• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan, sikap, dan praktek gizi Sekolah Menengah Pertama terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada makanan jajanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengetahuan, sikap, dan praktek gizi Sekolah Menengah Pertama terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada makanan jajanan"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

TAMBAHAN PANGAN (BTP) PADA MAKANAN JAJANAN

ANITA OCTAVIANA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

Menengah Pertama Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pada Makanan Jajanan. Dibimbing oleh BUDI SETIAWAN dan DADANG SUKANDAR

Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan praktek gizi siswa sekolah menengah pertama tentang penggunaan BTP pada makanan jajanan. Sedangkan tujuan khususnya adalah menganalisis karakteristik siswa, guru, dan pedagang (jenis kelamin, usia, pendapatan/uang saku, tingkat pendidikan), menganalisis kebiasaan jajan di sekolah, menganalisis jenis BTP yang digunakan, menganalisis pengetahuan gizi terhadap penggunaan BTP, menganalisis sikap gizi terhadap penggunaan BTP, menganalisis praktek gizi terhadap penggunaan BTP, dan menganalisis hubungan antara pengetahuan, sikap, praktek gizi terhadap penggunaan BTP.

Penelitian ini menggunakan metode survey yang dilakukan di lingkungan SMPN 5 Bogor yang berlokasi di Jalan Dadali no 10A Kota Bogor. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2010. Populasi dalam penelitian ini ada tiga yaitu siswa kelas VIII, guru, dan pedagang makanan. Metode yang digunakan dalam pengambilan contoh dilakukan secara cluster sampling yaitu 62 siswa, pengambilan contoh guru diambil secara purposive untuk guru yaitu sebanyak 10 orang. Sedangkan pedagang makanan sebanyak 10 orang yang diamati semua.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Pengambilan data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan alat bantu kuesioner yang diisi oleh contoh setelah mendapat penjelasan dari peneliti. Jenis data primer yang dikumpulkan antara lain karakteristik (usia, jenis kelamin, pendapatan/uang saku), karakteristik sosial ekonomi (tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan) pengetahuan gizi, sikap, praktek tentang penggunaan BTP pada makanan jajanan, kebiasaan jajan responden (food frequency questionare). Adapun data sekunder diperoleh dari pihak sekolah meliputi profil sekolah, jumlah siswa dan peraturan yang berlaku di sekolah. Analisis data yang dilakukan dengan menggunakan program komputer yang digunakan adalah program Microsoft excel dan SPSS 16.0 for windows. Analisis data yang dilakukan secara deskriptif, Independent sample T-Test, kolerasi pearson sesuai dengan jenis skala dari masing-masing variabel.

Persentase terbesar siswa yaitu yang berusia 13 tahun sebanyak 88.2% siswa laki-laki dan 75.0% siswa perempuan. Persentase guru terbesar yaitu berusia 40-45 tahun sebanyak 60%. Persentase pedagang terbesar yaitu berusia 32-36 tahun sebesar 40%. Besar uang saku siswa antara Rp 5.000-Rp. 25.000 per hari. Sebagian besar (53.2%) siswa menerima uang saku antara Rp 10.000-Rp 15.000. Besar uang saku yang dimiliki siswa untuk keperluan seperti biaya transportasi, jajan, pulsa, dan menabung. Persentase terbesar yaitu 50% pendapatan guru per bulannya yaitu >RP. 2.800.000. Persentase terbesar yaitu 60% pendapatan pedangang per bulannya yaitu Rp. 1.000.000-Rp. 1.500.000. Tingkat pendidikan guru menunjukkan bahwa sebesar 80% guru dengan tingkat pendidikan Strata S1. Persentase terbesar pedagang yaitu 50% dengan tingkat pendidikan SLTP.

(3)

dalam kategori baik yakni sebesar 94%. Sikap pedagang kategori sedang yakni sebesar 67.0%. Hal ini dapat dikatakan bahwa pengetahuan dapat membentuk sikap seseorang mengenai penggunaan BTP dimana apabila pengetahuan baik maka sikap akan baik pula. Tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara sikap gizi dengan jenis kelamin. Hal ini diduga bahwa siswa memiliki sikap yang homogen tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, selain itu jenis jajanan yang ada pada umumnya tidak beraneka ragam.

Praktek gizi siswa dalam kategori kurang yakni sebesar 57.1%. Praktek gizi guru dalam kategori sedang yakni sebesar 68%. Praktek gizi pedagang dalam kategori kurang yakni sebesar 59.2%. Hal ini dapat dikatakan bahwa praktek yang kurang ini dipicu juga oleh banyaknya aktifitas contoh disekolah sehingga memungkinkan bahwa responden sesering mengkonsumsi makanan jajanan. Pedagang diduga bahwa berupaya untuk memberikan penampilan yang menarik dan rasa yang disenangi dengan menambahkan BTP tanpa memperdulikan efek samping apabila penggunaan diberikan secara berlebih. Ada perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara praktek gizi dengan jenis kelamin. Hal ini diduga bahwa banyaknya aktifitas siswa di sekolah sehingga memungkinkan bahwa siswa sering mengkonsumsi makanan jajanan.

Frekuensi jajan siswa per minggu sebanyak 53.2% siswa memiliki frekuensi jajan makanan utama 6–10 kali per minggu. Sebagian besar persentase 33.8% siswa memiliki frekuensi jajan makanan ringan 6–10 kali per minggu. Sebesar 48.3% siswa memiliki frekuensi jajan jenis minuman 6–10 kali per minggu. Sumber jananan makanan yang paling diminati oleh siswa yaitu mie ayam, sedangkan pada guru yaitu nasi uduk. Baik mie ayam maupun nasi uduk, keduanya dapat memberikan kalori yang cukup untuk mendukung aktivitas fisik dan memenuhi kecukupan energi dalam sehari.

(4)

school students in using food additive of street food. Under direction of BUDI SETIAWAN and DADANG SUKANDAR.

The purpose of this research is to analyze about nutritional knowledge, attitude, and practice of junior high school students in using food additive of street food. The data was collected using questionnaire through interview to the students, teachers, and food sellers in school canteen. The students were chosen by cluster sampling technique. Meanwhile the teachers and food sellers were chosen by purposive sampling. The data was analyzed by independent sample T-test and pearson correlation.

The result shows that the students average score on nutritional knowledge are in good category (82.1%), and the teachers are in good category (86.8%), however the food sellers are in middle category (66.1%). The students average score on nutritional attitude are in good category (86.5%), those data are the same with the data of teachers nutrition attitude too (94.0%) but it is different with data of food sellers nutritional attitude. They are in middle category (50%). The students average score on nutritional practice are in low category (57.1%). While, the teachers are in middle category (68%) and the food sellers are in low category (59.2%).

According to t-test, there was no significant difference (p>0.05) in average nutrition knowledge and also the average nutritional attitude between boys and girls. However the average nutritional practice was significantly difference. The result of pearson correlation shows that there was a significant relationship (p<0.05) between knowledge and nutritional attitude, but there was no significant relationship (p>0.05) between attitude and nutritional practice.

(5)

TAMBAHAN PANGAN (BTP) PADA MAKANAN JAJANAN

ANITA OCTAVIANA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi Pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

Pertama Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pada Makanan Jajanan

Nama : Anita Octaviana NIM : I 14086006

Menyetujui

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc NIP. 19621218 198703 1 001 NIP. 19590725 198609 1 001

Mengetahui

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

(7)

menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengetahuan, Sikap Dan Praktek Gizi Siswa Sekolah Menengah Pertama Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pada Jajanan ini berhasil diselesaikan.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dari berbagai pihak. Maka penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc selaku pembimbing yang dengan sabar membimbing, memberikan saran dan arahannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

2. drh. M. Rizal Martua Damanik, MRepSc, Ph.D selaku dosen penguji skripsi 3. Ayah, mamah dan adik tercinta atas segala doa, nasehat dan dorongan

semangat yang selalu diberikan kepada penulis baik materil maupun moril, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Teman-teman Program Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi Angkatan 2 yang selalu memberikan saran, doa dan semangatnya kepada penulis.

5. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Maka dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan selanjutnya. Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya penulis pribadi dan semua pihak pada umumnya. Amin.

Bogor, Januari 2011

(8)

merupakan anak pertama dari dua bersaudara, memiliki adik laki-laki bernama Harisma Dwi Satria dari keluarga Bapak Asep Setiawan, SP dan Ibu Rosmawati, SE.

