• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indeks Keseragaman (E)

Dalam dokumen Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (Halaman 87-95)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kelimpahan Fitoplankton

4.4. Indeks Keseragaman (E)

Hasil analisis indeks keseragaman fitoplankton yang diperoleh selama penelitian di perairan Pulau Ternate sangat bervariasi, baik setiap waktu pengamatan maupun setiap stasiun. Selama 4 stasiun pengamatan, keseragaman fitoplankton yang didapatkan dengan kisaran nilai masing – masing stasiun adalah stasiun I berkisar antara 0,5061 – 0,2597 E, stasiun II 0,5628 – 0,4498 E, stasiun III 0,5646 – 0,5004 E, dan stasiun IV 0,6003 –0,5463 E, apabila keseragaman pada setiap stasiun pengamatan dijumlahkan, maka nilai teringgi diperoleh pada stasiun IV (5,1699 E) dan terendah pada stasiun I (3,1591 E).

Secara keseluruhan semua stasiun penelitian mempunyai indeks keragaman diantara 0,2597 – 0,6003 ind/L. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi perairan Pulau Ternate memiliki keragaman jenis fitoplankton yang bervariasi keragamannya dan bisa dikatakan masuk dalam golongan keragaman sedang. Sesuai dengan pendapat Shannon- Weiner dalam Odum, (1996) apabila E = 0 - 1 maka sedang, artinya keragaman sedang dengan sebaran individu sedang. Indeks keragaman digunakan untuk menyatakan berbagai jenis organism yang terdapat pada suatu ekosistem. Dengan demikian perairan Pulau Ternate tergolong dalam kondisi yang sedang keragaman fitoplanktonnya. Nilai keragaman berbeda diduga karena banyaknya aktivitas masyarakat yang dapat mempengaruhi kualitas air dan akan mempengaruhi keanekaragaman fitoplankton.

Keaneragaman jenis ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, dimana jika semakin baik kondisi lingkungannya maka keaneragaman jenisnya semakin tinggi. Selanjutnya, Clark (dalam Syafrizal, 2007) menyatakan bahwa keaneragaman spesies menunjukkan keseimbangan ekosistem, semakin tinggi keaneragaman spesies maka semakin seimbang ekosistem tersebut. Sebaliknya apabila semakin rendah keaneragaman spesies maka menandakan ekosistem perairan tersebut mengalami tekanan dan kondisinya menurun. Rendahnya keaneragaman fitoplankton di Stasiun IV diduga karena kondisi perairannya lebih rendah dibandingkan dengan Stasiun I.

Keseragaman jenis fitoplankton di perairan Pulau Ternate yang didapatkan dengan nilai 1 - 3. Weber (1973) menyatakan bahwa apabila nilai E mendekati 1 (> 0,5) berarti keanekaragaman organisme dalam suatu perairan berada dalam keadaan seimbang dan tidak terjadi persaingan baik terhadap tempat maupun terhadap makanan. Apabila E berada < 0,5 atau mendekati nol berarti keseragaman jenis organisme dalam perairan tersebut tidak seimbang, dimana terjadi persaingan baik tempat maupun makanan. Dengan demikian maka kondisi di perairan pulau Ternate tergolong pada perairan yang seimbang dan tidak terjadi persaingan baik terhadap tempat (habitat) maupun makanan.

Indeks Dominansi (C)

Hasil analisis indeks dominasi fitoplankton yang diperoleh selama penelitian di perairan Pulau Ternate sangat bervariasi, baik setiap waktu pengamatan maupun setiap stasiun. Selama 4 stasiun pengamatan, dominasi fitoplankton yang didapatkan dengan kisaran nilai masing – masing stasiun adalah stasiun I berkisar antara 0,1323-0,4090 C,stasiun II 0,0849 – 0,1420 C, stasiun III 0,0794 – 0,1224 C, dan stasiun IV 0,0765 – 0,0910 C, apabila keseragaman pada setiap stasiun pengamatan dijumlahkan, maka nilai teringgi diperoleh pada stasiun I (1,7720 C) dan terendah pada stasiun IV (0,7421 C).

