• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT ADOPSI PROGRAM SAPTA PESONA OLEH PENGELOLA RUMAH MAKAN TRADISIONAL KELAS C DI JAKARTA TIMUR AYAT TAUFIK AREVIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT ADOPSI PROGRAM SAPTA PESONA OLEH PENGELOLA RUMAH MAKAN TRADISIONAL KELAS C DI JAKARTA TIMUR AYAT TAUFIK AREVIN"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

DI JAKARTA TIMUR

AYAT TAUFIK AREVIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola Rumah Makan Tradisional Kelas C di Jakarta Timur, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Ayat Taufik Arevin

(3)

AREVIN, AYAT TAUFIK. 2009. Adoption Level of Sapta Pesona (Seven Amazing) Program by the Traditional Restaurant Managers of C-class in East Jakarta. Under direction of BASITA G. SUGIHEN as the chairman of supervisory team and SITI AMANAH as a member.

The sectors of transportation, telecommunication, tourism development raised since of 1980th, have been able to overcome the social problems and economics in the ASEAN countries. Tourism development represents Indonesian pledge in the effort of accelerating economics growth. Sapta Pesona is one of the programs to promote tourism development. Sapta Pesona (the Seven Amazed Program) consists of safety, cleanliness, orderliness, comfort, beauty, hospitality, and enhancing memories. The success of Sapta Pesona program will positively contribute to the tourism businesses that are majority managed by low medium levels of restaurant businesses. The study was focused on management of C-class restaurants. Management of C-class restaurants still ran in very traditional strategy. The aims of this study were (1) to learn the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program, (2) to identify the factors related to the participation of the managers in adoption, and (3) to find out strategic to improve participation of the managers in adoption Sapta Pesona program. The research method used was survey, supported by participatory observation technique. The populations of the study were 63 restaurants managers at the east of Jakarta. The data collection was carried out from February until September 2008. The data analysis used was correlation test of Rank Spearman. The results showed that (1) the participation of traditional restaurant managers were of medium level, (2) the personal characters (age, experience, level of educations and communication intensity) were positively related to the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program, (3) the business characters were closely related to the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program.

(4)

Pengelola Rumah Makan Tradisional Kelas C Jakarta Timur. Dibimbing oleh BASITA G. SUGIHEN sebagai Ketua Komisi dan SITI AMANAH sebagai Anggota Komisi.

Pariwisata menjadi salah satu industri terbesar di dunia yang prospektif dan kompetitif. Upaya pembangunan pariwisata ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan citra pariwisata suatu wilayah. Indonesia masih jauh tertinggal, dibandingkan dengan negara Asia lainnya, dalam merebut kunjungan wisata internasional. Indonesia juga belum mampu menjadikan pariwisata sebagai primadona dalam menghasilkan devisa bagi negara ini. Jika tidak segera berbenah, mungkin kita hanya akan menjadi penonton dalam persaingan global yang semakin ketat.

Salah satu item pajak daerah yang akan digenjot Pemprov DKI Jakarta untuk mendongkrak penerimaan asli daerah (PAD) sebagaimana ditargetkan

rencana jangka menengah daerah 2007-2012 yaitu pajak hotel dan restoran (Bisnis

Indonesia, 8 April 2008). Perolehan PAD kota Jakarta Timur pada tahun 2005

dari industri pariwisata total sebesar Rp. 32.117.784.180, masing dari penerimaan pajak hotel sebesar Rp. 7.109.812.177, pajak restoran Rp. 19.536.992.658 dan pajak hiburan Rp. 5.470.979.345 (http://www.jaktim.beritajakarta.com/). Hal ini membuktikan bahwa rumah makan atau restoran salah satu sarana usaha pariwisata yang memiliki potensi.

Sapta Pesona merupakan salah satu program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar mampu berpartisipasi dalam pembangunan di bidang pariwisata. Unsur-unsur Sapta Pesona yaitu: (1) aman, (2) tertib, (3) bersih, (4) sejuk, (5) indah, (6) ramah-tamah, dan (7) kenangan. Sapta Pesona merupakan kunci sukses bagi semua kegiatan bisnis di bidang pariwisata. Salah satu upaya peningkatan mutu atau citra rumah makan tradsional yaitu perlunya pengelola rumah makan mengadopsi dan menerapkan unsur-unsur dalam program Sapta Pesona.

Kondisi dan cara pengelolaan rumah makan tradisional (RMT) kelas C di Jakarta Timur masih sangat sederhana baik dari sisi manajemen SDM, metode pengolahan, teknik pelayanan, dan pemeliharaan sarana dan prasarana yang dimiliki. Akibatnya mereka tidak mampu memenuhi kepuasan pelanggan dan rendah dalam kemampuan berkompetisi, sehingga berimbas pada kemajuan usahanya.

Pengelola RMT kelas C memiliki kemampuan rendah dalam adopsi program Sapta Pesona. Hal ini dipengaruhi faktor-faktor dalam ciri pribadi pengelola dan ciri lingkungan usaha rumah makan tradisional. Maka rumusan masalah penelitian ini yaitu (1) Apakah program Sapta Pesona sudah menjadi komitmen budaya bagi pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur? (2) Ciri-ciri apa saja yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur? (3) Bagaimana bentuk tingkatan adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola usaha RMT kelas C di Jakarta Timur?

(5)

diperoleh secara langsung dari responden dan informan penelitian, melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif, serta untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman.

Tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur termasuk kategori sedang. Ciri pribadi yang penting diperhatikan untuk mempercepat kemampuan adopsi pengelola RMT kelas C yaitu usia, tingkat pendidikan, pengalaman usaha, dan intensitas komunikasi. Sedangkan ciri lingkungan usaha yang menjadi pertimbangan yaitu kebijakan Pemda, skala usaha, modal tenaga kerja, sarana usaha, prasarana usaha, lokasi usaha, dan kompetitor.

Strategi mempercepat adopsi dapat dilakukan dengan meningkatkan interaksi penyuluh dengan pengelola RMT kelas C; penyuluh dan petugas suku dinas pariwisata hendaknya memotivasi pengelola RMT kelas C supaya terlibat aktif dalam kelompok usaha sejenis dan mendorong pengembangan kelompoknya sebagai wadah komunikasi antar pengelola tentang program-program yang dibutuhkan dan yang ditawarkan oleh pemerintah.

(6)

Ó Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

DI JAKARTA TIMUR

AYAT TAUFIK AREVIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(8)

Nama : Ayat Taufik Arevin

NIM : I 352060031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A. Ketua

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi/Mayor

Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(9)
(10)

Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Februari hingga September 2008 adalah “Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola Rumah Makan Tradisional Kelas C di Jakarta Timur”. Topik ini sengaja dipilih sebagai upaya kepedulian dan dukungan penulis terhadap program Visit Indonesia 2008. Insya Allah hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dalam penyusunan strategi pemberdayaan para pelaku usaha pariwisata, khususnya bidang usaha restoran.

Penyelesaian karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Terima kasih penulis ucapkan kepada komisi pembimbing yaitu: Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A. dan Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. yang telah memberi saran dan dan arahan. Ungkapan terima kasih juga ingin penulis sampaikan kepada :

(1) Kedua orang tua, ibu mertua, istri (Rizka Handiani), anak-anak (Abang Adit, Teteh Fina, Ade Rahman), serta seluruh keluarga atas segala do’a dan kasih sayangnya.

(2) Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan Pariwisata (YLBPP) Jakarta dan Direktur Akademi Pariwisata Indonesia (AKPINDO) Jakarta atas ijin melanjutkan studi program pascasarjana yang diberikan kepada penulis. (3) Kepala Dinas Pariwisata Provinsi DKI Jakarta dan Kepala Suku Dinas

Pariwisata Kota Jakarta Timur, yang telah membantu memberikan data dan informasi yang diperlukan.

(4) Para enumerator yang telah membantu pengumpulan data.

(5) Seluruh responden/pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur yang telah berkenan diwawancarai dalam pengumpulan data penelitian.

(6) Sdr. Malta dan teman-teman mahasiswa S2 dan S3 PPN - SPs IPB atas

segala bantuan, masukan dan semangatnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2009

(11)

ayah Drs. H. Juhanudin, Sp.Ed. dan Ibu Hj. Nani Patonah, Dip.Ed. Dari kedua orangtua yang berprofesi sebagai guru tersebut, penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara.

Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri 28 Jakarta, dan pada tahun yang sama penulis mengikuti pendidikan diploma perhotelan. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program studi Tata Boga, Fakultas Pendidikan Teknologi Kejuruan (FPTK) IKIP Jakarta, memperoleh beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas (TID), lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2006, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, dalam bentuk Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS).

