• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jakarta Timur berbatasan dengan Jakarta Utara, di bagian timur dengan Bekasi, di bagian selatan dengan Depok dan di bagian barat dengan Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Luas wilayah Kota Jakarta Timur adalah 187,73 km². Jakarta Timur merupakan kota administrasi Terluas di provinsi DKI Jakarta, dengan jumlah penduduk di wilayah Kota Jakarta Timur yaitu 1.959.022 jiwa (Data BPS 2007) dengan kepadatan sekitar 10.455 jiwa/km², yang tersebar pada 10 kecamatan terdiri dari 65 kelurahan/desa.

Potensi Wisata Jakarta Timur

Potensi obyek wisata yang dimiliki Jakarta Timur berjumlah 29 obyek terdiri dari Wisata Rekreasi (3),Wisata Sejarah (1), Wisata Monumen (1), Wisata Minat khusus (3), Wisata Belanja (16), Wisata Industri (1), dan Wisata Olah Raga (4). Sejumlah obyek wisata andalan Kotamadya Jakarta Timur, yang selama ini menjadi daya tarik bagi wisatawan nusantara maupun manca negara, adalah Taman Mini Indonesia Indah, Monumen Pancasila Sakti, Kawasan Wiladatika, Makam Pangeran Jayakarta, Pasar Burung, Pusat Perdagangan Permata, Condet Cagar Buah, dan Perkampungan Industri Kecil.

Seluruh obyek wisata tersebut mampu menyerap diatas 15 juta pengunjung tiap tahunnya (sejak 2001) dan mampu menampung hampir seribu tenaga kerja. Jumah tenaga kerja tersebut belum termasuk yang ada di fasilitas pariwisata seperti hotel dan restoran, serta usaha penunjang pariwisata lainnya seperti pusat olahraga, rekreasi dan hiburan. Maka tidak salah jika Kota Jakarta Timur dalam program pengembangannya, disiapkan sebagai kota wisata belanja dengan menggali berbagai hal yang dapat dijadikan potensi obyek wisata, di samping meningkatkan jumlah dan jenis atraksi wisata serta meningkatkan SDM.

Jenis Usaha Rumah Makan di Jakarta Timur

Perizinan mendirikan usaha rumah makan dikeluarkan oleh Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, melalui Kepala Dinas Pariwisata Propinsi DKI Jakarta, dan atas rekomendasi dari Kepala Suku Dinas Pariwisata

wilayah kota Jakarta Timur. Persyaratan untuk memperoleh Izin Sementara Usaha Pariwisata (ISUP), mengajukan Surat Permohonan yang dilengkapi dengan Akte Pendirian Perusahaan, Kejelasan Bukti Status Tempat dari Dinas Tata Kota, Bukti Tidak Keberatan Lingkungan yang diketahui RT, RW, Lurah dan Camat setempat, melampirkan Gambar Situasi dan Denah Ruangan, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sedangkan persyaratan untuk memperoleh Izin Tetap Usaha Pariwisata (ITUP), surat permohonan dilengkapi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Tanda Daftar Izin perusahaan dari Lurah diketahui Camat setempat, Keterangan domisili perusahaan dari Lurah diketahui Camat setempat, dan salinan Izin Sementara Usaha Pariwisata (ISUP).

Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan menjelaskan tentang Restoran yaitu jenis usaha penyediaan makanan dan minuman yang melakukan pengolahan bahan-bahan masakan dan hidangan pada suatu tempat atau lokasi tetap tertentu dengan bangunan permanen, termasuk di dalamnya dapat menyediakan fasilitas dan atraksi rekreasi dan hiburan serta pengembangan fasilitas lainnya, antara lain seperti Rumah Makan, Café, Coffee Shop, Kantin, Kafetaria dan pengembangan fasilitas sejenis lainnya.