Pendidikan formal pertama ditempuh penulis pada tahun 1991-1993 di TK Al-Munawar Kota Bogor. Tahun 1993 sampai 1999 penulis melanjutkan sekolah di SDN Kebon Pedes 3 Kota Bogor. Tahun 1999 sampai 2002 melanjutkan sekolah di SLTPN 5 Kota Bogor. Pada tahun 2002 sampai 2005 melanjutkan sekolah di SMUN 6 Kota Bogor. Pada tahun 2005 sampai 2008 melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI program Diploma. Pada tahun 2008 melanjutkan pendidikan Sarjana (S1) di Program Penyelenggaran Khusus Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

(9)

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

Kegunaan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Bahan Tambahan Pangan ... 5

Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan dan Yang Dilarang ... 6

Bahan Tambahan Pangan yang Sering Digunakan Pada Makanan . 7 Pengawet Makanan ... 7

Pewarna Makanan ... 8

Pemanis Makanan ... 9

Penyedap Rasa dan Aroma Makanan ... 9

Pengetahuan Gizi ... 10

Sikap Gizi ... 10

Praktek Gizi ... 12

Kebiasaan Makan ... 12

Makanan Jajanan ... 13

Makanan dan Kesehatan ... 14

Remaja Usia Sekolah ... 15

Status Gizi Anak Sekolah ... 16

KERANGKA PEMIKIRAN ... 18

METODOLOGI PENELITIAN ... 20

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ... 20

Teknik Penarikan Contoh ... 20

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 20

Pengolahan dan Analisis Data ... 21

Definisi Operasional ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

Karakteristik Contoh ... 27

Umur dan Jenis Kelamin ... 27

(10)

Jenis Bahan Tambahan Pangan ... 30

Kebiasaan Jajan ... 31

Jenis Jajanan yang Dikonsumsi ... 32

Status Gizi Siswa ... 33

Pengetahuan Gizi ... 34

Sikap Gizi ... 37

Praktek Gizi ... 40

Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap dan Praktek Gizi ... 44

KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

Kesimpulan ... 47

Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(11)

1. Variable, Jenis Data, dan Cara Pengumpulan Data ... 21

2. Kategori Variabel Penelitian ... 22

3. Sebaran Siswa, Guru dan Pedagang Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ... 27

4. Sebaran Siswa Berdasarkan Uang Saku ... 28

5. Sebaran Guru dan Pedagang Bedasarkan Tingkat Pendidikan ... 28

6. Sebaran Guru dan Pedagang Berdasarkan Pendapatan ... 30

7. Sebaran Pedagang Menurut Cara Pengadaan Makanan (Dibuat Atau Dibeli) Yang Menggunakan BTP ... 30

8. Sebaran Siswa Berdasarkan Frekuensi Jajan ... 31

9. Persentase Siswa dan Guru Menurut Jenis Jajanan ... 33

10. Sebaran Siswa Menurut Status Gizi. ... 33

11. Sebaran Siswa, Guru dan Pedagang Berdasarkan Pengetahuan Gizi BTP ... 34

12. Hasil Uji Ragam dan Mean Pengetahuan Gizi Siswa ... 35

13. Sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan sumber informasi terhadap BTP ... 36

14. Persentase siswa, guru, dan pedagang yang menjawab pertanyaan pengetahuan mengenai BTP dengan tepat ... 36

15. Sebaran Siswa, Guru, dan Pedagang Berdasarkan Sikap Gizi terhadap BTP ... 38

16. Hasil Uji Ragam dan Mean Sikap Gizi Siswa ... 38

17. Persentase Sikap Siswa yang Menjawab Pertanyaan Mengenai Bahan Tambahan Pangan (BTP) dengan Jawaban Benar ... 39

18. Persentase Sikap Guru dan Pedagang yang Menjawab Pertanyaan Mengenai BTP dengan Jawaban Benar ... 40

19. Sebaran Siswa, Guru, dan Pedagang Berdasarkan Praktek Gizi Terhadap BTP ... 41

20. Hasil Uji Ragam dan Mean Praktek Gizi Siswa ... 41

21. Persentase Siswa dan Guru Menurut Jawaban Pertanyaan Mengenai Praktek Gizi Terkait BTP ... 43

(12)
(13)

1. Gambaran umum sekolah ... 54

2. Struktur organisasi SMP Negeri 5 Bogor ... 55

3. Hasil uji ragam dan rata-rata pengetahuan gizi siswa ... 56

4. Hasil uji ragam dan rata-rata sikap gizi siswa ... 56

5. Hasil uji ragam dan rata-rata praktek gizi siswa ... 57

6. Matrik korelasi antara pengetahuan, sikap dan praktek gizi siswa ... 57

7. Jenis jajanan yang dijual di kantin SMP Negeri 5 Bogor ... 58

(14)

Pembangunan suatu bangsa adalah suatu usaha yang dirancang secara khusus untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Kesehatan adalah salah satu komponen kualitas manusia, agar dapat hidup dengan baik dan sehat, manusia memerlukan makanan yang harus dikonsumsi setiap hari. Mutu makanan besar sekali peranannya dalam menjamin kesehatan manusia.

Ketidaktahuan tentang bahan makanan dapat menyebabkan pemilihan makanan yang salah dan rendahnya pengetahuan gizi akan menyebabkan sikap tidak peduli terhadap makanan tertentu. Menurut Khomsan (2000) untuk mengatasi masalah gizi, masyarakat perlu memperoleh bekal pengetahuan gizi. Memiliki pengetahuan gizi tidak berarti seseorang mau mengubah kebiasaan mengkonsumsi makan. Mereka mungkin mengerti tentang protein, karbohidrat, vitamin, mineral dan zat gizi lainnya yang diperlukan untuk kebutuhan, tetapi tidak pernah mengaplikasikan pengetahuan gizi didalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Khomsan (2003) dalam memilih makanan, seseorang memasuki tahap independensi, yaitu kebebasan dalam memilih makanan apa saja yang disukainya. Aktivitas fisik yang banyak dilakukan di luar rumah, membuat seseorang sering dipengaruhi rekan sebayanya. Pemilihan makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi makanan tersebut melainkan sekadar bersosialisasi untuk kesenangan dan supaya tidak kehilangan status.

Masalah gizi muncul dikarenakan perilaku gizi yang salah, yaitu ketidakseimbangan antara konsumsi gizi dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Ketidakseimbangan antara makanan yang dikonsumsi dengan kebutuhan akan menimbulkan masalah gizi kurang atau masalah gizi lebih. Kekurangan gizi menurut Soekirman (2002) akan mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit, meningkatkan angka penyakit (morbidiitas), mengalami pertumbuhan tidak normal (pendek), tingkat kecerdasan rendah, produktivitas rendah dan terhambatnya organ reproduksi. Susanto (2003) menegaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan gizi adalah kebiasaan makan. Makanan jajanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan dan gizi akan mengancam kesehatan. Nafsu makan akan berkurang akibat mengkonsumsi makanan jajanan, jika berlangsung lama akan berpengaruh pada status gizi.

(15)

sendiri berdasarkan pengalaman hidup sedangkan secara eksternal yaitu pengetahuan yang berasal dari orang lain sehingga pengetahuan tentang gizi bertambah. Sikap pemilihan makanan jajanan merupakan hasil perubahan pada seseorang dan mengalami perubahan terus-menerus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dan tingkat budaya tersebut salah satu faktor yang mempengaruhi sikap pemilihan makanan jajanan adalah sikap dalam pemilihan makanan (Solihin 2005).

Salah satu sikap penting dan mendasar sebagai sebab timbulnya masalah gizi kurang adalah adanya sikap pemilihan makanan jajanan individu yang tidak sesuai dengan kaidah gizi (Susanto 2003). Makanan jajanan anak sekolah yang diproduksi secara tradisional dalam bentuk industri rumah tangga terkadang diragukan keamanannya, namun jajanan yang diproduksi industri makanan tersebut berteknologi tinggi juga, belum tentu terjamin keamanannya. Oleh karena itu, keamanan makanan jajan merupakan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian serius, konsisten dan disikapi bersama.

Penggunaan BTP dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Dampak penggunaannya dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat. Penyimpangan dalam penggunaannya akan membahayakan kita bersama, khususnya generasi muda sebagai penerus pembangunan bangsa (Cahyadi 2008).