Penulis pernah bekerja sebagai Guru Honor Bidang Studi Tata Boga di SMA Negeri 31 Jakarta (1989-1991). Tahun 1991 mengajukan penempatan ikatan dinas sebagai dosen Jurusan Perhotelan Akademi Pariwisata Indonesia (AKPINDO) Jakarta, dan tahun 1992 diangkat sebagai Dosen PNS Kopertis dipekerjakan (dpk) di AKPINDO Jakarta. Sebagai Dosen Luar Biasa di Program studi Tata Boga, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sejak tahun 2002 hingga sekarang.

Mata Kuliah yang diampu penulis sebagai dosen antara lain F&B Service,

Stewarding, F&B Hygiene & Sanitation, dan F&B Service Supervisory. Penulis

dipercayai sebagai Tenaga Ahli dalam Perbaikan Silabus Mata Kuliah di Program studi Tata Boga FT UNJ. Jabatan yang pernah diemban penulis di AKPINDO Jakarta selain tenaga pengajar dosen, yaitu: (1) Koordinator Program Kerjasama AKPINDO Jakarta dengan BPLP Bandung; (2) Koordinator Praktek F&B Service; (3) Ketua Jurusan Perhotelan; (4) Pembantu Direktur III Bidang Kemahasiswaan; dan (5) Pendiri dan Direktur Pusatkarier Akpindo & Stein (PAS).

Penulis memperoleh pengalaman dari organisasi profesi yaitu sebagai anggota Dewan Pengurus Pusat Indonesian Food & Beverage Executive Club (IFBEC). Penghargaan dan prestasi melalui kegiatan pengabdian pada masyarakat yaitu (1) Dosen Teladan AKPINDO Tahun 2000 sebagai penyelamat kampus dari jaringan pengguna dan pengedar Narkoba; (2) Ketua penyelenggara

Job Fair di kampus AKPINDO periode 2004, 2005 dan 2006; (3) Juri lomba

Sapta Pesona bagi Usaha Pariwisata di Jakarta Timur tahun 2003; (4) Ketua Pelaksana Program Penyuluhan Sapta Pesona kerjasama AKPINDO - Sudin Pariwisata Jakarta Timur tahun 2003; (5) Penyuluh bagi pengusaha Restoran dan Jasa Boga di Jakarta Timur tahun 2003; (6) Penyuluh bagi siswa SLTA Kota DEPOK tentang Bahaya Penyalahgunaan NARKOBA tahun 2004; (7) Instruktur Pembekalan Materi Bidang Restoran dan Hotel bagi Siswa SMK korban Tsunami Daerah Istimewa Aceh tahun 2006; dan (8) Ketua Proyek dan Penyuluh bagi karyawan Wisma Putera Bahagia Cimacan – Milik Pemda DKI Jakarta tahun 2007 dan 2008.

(12)

DAFTAR TABEL ... .. xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Masalah Penelitian ... 4 Tujuan Penelitian ... 5 Manfaat Penelitan ... 5 Batasan Istilah ... 5 TINJAUAN PUSTAKA Rumah Makan Tradisional ... 8

Peran dan Tugas Pengelola ... 11

Ciri Pribadi ... 12

Ciri Lingkungan Usaha ... 19

Adopsi Inovasi ... 29

Program Sapta Pesona ... 32

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir ... 36

Hipotesis Penelitian ... 46

METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel ... 47

Rancangan Penelitian ... 47

Definisi Operasional ... 48

Instrumentasi ... .... 56

Pengumpulan Data ... 57

Analisis Data ... 59

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian... 60

Ciri Pribadi Pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur... 62

Ciri Lingkungan Usaha RMT Kelas C di Jakarta Timur... . 70

Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C... 77

Hubungan Ciri Pribadi dan Ciri Lingkungan Usaha dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C... 81

Strategi Percepatan Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur... 85

KESIMPULAN DAN SARAN... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(13)

1. Kelompok dan Populasi RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 47

2. Peubah, Indikator, dan Skala Data ... 52

3. Deskripsi Ciri Pribadi RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 63

4. Deskripsi Ciri Lingkungan Usaha RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 71

5. Skor Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 77

6. Persepsi Pengelola RMT Kelas C terhadap Program Sapta Pesona ... 80

7. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Pribadi dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona ... 82

8. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Lingkungan Usaha dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona ... 84

(14)

Halaman 1. Tahapan Proses Adopsi Inovasi ... 31 2. Proses Introduksi, Adopsi dan Inovasi dari Asal Sumbernya ... 38 3. Proses Adopsi dan Difusi Sapta Pesona ... 41 4. Kerangka Berpikir Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola

RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 46 5. Persentase menurut Kategori Adopter ... 80

(15)

1. Lembar Pedoman Pengumpulan Data ... 99

2. Daftar Usaha Sarana Pariwisata (USP) Jakarta Timur Tahun 2007 Jenis Usaha Rumah Makan/Restoran ... 110

3. Peta Sebaran Potensi RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 111

4. Kuesioner Penelitian ... 112

5. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman ... 121

(16)

Latar Belakang

Perkembangan pembangunan sektor transportasi, telekomunikasi dan pariwisata semakin pesat sejak digulirkan sejak era 1980-an, telah mampu mengatasi masalah ekonomi dan sosial di negara-negara ASEAN. Ketiga sektor tersebut merupakan bagian dari strategi pembangunan ekonomi berkelanjutan, searah dengan pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas utama di negara-negara berkembang. Maka diperkirakan akan menjadi sektor andalan agar Asia mampu berkompetisi di dalam era globalisasi.

Pariwisata menjadi salah satu industri terbesar di dunia yang prospektif dan kompetitif. Industri ini mampu menjadi sumber devisa di berbagai negara, Singapura, Malaysia, Hongkong, Thailand, Jepang, Hawaii, dan lainnya. Bahkan di Kepulauan Karibia, Bahama, dan Fiji menjadikan pariwisata sebagai penyumbang terbesar dalam penciptaan pendapatan masyarakat dan Negara. Perkembangan industri pariwisata cukup pesat pada beberapa tahun terakhir ini, menurut catatan World Tourism Organization (WTO), pada tahun 2002 tercatat 700 juta orang melakukan perjalanan wisata internasional, dan pada tahun 2005 tercatat lebih dari 850 juta. Dari angka tersebut lebih dari 25 persen tersebar di kawasan Asia Timur dan Pasifik.

Di Asia Tenggara, Indonesia masih jauh tertinggal dari Thailand, Singapura, dan Malaysia dalam merebut kunjungan wisata internasional. Indonesia juga belum mampu menjadikan pariwisata sebagai primadona dalam menghasilkan devisa bagi negara ini. Jika tidak segera berbenah, mungkin kita hanya akan menjadi penonton dalam persaingan global yang semakin ketat.

Pembangunan pariwisata di Indonesia mengaplikasikan tiga paradigma utama, yaitu: (1) meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja dan

kesempatan berusaha, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(2) mewujudkan keadilan sosial, melestarikan serta memperkokoh jatidiri, kemandirian bangsa, memperkaya kepribadian, mempertahankan nilai-nilai

agama, serta berfungsi sebagai media menciptakan ketertiban dunia. (3) memperhatikan kelestarian lingkungan dan berkesinambungan.

(17)

Dalam rangka pemantapan citra dan daya saing pariwisata Indonesia, pada tahun 2008 ini Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (DEPBUDPAR) kembali mencanangkan ‘Tahun Kunjungan Wisata Indonesia’ (Visit Indonesia 2008). Menbudpar Jero Wacik dalam acara jumpa pers Kampanye Sadar Wisata di Gedung Sapta Pesona, Jakarta (Suara Karya 22 Nopember 2007) mengatakan: "Kalau pada tahun 2007 ini target wisman hanya 6 juta orang dan kami optimistis target itu terpenuhi, maka untuk tahun 2008 jumlah wisman ditargetkan naik menjadi 7 juta orang, sementara jumlah wisnus menjadi 118 juta, yang bisa menghasilkan devisa Rp 90 triliun". Jero Wacik juga menyerukan agar masyarakat Indonesia ikut berpartisipasi dalam menyukseskan program nasional Sadar Wisata. Partisipasi masyarakat diperlukan dalam hal penciptaan lingkungan dan suasana yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan di daerah. Menbudpar juga mengatakan masyarakat harus senantiasa mengimplementasikan tujuh hal yaitu: rasa aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. Di dalam terminologi pariwisata Indonesia, tujuh hal tersebut dikenal dengan istilah Sapta Pesona.

