Bagan 3.1. Konvensi, UUD, dan Undang-undang
1. Harmonisasi Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan dengan Konvensi dan
Konstitusi
Indonesia telah meratifikasi UDHR dan ICCPR, sehingga harus memenuhi kewajiban untuk menyerap dan melaksanakan prinsip- prinsip konvensi. Freedom of the expression dan prinsip-prinsipnya harus pula menjadi perhatian
dalam konteks harmonisasi. Kebebasan
berekspresi di dalam konvensi dapat dilihat dari dua perspektif yakni: hak untuk mengakses, menerima dan menyebarkan informasi, dan hak untuk mengekspresikan diri melalui media apapun.171 Jadi di dalam konvensi setidaknya ada empat hal utama: pengakuan terhadap hak atas
252
kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia, kebebasan memperoleh informasi dan/atau menyebarkan informasi, dan mengaktualisasikan diri (berekspresi) melalui media apapun, serta pembatasan terhadap implementasi hak atas kebebasan berekspresi.
Bahwa kemudian terdapat kewajiban negara
pihak (yang menandatangani dan/atau
meratifikasi konvensi) harus memberikan jaminan terhadap hak atas kebebasan berekspresi, maka perlu dicermati bagaimana peraturan perundang- undangan memuat prinsip-prinsip. Undang- undang harus menjamin hak seseorang untuk memuat apa saja, melalui media apapun. Hal ini dipahami dengan hak untuk berekspresi apapun bentuknya (visual, audio, dan lain sebagainya), melalui media apapun. Media dalam konteks ini adalah media pers (baik cetak maupun elektronik), media siar, internet dan film.
Disamping itu, undang-undang harus
memberikan batasan atas implementasi hak kebebasan berekspresi, terkait dengan ruang lingkup hak tersebut. Pembatasan ini penting
dengan maksud memberikan margin of
appreciation to human rights atau tanggung jawab khusus untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. Oleh karena itu, konvensi mendorong dua kepentingan: formil dan materiil untuk memberikan landasan terhadap
253
implementasi perlindungan sekaligus pembatasan hak. Harmonisasi yang menekankan pada proses untuk menuju harmoni, dimaksudkan untuk menyelaraskan hal-hal yang bertentangan secara proporsional agar membentuk suatu sistem. Di bidang hukum atau peraturan perundang-
undangan, harmonisasi dimaksudkan agar
peraturan perundang-undangan menjadi bagian integral dari hukum suatu negara, peraturan perundang-undangan dapat saling terkait satu dengan yang lainnya secara utuh. Secara substansial pula, muatan masing-masing undang- undang, harus memiliki kandungan makna yang sama bilamana mengatur sesuatu tertentu. Oleh karena itu, Indonesia yang telah meratifikasi konvensi, juga memiliki kewajiban untuk mengatur hak asasi dalam kerangka makna yang sama, baik berbentuk konstitusi, undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur hak.
