• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur dalam Jaminan Hukum terhadap Kebebasan Berekspres

Dalam dokumen T2 322009005 BAB III (Halaman 66-74)

Bagan 3.1. Konvensi, UUD, dan Undang-undang

3. Struktur dalam Jaminan Hukum terhadap Kebebasan Berekspres

Dibentuknya peraturan perundang-undangan tentang media, mempunyai implikasi yuridis yang berakibat pada pembentukan struktur di dalam bidang yang diatur. Struktur di bidang media muncul beriringan dengan situasi dan kondisi yang hendak dibentuk oleh negara. Pentingnya struktur ini dimaksudkan terutama untuk memberikan kontrol terhadap substansi media yang makin

berkembang seiring dengan perkembangan

teknologi media. Struktur berkaitan dengan keberadaan perangkat lembaga serta aparat yang memiliki tugas dan wewenang tertentu.

Isi media yang menjadi kunci dalam implementasi kebebasan berekspresi, perlu diawasi oleh negara, sebagai pelindung hak. Mekanisme pengawasan dapat dilakukan dengan metode

197

preventif maupun represif. Metode-metode tersebut digunakan dengan menghadirkan lembaga tertentu yang dapat menjadi representasi negara untuk melaksanakan perlindungan hukum atas hak.

Masing-masing undang-undang pula,

membentuk lembaganya sendiri (sesuai bidang media) untuk sekaligus juga menjadi lembaga terdepan dalam menjamin perlindungan. Lembaga- lembaga ini dibentuk oleh undang-undang dengan maksud agar negara dapat dihadirkan secara fisik, yang secara etis dan norma memiliki kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap isi media. Berikut lembaga-lembaga dimaksud:

Tabel 3.4. Lembaga Negara di Bidang Media Lembaga Tugas pokok terkait isi media Dewan

Pers Dibentuk berdasarkan Pasal 15 UU Pers, yang pada pokoknya dimaksudkan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, yang bersifat independen.

Salah satu fungsi penting lembaga ini adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Komisi Penyiaran Indonesia

Dibentuk berdasarkan Pasal 7 UU Penyiaran, sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Dalam wewenangnya, KPI dapat menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran sekaligus menjadi pengawas yang dapat memberikan sanksi pula terhadap para

198

Lembaga Sensor Film

Dibentuk berdasarkan Pasal 57-58 UU Perfilman. Lembaga ini bersifat tetap dan lembaga independen yang bertugas untuk melakukan penyensoran terhadap film

berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film

(vide Pasal 6 dan Pasal 7).

Pembentukan lembaga-lembaga khusus

tersebut mengindikasikan bahwa negara perlu memberikan pengawasan langsung secara mandiri, yang melibatkan peran serta subyek-subyek yang memiliki keahlian. Kompetensi lembaga menjadi penting karena obyek yang hendak diawasi adalah produk-produk media yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi khalayak.

Berbeda dengan UU ITE yang tidak membentuk lembaga apapun dalam memberikan pengawasan terhadap konten-konten ITE. Oleh karena bilamana terjadi pelanggaran terhadap ketentuan di dalam UU ITE, maka dapat dilakukan gugatan perdata atau tuntutan pidana yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lembaga-lembaga ini memiliki kesamaan tugas dan wewenang, yakni memberikan penilaian terhadap isi media. Tugas dan wewenang dilaksanakan dengan membentuk peraturan- peraturan teknis (yakni peraturan organik) yang memberikan ukuran-ukuran bagaimana isi media dapat ditampilkan dan disebarluaskan. Disamping itu, lembaga-lembaga ini dimunculkan oleh

199

peraturan perundang-undangan oleh karena alasan bahwa demi menjauhkan intervensi negara dalam aktivitas media (pers, penyiaran, internet) yang terlalu dalam, sehingga menciderai makna kebebasan itu sendiri. Pelibatan unsur masyarakat dan para ahli dalam lembaga ini dilakukan demi menjaga arus informasi yang terbuka dan tepat sasaran. Lembaga ini juga berperan sebagai self regulatory body untuk mengatur secara teknis perihal aktivitas di dunia media.

KPI misalnya, di dunia penyiaran Indonesia, berperan utama untuk menjamin perlindungan isi dari materi siaran yang berdasarkan prinsip diversity of content dengan: membuat peraturan penyiaran untuk menjamin kebebasan publik untuk menggunakan media, seperti yang terdapat pada Pasal 23 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik

dengan memperhatikan nilai-nilai agama,

kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

Disamping itu KPI juga mendukung

kebebasan dan kemerdekaan pers yang

bertanggung jawab, sesuai dengan Pasal 6 UU No.

40/1999 tentang Pers, yakni diantaranya

200

menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan. Bahkan dalam kontek yang lebih jauh, KPI juga harus mampu menjamin kebebasan berkarya dengan tetap berpegang teguh pada nilai – nilai dan norma, serta budaya yang berkembang di Indonesia, sesuai dengan Pasal 3 UU No. 8/1992 tentang Perfilman139.