Berdasarkan hasil penelitian Iswarawanti et al. (2007) yang dilakukan di Bogor, terbukti bahwa makanan jajanan yang terkena cemaran mikrobiologis dan cemaran kimiawi yang umum ditemukan pada makanan jajanan kaki lima, yang disebabkan oleh penggunaan BTP ilegal seperti boraks (pengempal yang mengandung logam berat Boron), formalin (pengawet untuk mayat), rhodamin B (pewarna merah untuk tekstil), dan methanil yellow (pewarna kuning untuk tekstil). Hasil penelitian selama ini menemukan bahwa zat pewarna Rhodamin B dan Metanil Yellow banyak digunakan pada produk makanan industri rumah tangga. Rhodamin B adalah bahan kimia yang digunakan untuk pewarna merah pada industri tekstil dan plastik. Pada makanan, Rhodamin B dan Metanil Yellow sering dipakai mewarnai kerupuk, makanan ringan, terasi, kembang gula, sirup, biskuit, sosis, makaroni goreng, minuman ringan, cendol, manisan, dan ikan asap. Makanan yang diberi zat pewarna tersebut biasanya berwarna lebih terang dan memiliki rasa yang agak pahit (Mudjajanto 2005).

(16)

sekolah beberapa pedagang yang menjual beraneka ragam makanan dan minuman jajanan antara lain nasi uduk, mie ayam, mie bakso, permen, makanan kemasan (snack), makanan gorengan, minuman kemasan, dan es sirop. Berdasarkan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana pengetahuan, sikap, dan praktek gizi siswa sekolah menengah tentang penggunaan BTP pada makanan jajanan.

Tujuan Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan praktek gizi siswa sekolah menengah pertama tentang penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) pada makanan jajanan.

Tujuan Khusus

1. Menganalisis karakteristik siswa, guru, dan pedagang (jenis kelamin, usia, pendapatan/uang saku, tingkat pendidikan)

2. Menganalisis kebiasaan jajan di sekolah

3. Menganalisis jenis BTP yang digunakan dalam makanan jajanan

4. Menganalisis pengetahuan gizi terhadap penggunaan BTP dalam makanan jajanan

5. Menganalisis sikap gizi terhadap penggunaan BTP dalam makanan jajanan 6. Menganalisis praktek gizi terhadap penggunaan BTP dalam makanan jajanan 7. Menganalisis hubungan antara pengetahuan, sikap, praktek gizi terhadap

penggunaan BTP dalam makanan jajanan

Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah :

1. Terdapat perbedaan antara pengetahuan, sikap, praktek gizi terhadap penggunaan BTP dalam makanan jajanan antara siswa laki-laki dengan siswa perempuan terhadap penggunaan BTP

2. Terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap, praktek gizi terhadap penggunaan BTP dalam makanan jajanan antara siswa laki-laki dengan siswa perempuan terhadap penggunaan BTP

Kegunaan Penelitian

(17)
(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Tambahan Pangan

Bahan Tambahan Pangan (BTP) merupakan bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam makanan selama proses produksi, pengolahan, pengemasan, atau penyimpanan untuk tujuan tertentu. Menurut PP No. 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan, BTP didefinisikan sebagai bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat dan bentuk pangan.

Menurut Codex alimelarius committee (2005), BTP didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam makanan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan makanan baik dalam proses pembuatan, pengolahan, penyiapan perlakuan, pengepakan, pengangkutan, dan penyimpanan produk olahan, agar menghasilkan suatu makanan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi khas makanan tersebut.

Penggunaan BTP diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/Menkes/Per/x/1999 pemerintah mengizinkan penggunaan BTP yang tidak mempunyai resiko terhadap kesehatan manusia dan melarang penggunaan BTP yang berbahaya, seperti boraks dan senyawanya, atau melampaui ambang batas yang diperbolehkan. Produk pangan yang mengandung BTP yang dinyatakan terlarang tidak diizinkan beredar di masyarakat dan pelanggaran terhadap aturan ini dikenakan sanksi yang tegas.

Khomsan (2003) menyatakan bahwa keberadaan BTP adalah untuk membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik, serta rasa dan teksturnya lebih sempurna. Zat-zat itu ditambahkan dalam jumlah sedikit, namun hasilnya sungguh menakjubkan. BTP ternyata sudah lama digunakan dalam pengawetan makanan. Orang romawi kuno menggunakan garam untuk mengawetkan daging, dan sulfur untuk mencegah terjadinya oksidasi pada minuman anggur.

(19)

pabrik, restoran-restoran, maupun industri rumah tangga menggunakan BTP untuk meningkatkan kepuasan konsumen (Cahyadi 2008).

Menurut Saparinto et al. (2006), menegaskan bahwa fungsi BTP dapat dikelompokkan menjadi: (1) Meningkatkan nilai gizi makanan, (2) memperbaiki nilai estetika dan sensori makanan, (3) memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan. BTP bisa memiliki nilai gizi, tetapi bisa pula tidak. Menurut ketentuan yang ditetapkan, ada beberapa kategori BTP. Pertama, BTP yang bersifat aman, dengan dosis yang tidak dibatasi, misalnya pati. Kedua, bahan BTP yang digunakan dengan dosis tertentu, dan dengan demikian dosis maksimum penggunaannya juga telah ditetapkan. Ketiga, Bahan tambahan yang aman dan dalam dosis yang tepat, serta telah mendapat izin beredar dari instansi yang berwenang, misalnya zat pewarna yang sudah dilengkapi sertifikat aman (Yulianti 2007). Menurut Cahyadi (2008) pada umumnya BTP dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut (1) Bahan tambahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras, dan (2) Bahan tambahan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan.

Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan dan yang Dilarang

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/Menkes/Per/x/1999 BTP yang diizinkan diantaranya sebagai berikut (1) Antioksidan (antioxidant), (2) Antikempal (Anticaking Agent), (3) Pengatur keasaman (acidity Regulator), (4) Pemanis buatan (artificial sweetener), (5) Pemutih dan pematang tepung (flour treatment agent), (6) Pengemulsi, pemantap, dan pengental (emulsifier, stabilizer, thickener), (7) Pengawet (preservative), (8) Pengeras (firming agent), (9) Pewarna (colour), (10) Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (flavour, flavour enhancer), dan (11) Sekuestran (sequestrant).

(20)

meningkatkan nilai gizi pangan, dan (3) Humektan, yaitu BTP yang dapat menyerap lembab (uap air) sehingga mempertahankan kadar air pangan.

Sementara BTP yang dilarang digunakan dalam makanan, menurut Permenkes RI No. 1186/Menkes/Per/x/1999, sebagai berikut (1) Natrium tetraborat (boraks), (2) Formalin (formaldehyd), (3) Minyak nabati yang dibrominasi (brominated vegetable oils), (4) Kloramfenikol (chlorampenicol), (5) Kalium klorat (pottasium chlorate), (6) Dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonate, DEPC), (7) Nitrofurazon (nitrofurazone), (8) P-Phenetilkarbamida ( p-Phenethycarbamide, Dulcin, 4-ethoxyphenyl uera), dan (9) Asam salisilat dan garamnya (salicylyc acid and its salt)

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/PER/X/1999, selain bahan tambahan di atas masih ada tambahan kimia yang dilarang seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyi yellow (pewarna kuning), dulsin (pemanis sintetis), dan kalsium bromat (pengeras).

Bahan Tambahan Pangan yang Sering Digunakan pada Makanan Bahan tambahan pangan (BTP) yang sering digunakan khususnya pada makanan dan minuman jajanan antara lain pengawet, pewarna, pemanis, dan penyedap rasa dan aroma.

Pengawet Makanan

Bahan pengawet adalah bahan yang dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, penguraian, atau pengasaman yang disebabkan oleh mikroorganisme. Zat pengawet dipergunakan untuk mengawetkan makanan atau memberikan kesan segar pada makanan (Irianto 2007). Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang menyebabkan keracunan maupun non-patogen yang menyebabkan kerusakan bahan makanan seperti pembusukan. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang apabila pemakaiannya berlebihan kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi orang yang mengkonsumsi baik langsung misalnya keracunan maupun tidak langsung atau kumulatif misalnya kanker (Cahyadi 2008).

(21)

ditujukan untuk tekstil, plastik, bahkan pengawet mayat. Bahan-bahan pengawet tersebut yang paling sering digunakan adalah formalin dan boraks.

Formalin biasanya digunakan sebagai pengawet mayat, tetapi dalam beberapa makanan seperti mie basah, tahu, ikan asin, bakso, dan permen ditemukan adanya formalin. Sementara boraks yang biasanya digunakan sebagai fungisida, herbisida dan insektisida, meskipun bukan pengawet makanan sering pula digunakan sebagai pengawet dan pengenyal makanan antara lain bakso, lontong, mie, kerupuk dan berbagai makanan tradisional. Ciri-ciri bakso yang mengandung formalin dan boraks yakni sangat kenyal, warna lebih putih dan akan menjadi abu-abu tua jika ditambahkan obat bakso berlebihan (Yulianti 2007).

