontrol sosial. Penyiaran secara prinsip dibatasi oleh keamanan, etika dan tanggung jawab. ITE juga dibatasi oleh kehati-hatian dan itikad baik serta perfilman yang harus menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan dan budaya bangsa.

216

Selain dari asas, terdapat batasan otentik yang lain ada pada pasal-pasal yang termuat di

masing undang-undang tentang media.

Maksudnya adalah bahwa isi media itu sendiri, secara implementatif, diberikan batasan oleh undang-undang. Baik berdasarkan pengertiannya maupun berdasarkan muatan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan.

Sekali lagi bahwa sebagai isi, maka berita atau informasi, siaran, internet dan film, menjadi komoditas dalam dunia bisnis yang tidak boleh dikembangkan secara luas tanpa ada batasan pengertian masing-masingnya. Segala saluran yang tersedia tidak diperkenankan menjadi sarana bagi isi media yang di luar batas. Pemaknaan terhadap isi media, adalah penting. Pada titik ini, makna ‘prescribed by law’ ditempatkan sebagai prinsip yang mendasari bahwa secara otentik, pembatasan harus jelas dan dapat dipahami.147 Dengan demikian, pembatasan tersebut maknanya juga harus jelas dan memiliki alasan yang sesuai.

Menarik ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Pers, yang menyatakan bahwa terhadap pers

nasional tidak dikenakan penyensoran,

pembredelan atau pelarangan penyiaran.

147 Untuk ‘prescribed by law’ sebagai prinsip dalam konvensi baik UDHR dan

ICCPR dapat dikembangkan secara luas dalam beberapa softlaw seperti yang termuat dalam Siracausa Principle. Tentang ‘prescribed by law’ ada beberapa hal yang diperjelas, yakni bahwa pembatasan dapat dilakukan dengan membentuk undang-undang yang konsisten dengan substansi konvensi (yang telah diratifikasi), dan dapat diterapkan pembatasan itu ketika undang-undang berlaku.

217

Ketentuan ini merupakan hal yang berbeda dengan undang-undang yang lain, dimana batasan menjadi hilang, oleh karena demi tujuan kemerdekaan pers, pada sisi isi pers, dibebaskan dari larangan-larangan. Dengan demikian, pers ini diberikan ruang yang sebebas-bebasnya agar pers secara positif dikembangkan oleh para pelakunya. Kebebasan itu juga dimaksudkan agar peristiwa- peristiwa pers pada masa lalu, yang terkait dengan penyensoran yang ketat, pembredelan dan larangan-larangan tidak terjadi lagi.

Pada Pasal 35 UU Penyiaran dinyatakan bahwa isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah siaran, yang sebagaimana sudah tercantum pada pasal-pasal sebelumnya. Pasal ini mengindikasikan bahwa isi siaran harus berada di ruang atau koridor undang-undang yang

memberikan jaminan terhadap kebebasan

berekspresi di bidang penyiaran. Isi siaran juga wajib mengandung substansi-substansi yang diperkenankan dalam Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2002. Diantaranya adalah kewajiban bagi isi siaran yang harus mengandung informasi, pendidikan, hiburan dan manfaat. Di sisi lain harus wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, serta isi siaran bersifat netral. Isi siaran sendiri harus memiliki hak siar sebelum disebarluaskan melalui media penyiaran yang tersedia. Hak siar sendiri

218

masih menjadi problematika bagi pelaksanaan perwujudan kebebasan berekspresi.

Berbeda dengan cara atau metode teknis yang dimuat di dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang memberikan batasan dengan mencantumkan larangan. Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2009 sendiri mencantumkan larangan-larangan pada substansi isi film yang bersifat negatif, yakni hal-hal yang dapat menstimulasi khalayak untuk melakukan perbuatan-perbuatan negatif dan mengancam diri sendiri serta orang lain. Sementara dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, pada Bab VII diatur tentang larangan-larangan terhadap muatan- muatan dalam informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat merugikan.

