• Tidak ada hasil yang ditemukan

Umur dan Jenis Kelamin

Jumlah siswa yang diteliti sebanyak 62 orang, terdiri dari siswa laki-laki yaitu 34 orang dan siswa perempuan yaitu 28 orang. Umur siswa antara 12-14 tahun. Sebagian besar siswa berumur 13 tahun, yaitu siswa laki-laki (88.2%) dan siswa perempuan (75%). Sebagian kecil siswa berumur 14 tahun, yaitu siswa laki-laki (2.9%) dan siswa perempuan (7.1%).

Jumlah guru yang diteliti sebanyak 10 orang, terdiri dari laki-laki yaitu 4 orang dan perempuan yaitu 6 orang. Umur guru antara 40-58 tahun. Sebagian besar guru berumur 40-45 tahun (60%). Sebagian kecil guru berumur 49 tahun (10%).

Jumlah pedagang yang ada di SMPN 5 Bogor sebanyak 10 orang, terdiri dari laki-laki yaitu 7 orang dan perempuan 3 orang. Umur pedagang antara 22-51 tahun. Sebagian besar pedagang berumur 32-36 tahun (40%) dan sebagian kecil pedagang berumur 22 tahun (10%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3 menunjukan sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan umur dan jenis kelamin.

Tabel 3 Sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan umur dan jenis kelamin

Usia (tahun) Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan n % n % n % Siswa 12 3 8.8 5 17.9 8 12.9 13 30 88.2 21 75.0 51 82.3 14 1 2.9 2 7.1 3 4.8 Total 34 100.0 28 100.0 62 100.0 Guru 40-45 3 75 3 50.0 6 60 46-50 0 0 1 16.7 1 10 >50 1 25 2 33.3 3 30 Total 4 100 6 100 10 100 Pedagang <30 1 14.3 0 0 1 10 30-40 1 14.3 3 100 4 40 40-50 3 42.9 0 0 3 30 >50 2 28.6 0 0 2 20 Total 7 100.0 3 100 10 100

Uang Saku

Besar uang saku siswa antara Rp 5.000 – Rp. 25.000 per hari. Sebagian besar siswa menerima uang saku antara Rp 10.000 – Rp 15.000 (53.2%). Rata-rata uang saku siswa yaitu Rp. 15.096,7 dan simpangan baku Rp. 6.835,2. Alokasi uang saku yang dimiliki siswa untuk keperluan seperti biaya transportasi, jajan, pulsa, dan menabung. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4 menunjukan sebaran siswa berdasarkan uang saku.

Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan uang saku

Uang Saku (Rp/hari) n %

5.000 – 9.000 6 9.7

10.000 – 15.000 33 53.2 15.500 – 20.000 18 29.0

> 20.000 5 8.1

Total 62 100.0

Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan, atau bulanan. Perolehan uang saku sering menjadi kebiasaan, sehingga anak diharapkan untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku yang dimilikinya (Napitu 1994). Besar uang saku anak merupakan salah satu indikator sosial ekonomi keluarga. Semakin besar uang saku, maka semakin besar peluang anak untuk membeli makanan jajanan baik di kantin maupun diluar sekolah (Andarwulan et al. 2008)

Tingkat Pendidikan

Sebagian besar guru memiliki latar belakang pendidikan sarjana (80%), sebagian kecil tingkat pendidikan Diploma 3 (20%). Sebagian besar pedagang memiliki latar belakang pendidikan SLTP (50%). Sebagian kecil tingkat pendidikan SLTA (20%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5 menunjukan sebaran guru dan pedagang bedasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 5 Sebaran guru dan pedagang bedasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan n % n % n % Guru D3 1 25 1 16.7 2 20 S1 3 75 5 83.3 8 80 Total 4 100 6 100.0 10 100 Pedagang SD 3 42.9 0 0.0 3 30 SLTP 3 42.9 2 66.7 5 50 SLTA 1 14.3 1 33.3 2 20 Total 7 100.0 3 100.0 10 100

Tingkat pendidikan guru pada umumnya memiliki tingkat pendidikan sarjana sedangkan pada pedagang banyak yang memiliki tingkat pendidikan SLTP. Hal ini menunjukan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang biasanya mempunyai taraf pengetahuan dan keterampilan yang semakin baik serta akan lebih mengerti tentang sesuatu hal, karena menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (1997) bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, dimana dapat membuat seseorang untuk lebih mudah menerima ide-ide dan teknologi baru. Hal ini juga sesuai dengan Notoatmodjo (2003), yang mengemukakan bahwa manusia yang memiliki sumber daya manusia yang lebih baik, dalam arti tingkat pendidikan yang lebih tinggi maka akan semakin mengerti dan semakin mudah memahami manfaat dari suatu hal.

Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan guru antara Rp. 2.000.000 – Rp. 3.000.000 per bulan. Sebagian besar tingkat pendapatan guru > Rp. 2.800.000 per bulan (50%). Sebagian kecil tingkat pendapatan guru Rp. 2.000.000 per bulan (10%). Rata-rata tingkat pendapatan guru yaitu Rp.2.470.000 dan simpangan baku yaitu Rp.333.999,3. Besar atau kecil pendapatan guru ditentukan oleh pangkat/golongan, jabatan dan masa kerja.

Berdasarkan Tabel 6 tingkat pendapatan pedagang antara Rp.800.000 – Rp.1.800.000 per bulan. Sebagian besar tingkat pendapatan pedagang Rp.1.000.000 – Rp.1.500.000 per bulan (60%). Sebagian kecil tingkat pendapatan pedagang Rp.1.800.000 per bulan (10%). Rata-rata tingkat pendapatan pedagang yaitu Rp.1.230.000 dan simpangan baku yaitu Rp.316.403,3. Besar atau kecil pendapatan tergantung dari permodalan dan omset (hasil penjualan).

Menurut Berg (1986) dalam Adhistiana (2009) pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan. Jelas ada hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Menurut Gallo (1996) faktor ekonomi seperti harga dan pendapatan konsumen juga merupakan faktor penentu yang penting dalam pemilihan makanan yang berhubungan secara langsung dengan ketersediaan pangan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6 menunjukan sebaran guru dan pedagang berdasarkan pendapatan.

Tabel 6 Sebaran guru dan pedagang berdasarkan pendapatan Tingkat Pendapatan (Rp. Juta /bulan) Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan n % n % n % Guru <2,5 0 0 1 16.7 1 10 2,5 - 2,8 2 50 2 33.3 4 40 > 2,8 2 50 3 50.0 5 50 Total 4 100 6 100.0 10 100 Pedagang < 1 3 42.9 0 0 3 30 1 - 1,5 3 42.9 3 100 6 60 > 1,5 1 14.3 0 0 1 10 Total 7 100.0 3 100 10 100

Jenis Bahan Tambahan Pangan

Bahan tambahan pangan (BTP) yang sering digunakan khususnya pada makanan jajanan antara lain pengawet, pewarna, pemanis, dan penyedap rasa dan aroma. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7 menunjukan sebaran pedagang menurut cara pengadaan makanan (dibuat atau dibeli) yang menggunakan BTP.

Tabel 7 Sebaran pedagang menurut cara pengadaan makanan (dibuat atau dibeli) yang menggunakan BTP

BTP Jenis BTP Jajanan yang dibuat Jajanan yang dibeli n % n % Penyedap rasa Masako 3 30 0 0 Royko 3 30 0 0 Sasa 4 40 0 0 Ajinomoto (umami) 4 40 0 0 MSG (lainnya) 1 10 2 20 Pewarna Kunyit 1 10 3 30 Pandan 0 0 1 10 Pewarna buatan 0 0 3 30 Pemanis Gula 3 30 2 20 Pemanis buatan 0 0 1 10 Pengawet Garam 7 70 7 70 STPP/Poshat 0 0 1 10

Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan bahwa semua pedagang yang membuat makanan jajanan menggunakan BTP yang berbentuk penyedap rasa dari berbagai merek. Adapun bumbu penyedap rasa dengan aneka jenis rasa seperti rasa ayam dan sapi, adapun pedagang yang menggunakan penyedap rasa yang berbentuk butiran seperti sasa dan ajinomoto. BTP sebagai pewarna alami hanya pedadang roti yang menggunakan bahan alami buah. Adapun pewarna buatan yang digunakan yaitu jajanan yang di beli seperti meisis warna-warni dan pada saos yang dibeli pedagang bakso dan mie ayam yang mungkin ditambahkan pewarna buatan. Pemanis alami yang digunakan yaitu gula pasir