Sapta Pesona merupakan tolok ukur dalam peningkatan kualitas produk wisata guna mewujudkan kesadaran dan tanggung jawab segenap lapisan masyarakat termasuk pemerintah maupun swasta. Penyuluhan Sadar Wisata dan program Sapta Pesona merupakan tugas bersama, bukan hanya tugas pemerintah atau pihak tertentu saja. Kesuksesan dunia wisata membutuhkan kebersamaan antara pemerintah dengan pihak terkait, saling membina kerjasama dengan berbagai pihak dalam meningkatkan sapta pesona sebagai wujud sadar wisata di tengah masyarakat.

Untuk tingkat Pemprov DKI Jakarta, salah satu item pajak daerah yang akan digenjot untuk mendongkrak penerimaan asli daerah (PAD), pendapatan pajak daerah di luar pajak kendaraan bermotor, sebagaimana ditargetkan rencana jangka menengah daerah 2007-2012 adalah pajak hotel dan restoran (Bisnis Indonesia 8 April 2008). Dalam lima tahun terakhir, pajak hotel dan restoran menyumbang 12% dari total penerimaan pajak daerah, terbesar ketiga setelah bea balik nama (36%) dan pajak kendaraan (27%). Hal ini merupakan kenyataan bahwa usaha

(18)

sarana pariwisata jenis hotel dan restoran sangat memberikan kontribusi dalam partisipasi pembangunan di wilayah DKI Jakarta.

Kota Jakarta Timur dalam program pengembangannya, dipersiapkan sebagai kota wisata belanja dengan menggali berbagai hal yang dapat dijadikan potensi obyek wisata, meningkatkan jumlah dan jenis atraksi wisata, mempermudah birokrasi perizinan usaha dan industri penunjang pariwisata, serta meningkatkan SDM. Dampak strategi tersebut sektor pariwisata pada tahun 2005 pemerintah kota Jakarta Timur berhasil mendapatkan penerimaan masing-masing dari pajak hotel sebesar Rp. 7.109.812.177, pajak restoran Rp. 19.536.992.658 dan pajak hiburan Rp. 5.470.979.345. Total keseluruhan Rp. 32.117.784.180, dan penerimaan pajak ini meningkat sebesar 64,3 persen di banding tahun sebelumnya sebesar Rp. 20.810.713.117. (http://www.jaktim.beritajakarta.com/)

Berdasarkan data tentang Usaha Sarana Pariwisata (USP) di Jakarta Timur pada tahun 2007 untuk jenis usaha restoran atau rumah makan terdapat 231 nama usaha. Rumah makan tersebut dikelompokkan menurut klasifikasinya yaitu A, B, C, dan D. Standar klasifikasi menggunakan skala usaha berdasarkan nilai total investasi, jumlah kursi yang menyatakan kapasitas pelanggan (tamu) yang mampu ditampung, dan jumlah karyawan yang dipekerjakan, juga mengenai kelayakan fasilitas yang dimiliki.

Penelitian ini terfokus pada usaha Rumah Makan Tradisional kelas C (selanjutnya disebut dengan RMT kelas C) karena termasuk pada kelompok usaha kecil yang penuh dengan resiko. Rumah makan tradisional kelas C, sesuai dengan jenis usaha kecil lain terbukti memiliki kontribusi yang cukup besar di bidang pembangunan sosial-ekonomi di berbagai negara, di antaranya yaitu: 1) membuka lapangan kerja yang luas dan bersifat fleksibel baik bagi laki-laki maupun perempuan, untuk segala umur, dan penuh waktu, maupun paruh waktu; 2) banyak produk baru yang bisa dikembangkan; dan 3) membuka peluang bagi orang yang memiliki obsesi kuat, tekad besar, dan pekerja keras untuk menjadi pemimpin untuk usahanya.

Beberapa faktor penyebab kegagalan usaha kecil menurut Puspopranoto (2006) antara lain yaitu: (1) Akibat kebiasaan buruk atau kesehatan kurang baik; (2) Kehilangan pasar; (3) Kurangnya pengalaman manajerial; dan (4) Lemahnya

(19)

daya saing dan lokasi kurang baik. Faktor ini juga yang menyebabkan keberadaan rumah makan tradisional semakin terdesak oleh restoran modern jenis fast food waralaba baik lokal maupun asing. Meski ukuran restoran waralaba tersebut ukurannya lebih kecil dari restoran tradisional, namun indutri jenis ini lebih mengutamakan profesionalisme dengan menjunjung mutu dan citra produk serta kualitas pelayanan.

Kunci keberhasilan menurut Rakhmawati (2003) antara lain restoran fast

food modern tunduk pada peraturan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan frenchise-nya di kantor pusat, seperti ketetapan : standar mutu produk, standar

manajemen, standar pemasaran, standar lay-out dan standar desain, dan standar kerja karyawan. Jika semuanya dipenuhi maka dapat diperoleh izin franchising.

Berbagai pembinaan maupun pendampingan bagi industri usaha sarana pariwisata telah dilakukan oleh kantor Suku Dinas Pariwisata Jakarta Timur dan telah menjadi agenda kegiatan setiap tahunnya. Terakhir kali pada bulan Juli 2007 kegiatan sosialisasi Sapta Pesona diikuti oleh 100 pengusaha dan pengelola industri pariwisata di wilayah Jakarta Timur, seperti pengelola akomodasi/hotel, rumah makan/restoran, griya pijat, bioskop, salon dan bola sodok. Kegiatan sosialisasi ini selain sebagai bentuk pembinaan juga untuk meningkatkan pelayanan dari para pengelola industri pariwisata di Jakarta Timur.

Berhasil-tidaknya usaha restoran atau rumah makan merupakan tanggungjawab pengelola (manajer), maka diperlukan pengalaman usaha, kemampuan berwirausaha, dan keterampilan manajerial. Tidak hanya itu pengelola rumah makan tradisional perlu pula mengadopsi program sadar wisata dan konsep Sapta Pesona.

Masalah Penelitian

Penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur ini diharapkan mampu menjawab masalah tentang :

1. Apakah program Sapta Pesona sudah menjadi komitmen budaya bagi pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur?

(20)

2. Ciri-ciri apa saja yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur? 3. Bagaimana strategi percepatan adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola

rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur? Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur yaitu: 1. Mengetahui tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah

makan tradisional kelas C di Jakarta Timur.

2. Menganalisis ciri-ciri yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur. 3. Bahan rumusan untuk meningkatkan penerimaan nilai-nilai Sapta Pesona oleh

Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur, dan ditampilkan dalam bentuk tindakan nyata.

Manfaat Penelitian

Penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur diharapkan berguna bagi semua pihak yang terkait, antara lain:

1. Ikut berpartisipasi menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan dan pengembangan di bidang industri pariwisata.

2. Memberikan informasi guna menerbitkan standarisasi pelayanan bagi rumah makan dalam upaya mewujudkan budaya layanan prima.

3. Memotivasi pengusaha tradisional mengembangkan usaha rumah makan dalam upaya meningkatkan citra dan daya saing pariwisata nasional.

Batasan Istilah Tingkat Adopsi

Untuk mendefinisikan adopsi tidak lepas dengan istilah inovasi, karena bila orang sebagai individu atau kelompok masyarakat mempunyai sikap menerima inovasi, berarti orang atau kelompok masyarakat itu telah mengadopsi inovasi

(21)

tersebut. Dalam hal ini inovasi merupakan suatu ide atau gagasan yang dianggap baru oleh perorangan atau unit kelompok yang mengadopsinya. Sedangkan adopsi merupakan suatu keputusan untuk menggunakan inovasi sebagai suatu pilihan terbaik.

Inovasi mempunyai tiga komponen, yaitu (1) ide atau gagasan, (2) metode atau praktek, dan (3) produk (barang dan jasa). Untuk dapat disebut inovasi, ketiga komponen tersebut harus mempunyai sifat “baru”. Sifat “baru” tersebut tidak selalu berasal dari hasil penelitian mutakhir. Hasil penelitian yang telah lalu pun dapat disebut inovasi, apabila diintroduksikan kepada seseorang atau unit masyarakat yang belum pernah mengenal sebelumnya. Jadi, sifat “baru” pada suatu inovasi dilihat dari sudut pandang calon pengadopsi atau pengetrap, bukan kapan inovasi tersebut dihasilkan.