Atas dasar Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2004 dan penjelasan tentang restoran, dapat diuraikan bahwa klasifikasi usaha rumah makan di Jakarta Timur mengacu pada: (1) Bentuk usaha dan permodalan, (2) kelompok hidangan, (3) lokasi pengolahan, (4) Kondisi bangunan (usaha), (5) penyediaan fasilitas dan atraksi rekreasi dan hiburan; serta (6) pengembangan fasilitas lainnya. Jenis restoran antara lain seperti Rumah Makan, Café, Coffee Shop, Kantin, Kafetaria dan pengembangan fasilitas sejenis lainnya.

Berdasarkan Daftar Usaha Sarana Pariwisata (USP) Jakarta Timur Tahun 2007 Jenis Usaha Rumah Makan/Restoran, yang diterbitkan oleh Suku Dinas Pariwisata Jakarta Timur (terlampir), jumlah jenis usaha rumah makan di Jakarta Timur pada tahun 2007 (data sekunder) berdasarkan klasifikasinya yaitu (1) Rumah Makan Kelas A terdapat 8 usaha, (2) RM Kelas B terdapat 15 usaha, (3) RM Kelas C terdapat 68 usaha, (4) RM Kelas D terdapat 21, dan selebihnya sebanyak 119 usaha rumah makan belum teridentifikasi oleh Pemda Jakarta Timur (Sudin Pariwisata).

Populasi rumah makan kelas C, menurut Daftar Usaha Sarana Pariwisata (USP) Jakarta Timur Tahun 2007 Jenis Usaha Rumah Makan/Restoran, berjumlah 68 rumah makan. Dari hasil survei terdata hanya 63 rumah makan, selisih 5 rumah makan diduga pindah ke lokasi lain, terjadi peningkatan kelas menjadi A/B, atau penurunan kelas menjadi D.

Pada Peta Sebaran Potensi Rumah Makan Tradisional Kelas C di Jakarta Timur (terlampir) menunjukkan bahwa sebanyak: (1) 27% berada di wilayah kecamatan Kramat Jati, (2) 22% di Pulogadung, (3) 19% di kecamatan Jatinegara, (4) 11% di Duren Sawit, (5) 8% di Cipayung dan (6) 13% lainnya menyebar di kecamatan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada kecamatan yang mendominasi sebagai lokasi yang paling strategis untuk berusaha rumah makan.

Keunggulan bagi kecamatan Kramat Jati yaitu terdapat pasar Kramat Jati, terminal Cililitan, dan Batu Ampar (Condet) sebagai kawasan cagar budaya Betawi. Kecamatan Pulogadung selain sebagai kawasan industri juga memiliki 2 terminal Bus, yaitu Terminal Pulogadung dan Terminal Rawamangun. Kecamatan Jatinegara merupakan kawasan yang cukup ramai, di wilayah ini terdapat Terminal Bus Kampung Melayu, Stasiun Kereta Api, dan Pasar Jatinegara sebagai sentra wisata belanja. Kecamatan Duren Sawit merupakan sentra industri kayu (mebel) dan kawasan perumahan. Kecamatan Cipayung merupakan kawasan tujuan wisata karena terdapat Taman Mini Indonesia Indah.

Berdasarkan hasil survei Pemilik RMT kelas C di Jakarta Timur lebih memilih lokasi dekat terminal bus, pasar, dan pusat industri dibandingkan dengan daerah perumahan maupun daerah tujuan wisata. Target konsumen RMT kelas C di Jakarta Timur yaitu para pelanggan yang sedang melakukan perjalanan dan berbelanja di pasar ataupun bertransaksi di kawasan industri. Hal tersebut membuktikan teori dari Kotler (1996) yaitu: a restaurant’s location in its market and its ability to differentiate itself from its competition also help determine whether it will survive. Keadaan ini cukup potensial untuk promosi tidak langsung tentang Jakarta Timur kepada masyarakat di luar wilayah tersebut.