Menurut Saparinto et al. (2006) menyatakan bahwa ada beberapa bahan pengawet alternatif yang aman untuk menggantikan formalin yaitu (1) Asam Laktat Kubis, sebagai pengawet ikan segar dapat disimpan selama 12 jam dalam suhu kamar, (2) Khitosan, merupakan limbah atau produk samping dari pengolahan udang dan rajungan yang sangat efektif untuk mengawetkan ikan asin, teri, cumi asin mampu bertahan selama 3 bulan, (3) Kepayang (kluwek/pucung/hapesang), dapat mengawetkan ikan segar selama 6 hari, (4) Asap Cair, merupakan dispersi uap dalam cairan sebagai hasil kondensasi asap dari pirolis kayu atau tempuruk kelapa (pengawet ikan, mie basah, tahu, bakso).

Pewarna Makanan

Zat pewarna ditambahkan ke dalam makanan bertujuan untuk menarik selera dan keinginan konsumen. Zat-zat pewarna alam yang sering digunakan misalnya kunyit dan daun pandan. Dibandingkan dengan pewarna alami maka bahan pewarna buatan mempunyai banyak kelebihan yaitu dalam hal aneka ragam warnanya, keseragaman warna, kestabilan warna, dan penyimpanannya lebih mudah serta lebih tahan lama (Winarno 1997).

Irianto (2007) menegaskan bahwa hampir setiap makanan olahan telah dicampur dengan pewarna sintetis mulai dari jajanan anak-anak, kerupuk, tahu, terasi bahkan buah dingin termasuk mangga. Jika penggunaan bahan-bahan sintetis tersebut secara terus menerus dan melebihi dari kadar yang sudah ditentukan, maka akan terakumulasi dalam tubuh yang akhirnya akan merusak jaringan atau organ tubuh seperti hati dan ginjal. Bahan-bahan sintetis ini tidak saja menganggu kesehatan jika terakumulasi, tetapi juga dapat menyebabkan nilai gizi pada makanan tertentu berkurang.

(22)

karena tidak menutup kemungkinan warna yang terlalu mencolok tersebut berasal dari bahan pewarna non-makanan seperti pewarna tekstil yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Yulianti 2007). Menurut Permenkes No. 1168/Menkes/PER/X/1999 batas aman penggunaan bahan pewarna yaitu 30-300 mg/kg BB/hari tergantung jenis BTP yang digunakan.

Pemanis Makanan

Cahyadi (2008) menyatakan bahwa industri pangan dan minuman lebih menyukai menggunakan pemanis sintetis karena selain harganya relatif murah, tingkat kemanisan pemanis sintetis jauh lebih tinggi dari pemanis alami. Hal tersebut mengakibatkan terus meningkatnya penggunaan pemanis sintetis terutama sakarin dan siklamat. Rasa manis yang dirasakan dari pemanis sintetis biasanya menimbulkan rasa ikutan pahit yang semakin terasa dengan bertambahnya bahan pemanis ini. Dalam kehidupan sehari-hari, pemanis buatan sakarin dan siklamat maupun campuran keduanya sering ditambahkan ke dalam berbagai jenis jajanan anak-anak seperti makanan ringan (snack), cendol, limun, makanan tradisional dan sirop (Yulianti 2007). Menurut WHO batas aman penggunaan bahan pemanis sintetis yaitu 0-5 mg/kg BB/hari.

Penyedap Rasa dan Aroma Makanan

Menurut Permenkes RI No. 1168/Menkes/PER/X/1999 penyedap rasa dan aroma didefenisikan sebagai BTP yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Bahan penyedap mempunyai beberapa fungsi sehingga dapat memperbaiki, membuat lebih bernilai atau diterima, dan lebih menarik. Sifat utama pada penyedap adalah memberi ciri khusus suatu makanan seperti flavor jeruk manis, jeruk nipis, lemon dan sebagainya (Cahyadi 2008).

(23)

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan merupakan kesan yang ada dalam pikiran manusia, dimana kesan tersebut merupakan hasil dari penggunaan panca inderanya (Soekanto 2002). Menurut Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian Rogers (1974), diacu dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat tahan lama. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.

Pengetahuan gizi seseorang dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal. Pendidikan formal ialah melalui kurikulum yang diterapkan di sekolah, dicirikan dengan adanya tingkatan kronologis yang ketat untuk tingkat usia sasaran. Sementara pendidikan informal tidak terorganisasi secara struktural dan tidak mengenal tingkatan kronologis, keterampilan, dan pengetahuan, tetapi terselenggara setiap saat di lingkungan sekitar manusia (Hayati 2000). Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui pendidikan formal, informal dan non formal. Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek tertentu (Sukandar 2009).

Menurut Sukandar (2009), pengaruh pengetahuan gizi terhadap konsumsi makanan tidak selalu linier, artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi, belum tentu konsumsi makanan menjadi baik. Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan ketrampilan gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan cenderung memilih makanan yang murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan dan minum sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi.

Sikap Gizi

Menurut Pranadji (1989), sikap seseorang dapat diketahui dari kecenderungan tingkah laku yang mengarah pada suatu objek tertentu. Jadi sikap belum merupakan suatu perubahan, akan tetapi dari sikap yang ditunjukannya, seseorang dapat diramalkan perbuatannya.

(24)

meninggalkan, bahkan sampai hal-hal yang merusak. Didalam sikap ada tiga komponen, yaitu : (1) Komponen kognitif, yang menyangkut pengertian, kepercayaan, motif, dan sebagainya, (2) Komponen afektif, yang melibatkan proses internal yang berkembang sebagai bagian dari emosi dan perasaan, dan (3) Komponen perilaku yang membentuk kecenderungan tertentu dan mengarahkannya pada suatu tindakan tertentu.

Sikap bersifat relatif tetap, stabil, dan terus menerus. Suatu sikap yang sudah tumbuh dalam psikis seseorang tidak mudah akan berubah. Umum mengetahui bahwa sikap itu terbentuk melalui pengetahuan dan pengalaman. Bahkan untuk membentuk sikap diperlukan penguatan-penguatan (reinforcement) yang sengaja dilakukan. Hasil belajar, pengalaman, kehidupan, dalam kelompok mempengaruhi pembentukan sikap seseorang dan dalam periode waktu yang cukup lama akan dapat menjadi sifat kepribadian seseorang. Sikap mengandung komponen afektif. Sikap terbentuk dari pengalaman seseorang, bertambah dan berkembang dalam psikis yang merupakan bagian perasaan dan emosi. Perasaan erat hubungannya dengan gejala psikis yang lain, merupakan proses internal, melibatkan keseluruhan pribadi dalam menanggapi objek pada suatu situasi.

Pendidikan baik formal maupun non formal merupakan upaya yang memungkinkan terjadinya perubahan sikap dan kepercayaan. Pendidikan akan menimbulkan pengalaman belajar pada seseorang, sehingga mengetahui dan lebih mengerti fakta-fakta tentang berbagai objek baik segi positif maupun segi negatifnya. Perubahan-perubahan akan memungkinkan tersentuhnya struktur konsep penilaian yang selama ini kurang tepat.

Menurut Suhardjo (1989) sikap manusia terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dan respon-respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan sejak masa kanak-kanak. Pengalaman yang diperoleh ada yang dirasakan menyenangkan atau sebaliknya tidak menyenangkan, sehingga setiap individu dapat mempunyai sikap suka atau tidak suka (like or dislike) terhadap makanan. Menurut Khomsan (1997) sikap gizi merupakan tahapan lebih lanjut dari pengetahuan gizi. Seseorang yang berpengetahuan gizi baik akan mengembangkan sikap gizi yang baik. Pembentukan sikap gizi akan lebih banyak dipengaruhi oleh kebiasaan/sosial budaya yang ada di masyrakat.

(25)

merupakan jawaban subjek terhadap stimulus yang ada pada suatu skala sikap, berupa setuju atau tidak setuju yang merupakan indikator utama subjek (Azwar 1988).

Praktek Gizi

Praktek adalah respons seseorang terhadap suatu rangsangan (stimulus). Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Praktek memiliki beberapa tingkatan yatu: (a) Persepsi (perception), ialah mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil, (b) Respon terpimpin (guide response), ialah dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai dengan contoh, (c) Mekanisme (mechanism), ialah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, dan (d) Adopsi (adoption), ialah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik (Notoatmodjo 2003).