Adopsi sebagai suatu proses perubahan perilaku dalam bentuk pengetahuan, sikap, maupun ketrampilan pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan. Apabila nilai-nilai tersebut di atas telah diadopsi, maka diharapkan kesadaran masyarakat akan pentingnya a spirit of cooperation tumbuh dan berkembang. Semangat kerja sama, pada gilirannya menstimulus tumbuhnya rasa memiliki, partisipasi, dan tanggung jawab sosial untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka.

Program Sapta Pesona

Sapta Pesona mengandung 7 (tujuh) unsur yang menentukan citra baik pariwisata Indonesia, yaitu aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramahtamah, dan kenangan. Bukan hanya sebagai kebutuhan pokok wisatawan, tetapi juga sebagai tolok ukur peningkatan kualitas produk pariwisata nasional. Melalui Keputusan Menteri Parpostel Nomor KM 05/UM.209/MPPT-89 tertanggal 18 Januari 1988, Sapta Pesona ditetapkan sebagai program nasional yang bertujuan meningkatkan kualitas produk dan memperbaiki mutu pelayanan pariwisata nasional.

Program Sapta Pesona merupakan salah satu inovasi dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia. Diharapkan ke-tujuh unsur yang terkandung di dalamnya mampu diadopsi oleh pihak-pihak yang harus melaksanakan Sapta Pesona yaitu pemerintah, industri pariwisata, dan masyarakat.

(22)

Pengelola

Pimpinan dalam suatu organisasi atau perusahaan yang bertanggungjawab atas kinerja dari satu atau lebih anggota atau stafnya disebut sebagai manajer atau pengelola. Pengelola melaksanakan fungsi manajemen, yaitu melaksanakan suatu proses yang melibatkan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian yang dilakukan untuk mencapai sasaran perusahaan. Pengelola yang bergerak dalam bisnis rumah makan atau restoran, agar lebih produktif dan bekerja efisien mutlak memerlukan pengalaman usaha, kemampuan wirausaha, dan keterampilan manajerial.

Rumah Makan Tradisional Kelas C

Rumah makan suatu usaha yang menyediakan jasa pelayanan makan dan minum bagi pelanggannya, sebagai salah satu unit usaha sarana pariwisata (USP) yang ijin operasionalnya dari pemerintah terkait dan kewajibannya membayar retribusi (pajak) dikelompokkan berdasarkan nilai investasi, kelengkapan fasilitas dan sistim pelayanan yang diberikan. Rumah makan kelas C adalah tergolong sebagai perusahaan kecil. Pengertian perusahaan kecil mengacu pada ciri-ciri manajemen berdiri sendiri, investasi modal terbatas baik dari sisi keuangan maupun jumlah tenaga kerja, daerah operasinya lokal, dan ukuran secara keseluruhan relatif kecil.

Rumah makan tradisional terdiri dari 2 (dua) karakteristik, yaitu positif dan negatif. Karakter positif menggambarkan bahwa rumah makan tradisional selain menyajikan hidangan ciri khas suatu daerah, juga suasana dengan nuansa desain dan dekor maupun ciri khas pelayanan didominasi oleh etnik budaya. Sedangkan karakter negatif rumah makan tradisional yang dikelola dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan yang dimilikinya jauh dari sentuhan modern dengan ciri khas konvensional yaitu lebih mengutamakan keunggulan produk daripada kualitas pelayanan.

(23)

Rumah Makan Tradisional

Restoran termasuk industri pariwisata dalam kelompok usaha penyediaan

makanan dan minuman. Pada pengembangan usahanya dapat menyediakan fasilitas

dan atraksi rekreasi dan hiburan serta fasilitas lainnya. Jenis restoran antara lain

seperti restoran, café, coffee shop, kantin, dan kafetaria (Perda Provinsi DKI Jakarta

Nomor 10 Tahun 2004).

Dalam konteks pengembangan pariwisata, usaha restoran memiliki beberapa

peran penting antara lain yaitu: (1) penyedia jasa layanan kebutuhan makan dan

minum bagi wisatawan; (2) meningkatkan lama tinggal wisatawan sebagai dampak

pelayanan yang memuaskan; (3) sebagai pendukung sumber informasi memperlancar

perjalanan wisatawan; (4) memberikan jaminan keamanan, ketertiban, kebersihan,

kesejukan, keindahan, keramah-tamahan, dan kenangan bagi pengunjung

(wisatawan); (5) menyediakan peluang kerja bagi masyarakat yang membutuhkan;

dan (6) kebutuhan tenaga profesional dan kompeten turut mempengaruhi keberadaan

dan peningkatan jumlah lembaga pendidikan dan pelatihan bidang restoran.

Keputusan Menteri Keuangan RI tentang Uraian Klasifikasi Lapangan Usaha

Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum mengklasifikasikan restoran

dan rumah makan menjadi 4 kelompok, berdasarkan kelasnya yang tertinggi yaitu: (a)

Restoran Talam Kencana; (b) Restoran Talam Selaka; (c) Restoran Talam Gangsa;

dan (d) Restoran Non-talam. Peringkat klasifikasi restoran diurut berdasarkan kriteria

berikut:

(1) Penggunaan sebagian atau seluruh bangunan, dengan sifat bangunan yang

permanen atau non-permanen;

(2) Kepemilikan dapur pengolahan dan tempat penyajian pada bangunan yang sama;

(3) Kelengkapan peralatan dan fasilitas proses pembuatan dan penyimpanan; dan

(4) Ijin kelayakan operasional dari instansi yang membinanya dan mengeluarkan

(24)

Restoran Non-talam disebut juga sebagai rumah makan, yaitu restoran yang

belum mendapatkan surat keputusan sebagai yang berklasifikasi talam. Restoran

Non-Talam terbagi lagi menjadi 3 (tiga) kelas yaitu (1) Rumah Makan Kelas A; (2)

Rumah Makan Kelas B; dan (3) Rumah Makan Kelas C. Kelas tersebut dibedakan

menurut kapasitas meja/kursi tamu, dan jumlah karyawanya.

Tradisional menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) adalah sikap dan

cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat

kebiasaan yang ada secara turun temurun. Dalam konteks rumah makan memiliki 2

cara tinjau berbeda, yaitu dari sisi positif dan negatif. Rumah makan tradisional

(RMT) jika ditinjau dari sisi positif yaitu suatu bentuk usaha yang menjual hidangan

(menu makanan dan minuman) khas suatu daerah, lengkap dengan suasana baik

dekorasi eksterior maupun interior, seragam karyawan, latar belakang musik atau

hiburan dan keramah-tamahan sebagai ciri dari daerah tersebut. Selanjutnya konsep

dengan unsur etnik tersebut yang menjadi kebanggaan bagi pengunjungnya, atau

sebagai daya tarik bagi wisatawan yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru.

Hal-hal tersebut yang memiliki nilai jual dari rumah makan tradisional. Rumah makan

tradisional berdasarkan sudut pandang negatif yaitu rumah makan yang dikelola

secara konvensional, dengan pengelola cenderung bersikap, cara pikir dan cara

bertindak yang tidak sesuai dengan tuntutan masa kini (modern).

Perbedaan pengelolaan antara bisnis tradisional dengan bisnis modern yaitu:

(1) Pebisnis tradisional cenderung berorientasi pada penjualan, fokus pada nilai

produk, kontak pelanggan tidak berkesinambungan, dan komitmen pada mutu hanya

bagi staf produksi; sedangkan (2) Pebisnis modern berorientasi untuk

mempertahankan pelanggan, fokus pada nilai pelayanan, kontak pelanggan

berkesinambungan, dan komitmen mutu berlaku bagi seluruh staf (Kotler, 2002).

Perbedaan bisnis tradisional dan modern ditambahkan Nickel (2005) yaitu:

(1) Bisnis Tradisional memuaskan pelanggan, orientasi laba dan produk, dan

cenderung menerapkan etika reaktif, dan fokus pada masalah manajerial, sedangkan

(2) Bisnis Modern sudah pada taraf mempesonakan pelanggan, orientasi laba,

pelanggan dan stakeholder, dan fokus pada kepentingan pelanggan.

(25)

Karakteristik RMT Kelas C

Rumah makan tradisional kelas C (selanjutnya disingkat RMT Kelas C)

merupakan bidang usaha sarana pariwisata (USP) pada kelompok usaha kecil dan

menengah, berdasarkan aturan instansi pemerintah terkait yaitu:

(1) Badan Pusat Statistik (BPS) menggolongkan pada industri rumah tangga dengan

jumlah pekerja 1–4 orang, sedangkan industri kecil memiliki pekerja 5–19 orang.