Berdasarkan indeks dominansi bahwa nilai tertinggi terdapat pada Stasiun I yaitu 0,4090 dan dominansi terendah terdapat pada Stasiun IV yaitu 0,0765. Sesuai dengan pendapat Krebs (1978) menyatakan bahwa bila indeks dominansi (C) mendekati satu (1) berarti ada organisme yang dominan dan jika indeks dominansi mendekati nol (0) berarti tidak ada organisme yang dominan. Menurut Basmi, (2000) dalam Pirzan, (2008) apabila nilai dominansi mendekati nilai 1 berarti di dalam komunitas terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya, sebaliknya apabila mendekati nilai 0 berarti di dalam struktur komunitas tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya.

Menurut Soegiarto (1994), bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman yang tinggi jika komunitas itu tidak ada spesies yang mendominasi spesies, sebaliknya jika komunitas itu terdapat spesies yang mendominasi maka keseragamannya rendah. Adapun nilai- nilai Indeks Ekologi pada ke empat stasiun dan 36 titik dapat dilihat pada Tabel 3.

Nilai keanekaragaman jenis (H’) fitoplankton di perairan pulau ternate, yang tertinggi ditemukan pada Stasiun IV yaitu 2,7081 dan terendah pada Stasiun I yaitu 1,3083. Hal ini mengindikasikan terjadi dominansi oleh satu genera dari jenis yang ada.

Nilai dominansi jenis (D) fitoplankton tertinggi ditemukan pada Stasiun I yaitu 0,4090 dan terendah pada Stasiun IV yaitu 0,0765. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran jumlah individu tiap jenis rendah, kestabilannya rendah. Nilai keseragaman jenis (E) fitoplankton tertinggi ditemukan pada Stasiun IV yaitu 0,6003 dan terendah pada Stasiun I yaitu 0,2597. Nilai diperoleh berarti bahwa ada spesies yang mendominasi spesies yang lain.

Tabel 3. Nilai Indeks-indeks Ekologi (Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, dan Indeks Dominasi) pada empat stasiun dan 36 titik pengamatan.

Paramete Fisika – Kimia Perairan

Kualitas air yang mempengaruhi kehidupan fitoplankton ini dapat di kelompokkan menjadi parameter fisika dan kimia. Faktor fisik yang diukur dalam penelitian ini terdiri atas suhu, salinitas, dan arus. Sedangkan parameter kimia yang diukur meliputi derajat keasaman (pH) dan DO (Dissolved Oxygen). Pengukuran kondisi kualitas air ini dilakukan pada waktu yangmsama dengan pengambilan sampel plankton. Hasil pengukuran parameter kualitas air ini selengkapnya disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kondisi rata-rata parameter lingkungan

Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan gelombang panjang termasuk pasang surut (Nontji, 2005). Dari hasil pengukuran kecepatan arus di perairan pada stasiun I-stasiun IV berkisar 0,04-0,06 m/dt (Tabel 4) kecepatan arus ini dipengaruhi oleh massa air yang bergerak dari utara ke selatan, selain itu juga di pengaruhi oleh kondisi pasang surut.

Suhu permukaan laut bergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, dan intensitas cahaya matahari.

Presipitasi terjadi di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahan dari udara ke lapisan permukaan perairan (McPhaden and Hayes, 1991).

Kisaran suhu pada stasiun I-stasiun IV berkisar 28,30-28,89°C (Tabel 4). Kisaran suhu optimal bagi spesies alga potensial berbahaya adalah 25–30° C dan kemampuan proses fotosintesis akan menurun tajam apabila suhu perairan berada di luar kisaran optimal tersebut (Gross dan Enevoldsen, 1998 dalam Gosari, 2002). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Effendi (2003) bahwa kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20-30 oC.

Kecerahan adalah kemampuan cahaya untuk menembus sampai ke dasar perairan yang dipengaruhi oleh benda-benda halus. Nilai kecerahan dinyatakan dengan meter. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2003). Kisaran nilai kecerahan pada stasiun I-stasiun IV berkisar antara 3,20-8,00 m (Tabel 4).