Ciri Pribadi Pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur

Ciri pribadi pengelola RMT kelas C Jakarta Timur yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) usia, (2) pendidikan, (3) pengalaman usaha, (4) intensitas

komunikasi, (5) keanggotaan kelompok, (6) kemampuan mengendalikan resiko, dan (7) keterampilan teknis. Deskripsi lengkap disajikan pada Tabel berikut:

Tabel 3. Deskripsi Ciri Pribadi Pengelola RM kelas C Jakarta Timur

No Ciri Pribadi (X1) Rataan Kisaran Kategori Persentase (%)

1 Usia (tahun) 49 22–75 Muda (22 - 39) Sedang (40 - 57) Tua (58 – 75) 25,4 60,3 14,3 2 Pendidikan formal (tahun) 12 6 – 18 SD (6) SMP (9) SMA (12) Diploma(13-15) S-1 (16) S-2 (18) 7,9 17,5 46 11,1 15,9 1,6 3 Pengalaman usaha (tahun) 11 0,5–48 Rendah (0,5-16) Sedang (17 - 32) Tinggi (33 - 48) 76,2 22,2 1,6 4 Intensitas komunikasi (skor) 3 2 – 6 Rendah (2-3) Sedang (4) Tinggi (5-6) 73,0 20,6 6,3 5 Keanggotaan kelompok (skor) 2 1 – 6 Rendah (1-2) Sedang (3-4) Tinggi (5-6) 76,2 6,3 17,5 6 Kemampuan mengendalikan resiko (skor) 42 30 – 52 Rendah (30-37) Sedang (38-44) Tinggi (45-52) 17,5 63,5 19,0 7 Keterampilan teknis (skor) 24 10 – 35 Rendah (10-18) Sedang (19-26) Tinggi (27-35) 12,7 57,1 30,2 Keterangan: n = 63 Usia

Usia pengelola RMT kelas C di Jakarta, sebagai pengelola RMT kelas C dalam penelitian ini, bervariasi mulai dari 22 tahun sampai dengan 75 tahun, dengan rataan 49 tahun. Berdasarkan Tabel frekuensi di atas, sebanyak 60,3 persen dari pengelola RMT kelas C berusia antara 40-57 tahun. Kelompok usia tersebut termasuk tenaga kerja produktif, karena berada diantara 15 sampai dengan 64 tahun (BPS, 2001). Pengelola RM pada kelompok ini masih memiliki produktifitas untuk mengembangkan diri dan mengembangkan usahanya. Mereka memiliki kemampuan bekerja atau beraktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengelola yang sudah tidak produktif.

Kecenderungan lain bahwa dalam proses adopsi inovasi baru, pengelola RMT kelas C yang berusia muda lebih tanggap bila dibandingkan dengan pengelola yang berusia lebih tua. Selain masalah fisik, pengelola RMT kelas C yang lebih tua cenderung penuh pertimbangan dan kehati-hatian dalam pengambilan keputusan, sehingga kurang responsif terhadap ide-ide baru. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wiriaatmadja (1990), bahwa usia seseorang mempengaruhi penerimaannya terhadap hal-hal baru.

Sebagian besar (74,6%) pengelola RMT kelas C berusia di atas 40 tahun, berdasarkan hasil wawancara mendalam, fenomena tersebut muncul karena diperlukan kedewasaan dengan pengalaman dan tingkat kemandirian kuat. Mengelola usaha rumah makan dianggap sulit bagi tenaga kerja berusia muda (di bawah 30 tahun). Hal ini terkait resiko yang harus dihadapi seperti resiko produksi, penentuan harga, resiko pelayanan, dan pelaksanaan pemasarannya. Investasi yang diperlukan juga tidak sedikit, mengingat pengelola RMT adalah sebagai pemilik. Orang muda lainnya beralasan yaitu takut untuk memutuskan menjadi seorang wirausahawan. Adanya kecenderungan ingin tetap nyaman bekerja atau tetap pada posisinya, mendapat gaji, inventaris dan sebagainya. Tidak terpikirkan bilamana suatu saat mereka kehilangan pekerjaan.