Winkel (1996) menjelaskan bahwa sikap biasanya memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku. Sikap yang positif akan menumbuhkan perilaku yang positif dan sikap yang negatif menumbuhkan perilaku yang negatif. Melalui proses belajar akan diperoleh pengalaman yang nantinya dapat membentuk sikap, kemudian sikap akan dicerminkan dalam bentuk praktek yang sesuai dengan yang diharapkan. Akan tetapi menurut Sumintarsih et al. (2000), meskipun didukung oleh pengetahuan yang kemudian menumbuhkan suatu sikap dan keyakinan atas sesuatu, belum menjamin bahwa seseorang akan bertindak sesuai dengan apa yang diketahui dan dipahaminya.

Schantz (2004) menyatakan bahwa anak akan mengkonsumsi makanan yang tersedia bagi mereka. Jika makanan yang tersedia adalah makanan yang sehat dan bergizi, maka mereka akan makan makanan sehat dan bergizi. Maka dari itu, hal ini adalah kesempatan dan kewajiban orang tua untuk menawarkan anak-anak pilihan makanan sehat. Dengan demikian, hal ini mendorong mereka melakukan pola makan yang sehat, memberikan pendidikan gizi, dan meningkatkan gaya hidup sehat.

Kebiasaan Makan

(26)

menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan terhadap makanan, distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan, dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya.

Khumaidi (1994) menyatakan bahwa dari segi gizi, kebiasaan makan ada yang baik dan ada yang buruk. Kebiasaan makan yang baik adalah yang dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi. Sedangkan kebiasaan makan yang buruk adalah kebiasaan yang dapat menghambat terpenuhinya kecupan gizi, seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan konsep gizi. Konsumsi pangan sebagai cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengkonsumsi dan menggunakan makanan-makan yang tersedia, yang didasarkan pada fakto-faktor sosial dan budaya dimana individu tersebut hidup. Jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor sosial ekonomi keluarga (Khumaidi 1989 dalam Sukandar 2009)

Menurut Khomsan et al. (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi makan/pangan seseorang adalah (a) Karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pegetahuan gizi, kesehatan), (b) karakteristik makanan (rasa, rupa, tekstur, harga, bumbu, kombinasi makanan), dan (c) Karakteristik lingkungan (musim, pekerjaan, mobilitas, perpindahan penduduk, jumlah keluarga, tingkat sosial pada masyarakat). Selain itu faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan adalah pengalaman dari pendidikan gizi serta pengetahuan dan sikap terhadap makanan.

Makanan Jajanan

(27)

Makanan jajanan yang terlalu sering dan menjadi kebiasaan akan berakibat negatif, antara lain (1) Nafsu makan menurun, (2) Makanan yang tidak higienis akan menimbulkan berbagai penyakit, (3) Salah satu penyebab terjadinya obesitas pada anak, (4) Kurang gizi sebab kandungan gizi pada jajanan belum tentu terjamin, (5) Pemborosan, dan (6) Permen yang menjadi kesukaan anak-anak bukanlah sumber energi yang baik sebab hanya mengandung karbohidrat. Terlalu sering makan permen dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan gigi (Irianto 2007).

Makanan dan Kesehatan

Sesuai dengan wujudnya, makanan adalah hasil dari proses pengolahan dari suatu bahan, sedangkan bahan makanan tersebut dapat diperoleh dari hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan adanya teknologi (Moertjipto 1993). Irianto et al. (2004) mengatahkan bahwa yang dimaksud dengan makanan dalam ilmu kesehatan adalah setiap substrat yang dapat dipergunakan untuk proses di dalam tubuh, terutama untuk membangun dan memperoleh tenaga bagi kesehatan sel. Zat gizi yaitu zat-zat yang diperoleh dari bahan makanan yang dikonsumsi, mempunyai nilai yang sangat penting untuk (a) Memelihara proses dalam pertumbuhan dan perkembangan terutama bagi mereka yang masih dalam proses pertumbuhan, dan (b) Memperoleh energi guna melakukan kegiatan fisik sehari-hari (Kartasapoetra et al. 2008).

Fungsi makanan bagi tubuh manusia yaitu sebagai bahan penghasil energi yang berguna untuk segala kegiatan hidup, Sebagai bahan pembangun, yaitu untuk pertumbuhan dan perbaikan sel-sel tubuh yang rusak, dan sebagai bahan pelindung dan pengatur kerja fisiologis tubuh agar tetap lancar dan teratur. Pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan foodborne disease, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan/senyawa beracun atau organisme patogen (Adam et al. 2004).

(28)

bahan kimia. Ketika masuk kedalam tubuh manusia zat kimia ini akan menimbulkan efek yang berbeda-beda, tergantung jenis dan jumlah zat kimia yang masuk ke dalam tubuh.

Menurut Adam et al. (2004) umumnya penyakit yang ditimbulkan oleh pangan berkaitan dengan gangguan pencernaan (gastroenteritis) dengan gejala sakit perut, diare, demam, sakit kepala, mual, dan muntah-muntah. Tipus, kolera, dientri, dan basiler, merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh pangan yang terkontaminasi. Penyakit degeneratif seperti jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan sebagainya dapat disebabkan konsumsi pangan sumber karbohidrat, lemak, gula, dan garam secara berlebihan. Efek samping penggunaan BTP berlebih untuk jangka pendek yaitu sakit perut, diare, demam, sakit kepala, mual, dan muntah-muntah sedangkan pada jangka panjang dapat menyebabkan penyakit kanker, tumor, dan gangguan saraf, gangguan fungsi hati, iritasi lambung, dan perubahan fungsi sel (Saparinto 2006).

Remaja Usia Sekolah

Sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan karena pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak, maka disamping keluarga sebagai pusat pendidikan, sekolah pun mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan untuk pembentukan pribadi anak (Ahmadi et al. 2003). Menurut Sutatmo (1979) dalam Daniati (2009) menegaskan bahwa lingkungan fisik sekolah yang sehat dapat dibagi menjadi tiga yaitu sarana dan prasarana sekolah, kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan dan keamanan di sekolah. Kantin sekolah merupakan salah satu yang termasuk dalam sarana dan prasarana sekolah. Kantin sekolah harus memenuhi kriteria antara lain: (1) Makanan dan minuman yang disediakan hendaknya bergizi dan memenuhi syarat-syarat kesehatan, dan (2) dikelola oleh orang tertentu dan mendapat pengawasan langsung dari guru mengenai makanan dan minuman yang disajikan dan kebersihannya.

(29)

dapat bergaul dengan guru, dan teman-temannya sendiri, taat kepada peraturan atau disiplin, dan dapat terjun di masyarakat berdasarkan norma yang berlaku (Ahmadi 2003).

Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya ”tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Menurut WHO remaja adalah suatu masa dimana (1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, (2) Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, dan (3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono 1997).

Ali et al. (2004) menyatakan bahwa fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial. Perkembangan intelektual yang terus menerus menyebabkan remaja mencapai tahap berfikir operasional formal. Tahap ini memungkinkan remaja mampu berfikir secara lebih abstrak, menguji hipotesis, dan mempertimbangkan apa saja yang ada padanya daripada sekedar melihat apa adanya.

Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut (1) Masa remaja awal (12-15 tahun), Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan tidak tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya, (2) Masa remaja pertengahan (16-18 tahun), Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berfikir yang baru. Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan diri, dan membuat keputusan-keputusan yang ingin dicapai, dan (3) Masa remaja akhir (19-22 tahun). Menurut Agustiani (2006), masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Cirinya adalah keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa.

Status Gizi Anak Sekolah

(30)

klinis dan biofisik. Penilaian yang dilakukan secara tidak langsung seperti survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Setiap metode memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.

Penilaian status gizi secara antropometri memiliki beberapa keunggulan seperti prosedurnya sederhana, aman, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar, relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, alatnya murah, mudah dibawa, hasilnya akurat dan tepat, dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau, dan umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, dan gizi buruk, karena sudah ada ambang batas yang jelas. Metode antropometri juga dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Serta metode antropometri juga dapat digunakan untuk pelapisan kelompok yang rawan terhadap gizi (Supariasa et al 2001).