dan gula merah untuk pembuatan minunan jus dan kuah pempek. Sedangkan pemanis sintetis yang terdapat dalam minuman kemasan yang di produksi oleh industry minuman. BTP pengawet tidak ditemukan menggunakan bahan berbahaya hanya bahan pengental bakso sodium tri phosphate (STPP) merupakan bahan kimia untuk makanan yang ditambahan dalam proses pengolahan. Hal ini disebabkan karena kantin yang berada di dalam lingkungan sekolah biasanya sudah mendapat bimbingan dan pengawasan dari pihak guru dan pengelola kantin atau langsung dari kepala sekolah.

Kebiasaan Jajan

Kebiasaan jajan adalah salah satu bentuk kebiasaan makan baik pada anak-anak, remaja ataupun dewasa. Jajanan yang baik akan mempunyai kontribusi yang positif terhadap kebutuhan konsumsi gizi seseorang. Dengan demikian apabila makanan jajanan yang dikonsumsi aman dan sehat akan membantu kecukupan harian energi dan zat gizi seseorang.

Suhardjo (1989) menyebutkan bahwa kebiasaan jajan merupakan istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan jajan dan makanan jajanan seperti frekuensi jajan. Penelitian ini mengidentifikasi frekuensi jajan per minggu yang dilakukan di lingkungan sekolah. Kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan bertujuan untuk menghilangkan rasa lapar yang biasanya muncul 3-4 jam setelah makan pada waktu-waktu tertentu. Konsumsi makanan jajanan akan meningkatkan kadar gula darah sehingga semangat dan kosentrasi belajar akan pulih.

Berdasarkan Tabel 8 Frekuensi jajan siswa yang diukur adalah frekuensi jajan berdasarkan kelompok jajanan makanan utama dalam 1 minggu terakhir. Frekuensi jajan siswa dibagi menjadi 4 kelompok yaitu <5 kali/minggu, 6-10 kali/minggu, 11-15 kali/minggu, >15 kali/minggu. Frekuensi jajan siswa per minggu sebanyak 53.2% siswa memiliki frekuensi jajan makanan utama 6–10 kali per minggu. Sebagian besar persentase 33.8% siswa memiliki frekuensi jajan makanan ringan 6–10 kali per minggu. Sebesar 48.3% siswa memiliki frekuensi jajan jenis minuman 6–10 kali per minggu. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 8 menunjukan sebaran siswa berdasarkan frekuensi jajan.

Tabel 8 Sebaran siswa berdasarkan frekuensi jajan Frekuensi jajan

(kali/minggu)

Makanan Utama Makanan Ringan Minuman

n % n % n % <5 8 12.9 13 20.9 18 29.0 6–10 33 53.2 21 33.8 30 48.3 11–15 14 22.5 16 25.8 14 22.5 >15 7 11.2 12 19.3 0 0 Total 62 100 62 100 62 100

Khapipah (2000) menyatakan bahwa siswa menyukai makanan jajanan seperti ciki karena rasanya enak dan gurih, mempunyai banyak pilihan rasa, warna dan merk yang diproduksi oleh produsen. Tingginya persentase frekuensi jajan dikarenakan banyaknya jenis pangan yang ada dibandingkan kelompok jajanan lainnya, sehingga siswa lebih sering mengkonsumsi jajanan yang berbeda-beda dalam setiap minggunya. Selain itu aktivitas siswa disekolah yang cukup padat dapat menyebabkan frekuensi jajan disekolah meningkat.

Khomsan (2003) menyatakan aspek negatif dari jajan yang terlalu sering yaitu dapat mengurangi nafsu makan seseorang dirumah. Selain itu banyak jajanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan sehingga mengancam kesehatan seseorang.

Jenis Makanan Jajanan yang Dikonsumsi

Terdapat tiga jenis makanan jajanan yang biasa dibeli oleh siswa dan guru dikelompokan kedalam tiga golongan yaitu makanan utama (main dish), makanan ringan (snack), dan minuman. Menurut Apriadji (1986) jenis jajanan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu makanan utama (meals) dan makanan ringan (snack). Makanan utama adalah makanan yang cukup mengandung karbohidrat dan lemak, tetapi mengandung sedikit protein seperti siomay, nasi uduk, bubur ayam, roti bakar, dan lainnya. Sedangkan makanan ringan adalah makanan yang mengandung zat pembangun dan sedikit zat pengatur seperti biskuit, gorengan, dan makanan ringan kemasan.

