• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ciri Pribadi Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur

Umur pengelola RMT Kelas C di Jakarta bervariasi mulai dari 22 tahun sampai dengan 75 tahun, dengan rataan 49 tahun. Sebanyak 60,3% berusia antara 40-57 tahun. Kelompok umur tersebut termasuk tenaga kerja produktif, karena berada diantara 15 sampai dengan 64 tahun (BPS, 2001). Orang yang lebih muda (25,4%) kurang mendominasi, alasan yang muncul yaitu takut untuk memutuskan menjadi wirausahawan. Ada kecenderungan mereka ingin tetap nyaman bekerja atau tetap pada posisinya, mendapat gaji, inventaris dan sebagainya.

SDM pengelola RMT kelas C rata-rata SMA (46%), sekitar 10% diantaranya pernah ikut pendidikan khusus di bidang usaha katering, pendampingan oleh restoran hotel, dan dari dinas peternakan. Berbagai alasan motivasi untuk mengelola usaha rumah makan. Mereka yang berlatarbelakang pendidikan tinggi (28,6%) beralasan pensiun muda dari pekerjaan atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan memutar bekal tunjangan yang diperoleh. Hal ini membuktikan pendidikan menjadi urutan pertama dalam menentukan tingkat keinovatifan seseorang (Rogers & Shoemaker, 1971) dan seseorang yang berpendidikan tinggi lebih mudah untuk menerima informasi dan berkemampuan menganalisis masalah yang dihadapinya Maryani (1995).

Konsekuensi masa depan ditentukan oleh pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang terhadap yang lain (Bandura 1986). Berdasarkan teori tersebut, hasil survei terhadap pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur, yang pengalaman usaha terendah antara 0,5 hingga 16 tahun (76,2%) masih perlu menggali pengalaman. Pengalaman usaha yang dimiliki merupakan bagian dari proses belajar bagi pengelola rumah makan.

Kualitas intensitas komunikasi pengelola RMT sangat rendah, sebanyak 73% mengandalkan sumber informasi bisnis dari orang tua dan keluarga dekat saja. Sesuai pendapat Schramm (1973) bahwa perilaku pencarian informasi berhubungan dengan tingkat pendidikan. Orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari isi informasi melalui media cetak.

Keterlibatan pengelola dalam organisasi kelompok rendah hanya 17,5 % yang terdaftar sebagai anggota kelompok. Mereka yang tidak terlibat (76,2%) memiliki alasan antara lain: (1) beranggapan waktu/kesempatan untuk berusaha jadi berkurang, (2) kesulitan untuk mempercayai bawahan, (3) masih harus terlibat langsung dalam pelayanan kepada pelanggannya. Sebagian lagi (6,3%) belum terlibat dalam kelompok karena belum ada waktu luang dan belum ada informasi tentang keberadaan kelompok.

Pengelola RMT memiliki tingkat keberanian ambil resiko sedang (63,5%), hasil data menjelaskan bahwa: (1) resiko produksi, harga, pelayanan, dan promosi masih mampu dikendalikan pengelola RMT kelas C, (2) hambatan lain berupa sepi pengunjung, kesulitan bahan baku, kenaikan harga BBM, ketenagakerjaan, keamanan, pungutan liar, dan pengamen juga masih dapat diatasi dengan baik, (3) adanya keterlibatan keluarga dan karyawan dalam membantu menghadapi resiko dan mengatasi hambatan yang ada, (4) pengelola memiliki semangat untuk mengembangkan usaha dengan memperluas usaha di tempat lain. Kemampuan mengambil resiko merupakan bagian dari jiwa kewirausahaan, yaitu kemampuan dalam membaca peluang, berinovasi, mengelola, dan menjual (Hendro, 2006).

Keterampilan teknis adalah kemampuan untuk menggunakan peralatan, prosedur atau teknik-teknik dari suatu bidang tertentu (Katz, 1974). Tingkat kemampuan dan

6

keterampilan teknis yang perlu dimiliki pengelola RMT yaitu pengelolaan produk, harga, pelayanan, promosi, pengelolaan karyawan, dan evaluasi kepuasan pelanggan. Hasil yang diperoleh menggambarkan bahwa 87,3% pengelola RMT telah memiliki kemampuan dan keterampilan teknis dalam pengelolaan aset karyawan dan pelanggan.

