• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (Halaman 30-39)

Karakteristik Lingkungan Perairan

Aspek ekologi suatu lokasi merupakan faktor terpenting, dalam menentukan keberhasilan usaha budidaya. Parameter ekologis yang perlu diperhatikan antara lain, keterlindungan, arus, kondisi dasar perairan, kedalaman, salinitas, kecerahan, suhu, DO, pH, nitrat, fosfat (Akmal et al. 2008). Karakteristik parameter ekologis yang terdapat di wilayah perairan lokasi penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut :

Keterlindungan

Secara umum lokasi pengambilan sampel merupakan wilayah yang tidak sesuai untuk pengembangan kegiatan budidaya rumput laut, jika ditinjau dari kriteria keterlindungan lokasi. Hal ini disebabkan 50% lokasi mengindikasikan tidak sesuai, sementara 12,5 % sesuai dan 37,5% lokasi yang sangat sesuai. Dengan demikian maka ada 153,85 Ha kawasan perairan yang dapat dikembangkan kegiatan budidaya rumput laut berdasarkan parameter keterlindungan. Akmal (2009) menjelaskan bahwa untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya dan rumput laut, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari pengaruh angin dan gelombang yang besar. Lokasi yang terlindung biasanya di perairan teluk atau perairan yang terlindung atau terhalang oleh pulau hingga memberikan keleluasan bagi rumput laut budiaya untuk berkembang baik. Arus

Laju kecepatan arus yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan pada 16 titik sampling menunjukkan kisaran antara 0,01 – 0,12 cm/detik dengan nilai rata-rata 0.06 cm/detik. Berdasarakan hasil analisis peta tematik didapatkan bahwa dari 16 lokasi pengukuran terdapat 81,25% yang tidak sesuai, dan 18,25 % yang sesuai dengan laju kecepatan arus bagi pertumbuhan rumput laut. Rence (2014) dalam

penelitian di perairan Desa Tafaga Kecamatan Moti menyatakana bahwa hasil pengukuran kecepatan arus di lokasi budidaya K. alvarezii berkisar antara 0,22-0,25 m/detik. Sementara Akmal et al (2008) menyatakan bahwa Laju kecepatan arus yang baik untuk kegiatan budidaya rumput laut berkisar antara 20 - 40 cm/detik. Restiana et al.(2007) menambahkan bahwa kecepatan arus ini bertujuan agar rumput laut dapat dibersihkan dari kotoran dan suplai nutrien dapat berjalan dengan baik.

Dasar Perairan

Hasil pengukuran substrat perairan diperoleh 7 lokasi dasar perairan yang memiliki substrat berkarang, 6 lokasi dasar perairan berpasir dan 3 lokasi dasar perairan berlumpur. Sementara hasil analisis peta tematik didapatkan bahwa 37,5% memiliki tipe substrat yang sangat sesuai, dan 37,5% memiliki tipe substrat yang sesuai sedangkan yang tidak sesuai terdapat 25%. Maka terdapat luasan 230,78 ha yang dapat menopang pertumbuhan rumput laut di wilayah perairan Pulau Moti yang didasarkan pada aspek dasar perairan. Akmal et al., (2008) juga menambahkan bahwa dasar perairan yang sesuai untuk pertumbuhan rumput laut adalah berupa pecahan-pecahan karang dan pasir kasar. Perairan yang ditumbuhi rumput laut biasanya merupakan daerah subur, karena sedimennya terdiri atas partikel-partikel pasir dengan material detritus. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan indikator adanya gerakan air yang baik.