(2) Suku Dinas (Sudin) Pariwisata Jakarta Timur mengelompokkan RM kelas C

dengan kisaran jumlah meja antara 4-12, jumlah kursi antara 20-50 dan jumlah

karyawan antara 5-12.

Industri berskala kecil menurut istilah ketenagakerjaan (Depnakertrans RI)

yaitu industri yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Pemilik adalah golongan

ekonomi lemah dan pada umumnya sekaligus menjadi pimpinan (single ownership

and management) dan memerlukan bimbingan kewirausahaan; (2) Administrasi

perusahaan pada umumnya masih bersifat sederhana, kurang teratur, belum

berbentuk badan hukum; (3) Tidak mampu menyediakan jaminan (coliateral) guna

mendapatkan kredit dari dunia perbankan; (4) Hubungan kerja antara pengusaha

dengan pekerja masih lebih bersifat kekeluargaan; (5) Pembiayaan/permodalan pada

umumnya belum memungkinkan dapat menyediakan bahan yang cukup untuk

kontinuitas produksi; (6) Proses produksinya masih sederhana dan sebagian besar

masih bersifat tradisional; dan (7) Produksinya pada umumnya belum tetap dan

disainnya kurang dapat mengikuti selera pasar.

Fuad (2000) memberikan ciri-ciri umum perusahaan kecil mengacu pada: (1)

Manajemen berdiri sendiri, umumnya manajer adalah juga pemilik; (2) Investasi

modal terbatas; (3) Daerah operasinya lokal; dan (4) Ukuran secara keseluruhan

relatif kecil. Menurut Puspopranoto (2006) perusahaan kecil adalah usaha yang

memenuhi dua atau lebih kriteria berikut: (1) Pihak pemilik mengelola perusahaan;

(2) Seorang atau sekelompok kecil menyediakan pembiayaan; (3) Pihak pemilik

dan para karyawan tinggal berdekatan dengan perusahaan; (4) Perusahaan itu kecil

dibandingkan dengan perusahaan lainnya dalam industri yang sama, diukur menurut

aset, jumlah karyawan, atau pendapatan penjualan.

(26)

The Dun & Bradstreet Corporation (Puspopranoto, 2006) mengidentifikasi

faktor-faktor penyebab kegagalan usaha kecil antara lain yaitu: (1) Kelalaian (akibat

kebiasaan buruk atau kesehatan kurang baik); (2) Faktor ekonomis (kehilangan

pasar); (3) Pengalaman (tidak cakap, kurangnya pengalaman manajerial); dan (4)

Penjualan (lemah daya saing, kesulitan persediaan, lokasi kurang baik).

Hasil riset Parsa (2005), salah satu unsur sukses dipengaruhi pengetahuan para

pengelola melalui pendidikan lanjutan tentang pemasaran dan lokakarya. Suatu

lingkungan yang mendukung profesionalisme akan menumbuhkan produktivitas lebih

baik. Unsur-unsur penyebab kegagalan bisnis rumah makan yaitu: (1) Kurangnya

pengalaman dalam berbisnis dan rendahnya pengetahuan pengelolaan restoran; (2)

Ketidakmampuan untuk memelihara standard operasional, terlalu banyak masalah

dalam layanan, serta rendahnya standard kebersihan dan kesehatan; dan (3) Untuk

rumah makan yang bernuansa etnis (tradisional), hilangnya keaslian berakibat

hilangnya integritas konseptual.

Peran dan Tugas Pengelola

Peran pengelola atau manajer secara konkret dikemukakan Puspopranoto

(2006) sebagai berikut: (1) Orang dalam organisasi yang bertanggung jawab atas

kinerja dari satu atau lebih orang lain; (2) Orang yang tugasnya menggunakan sumber

daya material seperti informasi, teknologi, bahan baku, fasilitas, dan uang untuk

memproduksi barang dan jasa yang dapat ditawarkan organisasi (perusahaan) kepada

para pelanggan; dan (3) Tugas setiap manajer terkait dengan satu tanggung jawab

utama, yaitu membantu organisasi dalam mencapai kinerja tinggi melalui

pemanfaatan semua sumber daya, baik tenaga manusia maupun material.

Tugas-tugas di dalam organisasi menurut Fuad (2000) dapat dibedakan

berdasarkan tiga tingkatan manajemen yaitu: (1) Manajemen Tertinggi (Top

Management), bertugas mengembangkan rencana-rencana yang luas dan

melakukan pengambilan keputusan strategis. (2) Manajemen Menengah (Middle

Management), tanggung jawab yang harus dilaksanakan para manajer tingkat ini

(27)

adalah mengembangkan rencana-rencana operasi untuk melaksanakan semua rencana

yang telah disusun manajemen puncak. (3) Manajemen Pelaksana (Operating

Management), bertanggung jawab untuk melaksanakan semua rencana yang telah

dibuat manajemen menengah serta bertugas untuk mengawasi para pekerja dalam

menjalankan pekerjaan sehari-hari. Manajer pelaksana sering pula disebut

pengawas atau penyelia tingkat pertama (First line supervisor).

Hal yang dikerjakan manajer menurut Nickels (Puspopranoto 2006) yaitu:

(1) Merencanakan; menetapkan sasaran organisasi, menyusun strategi guna mencapai

sasaran, menentukan sumber daya yang dibutuhkan, menetapkan standar yang

tepat.

(2) Mengorganisasikan; (a) mengalokasikan sumber daya dan pemberian tugas,

(b) menetapkan prosedur untuk mencapai sasaran dan menyiapkan struktur

organisasi yang menunjukkan garis kewenangan/tanggung jawab, (c) merekrut,

menyeleksi, melatih, dan mengembangkan karyawan, (d) menempatkan

karyawan di tempat di mana mereka sangat efektif.

(3) Memimpin/mengarahkan; memandu dan memotivasi karyawan untuk bekerja

secara efektif merealisasikan sasaran dan tujuan organisasi.

(4) Mengendalikan; mengukur kinerja dibandingkan tujuan perusahaan, memantau

kinerja relatif terhadap standar, memberi penghargaan atas kinerja yang menonjol,

dan mengambil tindakan korektif sesuai dengan kebutuhan.

Ciri Pribadi

Ciri pribadi yaitu segala sesuatu yang melekat pada diri seseorang yang sifatnya

khas untuk setiap orang. Ciri pribadi muncul karena terjadinya proses alam seperti:

usia, persepsi terhadap sesuatu, motivasi, maupun proses yang sengaja diciptakan

untuk meningkatkan kualitas diri, seperti: tingkat pendidikan, intensitas komunikasi,

frekuensi mencari inforniasi. Ciri pribadi mempengaruhi seseorang dalam

memberikan respon terhadap stimuli yang diterimanya, dan akan mengubah

perilakunya.

(28)

Lionberger (1960) menyatakan faktor-faktor internal yang mempengaruhi cepat

lambatnya adopsi adalah usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, pola

hubungan dan kekosmopolitan, keberanian mengambil resiko, sikap terhadap

perubahan, motivasi berkarya, aspirasi, sifat fatalisme dan diagnosisme (sistem

kepercayaan yang tertutup).

Soekartawi (1988) menjelaskan terdapat 11 peubah yang mempengaruhi proses

difusi dan adopsi inovasi yaitu: usia, pendidikan, keberanian mengambil resiko, pola

hubungan, sikap terhadap perubahan, pendapatan usaha tani, luas usaha tani, status

pemilikan tanah, prestise masyarakat, sumber informasi yang digunakan dan jenis

inovasi.

Pengaruh ciri pribadi terhadap perubahan perilaku, dikemukakan pada paragraf

tersebut, menunjukkan bahwa ciri pribadi mutlak dipertimbangkan dalam

program-program penyuluhan. Ciri pribadi yang melekat pada diri seseorang, baik yang

muncul dari kawasan kepribadiannya maupun yang dimiliki karena status dan

peranannya, akan memunculkan kekuatan atau dorongan untuk bertindak terutama

yang menguntungkan dirinya.

Usia

Usia mempengaruhi kecepatan perubahan perilaku, karena usia akan

mempengaruhi kemampuan fisik dan kemampuan fikir. Orang yang lebih tua

cenderung kurang responsif terhadap ide-ide baru. Padmowihardjo (1978)

menyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk belajar berkembang secara gradual,

sejalan dengan meningkatnya usia. Akan tetapi setelah mencapai usia tertentu akan

berkurang secara gradual pula, dan sangat nyata pada usia 55-60 tahun. Sementara itu

Vener dan Davidson (Lunandi, 1986) menyatakan bahwa dengan bertambahnya

usia secara fisiologis terdapat perubahan daya penglihatan dan pendengaran yang

dapat menurunkan tingkat efektivitas belajar orang dewasa. Klausmeijer dan

Goodwin (1966) mengemukakan bahwa ada pengaruh usia terhadap minat seseorang

terhadap macam pekerjaan tertentu sehingga usia seseorang juga akan berpengaruh

terhadap motivasinya untuk belajar.