Seluruh contoh menyatakan sering membeli makanan utama. Sumber jajanan yang paling diminati oleh contoh yaitu minuman sebagian besar siswa (88.7%) dan guru (70%), contoh menganggap bahwa minum itu paling penting untuk kebutuhan cairan sehingga lebih diminati. Sebagian kecil siswa (9.7%) memilikh gorengan dan sebagian kecil guru (10%) memilih makanan ringan kemasan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan jajan yang menganggap tidak ada pilihan makanan jajanan lain sehingga hanya mengkonsumsi jajanan yang tersedia di lingkungan sekolah.

Berdasarkan Tabel 9 jenis jananan makanan yang paling diminati oleh siswa yaitu mie ayam, sedangkan pada guru sumber jajanan makanan yaitu nasi uduk. Baik mie ayam maupun nasi uduk, keduanya dapat memberikan kalori yang cukup untuk mendukung aktivitas fisik dan memenuhi kecukupan energi dalam sehari. Menurut hasil penelitian Widjayanti (1990), diacu dalam Khapipah (2000) menyatakan bahwa makanan jajanan memberikan sumber energi dan zat gizi terbesar diantaranya berasal dari karbohidrat. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9 menunjukan persentase siswa dan guru menurut jenis jajanan.

Tabel 9 Persentase siswa dan guru menurut jenis jajanan

Jenis jajanan Siswa Guru

n % n %

Nasi uduk 44 71.0 8 80

Minuman 55 88.7 7 70

Siomay 7 11.3 4 40

Bubur ayam 16 25.8 2 20

Makanan ringan kemasan 10 16.1 1 10

Gorengan 6 9.7 5 50

Mie Bakso 34 54.8 3 30

Mie ayam 54 87.1 3 30

Pempek/batagor 47 75.8 4 40

Roti bakar 41 66.1 5 50

Status Gizi Siswa

Pertumbuhan fisik sering dijadikan indikator untuk mengukur status gizi baik individu maupun populasi (Khomsan 2000). Menurut Riyadi (2001) status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran yang dikonsumsinya dalam jangka waktu cukup lama.

Berdasarkan Tabel 10 sebagian besar siswa (71.0%) memiliki status gizi normal. Selanjutnya sebanyak (14.5%) memiliki status gizi kurang, (11.3%) memiliki status gizi gemuk, dan (3.2%) memiliki status gizi lebih. Status gizi normal diduga memiliki pengetahuan gizi yang tergolong baik, sedangkan status gizi kurang diduga karena siswa lebih menyukai makanan jajanan yang tidak memiliki zat gizi seperti makanan ringan (snack) untuk mencukupi kebutuhan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 10 menunjukan sebaran status gizi siswa.

Tabel 10 Sebaran status gizi siswa

Status Gizi Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan n % n % n % Kurus 5 14.7 4 14.3 9 14.5 Normal 22 64.7 22 78.6 44 71.0 Gemuk 5 14.7 2 7.1 7 11.3 Obese 2 5.9 0 0.0 2 3.2 Total 34 100.0 28 100.0 62 100.0

Status gizi seseorang dipengaruhi oleh faktor langsung maupun tidak langsung. Faktor langsung meliputi konsumsi makan dan keadaan kesehatan, sedangkan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi adalah faktor pertanian, ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Secara tidak langsung pengetahuan tentang gizi berpengaruh terhadap status gizi seseorang (Riyadi 2006).

Pengetahuan Gizi

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup sehat. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek (Notoadmodjo 2005).

Berdasarkan Tabel 11 sebagian besar siswa (67.7%) memiliki pengetahuan gizi baik terhadap BTP. Sedangkan sebagian kecil (32.3%) memiliki pengetahuan gizi sedang terhadap BTP. Rata-rata total skor pengetahuan gizi siswa dalam kategori baik (82.1%) dan simpangan baku (6.6). sebagian besar guru (100%) memiliki pengetahuan gizi baik terhadap BTP. Rata-rata total skor pengetahuan gizi guru dalam kategori baik (86.8%) dan simpangan baku (2.9). Dari beberapa pertanyaan mengenai pengetahuan gizi terhadap BTP menunjukan bahwa semua pertanyaan dapat dijawab dengan benar oleh seluruh guru. Sebagian besar pedagang (70%) memiliki pengetahuan gizi sedang terhadap BTP. Sedangkan sebagian kecil pedagang (30%) memiliki pengetahuan gizi kurang terhadap BTP. Rata-rata total skor pengetahuan gizi pedagang dalam kategori sedang (66.1%) dan simpangan baku (6.9).