Kedalaman

Berdasarkan hasil pengukuran dilapangan terhadap kedalaman perairan pada ke 16 lokasi sampling memperlihatkan adanya keberagaman kedalaman di perairan pulau Moti. Kedalaman perairan di Pulau Moti memiliki kisaran antara 1,50 - 55 m pada pasang tertinggi dengan nilai rata-rata 16.33 m. Hasil analisis peta tematik terhadap aspek kedalaman perairan terdapat 50% yang tidak sesuai dengan kedalaman berkisar antara <1 m dan > 40 m. Sementara 18,75% yang sesuai, Sedangkan 31,25% dengan kedalaman berkisar antara 1-3 m dan

>15 - 40 sangat sesuai dengan kedalaman yang berkisar antara 3 - 15 m. Dari hasil analisis terhadap aspek kedalaman di atas, maka 50% wilayah atau 153,85 ha perairan Pulau Moti layak untuk dikembangkan kegiatan budidaya rumput laut. Akmal et al. (2008) menambahkan bahwa kedalaman perairan merupakan salah satu indikator berhasil tidaknya kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan. Faktor kedalaman perairan ini bertujuan untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.

Salinitas

Kisaran salinitas yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran yaitu 35,30-36,00 ppt dengan nilai rata-rata 35.73 ppt. Evaluasi kandungan salinitas secara keseluruhan di lokasi penelitian tidak sesuai untuk kegiatan budidaya rumput laut. Tingginya kandungan salinits dilokasi penelitian disebabkan oleh tipe perairan Pulau Moti yang cenderung terbuka sehingga suplai massa air dari laut Halmahera dan Maluku cukup tinggi. Selain itu, pergerakkan arus yang lemah menyebabkan tingginya salinitas. Dahuri dkk, (2003) menyatakan bahwa rumput laut memiliki toleransi terhadap salinitas yang berbeda-beda, namun sebagian memiliki kisaran yang lebar terhadap salinitas yaitu antara 10‰ - 40‰, Interaksi ini menunjukkan bahwa spesies yang mempunyai toleransi lebih rendah dari salinitas normal pada temperatur yang rendah tidak mampu mempertahankan hidupnya pada salinitas yang sama dalam kondisi temperatur yang lebih tinggi

Kecerahan

Hasil analisis kesesuaian lahan berdasarkan peta tematik maka peroleh 43,75% tidak sesuai, dan 18,75% dalam kategori sesuai. Sementara 37,5% kategori sangat sesuai. Dengan demikian maka ada 173,08 Ha kawasan perairan yang dapat dikembangkan kegiatan budidaya rumput laut berdasarkan parameter kecerahan. Dahuri dkk., (2003) menyatakan bahwa kebutuhan rumput laut akan intensitas cahaya yang tinggi untuk membantu proses fotosintesis. Tingginya aktivitas yang

terjadi pada suatu perairan akan meningkatkan muatan sedimentasi, hal ini dapat mengganggu produktivitas primer dari ekosistem rumput laut. Suhu

Berdasarkan pengukuran di lapangan, suhu yang terdapat pada perairan lokasi penelitian yaitu 27,76 - 29,21˚C, dengan nilai rata-rata 28.34 ˚C sedangkan hasil perbandingan dengan nilai optimum yang terdapat dalam matriks kesesuain lahan budidaya rumput laut ialah 24 - 30˚C. Hal ini berarti bahwa seluruh lokasi penelitian bisa dijadikan sebagai tempat budidaya rumput laut. DKP (2002) dan Romimitartho (2002) menyatakan bahwa suhu yang berkisar antara 24 – 30˚C merupakan kisaran suhu yang sangat sesuai dengan nilai yang diisyaratkan untuk kegiatan budidaya rumput laut.

Oksogin Terlarut (DO)

Hasil pengukuran kandungan oksigen di perairan Pulau Moti diperoleh 37,5 % dalam kategori sangat sesuai. Sementara 25% menyatakan sesuai dan 37,5% dinyatakan tidak sesuai. Dengan demikian ada 10 titik penelitian atau 192,31 ha perairan Pulau Moti yang dapat dijadikan sebagai lahan budidaya rumput laut. Kadar oksigen terlarut yang terdapat pada wilayah perairan lokasi penelitian secara keseluruhan memenuhi persyaratan yang layak untuk kegiatan budidaya rumput laut karena kandungan oksigen terlarut pada semua titik pengukuran berkisar antara 10,11 – 15,03 mg/l dengan nilai rata-rata 12.22 mg/l serta sesuai dengan kriteria yang ditentukan berdasarkan matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut. Dimana kandungan oksigen yang memiliki nilai oksigen terlarut > 6, maka kondisi ini sangat sesuai dengan kriteria pertumbuhan budaya rumput laut (DKP, 2002).