Ciri Lingkungan Usaha RMT Kelas C Jakarta Timur

Pendapat pengelola RMT kelas C tentang kebijakan Pemerintah Daerah terkait dengan keberlangsungan usaha rumah makan menunjukkan tingkat kepuasan sedang 55,6%, dan selebihnya 22,2% merasa tidak puas. Pengelola RMT cukup puas atas kebijakan Pemerintah Daerah setempat tentang pelayanan administrasi perijinan, pungutan pajak dan retribusi. Begitupula dalam hal kegiatan pengawasan, pembinaan daya saing, pembinaan kualitas produk, dan pembinaan kualitas pelayanan.

Luas usaha RMT kelas C 93,7% rendah yaitu antara 50 hingga 233 meter persegi, dengan kapasitas duduk antara 10 hingga 40 (65,1%). Jumlah tenaga kerja antara 2-9 orang karyawan (82,5%). Jumlah pengunjung terendah (79,4%) yaitu berkisar antara 50 hingga 133 orang. Jumlah omzet terendah (34,9%) mampu mencapai Rp. 2.267.000,- (dua juta dua ratus enam puluh tujuh ribu rupiah) perhari.

Seluruh pengelola mengandalkan modal sendiri (berasal dari warisan keluarga), hanya 25% yang mencari tambahan bantuan modal dari bank pemerintah, 18% dari bank swasta, 15% dari lembaga koperasi, 15% dari pegadaian, dan 11,7% masih memanfaatkan dana pinjaman dari rentenir. Ketersedian modal dan asal modal yang telah diuraikan di atas sekaligus membuktikan bahwa rumah makan kelas C sebagai usaha kecil menengah (UKM) dengan administrasi perusahaan yang pada umumnya masih bersifat sederhana, kurang teratur, belum berbentuk badan hukum tidak mampu menyediakan jaminan (coliateral) guna mendapatkan kredit dari dunia perbankan. Hal ini menjadi penyebab investasi modal terbatas (Fuad, 2000), dan pembiayaan hanya mampu disediakan oleh seorang atau sekelompok kecil (Puspopranoto, 2006).

Tenaga kerja RMT cukup berkualitas (44,4%), karena 60% pengelola memberikan pelatihan pada saat pertama kali karyawan bekerja. Bentuk materi pelatihan yang diberikan yaitu mengenai cara produksi, cara pelayanan, kecepatan pelayanan, cara komunikasi, keramahtamahan pelayanan, mengenai keutamaan keamanan, kebersihan, dan kesehatan dalam pelaksanaan kerja. Materi tersebut direspon sebagai modal utama bagi tenaga kerja dan merupakan faktor penting dalam melaksanakan kegiatan usaha rumah makan.

Kuantitas dan kualitas sarana usaha yaitu 71,4% diantaranya pada tingkat sedang, dideskripsikan bahwa sebagian besar RMT kelas C di Jakarta Timur memiliki peralatan makan-minum dengan kondisi layak pakai dan jumlahnya mencukupi berdasarkan standar kebutuhan operasional harian mereka. Kualitas kebersihan peralatan memasak dan area dapur juga sudah sesuai standar di kelasnya. Namun kegiatan inventarisasi peralatan oleh 60% RMT belum dilakukan secara rutin. Kondisi prasarana usaha meliputi kelayakan instalasi listrik, gas, air bersih, tempat penampungan sampah, saluran limbah, pemadam kebakaran, area parkir, toilet umum dan tempat ibadah solat menunjukkan tingkat kelayakannya sedang (52,4%). Lokasi dan situasi lingkungan RMT berpengaruh terhadap tingkat kunjungan, kelompok tamu yang datang, dan jenis tamu yang datang. Menurut kondisi tersebut, RMT 61,9% pada tingkatan sedang. Pengelola RMT menganggap tingkat persaingan cukup ketat (74,6%) yaitu dalam hal persaingan produk, harga, pelayanan, dan promosi.

7

Tingkat Adopsi Pengelola RMT Kelas C

Kesadaran Pengelola RMT rendah dengan skor 1.40, yaitu 54% tidak mengenal program Sapta Pesona, 49% tidak tahu tujuan program, dan 52% tidak tahu kapan program Sapta Pesona mulai diperkenalkan.