(31)

KERANGKA PEMIKIRAN

Sesuai dengan wujudnya, makanan adalah hasil dari proses pengolahan dari suatu bahan. Sedang bahan makanan tersebut dapat diperoleh dari hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan adanya teknologi (Moertjipto 1993). Irianto et al. (2004) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan makanan dalam ilmu kesehatan adalah setiap substrat yang dapat dipergunakan untuk proses di dalam tubuh, terutama untuk membangun dan memperoleh tenaga bagi kesehatan sel.

Menurut Suhardjo (1989) dalam Sukandar (2009) kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata karma makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan terhadap makanan, distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan, dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya.

Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah. Khomsan (1997) mengungkapkan bahwa sikap gizi merupakan tahapan lebih lanjut dari pengetahuan gizi. Seseorang yang berpengatahuan gizi baik akan mengembangkan sikap gizi yang baik. Sikap akan mengarahkan perilaku secara langsung. Dengan demikian sikap positif akan menumbuhkan perilaku yang positif dan sebaliknya sikap negatif akan menumbuhkan perilaku yang negatif, dalam hal ini lebih mengarah pada perilaku memilih makanan yang tercermin dari kebiasaan makan dan kebiasaan jajan.

Meningkatnya pendapatan seseorang akan terjadi perubahan dalam susunan makanan, begitu pula dengan tingkat pendidikan yang berpengaruh terhadap tingkat kecukupan pangan seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengetahuan gizi, sikap, dan perilaku memilih makanan sangat mudah dipengaruhi oleh karakteristik dan kondisi sosial dan ekonomi keluarga.

(32)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengetahuan, Sikap, Praktek Gizi Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pada Makanan Jajanan.

Karakteristik Individu:  Jenis kelamin  Usia

 Uang saku

Karakteristik Keluarga:  Pekerjaan

 Pendapatan  Pendidikan

Sikap Sikap Pengetahuan Gizi

Praktek Gizi

Kebiasaan jajan Media Informasi

Keterangan:

= Variabel yang diamati

--- = Variabel yang tidak diamati

= Hubungan yang diteliti

Siswa Guru Pedagang

Penggunaan BTP pada jajajan

Orang Tua

Status Gizi

[image:32.595.82.533.80.537.2]
(33)

METODOLOGI PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survey yang dilakukan di lingkungan SMPN 5 Bogor yang berlokasi di Jalan Dadali no 10A Kota Bogor. Pemilihan SMPN ini dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa SMPN 5 Bogor memiliki kantin dan pedagang yang menjual makanan jajanan di lingkungan sekolah. Waktu penelitian data dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2010.

Teknik Penarikan Contoh

Populasi dalam penelitian ini ada tiga yaitu siswa kelas VIII, guru, dan pedagang makanan. Metode yang digunakan dalam pengambilan contoh dilakukan secara cluster sampling dari semua siswa kelas VIII yaitu dipilih 2 kelas secara acak dari 9 kelas sebagai contoh dengan jumlah yaitu 62 siswa, pengambilan contoh guru diambil secara purposive berdasarkan bersedia menjadi contoh penelitian dan sebagai guru mata pelajaran terkait kesehatan yaitu diambil sebanyak 10 orang. Sedangkan pedagang jajanan sebanyak 10 orang yang diamati semua.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

(34)
[image:34.595.92.517.106.458.2]

Tabel 1 Variabel, jenis data, dan cara pengumpulan data

No. Variabel Jenis data Cara Pengumpulan Data

Alat Pengumpul Data

1. Karakteristik siswa :  Nama

 Umur

 Jenis Kelamin  Jumlah anggota

keluarga  Uang saku  BB dan TB

Primer Wawancara dan pengamatan

langsung

Kuesioner, Pengukuran antropometri

2. Pengetahuan gizi Primer Pertanyaan multiple choice

Kuesioner

3. Sikap gizi Primer Pertanyaan untuk menilai respon

contoh

Kuesioner

4. Praktek gizi Primer Pertanyaan untuk menilai respon

contoh

Kuesioner

5. Kebiasaan jajan Primer Wawancara menggunakan food

frequency questionare

Kuesioner

6. Data sekolah  Lokasi

 Jumlah guru dan siswa

 Sarana Dan Prasarana  Struktur

organisasi

Sekunder Wawancara Data Sekolah

Pengolahan dan Analisa data

Proses pengolahan meliputi editing, cooding, entry, scoring dan analisis. Coding adalah pemberian angka atau kode tertentu yang telah disepakati terhadap jawaban-jawaban pertanyaan dalam kuesioner, sehingga memudahkan pada saat memasukkan data ke komputer. Entry adalah memasukkan data jawaban kuesioner sesuai kode yang telah ditentukan untuk masing-masing variabel sehingga menjadi suatu data dasar. Data yang telah terkumpul kemudian dientry ke dalam work sheet computer sesuai code book yang dikembangkan pada penelitian ini.

(35)

Tabel 2 Kategori variabel penelitian

No. Variabel Kategori

1 Karakteristik siswa

 Jenis Kelamin  Laki-laki

 Perempuan

 Usia  12 th – 14 th

 Besar uang saku  < Rp 10.000

 Rp 10.000 – Rp 15.000

 Rp15.000 – Rp 20.000

 > Rp 20.000 2 Karakteristik guru dan

pedagang

 Jenis Kelamin  Laki-laki

 Perempuan

 Pendidikan  SD

 SLTP

 SLTA

 Perguruan Tinggi

 Pendapatan  < Rp. 500.000

 Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000

 Rp. 1.000.000 – Rp. 2.000.000

 > Rp. 2.000.0000 3. Pengetahuan terhadap

penggunaan BTP

 Kurang, apabila skor < 60%

 Sedang, apabila skor 60 – 80%

 Baik, apabila skor > 80% 4. Sikap terhadap

penggunaan BTP

 Kurang, apabila skor < 60%

 Sedang, apabila skor 60 – 80%

 Baik, apabila skor > 80% 5. Praktek terhadap

penggunaan BTP

 Kurang, apabila skor < 60%

 Sedang, apabila skor 60 – 80%

 Baik, apabila skor > 80% 6. Kebiasaan jajan  < 5 kali/minggu

 5-10 kali/minggu

 11-15 kali/minggu

 > 15 kali/minggu

Penilaian tingkat pengetahuan adalah berdasarkan kemampuan contoh dalam menjawab berbagai pertanyaan mengenai BTP pada makanan jajanan. Penilaian terhadap pertanyaan benar diberi skor 2, pertanyaan benar tetapi kurang tepat diberi skor 1, Sedangkan untuk pertanyaan salah diberi skor 0. Menurut Khomsan (2000), pengetahuan dapat dikategorikan menjadi: (1) kurang, apabila skor < 60% dari total jawaban yang benar; (2) sedang, apabila skor 60% - 80% dari jawaban yang benar dan (3) baik, apabila skor > 80% dari total jawaban yang benar.

(36)

dianjurkan, sikap contoh dikelompokan menjadi tiga, yaitu: (1) kurang, apabila skor < 60% dari total jawaban yang benar, (2) sedang, apabila skor 60% - 80% dari jawaban yang benar, dan (3) baik, apabila skor > 80% dari total jawaban yang benar.

Penilaian terhadap praktek dilakukan menggunakan skala nilai terbesar apabila praktek yang digunakan sudah sesuai. Pengukuran peubah praktek menggunakan skala, yaitu pertanyaan selalu, kadang-kadang maupun tidak. Pernyataan selalu diberi skor 0, pernyataan kadang-kadang diberi skor 1 dan pernyataan tidak diberi skor 2. Dari hasil penilaian terhadap pernyataan yang dianjurkan, praktek contoh dikelompokan menjadi tiga, yaitu: (1) kurang, apabila skor < 60% dari total jawaban yang benar, (2) sedang, apabila skor 60% - 80% dari jawaban yang benar, dan (3) baik, apabila skor > 80% dari total jawaban yang benar.

Pengukuran status gizi dengan metode antropometri melalui perhitungan indeks massa tubuh dibandingkan menurut umur (IMT/U). IMT yang digunakan untuk anak yang berumur 5 hingga 19 tahun. Caranya adalah tentukan umur anak kemudian hitung indeks massa tubuh (IMT) dengan menggunakan rumus :

IMT = Berat Badan (kg) Tinggi Badan2 (cm)

Kemudian hasilnya disesuaikan dengan nilai yang telah ditentukan oleh WHO 2007. Kategori status gizi pada anak yang berumur 5 – 19 tahun yaitu kurus (-3 ≤ z ≤ -2), normal (-2 ≤ z ≤ +1), gemuk (+1 ≤ z ≤ +2) dan obese (z > +2).

Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan mengurangi berat badan Nilai Induvidual Subjek (NIS) dengan berat badan Nilai Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan berat badan Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR). Atau dengan menggunakan rumus :

Analisis data yang dilakukan secara deskriptif sesuai dengan variable-variabel yang diamati yaitu 1) Peubah karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, pendapatan/uang saku) dan sosial ekonomi (tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan), 2) Jenis BTP yang digunakan pada makanan jajanan 2) Kebiasaan dalam pemilihan makanan jajanan, 3) Pengetahuan gizi terhadap penggunaan BTP pada makanan jajanan, 4) Sikap gizi terhadap penggunaan BTP pada makanan jajanan, dan 5) Praktek gizi terhadap penggunaan BTP pada makanan jajanan. Sedangkan uji Independent sample T-Test untuk mengetahui ada

(37)

tidaknya perbedaan antara jenis kelamin dengan pengetahuan, sikap, dan praktek gizi tentang penggunaan BTP.

Sebelum dilakukan uji tentang nilai tengah dua populasi bebas (independent), terlebih dahulu dilakukan uji kesamaan ragam. Rumusan hipotesis tentang pengujian ragam tersebut adalah sebagai berikut:

Keterangan :

H0

:

2=

�2 → Ragam pengetahuan, sikap atau praktek gizi siswa laki-laki dan perempuan sama

H1 :

2

≠ ��2 → Ragam pengetahuan, sikap atau praktek gizi siswa laki-laki dan perempuan tidak sama

Kriteria pengujian hipotesis tolak H0 jika

=

sL2

sP2

> F

(

1

,

2

)

atau terima

H0 jika sebaliknya.

Keterangan :

sL2= Ragam pengetahuan, sikap atau praktek gizi siswa laki-laki

sP2 = Ragam pengetahuan, sikap atau praktek gizi siswa perempuan v1 =n1 –1derajat bebas pembilang

v2= n 2–1derajat bebas penyebut

Pengujian Hipotesis terhadap nilai tengah sebagai berikut:

H0* : �L= �P → Rata-rata pengetahuan, sikap atau praktek gizi siswa laki-laki

dan perempuan sama

H1* : �L> �P→ Rata-rata pengetahuan, sikap atau praktek gizi siswa laki-laki

lebih besar dari perempuan

Nilai t hitung tergantung dari hasil pengujian ragam. Tolak H0*jika hit >

t() atau terima H1* jika sebaliknya. Apabila dari pengujian ragam ternyata

H0 ditolak atau

2

2

, maka:

hit

=

x

L

x

P

�² �� + �

² ��

H0 :

2

=

2

H1 :

2

2

 =

(

�²

�� + � ² �� )² ( ²/ ��)²

��−1 +

(38)

Apabila H0 diterima atau

2

=

2

, maka:

Uji kolerasi pearson digunakan untuk menganalisis korelasi dua peubah yaitu: 1) Menganalisa korelasi antara pengetahuan dan sikap gizi tentang penggunaan BTP, 2) Menganalisa korelasi antara pengetahuan dan praktek gizi tentang penggunaan BTP, dan 3) Menganalisa korelasi antara sikap dan praktek gizi, tentang penggunaan BTP. Rumusan hipotesis tentang kolerasi pearson sebagai berikut:

H0 :

xy = 0→ kolerasi antara pengetahuan dengan sikap gizi, pengetahuan

dengan praktek gizi, atau sikap dengan praktek gizi sama dengan nol

H1 :

xy > 0→ kolerasi antara pengetahuan dengan sikap gizi, pengetahuan

dengan praktek gizi, atau sikap dengan praktek gizi lebih dari nol

Kriteria pengujian hipotesis tolak H0*jika hit > t(n-2) atau terima H0 jika

hit < t(n-2).

Keterangan :

rxy = koefisien kolerasi contoh

n = Ukuran Contoh

s

g

=

��−1 �² + ��−1 �² ��+�−2

hit

=

xL− xP

sg 1 �� +

1

��

> t

(

��

+

�� −

2)

hit = �−2

(39)

keperluan di sekolah.

BTP adalah bahan tambahan pada makanan meliputi pengawet, pemanis, pewarna dan penyedap rasa.

Contoh adalah siswa laki-laki dan perempuan kelas 8, pengajar dan pedagang makanan

Karakteristik contoh adalah identitas contoh yang meliputi jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi badan, serta pendapatan/uang saku.

Kebiasaan jajan adalah cara seseorang dalam memilih dan mengkonsumsi makanan jajanan yang meliputi jumlah jenis makanan jajanan dan frekuensi jajan per hari yang dilakukan di lingkungan sekolah baik pada penjual di kantin sekolah maupun penjual menetap di luar sekolah.

Makanan jajanan adalah semua jenis makanan dan minuman yang dibeli dan siap dikonsumsi ataupun terlebih dahulu diolah oleh penjual jajanan. Makanan jajanan dikelompokkan menjadi empat golongan yaitu makanan utama (sepinggan), makanan camilan (panganan), minuman dan buah.

Pengetahuan Gizi adalah pemahaman contoh yang berhubungan dengan makanan jajanan terhadap penggunaan BTP yang diukur dari skor jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan dalam kuisioner.

Praktek gizi adalah melakukan perbuatan atau aktivitas nyata dari contoh mengenai makanan jajan terhadap penggunaan BTP yang diukur dari skor jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan dalam kuisioner. Sikap gizi adalah tahapan lebih lanjut dari pengetahuan gizi dan mengarah pada

praktek gizi terhadap penggunaan BTP yang diukur dari skor jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan dalam kuisioner.

Status Gizi adalah keadaan tingkat kecukupan gizi anak yang ditentukan berdasarkan data antropometri dan penilaian konsumsi pangan.

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Contoh Umur dan Jenis Kelamin

Jumlah siswa yang diteliti sebanyak 62 orang, terdiri dari siswa laki-laki yaitu 34 orang dan siswa perempuan yaitu 28 orang. Umur siswa antara 12-14 tahun. Sebagian besar siswa berumur 13 tahun, yaitu siswa laki-laki (88.2%) dan siswa perempuan (75%). Sebagian kecil siswa berumur 14 tahun, yaitu siswa laki-laki (2.9%) dan siswa perempuan (7.1%).

Jumlah guru yang diteliti sebanyak 10 orang, terdiri dari laki-laki yaitu 4 orang dan perempuan yaitu 6 orang. Umur guru antara 40-58 tahun. Sebagian besar guru berumur 40-45 tahun (60%). Sebagian kecil guru berumur 49 tahun (10%).

[image:40.595.92.510.462.722.2]

Jumlah pedagang yang ada di SMPN 5 Bogor sebanyak 10 orang, terdiri dari laki-laki yaitu 7 orang dan perempuan 3 orang. Umur pedagang antara 22-51 tahun. Sebagian besar pedagang berumur 32-36 tahun (40%) dan sebagian kecil pedagang berumur 22 tahun (10%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3 menunjukan sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan umur dan jenis kelamin.

Tabel 3 Sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan umur dan jenis kelamin

Usia (tahun)

Jenis Kelamin

Total Laki-laki Perempuan

n % n % n %

Siswa

12 3 8.8 5 17.9 8 12.9 13 30 88.2 21 75.0 51 82.3

14 1 2.9 2 7.1 3 4.8

Total 34 100.0 28 100.0 62 100.0

Guru

40-45 3 75 3 50.0 6 60

46-50 0 0 1 16.7 1 10

>50 1 25 2 33.3 3 30 Total 4 100 6 100 10 100

Pedagang

<30 1 14.3 0 0 1 10 30-40 1 14.3 3 100 4 40

40-50 3 42.9 0 0 3 30

(41)

Uang Saku

[image:41.595.108.509.625.770.2]

Besar uang saku siswa antara Rp 5.000 – Rp. 25.000 per hari. Sebagian besar siswa menerima uang saku antara Rp 10.000 – Rp 15.000 (53.2%). Rata-rata uang saku siswa yaitu Rp. 15.096,7 dan simpangan baku Rp. 6.835,2. Alokasi uang saku yang dimiliki siswa untuk keperluan seperti biaya transportasi, jajan, pulsa, dan menabung. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4 menunjukan sebaran siswa berdasarkan uang saku.

Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan uang saku

Uang Saku (Rp/hari) n %

5.000 – 9.000 6 9.7

10.000 – 15.000 33 53.2 15.500 – 20.000 18 29.0

> 20.000 5 8.1

Total 62 100.0

Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan, atau bulanan. Perolehan uang saku sering menjadi kebiasaan, sehingga anak diharapkan untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku yang dimilikinya (Napitu 1994). Besar uang saku anak merupakan salah satu indikator sosial ekonomi keluarga. Semakin besar uang saku, maka semakin besar peluang anak untuk membeli makanan jajanan baik di kantin maupun diluar sekolah (Andarwulan et al. 2008)

Tingkat Pendidikan

Sebagian besar guru memiliki latar belakang pendidikan sarjana (80%), sebagian kecil tingkat pendidikan Diploma 3 (20%). Sebagian besar pedagang memiliki latar belakang pendidikan SLTP (50%). Sebagian kecil tingkat pendidikan SLTA (20%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5 menunjukan sebaran guru dan pedagang bedasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 5 Sebaran guru dan pedagang bedasarkan tingkat pendidikan Tingkat

pendidikan

Jenis Kelamin

Total Laki-laki Perempuan

n % n % n %

Guru

D3 1 25 1 16.7 2 20

S1 3 75 5 83.3 8 80

Total 4 100 6 100.0 10 100

Pedagang

SD 3 42.9 0 0.0 3 30

(42)

Tingkat pendidikan guru pada umumnya memiliki tingkat pendidikan sarjana sedangkan pada pedagang banyak yang memiliki tingkat pendidikan SLTP. Hal ini menunjukan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang biasanya mempunyai taraf pengetahuan dan keterampilan yang semakin baik serta akan lebih mengerti tentang sesuatu hal, karena menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (1997) bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, dimana dapat membuat seseorang untuk lebih mudah menerima ide-ide dan teknologi baru. Hal ini juga sesuai dengan Notoatmodjo (2003), yang mengemukakan bahwa manusia yang memiliki sumber daya manusia yang lebih baik, dalam arti tingkat pendidikan yang lebih tinggi maka akan semakin mengerti dan semakin mudah memahami manfaat dari suatu hal.

Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan guru antara Rp. 2.000.000 – Rp. 3.000.000 per bulan. Sebagian besar tingkat pendapatan guru > Rp. 2.800.000 per bulan (50%). Sebagian kecil tingkat pendapatan guru Rp. 2.000.000 per bulan (10%). Rata-rata tingkat pendapatan guru yaitu Rp.2.470.000 dan simpangan baku yaitu Rp.333.999,3. Besar atau kecil pendapatan guru ditentukan oleh pangkat/golongan, jabatan dan masa kerja.

Berdasarkan Tabel 6 tingkat pendapatan pedagang antara Rp.800.000 – Rp.1.800.000 per bulan. Sebagian besar tingkat pendapatan pedagang Rp.1.000.000 – Rp.1.500.000 per bulan (60%). Sebagian kecil tingkat pendapatan pedagang Rp.1.800.000 per bulan (10%). Rata-rata tingkat pendapatan pedagang yaitu Rp.1.230.000 dan simpangan baku yaitu Rp.316.403,3. Besar atau kecil pendapatan tergantung dari permodalan dan omset (hasil penjualan).

(43)

Tabel 6 Sebaran guru dan pedagang berdasarkan pendapatan Tingkat Pendapatan (Rp. Juta /bulan) Jenis Kelamin Total

Laki-laki Perempuan

n % n % n %

Guru

<2,5 0 0 1 16.7 1 10 2,5 - 2,8 2 50 2 33.3 4 40 > 2,8 2 50 3 50.0 5 50 Total 4 100 6 100.0 10 100

Pedagang

< 1 3 42.9 0 0 3 30 1 - 1,5 3 42.9 3 100 6 60 > 1,5 1 14.3 0 0 1 10 Total 7 100.0 3 100 10 100

Jenis Bahan Tambahan Pangan

Bahan tambahan pangan (BTP) yang sering digunakan khususnya pada makanan jajanan antara lain pengawet, pewarna, pemanis, dan penyedap rasa dan aroma. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7 menunjukan sebaran pedagang menurut cara pengadaan makanan (dibuat atau dibeli) yang menggunakan BTP.

Tabel 7 Sebaran pedagang menurut cara pengadaan makanan (dibuat atau dibeli) yang menggunakan BTP

BTP Jenis BTP

Jajanan yang dibuat

Jajanan yang dibeli

n % n %

Penyedap rasa

Masako 3 30 0 0

Royko 3 30 0 0

Sasa 4 40 0 0

Ajinomoto (umami) 4 40 0 0 MSG (lainnya) 1 10 2 20 Pewarna Kunyit 1 10 3 30

Pandan 0 0 1 10

Pewarna buatan 0 0 3 30

Pemanis Gula 3 30 2 20

Pemanis buatan 0 0 1 10 Pengawet Garam 7 70 7 70

STPP/Poshat 0 0 1 10

(44)

dan gula merah untuk pembuatan minunan jus dan kuah pempek. Sedangkan pemanis sintetis yang terdapat dalam minuman kemasan yang di produksi oleh industry minuman. BTP pengawet tidak ditemukan menggunakan bahan berbahaya hanya bahan pengental bakso sodium tri phosphate (STPP) merupakan bahan kimia untuk makanan yang ditambahan dalam proses pengolahan. Hal ini disebabkan karena kantin yang berada di dalam lingkungan sekolah biasanya sudah mendapat bimbingan dan pengawasan dari pihak guru dan pengelola kantin atau langsung dari kepala sekolah.

Kebiasaan Jajan

Kebiasaan jajan adalah salah satu bentuk kebiasaan makan baik pada anak-anak, remaja ataupun dewasa. Jajanan yang baik akan mempunyai kontribusi yang positif terhadap kebutuhan konsumsi gizi seseorang. Dengan demikian apabila makanan jajanan yang dikonsumsi aman dan sehat akan membantu kecukupan harian energi dan zat gizi seseorang.

Suhardjo (1989) menyebutkan bahwa kebiasaan jajan merupakan istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan jajan dan makanan jajanan seperti frekuensi jajan. Penelitian ini mengidentifikasi frekuensi jajan per minggu yang dilakukan di lingkungan sekolah. Kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan bertujuan untuk menghilangkan rasa lapar yang biasanya muncul 3-4 jam setelah makan pada waktu-waktu tertentu. Konsumsi makanan jajanan akan meningkatkan kadar gula darah sehingga semangat dan kosentrasi belajar akan pulih.

Berdasarkan Tabel 8 Frekuensi jajan siswa yang diukur adalah frekuensi jajan berdasarkan kelompok jajanan makanan utama dalam 1 minggu terakhir. Frekuensi jajan siswa dibagi menjadi 4 kelompok yaitu <5 kali/minggu, 6-10 kali/minggu, 11-15 kali/minggu, >15 kali/minggu. Frekuensi jajan siswa per minggu sebanyak 53.2% siswa memiliki frekuensi jajan makanan utama 6–10 kali per minggu. Sebagian besar persentase 33.8% siswa me

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengetahuan, Sikap, Praktek Gizi Terhadap
Tabel 1 Variabel, jenis data, dan cara pengumpulan data
Tabel 3 Sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan umur dan jenis kelamin
Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan uang saku
+7

Referensi

Dokumen terkait

Strategi degradasi asam amino  mengubah kerangka C nya menjadi senyawa intermediete dr metabolisme primer  yang kemudian dpt diubah menjadi glukosa atau dioksidasi oleh TCA.

Selama periode tahun 2013 telah dilaksanakan Musyawarah Besar Serikat Pekka tingkat propinsi di 9 wilayah dihadiri oleh 1.047 orang yang kemudian mendeklarasikan diri

15 Mewujudkan Sumber Daya Aparatur yang profesional didalam menyelenggarakan Organisasi Kecamatan Dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat sesuai dengan

Sikap jujur dan patuh terhadap standar etika bisnis akan dapat menumbuhkan rasa saling percaya, saling menghormati diantara para pelaku bisnis, yang ada gilirannya nanti

Eko Budi Minarno, M.Pd selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sekaligus sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah

Produk pengadilan diakhiri dengan putusan ( vonnis ) Putusan mengikat para pihak yang bersengketa saja Putusan harus mempunyai alasan yang kuat dan tepat.. Buku ke IV

The effect of feeding tamarind ( Tamarindus indica) seed husk (TSH) as a source of tannin on dry matter intake (DMI), digestibility, N balance, milk yield and milk composition

Hasil penelitian yang dilakukan pada Dinas Pendapatan Daerah dan Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Utara tentang penyajian laporan keuangan terdiri dari Laporan