pH

Hasil pengukuran pH di lokasi penelitian menunjukkan bahwa semua lokasi tersebut merupakan lokasi yang sangat sesuai untuk kegiatan budidaya rumput laut, karena memiliki nilai pH yang berkisar antara 7,86 – 8,48, dengan nilai rata-rata 8.09. Nilai terukur tersebut bila dibandinggkan

dengan matriks kesesuaian yang berkisar antara 7,3-8,2 juga termasuk dalam kaategori sangat sesuai. Brotowidjoyo et al.,(1995) menyatakan bahwa konsentrasi nilai pH air laut pada umumnya berkisar antara 7,6– 8,3. Sastrawijaya (2000) menambahkan bahwa nilai pH biasanya dipengaruhi oleh laju fotosintesa, buangan industri serta limbah rumah tangga.

Nitrat

Hasil analisis kandungan nitrat di perairan Pulau Moti diperoleh nilai berkisar antara 1,89 – 4,26 mg/L dengan nilai rata-rata 2.62 mg/L. Kisaran nilai tersebut termasuk dalam kategori tinggi dan sesuai untuk budidaya rumput laut. Hasil analisis peta tematik didapatkan bahwa 81,25% dalam kategori sangat sesuai, dan 18, 75% sesuai.

Fluktuasi distribusi nitrat di laut tergantung pada musim, di perairan lepas pantai daerah lintang sedang, konsentrasi akan turun dalam musim panas akibat dari aktivitas fotosintesis tinggi, tetapi pada waktu yang sama disertai oleh naiknya konsentrasi nitrat karena membusuknya zat-zat organik (Birowo, 1991 dalam Safarudin, 2011).

Fosfat

Kandungan nilai fosfat di lokasi penelitian berkisar antara 0,0001- 0,015 mg/l dengan nilai rata-rata 0.03 mg/l. Nilai tersebut merupakan nilai yang tidak sesuai untuk pertumbuhan budidaya rumput laut. Rendahnya kandungan fosfat di perairan Pulau Moti disebabkan oleh adanya tipe pantai Pulau Moti yang terbuka dan bersubstrat berkarang serta memiliki arus yang agak cepat sehingga menyebabkan tidak adanya proses penumpukan fosfat serta minimnya distribusi fosfat yang bersumber dari limbah domestik ke perairan. Menurut Aslan (1998 dalam Restiana, 2007) kandungan fosfat di perairan untuk lokasi budidaya rumput laut adalah 0,1 – 0,2 mg/l. Safarudin (2011) menambahkan bahwa kisaran nilai fosfat yang baik bagi pertumbuhan rumput laut yaitu, 1,0-3,5 ppm.

Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut

Berdasarkan data yang di peroleh dari hasil penelitian di lapangan, maka dilakukan analisis pada beberapa parameter secara berurutan, dimulai dari yang terpenting sampai yang kurang penting. Kemudian dibagi menjadi beberapa kelas yang diberi skor dan bobot berdasarkan tingkatan nilai kesesuaiannya untuk mengetahui tingkat kesesuaian lahan budidaya rumput laut yang dapat di manfaatkan pada perairan Pulau Moti. Hasil analisis kesesuaian secara spasial untuk budidaya rumput laut yang terdapat pada Gambar 1, dengan luas wilayah penelitian 307,7 Ha, menunjukkan penyebaran kelas lahan untuk budidaya rumput laut sebagai berikut :

1. Kelas sangat sesuai (S1) seluas 35.6 Ha atau 11.57%, Adanya kondisi perairan yang sangat mendukung dilaksanakannya kegiatan budidaya rumput laut

2. Kelas sesuai (S2), dengan luas wilayah 49,7 Ha atau 16,15%. Faktor pembatas pada kawasan ini adalah : (i) Arus yang lemah, (ii) Tingkat kedalaman rendah, dan (iii) Konsentrasi kandungan fosfat yang tergolong rendah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut.