(29)

Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Padmowihardjo (1994)

mengatakan usia bukan merupakan faktor psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan

oleh usia adalah faktor fisiologis. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan

seseorang berhubungan dengan usia. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan

kematangan otak, organ-organ sensual dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua

adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya. Selanjutnya

Wiraatmadja (1990) mengemukakan bahwa usia petani akan mempengaruhi

penerimaan petani terhadap hal-hal baru.

Seseorang yang muda usia mungkin memiliki pengalaman dan pendidikan

kurang, tetapi memiliki energi atau semangat untuk mencoba usahanya; sedangkan

orang yang sudah berumur memiliki pengalaman dan pendidikan lebih tinggi

sehingga menentukan keberhasilan dalam usahanya (Bird, 1989).

Pendidikan

Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya

pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas

pengetahuannya. Pengaruh pendidikan terhadap perubahan perilaku, hasil penelitian

Maryani (1995), menunjukkan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi lebih mudah

untuk menerima informasi dan berkemampuan menganalisis masalah yang

dihadapinya.

Pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang, sehingga

memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku (Winkel, 1991).

Gonzales (Jahi, 1988) merangkum pendapat beberapa ilmuwan bahwa pendidikan

merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan.

Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan derajat ilmu

pengetahuan yang dimiliki seseorang.

Russel (1993) mengatakan bahwa pendidikan senantiasa mempunyai dua

sasaran, yaitu pengajaran dan pelatihan perilaku yang lebih baik. Salam (1997)

mengemukakan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha yang disadari

(30)

untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di

dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Tichenor et al., (Padi,

2005)

mengemukakan bahwa kenaikan pendidikan formal menunjukkan suatu

perluasan dan penganekaragaman ruang kehidupan, jumlah kelompok referensi yang

lebih besar, keterampilan dan kesadaran ilmu pengetahuan dan masalah umumnya

lainnya yang lebih besar serta lebih luasnya dedahan pada isi media tentang lingkup

masalah.

Pendidikan diartikan sebagai rangkaian proses belajar-mengajar yang

menghasilkan perubahan perilaku. Pendidikan menjadi urutan pertama dalam

menentukan tingkat keinovatifan seseorang, demikian pendapat Rogers dan

Shoemaker (1971). Menurut Slamet (1975) tingkat pendidikan warga belajar akan

mempengaruhi pemahamannya terhadap sesuatu yang akan dipelajari. Artinya, hasil

belajar yang diperoleh dari proses belajar (proses pendidikan) akan membuat warga

belajar mampu melihat hubungan yang nyata antara berbagai fenomena yang

dihadapi. Selain itu, hasil belajar yang pernah diperoleh warga belajar dari pendidikan

yang pernah diikutinya akan mempengaruhi semangatnya untuk belajar.

Pengalaman Usaha

Pengalaman berusaha merujuk pada jumlah tahun lamanya seorang pengelola

berbisnis rumah makan. Pengalaman berusaha yang lebih lama dapat menumbuhkan

motivasi yang lebih kuat untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan. Pengalaman

seseorang bertambah sejalan dengan bertambahnya usia. Pengalaman dapat diukur

secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang dalam bidang usaha; serta

pengalaman yang bersifat kualitatif. Konsekuensi masa depan ditentukan oleh

pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang

terhadap yang lain. (Bandura, 1986)

Hal ini sependapat dengan Stanton (1978) bahwa motivasi untuk berbuat

tergantung dari pengalamannya, sebab pengalaman akan menentukan minat dan

kebutuhan yang dirasakan. Dalam proses belajar-mengajar, pengalaman juga

(31)

memiliki peran penting. Klausmeijer dan Goodwin (1966) menyatakan bahwa

pengalaman masa lampau akan mempengaruhi efisiensi belajar karena menurut

Havelock (1969) pengalaman masa lampau yang telah dimiliki seseorang akan

mempengaruhi kecenderungannya merasa memerlukan dan siap untuk menerima

pengetahuan pengetahuan baru. Pengalaman seseorang juga akan memberikan

kontribusi terhadap minat dan harapannya untuk belajar lebih banyak (Dahama and

Bhatnagar, 1980). Pemahaman terhadap pengalaman merupakan awal dan proses

belajar karena pengalaman akan dapat mengarahkan perhatian warga belajar kepada

minat, kebutuhan dan masalah masalah yang dihadapi.

Intensitas Komunikasi

Soekartawi (1988) menyatakan bahwa jumlah sumber informasi yang

digunakan oleh seseorang berhubungan positif dengan tingkat penerapan dan

penyebaran inovasi. Aktifitas mencari informasi adalah salah satu peubah komunikasi

yang berhubungan positif dengan tingkat penerapan inovasi (Van den Ban and

Hawkins, 1988). Perilaku pencarian informasi berhubungan dengan tingkat

pendidikan. Orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari isi informasi

melalui media cetak, demikian pendapat Schramm (1973).

Kajian berbagai hasil penelitian dan pendapat para ahli menunjukkan bahwa

intensitas komunikasi menentukan kecepatan perubahan perilaku. Pengelola rumah

makan melalui aktivitas komunikasi aktif dan komunikasi pasif akan lebih cepat

mengubah perilaku bisnisnya. Aktifitas komunikasi aktif artinya pengelola rumah

makan sengaja mencari informasi tentang cara atau strategi menjalankan bisnisnya,

sedangkan komunikasi pasif artinya pengelola rumah makan sekedar menerima

informasi tentang bisnis restoran dari pihak lain.

Keanggotaan kelompok

Keanggotaan dalam kelompok mencerminkan perilaku komunikasi seseorang

karena dalam kelompok terjadi proses komunikasi dan proses pendidikan. Seseorang

dapat berubah perilakunya karena pengaruh kelompok. Kelompok, menurut Slamet

(32)

(1995) adalah dua atau lebih orang yang berhimpun atas dasar kesamaan, berinteraksi

melalui pola atau struktur tertentu guna mencapai tujuan bersama, dalam kurun waktu

yang relatif panjang.

Sherip (Bahraini, 1984) mengartikan kelompok sebagai suatu kesatuan sosial

yang terdiri atas dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang

cukup intensif dan teratur, sehingga diantara individu sudah terdapat pembagian

tugas, struktur, dan norma-norma tertentu, yang khas bagi kesatuan sosial tersebut.

Hare (Bahraini, 1984) suatu kelompok bisa berbentuk asosiasi, yaitu organisasi yang

dibentuk oleh dan untuk pekerja yang berfungsi mewakili para pekerja dari satu atau

beberapa perusahaan saja yang bertujuan meningkatkan profesionalisme atau

kesejahteraan pekerja. Dalam kelompok terjadi interaksi antara anggota satu dan

anggota lainnya, mempunyai tujuan yang menjadi pedoman gerak kelompok dan

anggota, membentuk norma yang mengatur ikatan dan aktivitas anggota, serta

mengembangkan peranan dan jaringan ikatan perorangan dalam kelompok.

Menurut Slamet (1995) kelompok mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1)

terdiri dan individu-individu, (2) saling ketergantungan antara individu, (3) partisipasi

yang terus menerus dan individu, (4) mandiri atau mengarahkan diri sendiri, (5)

selektif dalam hal anggota, tujuan dan kegiatan, serta, (6) memiliki keragaman yang

terbatas. Soekartawi (1988) juga mengatakan bahwa salah satu faktor yang

mempengaruhi proses adopsi adalah interaksi antar individu, interaksi

individu-individu dengan kelompok-kelompok masyarakat.

Keberanian Mengendalikan Resiko

Entrepreneurship menurut Hendro (2006) memiliki tiga komponen utama

yaitu: wirausaha, wiraswasta, atau pengusaha. Ada hal berbeda, yaitu antara

wirausaha dan wiraswasta. Wirausaha berasal dari kata "wira" artinya berani dan

"usaha" yang bersumber bahasa Melayu. Begitu juga kata wiraswasta yang berasal

dari kata "wira" berani dan 'swasta’ yang berarti non pemerintahan, dahulu orang

cenderung hanya bekerja di sektor pemerintahan saja, sehingga bila seseorang berani

mengambil risiko dan keluar dari sektor pemerintahan, maka disebut wiraswasta.