Tabel 1. Skor Tingkat Adopsi Program Tabel 2. Persentase Kesulitan Pengelola Sapta Pesona oleh Pengelola RMT Kelas C RMT Kelas C dalam Penerapan Sapta

Pesona

Keterangan: n = 63, skor 1 – 1,66 = rendah 1,67 – 2,33 = sedang 2,34 – 3 = tinggi

Minat pada program Sapta Pesona ditunjukkan oleh 53% pengelola memperoleh informasi melalui media massa dan elektronik, 32% dari penyuluh pariwisata, 15% mencari informasi melalui kegiatan seminar dan pertemanan bisnis. Peranan penyuluh pariwisata dalam sosialisasi program Sapta Pesona masih rendah, maka perlu dicari upaya menguatkan minat pengelola lebih memahami, sehingga mampu menerapkan dan memanfaatkan program tersebut pada kegiatan bisnisnya.

Penilaian pengelola terhadap manfaat program Sapta Pesona juga rendah, 67% mengaku tidak mengenal dan tidak tahu adanya penyuluh bidang pariwisata, dan 52% mengatakan sulit memahami isi program. Meski demikian, keinginan mencoba pengelola (51%) cukup tinggi dalam menerapkan butir-butir Sapta Pesona pada kegiatan usahanya. Kesulitan yaitu untuk menerapkan butir keamanan dan ketertiban, penyebabnya bahwa usaha mereka yang berlokasi di pusat keramaian seperti lingkungan pasar, terminal, dan stasiun.

Kemampuan pengelola (59%) untuk menerapkan butir-butir program Sapta Pesona cukup tinggi. Tingkat intensitas menerapkan unsur kenangan berada pada tahap menyajikan hidangan ciri khas lokal, sedangkan cinderamata yang unik khas lokal belum terpikirkan oleh mereka. Konfirmasi tentang penerapan Sapta Pesona berpengaruh tipis (51%) terhadap kepuasan pengunjung, jumlah pendapatan, citra perusahaan, kepuasan karyawan, dan produktifitas kerja.

Penolakan pengelola (56%) rendah terhadap program Sapta Pesona sebagai suatu inovasi dalam kegiatan bisnisnya. Kecenderungan penolakan karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman mereka tentang unsur-unsur yang ada dalam program Sapta Pesona.

Tabel 3. Hasil Persepsi Pengelola RMT kelas C terhadap Program Sapta Pesona

Persepsi Sapta Pesona

Aman Tertib Bersih Sejuk Indah Ramah Kenangan

Tidak Setuju 22 (34,9%) 32 (50,8%) 18 (28,6%) 20 (31,7%) 23 (36,5%) 13 (20,6%) 8 (12,7%) Ragu (42,9%) 27 (27,0%) 17 (47,6%) 30 (50,8%) 32 (49,2%) 31 (60,3%) 38 (76,2%) 48 Setuju (22,2%) 14 (22,2%) 14 (23,8%) 15 (17,5%) 11 (14,3%) 9 (19,0%) 12 (11,1%) 7 Total (100%) 63 (100%) 63 (100%) 63 (100%) 63 (100%) 63 (100%) 63 (100%) 63

No Tingkat Adopsi Skor

1 Kesadaran 1,40 2 Minat 1,68 3 Penilaian 1,52 4 Mencoba 2,30 5 Penerapan 1,78 6 Konfirmasi 1,70 7 Penolakan 1,51 Rataan 1,70

Butir Sulit Frekuensi Persen

Aman 32 50,8

Tertib 17 27,0

Bersih 7 11,1

Sejuk 7 11,1

8

Hasil analisis persepsi program Sapta Pesona menunjukkan bahwa masih ada keraguan pengelola RMT kelas C untuk memutuskan mengadopsi dan menerapkan butir-butir Sapta pesona pada kegiatan usahanya. Keraguan tentang program Sapta Pesona akan mampu mewujudkan keamanan, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahtamahan, dan kenangan, Bahkan terdapat tidak setuju jika menerapkan program Sapta Pesona akan mampu mewujudkan ketertiban.

Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur mengadopsi program Sapta Pesona dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Menurut ciri-cirinya, yang disarikan dari Wiriatmadja (1978), Mardikanto (1982), dan Rogers (1983), pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur dapat dikelompokkan dalam 5 (lima) kategori adopter (gambar 1) terdiri dari: (1) 9,5% sebagai inovator; (2) 42,9% pelopor; (3) 36,5% pengikut dini; (4) 6,3% pengikut akhir; dan (5) 4,8% kelompok lamban.