Di bidang perfilman sendiri, penyensoran film dan reklame film dilakukan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan/atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia.

Penyensoran dimaksudkan untuk mencegah agar film dan reklame film tidak mendorong khalayak untuk:

a. bersimpati terhadap ideologi yang

bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;

219

b. melakukan perbuatan-perbuatan tercela

dan hal-hal yang bersifat amoral;

c. melakukan perbuatan-perbuatan yang

bertentangan dengan ketertiban umum

dan perbuatan-perbuatan melawan

hukum lainnya; atau

d. bersimpati terhadap sikap-sikap anti

Tuhan dan anti agama, serta melakukan penghinaan terhadap salah satu agama yang dapat merusak kerukunan hidup antar-umat beragama.

Penyensoran dimaksudkan pula sebagai sarana pemelihara tata nilai dan budaya bangsa agar dapat terjaga dan berkembang sesuai dengan kepribadian nasional Indonesia, mengingat melalui film dan reklame film dapat masuk pengaruh- pengaruh budaya dan nilai-nilai negatif.

Demikian diatur oleh negara, namun seharusnya tetap menyesuaikan dengan konsepsi tentang three-part test sebagaimana ditetapkan dalam Article 19 Section (3) ICCPR yang menjadi acuan dalam memberikan batasan.

b. Pembatasan oleh karena Eksistensi Hak Lain

Pembatasan demi tujuan untuk melindungi kepentingan umum menjadi landasan bagi pemerintah untuk membatasi praktek-praktek

220

kebebasan berekspresi. Sementara berbagai putusan dan keputusan yang dikeluarkan oleh institusi internasional semacam International Commission of Human Rights (ICHR) dan European Commission of Human Rights (ECHR), memberikan dasar penjelasan bahwa pembatasan harus didasarkan pada dua hal, yakni tuduhan-tuduhan yang konkrit tentang bagaimana pelaksanaan kebebasan berekspresi si tertuduh (subyek) mengancam kepentingan umum, dan bahwa pembatasan tersebut diperlukan untuk melindungi kepentingan umum.

Meskipun hukum kemudian menyatakan bahwa kepentingan umum bisa terganggu, namun hukum diadakan untuk mengantisipasi keadaan- keadaan yang secara efektif dapat mengancam atau menyerang ketertiban umum. Kewajiban untuk tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip equality dan non-diskriminasi harus dilakukan oleh Pemerintah, khususnya dalam upaya melakukan pembatasan yang sesuai dengan ruang lingkup seperti dimengerti bersama dalam hukum internasional.

Pembatasan memang layak dilakukan dengan sejumlah prasyarat, yang kemudian secara teknis dirinci dalam sejumlah prinsip hak asasi manusia. Secara normatif kemudian pembatasan harus diatur di dalam peraturan perundang-undangan

221

sebagaimana prinsip yang dianut semenjak diratifikasinya konvensi hak asasi manusia.

Pembatasan melalui larangan-larangan

tersebut di dalam peraturan perundang-undangan media, menyiratkan kepentingan lain yang harus diperhatikan. Article 19 Section 3 ICCPR menyatakan bahwa:

The exercise of the rights provided for in

paragraph 2148 of this article carries with it

special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary:

(a) For respect of the rights or reputations of

others;

(b) For the protection of national security or of

public order (ordre public), or of public health or morals.

Dalam pernyataan tersebut ada situasi dimana kebebasan berekspresi berhadap-hadapan dengan hak lain yang eksis. Bahwa kebebasan

berekspresi berhadapan dengan ‘rigths or

reputations of others’ dan ‘national security or of public order (ordre public), or of public health or morals’.149 Pembatasan dalam Article 19 Section 3

148 Article 19 Section 2 berbunyi: Everyone shall have the right to freedom of

expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing

Dalam dokumen T2 322009005 BAB III (Halaman 74-121)

Dokumen terkait