Maka strategi melalui pemberian dorongan ataupun peningkatan motivasi kepada mereka yang usia di bawah 40 tahun agar tertarik untuk berwirausaha dan berprofesi sebagai pengelola RM. Seseorang yang muda usia mungkin memiliki pengalaman dan pendidikan kurang, tetapi memiliki energi atau semangat untuk mencoba usahanya; sedangkan orang yang sudah berusia memiliki pengalaman dan pendidikan lebih tinggi sehingga menentukan keberhasilan dalam usahanya (Bird, 1989). Upaya dilakukan dengan cara memperkenalkan para pelaku bisnis RMT, utamanya mereka yang mampu mengadopsi program Sapta Pesona. Keteladanan dan tuntunan para tokoh tersebut berpengaruh sebagai sumber inspirasi keinginan untuk mencoba ataupun menerapkan program yang telah dinilai mampu memberikan kesuksesan.

Pendidikan

Sumberdaya manusia pengelola rumah makan kelas C yang diteliti memiliki keragaman yang tinggi dalam hal tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan

pengelola RMT kelas C bervariasi mulai dari SD (7,9%), SMP (17,5%), SMA (46%), Diploma (11,1%), S-1 (15,9%), dan S-2 (1,6%). Beberapa di antaranya yaitu 7,9% pernah mendapat pendidikan non-formal tentang ilmu komputer, bisnis dan farmasi. Terdapat sekitar 10% mengikuti pendidikan khusus di bidang yang berhubungan dengan usaha rumah makan, yaitu dari usaha katering, pendampingan oleh restoran hotel, kelompok usaha rumah makan, dan dari dinas peternakan DKI.

Lamanya mengikuti pendidikan formal, dilengkapi pendidikan nonformal dan terlebih pendidikan khusus menambah pengalaman dan kedewasaan berpikir seseorang. Pendidikan memiliki tujuan menciptakan manusi-manusia yang berkualitas, termasuk dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan juga mempengaruhi perilaku seseorang, baik dari segi pola pikir, bertindak serta kemampuan menerapkan inovasi baru. Jadi pendidikan menjadi urutan pertama dalam menentukan tingkat keinovatifan seseorang (Rogers & Shoemaker, 1971) dan seseorang yang berpendidikan tinggi lebih mudah untuk menerima informasi dan berkemampuan menganalisis masalah yang dihadapinya Maryani (1995).

Berikut ini berbagai alasan yang memotivasi pengelola RMT kelas C untuk mengelola usaha rumah makan. Pengelola RMT kelas C dengan latar belakang tingkat pendidikan tinggi (28,6%) mengelola sektor usaha ini karena alasan pensiun muda dari pekerjaan atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan bermaksud memutar uang dari tunjangan yang diperoleh. Mereka yang memiliki latar belakang rendah mengawali usaha melalui pengalaman sebagai karyawan, kemudian memutuskan untuk berwirausaha. Sedangkan bagi mereka yang berpendidikan menengah, memutuskan untuk meraih masa depan melalui kegiatan usaha ini daripada melanjutkan pendidikan tinggi.

Bentuk pendidikan, baik formal maupun nonformal, terbukti mampu meningkatkan daya pikir dan meluaskan pengetahuan seseorang. Mengingat kenyataan usia pengelola RMT kelas C dan rata-rata memiliki pendidikan tertinggi SMA (46%), maka penyuluhan merupakan strategi tepat bagi pendidikan orang dewasa. Materi yang dirancang bagi pendidikan orang dewasa sangat fleksibel, karena dapat disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

Kewirausahaan (entrepreneurship) merupakan materi yang dapat memperkuat kemampuan berwirausaha melalui berbagai keberanian dalam memutuskan.