Perubahan salinitas yang dapatmmempengaruhi organisme terjadi di zonamintertidal melalui dua cara, yang pertama karena zona intertidal terbuka pada saat pasang surut dan kemudian digenangi air atau aliran air akibat hujan lebat, akibatnya salinitas akan turun secara drastis (Nybakken, 1992). Kisaran salinitas pada stasiun I-stasiun IV berkisar antara 31,9-35,6 ppt (Tabel 4). Menurut Sachlan (1982), salinitas yang sesuai bagi fitopalnkton adalah lebih besar dari 20 ppt yang memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup, memperbanyak diri, dan aktif melakukan proses fotosintesis. pH merupakan pengukuran asam atau basa suatu larutan. Keasaman terjadi karenaberlebihnya ion pada suatu larutan, sedangkan alkalinitas terjadi karena berlebihnya ion pada suatu larutan. Kisaran pH pada stasiun I-stasiun IV berkisar 8,8-9,49 ppm (Tabel 4). Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi bergantung pada suhu, oksigen terlarut, dan kandungan garam-garam ionik suatu perairan. Kebanyakan perairan alami memiliki pH berkisar antara 6 – 9.

Sebagian besar biota perairan sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Menurut Wardoyo (1981) nilai pH yang mendukung untuk kehidupan organisme berkisar 5-9. Sedangkan menurut Asriyana dan Yuliana,(2012) pH yang ideal untuk kehidupan fitoplankton di perairan adalah 6,5 – 8,0.

Oksigen telarut merupakan salah satu unsur pokok pada proses metabolism organisme, terutama untuk proses respirasi. Di samping itu oksigen terlarut dapat juga digunakan sebagai petunjuk kualitas air (Odum 1971). Pada umumnya oksigen terlarut berasal dari difusi oksigen dari udara ke dalam air dan proses fotosintesis dari tumbuhan hijau. Pengurangan oksigen terlarut disebabkan oleh proses respirasi dan penguraian bahan-bahan organik. Penurunan oksigen terlarut dapat mengurangi efisiensi pengambilan oksigen bagi biota perairan sehingga menurunkan kemampuannya untuk hidup normal. Menurut Kristanto (2002), kandungan oksigen terlarut di dalam perairan minimal 5 ppm. Kisaran nilai DO stasiun I-stasiun IV berkisar 6,2-7,25 mg/l (Tabel 4), perbedaan nilai DO yang cukup jauh pada stasiun I diakibatkan karena di perairan Kalumata masih mengalami pembuangan limbah yang mengandung bahan organik.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan di perairan Kalumata, Salero, Sulamadaha, dan Taduma dapat disimpulkan bahwa komposisi jenis fitoplankton didominasi oleh kelas Bacillariophyceae. Indeks-indeks biologi fitoplankton seperti indeks keanekaragaman (H’) termasuk dalam kategori stabil moderat (merata), indeks keseragaman (E) tergolong sedang, dan dari nilai indeks dominansi dapat dijelaskan bahwa tidak ada spesies yang mendominasi spesies

DAFTAR PUSTAKA

[APHA] American Public Health Association, [AWWA] American Water Works Association. 1995. StandartMethods for the Examination of Water and Waste Water. Ed. Washington.

Basmi, J. 1999. Planktonologi : Chrysophyta- Diatom Penuntun Identifikasi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Dawes. 1981. Marine Botany. New Zealand.

Fachrul, M .F ., 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Mc Phaden, M. J dan Hayes, S.P. 1991. On the variability of winds, sea surfacetemperature, and surface layer heatcontent in the western equatorialpacific.Geosphys Journal.

Nontji, A, 2008. Plankton Laut. LIPI Press. Jakarta.

Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.

Pirzan, 2008. Hubungan Keragaman Fitoplankton dengan Kualitas Air di Pulau Bauluang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Jurusan BiologiFMIPA UNS Surakarta.

Soegianto, A., 1994, Ekologi Kuantitatif, Metode Analisis Populasi Komunitas, Usaha Nasional, Surabaya.

Yamaji, I. 1979. Ilustration Of the Marine Plankton. Hoikusha Publishing, Osaka, Japan.

Zhong, Huang Giang, 1989, A Biology of Algae. Beijing Publishing Co, LTD.China.

PELAYANAN PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN)

Dalam dokumen Jurnal Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (Halaman 87-95)