Tabel 11 Sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan pengetahuan gizi terhadap BTP Kategori Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan n % n % n % Siswa Baik (>80%) 20 58.8 22 78.6 42 67.7 Sedang (60%-80%) 14 41.2 6 21.4 20 32.3 Kurang (<60%) 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Total 34 100.0 28 100.0 62 100.0 Guru Baik (>80%) 4 100 6 100 10 100 Sedang (60%-80%) 0 0 0 0 0 0 Kurang (<60%) 0 0 0 0 0 0 Total 4 100 6 100 10 100 Pedagang Baik (>80%) 0 0.0 0 0.0 0 0 Sedang (60%-80%) 5 71.4 2 66.7 7 70 Kurang (<60%) 2 28.6 1 33.3 3 30 Total 7 100.0 3 100.0 10 100

Uji F untuk menguji kesamaan ragam menunjukan bahwa pada =0.05 ragam pengetahuan siswa laki-laki dan perempuan sama, seperti dapat dilihat pada Tabel 12 Karena ragamnya sama sedangkan nilai F hitung (1.91) dan peluang (0.17), maka pengujian kesamaan rata-rata dari pengetahuan gizi menggunakan uji t untuk populasi yang ragamnya sama. Berdasrkan uji t pada = 0.05, bahwa rata-rata pengetahuan gizi laki-laki dan perempuan sama. Hal ini diduga karena siswa mendapat informasi yang sama dari materi yang diajarkan guru dan media informasi mengenai penggunaan BTP.

Tabel 12 Hasil uji ragam dan rata-rata pengetahuan gizi siswa

Pengetahuan Gizi Laki-laki Perempuan

n 34 28

Rata-rata 81.12 83.39

sd 7.14 5.74

Pengetahuan Gizi Ragam

diasumsikan sama

Ragam diasumsikan tidak sama

Hasil uji t-test t -1.36 -1.39

df 60 59.97

Peluang (2-tailed) 0.17 0.17 Rata-rata -2.27 -2.27

Simpangan baku galat 1.67 1.63

Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku seseorang akan lebih baik dan dapat bertahan lebih lama apabila didasari oleh tingkat pengetahuan dan kesadaran yang baik. Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang baik terhadap sesuatu hal diharapkan akan mempunyai sikap yang baik juga.

Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa seluruh siswa mendapat informasi tentang BTP. Sebagian besar (88,7%) mendengar informasinya dari media elektronik (TV dan radio). Sebagian kecil siswa sebanyak (3.2%) mendapat informasi dari internet. Sebagian besar guru (100%) mendapat informasi dari media cetak (surat kabar, majalah, buku). Sebagian kecil guru sebanyak (30%) mendapat informasi dari internet. Sebagian besar pedagang (100%) mendapat informasi dari media elektronik (TV dan radio). Sebagian kecil pedagang (10%) mendapat informasi dari teman. Hal ini menunjukan bahwa siswa dan guru menyatakan bahwa mendengar informasi mengenai BTP tidak hanya dari satu sumber saja, melainkan dari radio, surat kabar, majalah, buku, orang tua, guru, teman-teman, dan sumber lainnya (internet) juga berperan dalam penyampaian informasi tentang BTP. Sedangkan pedagang tidak mencari informasi lain dari beberapa sumber hanya mengetahui dari keadaan sekitar saja. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 13 menunjukan sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan sumber informasi terhadap BTP.