Pengalaman Usaha

Konsekuensi masa depan ditentukan oleh pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang terhadap yang lain (Bandura 1986). Hasil survei terhadap pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur, pengalaman usaha pengelola RMT kelas C didistribusikan menjadi tiga tingkatan. Pengalaman usaha terendah antara 0,5 hingga 16 tahun dialami oleh 76,2%. Maka pengelola RMT kelas C masih perlu menggali pengalaman, karena pengalaman usaha yang dimiliki merupakan bagian dari proses belajar bagi pengelola rumah makan.

Selanjutnya atas pijakan pengalaman yang dimiliki dapat memberikan kemampuan mengasah intuisi bagaimana mengatasi suatu masalah tentang kegiatan pengolahan, menentukan harga, memilih karyawan dan memeliharanya sebagai bagian dari aset perusahaan. Hal demikian turut mempengaruhi tingkat kepuasan tamu atas pelayanan yang diterimanya.

Intensitas Komunikasi

Kualitas intensitas komunikasi pengelola rumah makan kelas C di Jakarta Timur sangat rendah, yaitu sebanyak 73% mengandalkan sumber informasi bisnis dari orang tua dan keluarga dekat saja. Jumlah pengelola RMT kelas C tersebut lebih memilih bentuk interaksi secara langsung, dan komunikasi secara personal. Kualitas intensitas komunikasi ini berkaitan erat dengan tingkat pendidikan di bawah SMA bagi 71,4% pengelola RMT kelas C. Hal ini sesuai dengan pendapat Schramm (1973) bahwa perilaku pencarian informasi berhubungan dengan tingkat pendidikan. Orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari isi informasi melalui media cetak.

Pengelola RMT kelas C yang mulai mencari informasi melalui dengan memanfaatkan teman bisnis, media massa elektronik, dan beberapa sumber bacaan koran, majalah ataupun buku sebagai sumber informasi bagi kelangsungan usahanya sebanyak 20,6 %. Sebagian kecil pengelola RMT kelas C (6,3%) mencoba memperluas wawasan mendapatkan informasi bisnis dengan mengikuti

suatu pertemuan kelompok sejenis, juga memperoleh kesempatan mengikuti kegiatan seminar dan lokakarya yang diselenggarakan oleh instansi terkait.

Strategi peningkatan intensitas komunikasi antar pengelola dan pengusaha RMT dapat dilakukan melalui wadah organisasi kelompok usaha sejenis. Melalui wadah tersebut diupayakan adanya kegiatan berbagi pengalaman dengan para pengusaha yang lebih dahulu sukses.

Keanggotaan Kelompok

Keterlibatan pengelola RMT kelas C dalam organisasi kelompok pengelola dan pengusaha rumah makan masih rendah, hanya 17,5 % pengelola rumah makan kelas C di Jakarta Timur yang terdaftar sebagai anggota kelompok. Diperoleh data terdapat seorang sebagai ketua kelompok, dan seorang lainnya sebagai pengurus bendahara di kelompok yang berbeda. Kelompok yang konsisten mengadakan pertemuan yaitu kelompok pengusaha RM Padang, dan RM Lapo (Medan). Kegiatan yang diselenggarakan oleh kelompok adalah selain untuk meningkatkan kekerabatan melalui arisan, berbagi pengalaman dan informasi seputar bisnis rumah makan, mengatasi masalah dalam hal kesulitan memperoleh bahan baku, hingga berdiskusi membahas mengenai kesepakatan harga jual produk. Mereka sepakat meskipun tidak ada persaingan harga, pelanggan loyal jika puas terhadap pelayanan yang diterima.