Gambar 1. Persentase menurut Kategori Adopter Hubungan Ciri Pribadi dengan Tingkat

Adopsi Program Sapta Pesona

Hasil analisis dari uji statistik non-parametrik Rank Spearman (rs) disajikan pada tabel 4, membuktikan bahwa ciri pribadi yaitu umur, tingkatan pendidikan, pengalaman, intensitas komunikasi dan keanggotaan kelompok tidak mampu mempengaruhi tingkat kesadaran, minat, keinginan mencoba, dan tingkat penolakan pengelola untuk

mengadopsi program Sapta Pesona.

Tabel 4. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Pribadi dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona

n = 63 pengelola RMT kelas C ; * Berhubungan nyata pada α = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01

No Ciri Pribadi Kesa-daran Minat Peni-laian Men-coba Pene-rapan Konfir-masi Peno-lakan 1 Umur -0,030 -0,080 0,312* -0,032 0,025 0,108 -0,032 2 Pendidikan 0,208 0,035 -0,007 0,088 -0,137 -0,147 0,041 3 Pengalaman 0,130 0,072 0,424** 0,142 0,075 0,257* 0,068 4 Intensitas Komunikasi 0,169 -0,046 0,018 -0,099 -0,295* -0,328** -0,125 5 Keanggotaan Kelompok 0,187 0,071 0,071 0,074 -0,133 -0,140 -0,016 6 Pengendalian Resiko -0,018 -0,008 0,025 0,162 0,119 0,106 0,146 7 Keterampilan Teknis 0,053 0,012 0,011 -0,097 0,196 -0,051 -0,025 0,0% 5,0% 10,0% 15,0% 20,0% 25,0% 30,0% 35,0% 40,0% 45,0% 50,0% Innovator Early Adopter Early Majority Late Majority Laggard 9,5% 42,9% 36,5% 6,3% 4,8%

9

Hubungan sangat tipis terjadi antara tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran pengelola RMT kelas C pada α = 0,10 dari 63 pengelola hanya 6 pengelola RMT kelas C (10%) yang tidak memiliki hubungan. Kemampuan menilai dan memahami isi program Sapta Pesona berhubungan nyata dengan umur pengelola RMT kelas C pada α = 0,01 dan berhubungan sangat nyata dengan lamanya pengalaman usaha pada α = 0,05. Maka penelitian ini mampu membuktikan bahwa tingkat adopsi program Sapta Pesona mampu dipengaruhi oleh umur dan lamanya pengalaman usaha.

Hasil penelitian membuktikan adanya arah hubungan negatif (berlawanan). Hubungan negatif nyata pada α = 0,05 antara intensitas komunikasi dengan tingkat adopsi dalam penerapan program Sapta Pesona. Artinya jika tingkat intensitas komunikasi pengelola RMT kelas C naik maka keinginan menerapkan unsur-unsur dalam program Sapta Pesona akan menurun, atau juga sebaliknya jika keinginan pengelola RMT kelas C untuk menerapkan unsur-unsur Sapta Pesona semakin tinggi maka tingkat intensitas komunikasi semakin menurun.

Tingkat konfirmasi tentang pengaruh penerapan program Sapta Pesona berhubungan nyata dengan pengalaman pengelola RMT kelas C pada α = 0,05. Namun berhubungan negatif (berlawanan) sangat nyata dengan intensitas komunikasi pada α = 0,01. Tanda negatif menunjukkan arah perubahan yang berlawanan, yaitu jika tingkat intensitas komunikasi naik maka kemampuan konfirmasi akan menurun, sebaliknya jika kemampuan konfirmasi semakin tinggi maka tingkat intensitas komunikasi semakin menurun.

Hubungan Ciri Lingkungan Usaha dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona

Berdasarkan tabel 5 terbukti bahwa tidak ada keeratan hubungan antara ciri lingkungan usaha dengan tingkat kesadaran dan minat pengelola pada program Sapta Pesona. Namun besaran modal keuangan berhubungan nyata dengan minat pengelola pada α = 0,10. Kondisi sarana usaha berhubungan dengan kemampuan penilaian sangat nyata pada α = 0,01 sedangkan komponen skala usaha dan modal tenaga kerja berhubungan dengan kemampuan menilai pada α = 0,10. Skala usaha dan modal tenaga kerja berhubungan nyata pada α = 0,05 dengan keinginan mencoba dan prasarana usaha dan persaingan usaha terjadi hubungan pada α = 0,10. Skala usaha dan kemampuan memelihara prasarana usaha berhubungan nyata dengan tingkat penerapan unsur-unsur program Sapta Pesona pada α = 0,05. Hubungan sangat nyata pada α = 0,01 terjadi antara kualitas sarana usaha dengan bentuk aksi penerapan unsur Sapta Pesona.