Tabel 13 Sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan sumber informasi terhadap BTP

Sumber Informasi Siswa Guru Pedagang

n % n % n %

Media elektronik (TV dan radio) 55 88.7 8 80 10 100 Media cetak (surat kabar, majalah, buku) 39 62.9 10 100 3 30 Orang Tua 52 83.9 - - - -

Guru 48 77.4 - - 4 40

Teman 26 41.9 7 70 1 10

Lainya (internet) 2 3.2 3 30 0 0

Siswa dan guru menyatakan bahwa mendengar informasi mengenai BTP tidak hanya dari satu sumber saja, melainkan dari radio, surat kabar, majalah, buku, orang tua, guru, teman-teman, dan sumber lainnya (internet) juga berperan dalam penyampaian informasi tentang BTP. Pengetahuan gizi bisa diperoleh dari pendidikan formal maupun informal. Pendidikan formal dapat diperoleh dari pengajar dengan diadakanya pendidikan gizi. Pendidikan gizi adalah proses belajar dalam bidang gizi sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku mengenai gizi yang lebih baik. Selain itu, melaui media komunikasi seperti televisi, majalah, Koran, radio, atau penyuluhan kesehatan gizi, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan gizi. Uraian terhadap hasil pengetahuan gizi dapat di lihat dari Tabel 14 yang menunjukkan pertanyaan yang di jawab dengan benar oleh siswa, guru, dan pedagang.

Tabel 14 Persentase siswa, guru, dan pedagang yang menjawab pertanyaan pengetahuan mengenai BTP dengan benar.

Pertanyaan Siswa Guru Pedagang

n % n % n %

1 Definisi makanan/minuman yang bergizi 59 95.2 10 100 4 40 2 Definisi makanan jajanan

(makanan/minuman) 31 50.0 10 100 0 0 3 Contoh makanan jajanan yang bergizi 61 98.4 10 100 0 0 4 Definisi BTP 55 88.7 9 90 6 60 5 Manfaat penggunaan BTP 32 51.6 10 100 0 0 6 Contoh BTP 45 72.6 4 40 1 10 7 Ciri makanan yang menggunakan

pemanis buatan 25 40.3 9 90 9 90 8 Ciri makanan yang mengandung

pengawet 38 61.3 10 100 5 50 9 Contoh BTP yang dilarang 45 72.6 9 90 9 90 10 Apakah fungsi sebenarnya dari formalin 5 8.1 0 0 0 0 11 Contoh makanan yang mungkin

ditambahkan formalin 18 29.0 0 0 0 0 12 Ciri bakso yang mengandung formalin

dan boraks 53 85.5 10 100 2 20 13 Ciri jajanan yang menggunakan

pewarna sintetis (buatan) 49 79.0 10 100 6 60 14 Fungsi MSG (Monosodium Glutamat) 30 48.4 1 10 1 10 15 Contoh jajanan yang mungkin

mengandung MSG 51 82.3 10 100 7 70 16 Bahaya BTP bagi kesehatan 56 90.3 10 100 4 40

Berdasarkan Tabel 14 pertanyaan yang diberikan, secara umum pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan benar oleh contoh. Adapun pertanyaan yang tidak dijawab dengan benar oleh sebagian kecil siswa (8.1%) dalam menjawab mengenai fungsi sebenarnya dari formalin. Bahkan tidak seorangpun guru dan pedagang (0%) yang menjawab dengan benar mengenai fungsi sebenarnya dari formalin dan contoh makanan yang mungkin ditambahkan formalin. Fungsi formalin adalah sebagai insektisida dan pengawet mayat dan contoh makanan yang mungkin ditambahkan formalin yaitu bakso, mie, tahu dan ikan asin. Selebihnya contoh dapat menjawabnya dengan benar.

Sikap Gizi

Sikap mencerminkan kesenangan atau ketidaksenangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari orang yang dekat dengan kita. Orang-orang yang berada disekitar kita akan membuat kita menerima atau menolak sesuatu (Contento 2007). Oleh karena itu, pembentukan sikap juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Menurut Khomsan (2000) sikap gizi merupakan tahapan lebih lanjut dari pengetahuan yang dimiliki seseorang. Seseorang dengan pengetahuan yang baik maka akan memiliki sikap yang baik pula. Sikap merupakan suatu pandangan tetapi dalam hal ini masih berbeda dengan suatu pengetahuan yang dimiliki orang. Pengetahuan mengenai suatu objek tidak sama dengan sikap terhadap objek itu. Pengetahuan saja belum menjadi penggerak, seperti halnya pada sikap. Pengetahuan mengenai suatu objek baru menjadi sikap apabila pengetahuan itu disertai kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap objek tersebut (Purwanto 1998).