Hasil wawancara terhadap pengelola RMT kelas C yang tidak terlibat keanggotan kelompok (76,2%) menyampaikan beberapa alasan dan penyebab, antara lain: (1) menganggap tidak perlu menjadi anggota kelompok karena mengurangi waktu/kesempatan untuk berusaha yang berdampak pada penurunan omzet, (2) sulit untuk memberikan kepercayaan kepada bawahan untuk mengolah hidangan sesuai standar, (3) pengelola masih harus terlibat langsung dalam pemberian pelayanan bagi pelanggannya. Sebagian lagi pengelola RMT kelas C (6,3%) belum terlibat dalam kelompok karena belum ada waktu luang dan belum ada informasi tentang keberadaan kelompok.

Perlu ada pembinaan, kegiatan pendampingan dan penyuluhan dalam rangka memberi kesadaran kepada pengelola rumah makan kelas C tentang manfaat pembentukan dan keterlibatannya dalam kelompok terhadap kelangsungan bisnisnya. Melalui keanggotaan dalam kelompok, pengelola rumah

makan mengalami proses komunikasi dan proses pendidikan. Keterlibatan dalam kelompok berpengaruh pada perilakunya, misalkan mengikuti jejak atas kesuksesan anggota kelompok, untuk menyusun strategi sesuai kondisi yang ada di tempat usahanya.

Kemampuan Mengendalikan Resiko

Lebih dari sebagian pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur memiliki tingkat kemampuan ambil resiko sedang (63,5%). Data survei dan wawancara mendalam menggambarkan bahwa: (1) resiko produksi, harga, pelayanan, dan promosi masih mampu dikendalikan pengelola RMT kelas C, (2) hambatan lain berupa sepi pengunjung, kesulitan bahan baku, kenaikan harga BBM, ketenagakerjaan, keamanan, pungutan liar, dan pengamen juga masih dapat diatasi dengan baik, (3) adanya keterlibatan keluarga dan karyawan dalam membantu menghadapi resiko dan mengatasi hambatan yang ada, (4) pengelola RMT kelas C memiliki semangat untuk mengembangkan usaha dengan memperluas usaha di tempat lain.

Sebanyak 17,5% pengelola RMT kelas C yang rendah dalam kemampuan ambil resiko, cenderung pasrah saja tanpa berusaha mencari jalan keluar ketika menghadapi kesulitan memperoleh bahan baku. Untuk mengatasi kenaikan harga BBM, mereka mengurangi porsi atau pengurangan bahan. Cenderung mengambil langkah mem-PHK untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan dan merekrut karyawan baru sebagai penggantinya. Mereka juga lebih memilih berdiskusi dengan keluarga untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapinya.

Berbeda dengan 19% pengelola RMT kelas C lainnya yang memiliki kategori lebih berani mengambil resiko. Untuk mengatasi masalah kesulitan bahan baku, hal yang dilakukan yaitu mencari pemasok atau pasar lain dalam upaya mempertahankan kekhas-an menu yang dijual. Upaya antisipasi kenaikan harga BBM (minyak tanah) mereka berusaha untuk mencari alternatif mengganti bahan bakar gas, dan lebih memilih menaikan harga jual dalam upaya menjaga kualitas produknya. Sedangkan dalam upaya mempertahankan loyalitas karyawan, mereka memberikan pelatihan dan peduli pada kesejahteraannya. Dalam hal pengembangan usaha, mereka lebih memilih melakukan diversifikasi usaha dan

pembukaan cabang di tempat lain. Merekapun melibatkan kelompok dan sumber informasi lain dalam rangka mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi.

Hasil data menunjukkan bahwa pengelola rumah makan kelas C di Jakarta Timur yang memiliki kemampuan mengambil resiko terdapat 82,5%. Kemampuan mengambil resiko merupakan bagian dari jiwa kewirausahaan, yaitu kemampuan dalam membaca peluang, berinovasi, mengelola, dan menjual (Hendro, 2006).

Keterampilan Teknis

Pengelola usaha, baik itu usaha RMT maupun bentuk usaha lainnya, membutuhkan keterampilan bersifat teknis (Technical Skills). Keterampilan teknis adalah kemampuan untuk menggunakan peralatan, prosedur atau teknik-teknik dari suatu bidang tertentu (Katz, 1974). Keterampilan teknis diperlukan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan.