Tugas dari pemerintah negara pihak, termasuk Indonesia, melaksanakan hal-hal utama, yakni memberikan pengakuan yang sama sebagaimana konvensi mengakui hak atas kebebasan berekspresi. Negara pihak juga harus memberikan jaminan kebebasan berekspresi warga negaranya, sekaligus juga mengatur ruang lingkup kebebasan berekspresi. Semua hal tersebut harus taat prinsip konvensi, sehingga kunci dari
254
harmonisasi dari pengaturan kebebasan
bereskpresi di dalam peraturan perundang- undangan nasional adalah kesepahaman makna prinsip-prinsip konvensi dalam implementasinya di peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka di dalam konvensi dapat diketahui ada tiga pokok substansi utama yang seharusnya dipenuhi oleh negara pihak. Pertama, substansi yang berkaitan
dengan pengakuan terhadap kebebasan
berekspresi sebagai hak asasi. Kedua, ruang lingkup atau jangkauan implementasi atau perwujudan hak kebebasan berekspresi secara yuridis. Ketiga, mekanisme yuridis yang berkaitan
dengan pembatasan-pembatasan atas hak
kebebasan berekspresi. Ketiganya ini bertolak dari
kewajiban umum negara pihak untuk
melaksanakan hal-hal yang ditetapkan konvensi. Di dalam kerangka harmonisasi, substansi konvensi yang berkaitan dengan perwujudan kebebasan berekspresi, menjadi sumber yang untuk melihat apakah keberadaan isi media yang diatur sesuai. Pada aras pertama adalah
bagaimana peraturan perundang-undangan
memberikan pengakuan terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Norma dasarnya, yakni UUD 1945 pada Pasal 28F telah menyatakan dengan tegas bahwa ada jaminan sekaligus pengakuan bahwa kebebasan berekspresi adalah
255
hak asasi yang harus dilindungi. Pasal ini menjadi rujukan utama untuk mengimplementasikan wujud kebebasan berekspresi. Dengan dimuat di dalam konstitusi, maka ada letak dasar pembentukan sistem hukum terhadap kebebasan berekspresi. Pemenuhan kewajiban terhadap konvensi, juga terwujud dengan adanya Pasal 28F UUD 1945, dalam dua hal: kewajiban umum sebagai negara pihak dan kewajiban substansial untuk memuat materi prinsip konvensi.
Dengan demikian, prinsip kebebasan
berekspresi menjadi kunci yang substansial pada upaya harmonisasi hukum media, khususnya pada konteks isi media. Baik di dalam norma dasar maupun pada tingkatan undang-undang
yang dibentuk berdasarkan konstitusi.
Harmonisasi adalah kata kunci mengetahui maksud dari undang-undang yang dibentuk oleh karena perintah dari konstitusi. Maka, peraturan perundang-undangan tentang media, yakni pers, penyiaran, internet dan perfilman, harus merupakan peraturan perundang-undangan yang
mengimplementasikan substansi konstitusi.
Harmonisasi dengan konstitusi adalah penting, yakni peraturan perundang-undangan menjadi bagian integral dari sistem hukum. UUD 1945 merupakan hukum dasar peraturan perundang- undangan. UUD 1945 yang memuat hukum dasar negara adalah sumber hukum bagi pembentukan
256
peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang dasar. Artinya konstitusi menjadi landasan normatif yang paling fundamental bagi pembentukan peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan merupakan bagian yang integral dari suatu sistem hukum, dimana harus memenuhi ciri-ciri yang sama antara undang-undang yang satu dengan undang- undang yang lain. Selain itu, harus terdapat saling keterkaitan dan saling ketergantungan yang menjadi kebulatan utuh. Muatan kebebasan berekspresi kemudian menjadi pertimbangan, apakah secara vertikal, maupun secara horizontal, harmonisasi dapat ditemui dalam pembentukan sistem hukum media. Melalui keempat undang- undang yang merujuk pada Pasal 28 UUD 1945 Amandemen, layak dilihat bagaimana kebebasan berekspresi diterjemahkan sebagai hak asasi dengan karakter yang serupa.
Bertolak dari hal tersebut, UUD 1945 telah memasukkan muatan konvensi, yakni tentang konsep pengakuan terhadap freedom of expression di dalam Pasal 28 yang menjamin bahwa seseorang dapat mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang. Ditambah dengan
substansi Pasal 28F yang lebih spesifik menunjukkan ada ruang bebas untuk berekspresi, sebagaimana diakui konvensi, yakni bahwa setiap
257
orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Karena menjadi norma dasar, maka munculnya UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman adalah karena keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 ini.
Baik UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman, secara lugas maupun tidak, menjadikan kebebasan berekspresi sebagai substansi yang tidak dapat diterjemahkan dalam satu tolakan.
Masing-masing undang-undang mewujudkan
kebebasan berekspresi di ketentuannya masing- masing tentang isi media. Meskipun demikian, ada maksud untuk memberikan pemahaman yang setara dalam hal mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi dengan bertanggung jawab. Undang- undang menciptakan perlindungan sekaligus memberikan batasan yang dimungkinkan bagi perwujudan kebebasan berekspresi tersebut.
258