(33)

Secara umum menurut Fuad (2000) pengertian wiraswastawan menunjuk

kepada pribadi tertentu yang secara kualitatif lebih dari kebanyakan manusia pada

umumnya, yaitu pribadi yang memiliki kemampuan untuk: (a) Berdiri di atas

kekuatan sendiri dalam mengambil keputusan dan menetapkan tujuan;

(b) Memperkenalkan fungsi faktor produksi baru, merespon secara kreatif dan

inovatif; (c) Belajar dari pengalaman (mawas diri), memiliki semangat bersaing dan

berprestasi yang kuat; (d) Menguasai berbagai pengetahuan; ketrampilan dalam

menyusun, menjalankan, dan mencapai tujuan organisasi usaha.

Hendro (2006), setiap wirausahawan (entrepreuneur) yang sukses memiliki

empat unsur pokok yaitu:

(1) Kemampuan (hubungannya dengan IQ dan skill) dalam membaca peluang,

berinovasi, mengelola, dan menjual;

(2) Keberanian (hubungannya dengan emotional quotient dan mental) dalam

mengatasi ketakutannya, mengendalikan resiko, dan untuk keluar dari zona

kenyamanan;

(3) Keteguhan hati (hubungannya dengan motivasi diri): persistence (ulet), pantang

menyerah, determinasi (teguh akan keyakinannya), dan kekuatan akan pikiran

(power of mind) bahwa anda juga bisa; dan

(4) Kreatifitas yang menelurkan sebuah inspirasi sebagai cikal bakal ide untuk

menemukan peluang berdasarkan intuisi (hubungannya dengan pengalaman).

Keterampilan Teknis

Fuad (2000) memberikan tiga keterampilan yang perlu dikuasai oleh manajer

berdasarkan tingkatan manajemen yaitu: (1) Manajemen Puncak membutuhkan

ketrampilan bersifat konseptual (Conceptual Skills), (2) Manajemen Menengah dituntut

memiliki ketrampilan bersifat manajerial (Managerial Skills), dan (3) Manajemen

Pelaksana sebagai pengawas atau penyelia tingkat pertama (First line supervisor)

membutuhkan ketrampilan bersifat teknik (Technical Skills).

Untuk melaksanakan fungsi-fungsinya, para manajer atau pengelola usaha

memerlukan berbagai kemampuan dan keterampilan. Menurut Katz (1974) terdapat 3

(34)

(tiga) macam keterampilan manajer yaitu: (1) Keterampilan teknis adalah

kemampuan untuk menggunakan peralatan, prosedur atau teknik-teknik dari suatu

bidang tertentu; (2) Keterampilan manusiawi adalah kemampuan untuk interaksi

dengan orang lain dalam memahami dan memotivasi serta mendorong orang lain baik

sebagai individu atau kelompok; dan (3) Keterampilan konseptual adalah kemampuan

mental para manajer untuk mengkoordinasi dan mengintegrasikan seluruh

kepentingan dan kegiatan organisasi sehingga organisasi dapat dilihat sebagai suatu

kesatuan yang utuh.

Ketiga kemampuan dan keterampilan tersebut sama pentingnya, namun

kepentingan itu sangat tergantung kepada kedudukan manajer itu dalam tingkat

organisasi. Komposisi teknis lebih besar untuk manajer rendah dan kemampuan

konsepsional lebih utama bagi manajer tingkat atas, karena harus mengambil putusan

yang berpengaruh luas dan berjangka waktu yang panjang.

Ciri Lingkungan Usaha

Schoell (1993) menyatakan faktor-faktor yang menunjukkan kekuatan utama

dari perusahaan kecil adalah: (1) Fleksibilitas lebih besar. Perusahaan kecil

cenderung lebih dapat menyesuaikan rencana dengan sangat cepat dalam

merespon perubahan lingkungan; (2) Lebih banyak perhatian secara pribadi terhadap

pelanggan dan karyawan; dan (3) Biaya tetap lebih rendah. Biaya personalia lebih

hemat, hal ini memungkinkan untuk menjual produknya pada harga lebih rendah. 4)

Motivasi pemilik lebih besar, pemilik usaha kecil memiliki perusahaannya sendiri

maka hal ini memotivasinya untuk bekerja lebih keras.

Tingkat pendapatan usaha, ukuran luas usaha, dan sumber informasi yang

digunakan turut mempengaruhi cepat lambatnya adopsi Lionberger (1960).

Faktor-faktor dari lingkungan usaha berikut yaitu: (1) pasar input antara lain tenaga kerja,

bahan baku, modal, dan usaha; dan (2) pasar output antara lain tuntutan pelanggan

dan pengaruh terhadap kompetitor, turut mempengaruhi keuntungan dari perusahaan,

dan pada akhirnya akan mempengaruhi penilaian untung ruginya suatu investasi.

(35)

Kebijakan Pemda

Kebijakan pembangunan pariwisata bertujuan, memperluas kesempatan kerja,

berusaha, meningkatkan devisa negara, memperkenalkan alam dan lingkungan

Indonesia. Adapun pengembangan dan pembinaannya, lewat penataran, penyuluhan

dalam rangka sosialisasi peraturan perundangan di bidang kepariwisataan.

Menyelenggarakan kursus keterampilan industri kecil. Kerjasama dengan pihak

swasta terkait.

Sejak diterapkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 mengenai pembagian

wewenang antara sistem dan organisasi pemerintah pusat dan daerah, maka peran

pemerintah daerah semakin besar dalam mengurus ketatalaksanaan administrasi

pemerintahan wilayahnya. Sehubungan dengan hal tersebut Peraturan Daerah (Perda)

Propinsi DKI Jakarta Nomor 10 tahun 2004 tentang Kepariwisataan, merupakan salah

satu kebijakan Pemda. Peraturan yang terkait dengan kegiatan operasional usaha

penunjang pariwisata, khususnya usaha rumah makan, yaitu:

(1) Pasal 9; mengatur tentang Dinas Pariwisata melakukan pembinaan terhadap

industri pariwisata melalui peningkatan standar kualitas pelayanan dan

peningkatan daya saing usaha pariwisata, sebagai upaya mewujudkan iklim usaha

yang kondusif.

(2) Pasal 16; Setiap industri pariwisata, wajib melakukan upaya pelestarian

lingkungan melalui AMDAL.

(3) Pasal 24; setiap industri pariwisata harus memperoleh ISUP (Izin Usaha

Sementara Usaha Pariwisata) dari Kepala Dinas Pariwisata, sebagai syarat Izin

Mendirikan Bangunan (IMB) dan untuk menyusun dokumen Analisa Mengenai

Dampak Lingkungan (AMDAL) serta Izin Tetap Usaha Pariwisata (ITUP).

(4) Pasal 31; Dinas Pariwisata menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan

mutu tenagakerja bidang kepariwisataan berpedoman pada standar kompetensi

profesi kepariwisataan berdasarkan profesi/jabatan masing-masing.

(36)

(5) Pasal 32; Setiap tenaga kerja pariwisata wajib memiliki Sertifikat Profesi

Kepariwisataan sebagai lisensi kekaryaan berdasarkan profesi/jabatan di

bidangnya masing-masing.

(6) Pasal 35; tentang kewajiban dan larangan di antaranya tentang kewajiban untuk:

- menjamin dan bertanggung jawab terhadap keamanan, keselamatan,

ketertiban dan kenyamanan;

- memelihara kebersihan, keindahan dan kesehatan lokasi kegiatan;

- memberikan kesempatan kepada karyawan untuk melaksanakan ibadah;

- menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja;

- membayar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan tentang larangan di

antaranya menggunakan tenaga kerja di bawah umur.

(7) Pasal 40; aturan tentang usaha penyediaan makanan dan minuman, terdiri dari

restoran, bar, pusat jajan, jasa boga, dan bakeri harus disertifikasi halal oleh

lembaga yang berkompeten. Tanda sertifikasi diletakkan pada tempat yang mudah

dibaca oleh konsumen.

(8) Pasal 41; Dinas Pariwisata melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan

kepariwisataan.

(9) Pasal 42 Dinas Pariwisata melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan

kepariwisataan

Skala Usaha

Skala usaha dapat diukur dengan melihat luas areal yang diusahakan oleh

petani atau satuan ternak yang dimiliki peternak. skala usaha dapat dilihat dari

keuntungan yang diperoleh dengan cara menjabarkan berbagai prasyarat teknis

maupun ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap keuntungan tersebut.