Penelitian ini berusaha mencari informasi tentang tingkat kemampuan dan keterampilan teknis yang dimiliki pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur, terutama dalam pengelolaan produk, harga, pelayanan, promosi, hal-hal yang terkait dengan pengelolaan karyawan sejak rekrutmen hingga evaluasi kinerja, dan evaluasi kepuasan pelanggan. Hasil yang diperoleh yaitu 12,7% berada pada tingkat rendah, 57,1% tingkat sedang, dan selebihnya 30,2% tingkat tinggi.

Hasil tersebut menggambarkan bahwa pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur sebanyak 87,3% telah memiliki kemampuan dan keterampilan teknis dalam pengelolaan aset karyawan dan pelanggan. Kemampuan dalam mempertahankan kualitas produk, penyesuaian harga dengan keadaan pasar, memberikan pelayanan sesuai kebutuhan tamu, dan berpromosi untuk merebut hati pelanggan. Meski tenaga kerja umumnya berasal dari teman atau keluarga dengan kemampuan terbatas, pengelola dengan keterampilan teknisnya telah memberikan pelatihan sesuai kebutuhan operasional. Pengelola RMT kelas C juga peduli terhadap kepuasan pelanggan, secara rutin memperoleh umpan balik tentang kualitas dari pelanggan dengan cara bertanya langsung.

Pengelola RMT kelas C Jakarta Timur yang merespon alasan pentingnya keterampilan di bidang produksi untuk menghasilkan produk berkualitas yaitu 35%, respon tentang keterampilan mengelola harga 20%, respon tentang

keterampilan mengelola pelayanan 12%, dan respon tentang perlunya keterampilan promosi 18%. Data ini membuktikan bahwa fokus memberikan pelayanan terbaik untuk kepuasan pelanggan masih sangat rendah. Hasil penelitian ini menjawab tentang ciri pengelolaan pebisnis tradisional cenderung berorientasi pada penjualan, fokus pada nilai produk, kontak pelanggan tidak berkesinambungan, dan komitmen pada mutu hanya bagi staf produksi (Kotler, 2002), dan pebisnis modern sudah pada taraf mempesonakan pelanggan, orientasi laba, pelanggan dan stakeholder (sosial), dan fokus pada kepentingan pelanggan (Nickel, 2005).

Ciri Lingkungan Usaha RMT kelas C di Jakarta Timur

Ciri lingkungan usaha RMT kelas C Jakarta Timur yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) kebijakan Pemda, (2) skala usaha, (3) modal keuangan, (4) modal tenaga kerja, (5) sarana usaha, (6) prasarana usaha, (7) lokasi usaha, dan (8) kompetitor. Deskripsi selengkapnya disajikan pada Tabel 4.

Kebijakan Pemda

Pendapat pengelola RMT kelas C tentang kebijakan Pemerintah Daerah terkait dengan keberlangsungan usaha rumah makan menunjukkan tingkat kepuasan sangat tinggi sebanyak 22,2%, tingkat kepuasan sedang 55,6%, dan selebihnya 22,2% merasa tidak puas. Dari data yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa tingkat kepuasan pengelola RMT kelas C pada umumnya cukup puas atas kebijakan Pemerintah Daerah setempat tentang pelayanan administrasi perijinan, pungutan pajak dan retribusi. Begitupula dalam hal kegiatan pengawasan, pembinaan daya saing, pembinaan kualitas produk, dan pembinaan kualitas pelayanan.

Berdasarkan informasi hasil survei, pemerintah daerah kota Jakarta Timur beserta jajarannya di tingkat kecamatan dan kelurahan telah cukup berperan dalam tatalaksana administrasi sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 25 Tahun 2000. Demikian halnya dengan kegiatan pengawasan dan pembinaan di bidang pariwisata sesuai Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 10 tahun 2004, khususnya Pasal 35 tentang kewajiban dan larangan; Pasal 41 tentang pembinaan

terhadap penyelenggaraan kepariwisataan; dan Pasal 42 Dinas Pariwisata melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepariwisataan.