Berdasarkan Tabel 15 menunjukan sebagian besar siswa (88.7%) memiliki sikap gizi baik terhadap BTP. Sebagian kecil siswa (11.3%) memiliki sikap gizi sedang terhadap BTP. Rata-rata total skor sikap gizi siswa dala kategori baik (86.5%) dan simpangan baku (6.8). sebagian besar guru (100%) memiliki pengetahuan gizi baik terhadap BTP. Semua pertanyaan dapat dijawab dengan benar oleh seluruh guru. Rata-rata total skor sikap gizi guru dalam kategori baik (94%) dan simpangan baku (5.2). sebagian besar pedagang (70%) memiliki pengetahuan gizi sedang terhadap BTP. Sedangkan sebagian kecil (30%) memiliki pengetahuan gizi kurang terhadap BTP. Rata-rata total skor sikap gizi pedagang dalakategori sedang (67.0%) dan simpangan baku (14.9). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 15 menunjukan sebaran siswa, guru, dan pedagang berdasarkan sikap gizi terhadap BTP

Tabel 15 Sebaran siswa, guru, dan pedagang berdasarkan sikap gizi terhadap BTP Kategori Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan n % n % n % Siswa Baik (>80%) 30 88.2 25 89.3 55 88.7 Sedang (60%-80%) 4 11.8 3 10.7 7 11.3 Kurang (<60%) 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Total 34 100.0 28 100.0 62 100.0 Guru Baik (>80%) 3 75 5 83.3 8 80 Sedang (60%-80%) 1 25 1 16.7 2 20 Kurang (<60%) 0 0 0 0 0 0 Total 4 100 6 100 10 100 Pedagang Baik (>80%) 2 28.6 1 33.3 3 30 Sedang (60%-80%) 3 42.9 2 66.7 5 50 Kurang (<60%) 2 28.6 0 0.0 2 20 Total 7 100.0 3 100.0 10 100

Uji F untuk menguji kesamaan ragam menunjukan bahwa pada =0.05 ragam sikap siswa laki-laki dan perempuan sama, seperti dapat dilihat pada Tabel 16 Karena ragamnya sama sedangkan nilai F hitung (0.66) dan peluang (0.41), maka pengujian kesamaan rata-rata dari sikap gizi menggunakan uji t untuk populasi yang ragamnya sama. Berdasrkan uji t pada = 0.05, bahwa rata-rata sikap gizi laki-laki dan perempuan sama. Hal ini diduga bahwa siswa memiliki sikap yang homogen tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, selain itu jenis jajanan yang dikonsumsi siswa sama setiap hari.

Tabel 16 Hasil uji ragam dan rata-rata sikap gizi siswa

Sikap Gizi Laki-laki Perempuan

n 34 28

Rata-rata 68.0 69.4

Sd 6.22 4.89

Sikap Gizi Ragam

Diasumsikan Sama

Ragam Diasumsikan Tidak Sama

Hasil uji t-test t -0.98 -1.01

df 60 59.88

Peluang (2-tailed) 0.32 0.31 Rata-rata -1.42 -1.42

Simpangan baku galat 1.44 1.41

Menurut Notoatmodjo (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi dalam diri individu. Lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep pada sesorang. Hal tersebut menjadikan dasar sebagai

program-program pendidikan gizi dilakukan melalui perantara lembaga pendidikan. Sikap belum merupakan suatu tindakan akan tetapi merupakan predisposisi tindakan. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang tebuka (Notoadmodjo, 2003).

Uraian terhadap hasil sikap gizi dapat di lihat dari Tabel 17 yang menunjukkan bahwa pertanyaan yang di jawab dengan benar oleh siswa. Berdasarkan pertanyaan yang diberikan, secara umum pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan positif oleh siswa. Sebagian besar siswa (100%) memilih sikap positif mengenai BTP harus selalu digunakan dalam pengolahan makanan dan minuman jajanan. Sebagian kecil siswa (11.3%) memiliki sikap positif mengenai membawa bekal makanan dari rumah. Adapun faktor penyebab siswa malas membawa bekal dari rumah yaitu menganggap membawa bekal dari rumah tidak praktis dan jajan di sekolah lebih praktis. Selebihnya, lebih dari

Dokumen terkait