Tabel 5. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Lingkungan Usaha dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona

n = 63 pengelola RMT kelas C ; * Berhubungan nyata pada α = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01

No Ciri Lingkungan Usaha Kesa- daran Minat Penilai- An Men- coba Pene- rapan Konfir- masi Peno- lakan

1 Kebijakan Pemda 0,170 0,142 0,085 0,165 0,134 0,273* 0,240 2 Skala Usaha 0,198 0,073 0,209 0,272* 0,270* 0,156 0,102 3 Modal Keuangan 0,034 0,216 0,056 0,160 0,043 0,131 0,008 4 Modal Tenaga 0,175 -0,043 0,221 0,300* 0,080 0,002 -0,015 5 Sarana Usaha 0,158 -0,019 0,378** 0,166 0,325** 0,291* 0,278* 6 Prasarana Usaha 0,168 0,148 -0,007 0,227 0,250* 0,264* 0,293* 7 Lokasi Usaha 0,228 0,034 0,226 0,107 0,070 0,020 -0,043 8 Kompetitor 0,212 -0,074 0,161 0,207 0,094 0,013 0,193

10

Tingkat konfirmasi berhubungan nyata pada α = 0,05 dengan kebijakan Pemda, kondisi sarana usaha, dan prasarana usaha. Tingkat penolakan terhadap program Sapta Pesona yang dilakukan pengelola RMT kelas C berhubungan nyata pada α = 0,05 dengan kondisi sarana usaha dan prasarana usaha. Perihal penolakan juga berhubungan dengan kebijakan Pemda pada α < 0,10 yaitu untuk per-seratus kasus terjadi peluang kesalahan sebesar enam kasus saja, dan hal ini masih bisa diterima sebagai suatu keeratanhubungan.

Strategi Percepatan Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur

Berdasarkan bahasan hasil analisis keeratanhubungan antara ciri pribadi dan ciri lingkungan usaha terhadap tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur, maka berikut merupakan strategi percepatan adopsi program Sapta Pesona yaitu:

(1) Program Sapta Pesona harus bersifat inovasi yang tepat guna.

(a) Sapta Pesona harus dapat dirasakan sebagai kebutuhan oleh pengelola RMT kebanyakan.

(b) Sapta Pesona harus memberi keuntungan secara konkrit bagi pengelola RMT. (c) Sapta Pesona harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada.

(d) Penerapan Sapta Pesona harus terjangkau oleh kemampuan finansial perusahaan.

(e) Sapta Pesona harus sederhana, tidak rumit dan mudah dicoba. (2) Memilih metode penyuluhan Sapta Pesona yang efektif.

(3) Memberdayakan agen penyuluhan pariwisata secara optimal. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

(1) Tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur termasuk kategori sedang. Pengelola RMT telah mengadopsi sebagian dari program Sapta Pesona. Menurut tingkat adopsi, mereka berada pada tingkat menilai dan sedang menuju proses mencoba, sehingga Program Sapta Pesona belum menjadi komitmen budaya bagi pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur.

(2) Ciri pribadi yang berhubungan positif dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona pengelola usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur adalah usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman usaha. Sedangkan intensitas komunikasi berhubungan negatif dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona pengelola usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur.

(3) Ciri lingkungan usaha yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona pengelola usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur adalah kebijakan Pemda setempat, skala usaha, modal tenaga kerja, sarana usaha, prasarana usaha, lokasi usaha, dan kompetitor.

Saran

(1) Usaha meningkatkan kemampuan adopsi program Sapta Pesona dilakukan dengan meningkatkan intensitas komunikasi penyuluh dengan pengelola RMT dalam upaya mengembangkan pengetahuan dan kemampuan pengelola melalui kegiatan penyuluhan maupun melalui media organisasi kelompok usaha RMT.

11

(2) Penyuluh dan petugas Sudin Kesehatan maupun Pariwisata hendaknya memotivasi pengelola supaya membentuk organisasi kelompok pengusaha RMT dan terlibat aktif dan mendinamikakan kelompok sebagai wadah belajar dengan program-program yang dibutuhkan.

(3) Kelembagaan lain, seperti sumber modal dan koperasi perlu secara bersama-sama mendukung upaya nyata peningkatan kemampuan berusaha pengelola usaha RMT kelas C di Jakarta Timur dengan memberi kemudahan dalam akses modal.

Dokumen terkait