Tabel 4. Deskripsi Ciri Lingkungan Usaha RM Kelas C Jakarta Timur

Keterangan: n = 63

No Ciri Lingkungan Usaha (X

2)

Rataan/

Median Kisaran Kategori

Persentase (%) 1 Kebijakan Pemda (skor) 18 7 – 28 Kurang mendukung (7-13) Cukup mendukung (14-21) Sangat mendukung (22-28) 22,2 55,6 22,2 2 Skala usaha a. Luas usaha (m²) 116 50 – 600 Sempit (50-233) Sedang (>233-416) Luas (>416-600) 93,7 3,2 3,2 b. Kapasitas (kursi) 35 10 – 100 Sedikit (10-40) Sedang (>40-70) Banyak (>70-100) 65,1 22,2 12,7 c. Jumlah tenaga kerja (orang) 7 2 – 25 Sedikit (2-9) Sedang (10-17) Banyak (18-25) 82,5 12,7 4,8 d. Jumlah pengun- jung perhari (orang) 102 50 – 300 Sedikit (50-133) Sedang (134-216) Banyak (217-300) 79,4 11,1 9,5 e. Omzet perhari (ribu rupiah) 1780 150-6500 Rendah (<2267rb) Sedang(2267-4383) Tinggi (>4383) 34,9 9,5 4,8 3 Sumber modal keuangan (skor) 6 3 – 7

Rendah akses sumber luar (3-4)

Cukup akses sumber luar (5)

Tinggi akses sumber luar (6-7)

7,9 23,8 68,3 4 Modal tenaga kerja

(skor) 32 16 – 43 Rendah (16-24) Sedang (25-34) Tinggi (35-43) 12,7 42,9 44,4 5 Sarana usaha (skor) 47 30 – 63 Rendah (30-40) Sedang (41-52) Tinggi (53-63) 11,1 71,4 17,5 6 Prasarana usaha (skor) 26 17 – 40 Rendah (17-24) Sedang (25-32) Tinggi (33-40) 34,9 52,4 12,7 7 Lokasi usaha (skor) 17 12 – 23 Rendah (12-15) Sedang (16-19) Tinggi (20-23) 28,6 61,9 9,5 8 Kompetitor (skor) 11 4 – 17 Rendah (4-8) Sedang (9-12) Tinggi (13-17) 25,4 36,5 38,1

Perlu diupayakan agar kebijakan pemerintah terkait mampu mendukung dan memenuhi kebutuhan para pengelola untuk meningkatkan kemampuan berusaha. Kebijakan yang perlu di pertahankan seperti penyuluhan di bidang kesehatan dan pariwisata, sedangkan yang perlu diupayakan yaitu peningkatan kemampuan manajemen, kemampuan berwirausaha, dan peningkatan kualitas tenaga kerja sehingga mampu meningkatkan kualitas sarana dan prasarana usaha, serta lokasi usaha dengan demikian akan tercipta persaingan sehat antara industri usaha.

Skala Usaha

Data skala usaha rumah makan kelas C di Jakarta Timur hasil penelitian menunjukkan yaitu:

1) Luas rumah makan 93,7% rendah yaitu antara 50 hingga 233 meter persegi, dengan rataan sebesar 116 m². SK Menparpostel No. KM.37/PW.304/MPPT-86, mencantumkan salah satu persyaratan yaitu tentang luas rumah makan dihitung berdasarkan kapasitas tempat duduk, dengan perbandingan yaitu 1,5m²/tempat duduk. Maka rumah makan dengan luas rumah makan 50 meter persegi secara standar hanya bisa menampung antara 30 hingga 33 tempat

Dokumen terkait