3. Kelas tidak sesuai (N) dengan luas wilayah 222, 4 Ha atau atau 72,28%. Faktor penghambat dari wilayah perairan yang terlalu dalam atau terlalu dangkal, jenis substrat dan arus yang kurang mendukung serta hambatan lain yang dijumpai adalah lokasi tersebut merupakan kawasan perairan terbuka yang pada saat tertentu gelombangnya sangat ekstrim.

Gambar 1. Peta kesesuaian lahan budidaya rumput laut di perairan Pulau Moti

Secara keseluruhan, wilayah perairan Pulau Moti belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat setempat, terutama dalam pemanfaatan potensi lahan sebagai lahan budidaya rumput laut. Padahal perairan Pulau Moti memiliki lokasi yang cukup luas yaitu ± 85,3 Ha yang layak dan potensial (kategori sesuai dan sangat sesuai) untuk dikembangkan kegiatan budidaya rumput laut.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

Parameter fisik-kimia seperti kedalaman, kecerahan, distribusi suhu, kandungan oksigen terlarut, kondisi substrat dan kandungan nitrat sangat mendukung untuk pertumbuhan rumput laut diperairan Pulau Moti. 1. Perairan Kecamatan Pulau Moti Kota Ternate, memiliki peluang untuk

2. Luas Perairan Pulau Moti yang berpotensial untuk pengembangan kegiatan budidaya rumput laut dengan luas areal sebesar 85.3 Ha atau 27.72 %

DAFTAR PUSTAKA

Akmal, S. Raharja dan Ilham. 2008. Teknologi Manajemen Budidaya Rumput Laut (Kappaphycusalvarezii). Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Budidaya Air Payau, Takalar.

Aslan, L.M., 1998. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Bakosurtanal.1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marin

Kupang - Nusa Tenggara Timur. Pusat Bina Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi Geografis, Cibinong.

Brotowijoyo, M. D., Dj. Tribawono., E. Mulbyantoro. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Dahuri, R., J. Rais., S. P. Ginting., M. J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Edisi revisi.PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Modul Sosialisasi dan Orientasi Penataan Ruang, Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ditjen Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil, Jakarta. 2004.

Hartoko, A., 2000. Teknologi Pemetaan Dinamis Sumberdaya Ikan Pelagis Melalui Analisis Terpadu Karakter Oseanografi dan Data Satelit NO AA, Landsat_TM dan Sea WIFS_GSFC di Perairan Laut Indonesian. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Dewan Riset Nasional, Jakarta.

Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu Air Laut. Keputusan Meneg. KLH No 51 tahun 2004, tanggal 8 April 2004, Jakarta. Prahasta, E. 2002. Konsep –Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis.

Penerbit Informatika, Bandung.

Radiarta, I. Ny., S. E. Wardoyo., B. Priyono dan O. Praseno. 2003. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di Teluk Ekas, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Budidaya Jakarta.Vol 9 no 1, hal 67 – 71.

Restiana Wisnu Ariyati, Lachmuddin Sya’rani, EndangArini. 2007. Analisis Kesesuaian Perairan Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan sebagai Lahan Budidaya Rumpu tLaut menggunakan Sistem Informasi Geografis.Staf Pengajar FPIK UNDIP. Semarang. JurnalPasirLaut, Vol.3, No.1, Juli2007 : 27-45

Romimohtarto, K. 2003. Kualitas Air dalam Budidaya Laut.

Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Penerbit RinekaCipta, Jakarta.

ANALISIS EFEKTIVITAS OPERASI KAPAL POLE AND LINE

Dalam dokumen Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (Halaman 30-39)