(Soedjana, 2007)

Suatu industri dapat diklasifikasikan atas dasar skala atau besar kecilnya

usaha. Besar kecilnya usaha bisnis ditentukan oleh besar kecilnya modal yang

ditanamkan. Klasifikasi industri berdasarkan skala usaha dapat dibagi menjadi 3

(37)

kriteria sebagai berikut: 1) Industri skala usaha kecil, 2) Industri skala menengah, dan

3) Industri skala usaha besar (Prawirosentono, 2002).

Dari waktu ke waktu, karena nilai uang yang selalu makin turun,

menyebabkan kriteria usaha berdasarkan modal yang ditanamkan sering

berubah-ubah. Pengertian usaha kecil tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1995, yang

menyebutkan bahwa usaha kecil adalah usaha dengan kekayaan bersih paling banyak

Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dengan hasil

penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000.

BPS memberikan batasan jumlah tenaga kerja dalam menentukan skala usaha

terutama di sektor industri, yaitu industri kerajinan rumah tangga (IKRT) dengan 1-4

pekerja, dan industri kecil (IK) dengan 5-19 pekerja termasuk pemiliknya.3

Departemen Perindustrian dan Perdagangan juga memberikan batasan yang sama

dalam membagi skala usaha, yaitu industri dagang mikro (1- 4 pekerja), industri

dagang kecil (5-19 pekerja), dan industri dagang menengah (20-99 pekerja).

Skala usaha dalam suatu sistem usaha rumah makan dapat juga diukur dengan

berbagai cara, antara lain dari nilai investasi, biaya tetap, biaya variabel, total omzet

penjualan, luas areal rumah makan, dan jumlah kursi yang menggambarkan kapasitas

tamu yang mampu di tampung.

Modal Keuangan

Permodalan dan bentuk usaha industri pariwisata sebagaimana di maksud

dalam Pasal 7 Perda DKI Jakarta No. 10 tahun 2004 adalah sebagai berikut:

(a) seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara Republik Indonesia dapat

berbentuk Badan Hukum atau usaha perseorangan sesuai dengan peraturan

perundangan yang berlaku;

(b) modal patungan antara Warga Negara Republik Indonesia dan Warga Negara

Asing, bentuk usahanya harus Perseroan Terbatas;

(c) seluruh modalnya dimiliki warga negara asing dalam bentuk penanaman modal

asing wajib mematuhi peraturan perundangan yang berlaku.

(38)

Modal merupakan faktor penunjang utama dalam kegiatan usaha rumah

makan tradisional. Tanpa adanya modal, pemilik RMT Kelas C akan sulit

mengembangkan usaha yang dilakukannya. Dalam pengertian ekonomi, (Hernanto,

1993) mengatakan bahwa modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama

dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan

barang-barang baru yakni produksi pertanian.

Berdasarkan sumbernya, menurut (Hernanto, 1993) modal dapat dibedakan

menjadi: (1) milik sendiri, (2) pinjaman atau kredit; (a) kredit bank, dan (b) dari

pelepas uang/tetangga/famili dan lain-lain, (3) warisan, (4) dari usaha lain, dan (5)

kontrak sewa. Modal sendiri, pemilik RMT bebas menggunakan. Modal yang berasal

dari kredit yang milik orang lain tentunya ada persyaratan.

Persyaratan dapat diartikan pembebanan yang menyangkut waktu

pengambilan maupun jumlah serta angsurannya. Untuk modal yang berasal dari

warisan, tergantung dari pemberi. Sumber modal dari luar usaha RMT dimaksud bila

pemilik RMT memiliki usaha dari luar usaha RMT yang cukup besar. Modal dari

kontrak sewa diatur menurut jangka waktu tertentu sampai peminjam dapat

mengembalikan.

Ketersediaan modal mempengaruhi kemampuan pemilik RMT Kelas C dalam

upaya mengembangkan usaha rumah makan tradisionalnya, karena berpengaruh pada

produktivitas hasil usaha secara optimal. Dengan demikian, keterbatasan modal usaha

RMT Kelas C berhubungan dengan kompetensi pemilik RMT Kelas C dalam

mengelola usaha rumah makannya.

Modal Tenaga Keja

Sumber daya pariwisata dalam pembangunan kepariwisataan, sebagaimana di

maksud dalam Pasal 7 Perda DKI Jakarta No. 10 tahun 2004, terdiri atas: sumber

daya alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, berupa letak geografi, kepulauan, laut,

flora dan fauna, sungai, danau, hutan, bentang alam, iklim; sumber daya hasil karya

manusia, berupa hasil-hasil rekayasa sumber daya alam, perkotaan, kebudayaan,

(39)

nilai-nilai sosial, warisan sejarah, dan teknologi; sumber daya manusia berupa,

kesiapan, kompetensi, komitmen dan peran serta masyarakat.

Modal tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam

melaksanakan kegiatan usaha RMT, bahkan kekurangan tenaga kerja dapat

mengakibatkan turunnya produksi. Pekerja dengan tingkat keahlian tertentu memiliki

status lebih tinggi daripada pekerja tanpa keahlian (Boserup, 1984). Perbedaan status

(karena perbedaan keahlian, keterampilan dan latihan yang dimiliki seseorang), yang

menurut Belante dan Jackson (1983) disebut sebagai modal tenaga keja (human

capital) termasuk pula ukuran sampai batas mana masyarakat menilai keahlian,

keterampilan dan latihan tersebut.

Pendidikan dan latihan menurut Simanjuntak (Tjiptoherijanto, 1982)

merupakan salah satu aspek yang penting dalam pengembangan sumber daya

manusia. Pendidikan dan latihan di satu pihak dapat meningkatkan produktifitas

kerja, sedangkan di pihak lain merupakan indikator tingkat kemiskinan masyarakat

bilamana suatu negara memiliki sejumlah besar penduduk buta hurup dan

berpendidikan rendah.

Sarana Usaha

Sarana kepariwisataan (tourism superstructure) adalah perusahaan-perusahan

yang memberikan pelayanan langsung kepada wisatawan, baik secara langsung

maupun tidak, dan kehidupan usahanya banyak bergantung pada kedatangan para

wisatawan tersebut.

Yoeti (1996) membagi tiga bagian penting dari sarana kepariwisataan, yaitu:

sarana pokok, sarana pelengkap, dan sarana penunjang. Sarana pokok kepariwisataan

yaitu agen perjalalanan, perusahaan angkutan, hotel, restoran, obyek dan atraksi

wisata. Perusahaan tersebut merupakan fasilitas minimal yang harus ada pada daerah

tujuan wisata (DTW). Jika salah satu tidak ada, dapat dikatakan perjalanan wisata

tidak berjalan seperti diharapkan.

Sarana pelengkap kepariwisataan, Nyoman S.Pendit (Yoeti, 1996), merupakan

perusahaan pariwisata sekunder, karena tidak seluruhnya bergantung kepada

Gambar

Gambar 1. Tahapan Proses Adopsi Inovasi  Faktor-Faktor Mempengaruhi Adopsi Inovasi
Gambar 2. Proses Introduksi, Adopsi, dan Difusi Inovasi dari Asal Sumbernya
Gambar 3. Proses Adopsi dan Difusi Sapta Pesona
Gambar 4. Kerangka Berpikir Tingkat Adopsi Program           Sapta Pesona oleh Pengelola RMT Kelas C
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penulis telah menyelesaikan penulisan Laporan Akhir untuk memenuhi syarat menyelesaikan Pendidikan Diploma III pada Jurusan Teknik Elektro Program Studi Teknik

Hasil data yang telah dijabarkan dalam penelitian ini, dapat dilihat bahwa variabel beban kerja (X1), gaya kepemimpinan transformasional (X2), melalui kepuasan

11 Tahun 2005 Tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi berbeda, yaitu di dalam Qanun Aceh subyek hukumnya adalah orang yang beragama Islam yang melakukan

Pada intinya dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i, apabila seseorang ingin menggadaikan kepada orang lain terhadap suatu gadaian, dengan syarat

Refleksi yang dilakukan guru dengan observer adalah mencatat hasil pembelajaran pada siklus I yang berupa kendala-kendala yang dialami siswa dalam proses

Sebagai tindak lanjut dari kegiatan tersebut, bersama ini kami sampaikan pengumuman nama-nama guru peserta PLPG tahap VII – tahap IX yang dinyatakan (a) LULUS, (b) MENGIKUTI

Pembahasan tentang pengendalian laju korosi pada logam menggunakan anoda tumbal paduan aluminium dan paduan seng dengan media yang digunakan adalah air laut dari

kritik selama Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Savira Surabaya.. Hermanu, MS., Apt., selaku Koordinator