Melalui UU No. 40/1999 dibentuklah lembaga yang disebut dengan Dewan Pers, yang memiliki fungsi dan tugas untuk menetapkan standar- standar tertentu bagi ‘rasa’ profesionalitas para insan pers. Dewan Pers menyusun sistem kerja berupa: (1) Kode Praktik bagi Media Pers, yang dimaksudkan sebagai upaya pengakuan kebebasan pers dengan fungsi menjamin berlakunya etika pers dan standar jurnalistik profesional serta media yang bertanggung jawab; (2) Standar Operasional, yang difungsikan sebagai landasan dalam memberikan

penilaian dan rekomendasi menyangkut

pelanggaran kode etik, penyalahgunaan profesi, dan kebebasan pers; dan (3) Etika Bisnis Pers, yang menekankan bahwa kebebasan pers sebagai institusi bisnis harus mengutamakan kepentingan publik, menghormati kode etik profesi, kejujuran

139 Pada saat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan,

masih berlaku Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang masih berlaku, sehingga KPI bertindak juga berdasarkan nilai-nilai dan asas-asas yang diatur di undang-undang tersebut.

201

dan keadilan; mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan institusi dan perorangan, setia kepada profesi dan bidang tugasnya; serta

mengutamakan supremasi hukum.140

Dewan Pers dalam hubungan dengan isi media (khususnya media pers), menekankan pada hal-hal yang harus dilakukan oleh pembuat berita pers, bukan kepada muatan yang hendak ditampilkan. Bahwa kemudian yang dilindungi adalah kebebasan pers, Dewan Pers tidak serta merta turut campur memberikan batasan-batasan tentang isi pers. Berbeda dengan KPI yang membentuk standar-standar tentang isi program, Dewan Pers lebih kepada mengarahkan pelaku- pelaku pers untuk membuat berita yang bertanggungjawab. Yakni berita yang dibuat dengan etika dan standar jurnalistik para pelakunya. Hal ini juga menjadi masalah tersendiri karena Dewan Pers seharusnya mampu memfasilitasi dan mengatur distribusi media dan kesesuaian dengan segmen yang dituju sehingga mereka yang menjadi sasaran berita atau konsumen pers tidak mendapatkan dirinya sebagai korban.

Sementara itu, undang-undang perfilman memberikan wewenang kepada LSF untuk memotong atau menghapus bagian gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan

140 Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika: Peran Bahasa, Bisnis, dan

Politik di Era Mondial. PT. Kompas Media Nusantara; Jakarta, 2009. Hal. 100.

202

reklame film yang tidak layak untuk dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum ditiadakan karena dalam undang-undang yang baru pelaku usaha perfilman melakukan self sensor. LSF kemudian mengembalikan film yang mengandung tema, gambar adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki. Diantara eksistensi lembaga, yakni Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia dan Lembaga Sensor Film, hanya LSF yang memiliki jangkauan kewenangan yang dapat mengatur sampai ke dalam substansi isi media yang hendak disebarkan.

LSF berwenang berdasarkan undang-undang, mengawasi isi film semenjak film tersebut hendak

diproduksi sampai dengan film tersebut

disebarluaskan. LSF juga memiliki kewenangan untuk menerbitkan surat tanda lulus sensor, yang menjadi bentuk legalitas bahwa sebuah hasil dari produksi film dapat diedarkan dan disebarluaskan di Indonesia. Hanya saja pelaksanaan penyensoran ini berdasarkan prinsip dialog yang dimaksudkan agar LSF tidak ikut campur terlalu jauh dalam sebuah produksi film, khususnya dalam hal isi.

Sebagai bagian dari struktur, lembaga- lembaga ini dimungkinkan untuk bertemu dalam satu waktu. Pertemuan kewenangan tersebut berada pada ranah publik (public sphere) yang

203

menyediakan fasilitas bagi masing-masing lembaga menunjukkan eksistensinya dalam mengatur isi media. Ranah publik menjadikan isi media menjadi bahan utama bagi Dewan Pers, KPI dan LSF untuk menyatakan bahwa isi media telah diawasi dan disebarluaskan dengan standar tertentu.

Persinggungan yang terkait dengan kinerja lembaga-lembaga tersebut, yang disebabkan oleh saluran dan/atau sarana media yang digunakan untuk menyebarluaskan isi, adalah sarana yang sama. LSF dan KPI menerbitkan Memo Bersama Nomor 03/NK/KPI/X/2012 atau 2273/LSF/X/2012 yang mengatur tentang Penyensoran dan Kewajiban Pencantuman Klasifikasi Usia Penonton Film di Layar Televisi, yang salah satu klausulnya menyatakan bahwa KPI dan LSF menegaskan pemberlakuan ketentuan dan syarat bagi lembaga penyiaran televisi bahwa isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan film bagi jasa penyiaran televisi, sebagaimana ditetapkan peraturan perundang- undangan, wajib memperoleh tanda lulus sensor dari LSF.

Disamping itu, KPI dan Dewan Pers juga senantiasa bersinggungan dengan masalah isi siaran yang seringkali melibatkan hasil dari kegiatan jurnalistik, yang dilakukan oleh jurnalis (wartawan), kemudian disiarkan melalui lembaga- lembaga penyiaran. Dua lembaga ini secara bersama-sama melakukan pengawasan agar isi

204

siaran, tunduk pada ketentuan pada UU Pers dan UU Penyiaran yang mengakomodasi kepentingan yang sama di bidang media, terutama dalam hal produk jurnalistik yang disebarluaskan melalui

Dalam dokumen T2 322009005 BAB III (Halaman 66-74)

Dokumen terkait