• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data hasil pengamatan waktu muncul tunas okulasi tertera pada Lampiran 1, dan data hasil transformasi pada Lampiran 2. Hasil analisis statistik yang tertera pada Lampiran 3 diketahui, terdapat interaksi yang nyata antar perlakuan tinggi penyerongan dengan konsentrasi BAP pada peubah amatan waktu muncul tunas.

Rataan waktu muncul tunas pada perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP tertera pada Tabel 1.

Tabel 1.Waktu muncul tunas okulasi dengan perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP Keterangan : Data dianalisis setelah ditransformasikan dengan (√x+0,5). Nilai yang diikuti

huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5%.

Bibit pada perlakuan penyerongan 10 cm dan konsentrasi BAP 30 dan 40 mg tidak bertunas sejak awal. Hal ini diduga karena faktor teknis pada pelaksanaan okulasi. Kemungkinan pada waktu pelaksanaan pembalutan okulasi, terjadi gesekan pada mata okulasi sehingga memar dan mati. Dalam hal ini mungkin saja kelihatan bahwa perisai secara keseluruhan masih hidup, yaitu berwarna hijau, tetapi mata okulasi sudah memar (Siagian dan Sunarwidi, 1987).

Rerata waktu muncul tunas yang paling lama diperoleh pada perlakuan tinggi penyerongan 30 cm dengan konsentrasi BAP 15 mg, sedangkan yang paling cepat pada perlakuan tinggi penyerongan 10 cm dengan konsentrasi BAP 15 mg.

Hasil penelitian mengindikasikan semakin tinggi penyerongan maka kebutuhan BAP untuk memicu pertumbuhan tunas semakin meningkat. Munculnya tunas

atau aktivasi basipetal sangat terkait dengan dominansi apikal. Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa meristem apikal menghambat pertumbuhan tunas lateral pada bagian bawah. Beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa pertumbuhan tunas bagian pucuk akan terus berlangsung, berbeda halnya dengan tunas lateral yang pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hasil penelitian Collien et al. (1994), menyatakan bahwa munculnya tunas lateral sangat dipengaruhi oleh defoliasi. Pemunculan tunas akan terjadi jika bagian pucuk tanaman dipotong. Sinyal penghambatan pertumbuhan tunas lateral diduga disebabkan oleh hormon auksin yang diproduksi apeks pucuk dan secara aktif diangkut ke bagian yang membutuhkan. Auksin yang diproduksi di apeks pucuk, diduga memainkan peran utama dalam dominansi apikal dengan bergerak ke batang bawah melalui transportasi polar menghambat perkembangan dari tunas lateral oleh beberapa mekanisme tidak langsung yang mungkin juga melibatkan sinyal lain (Beveridge, 2000; Leyser, 2003; Schmitz dan Theres, 2005). Pada tajuk yang panjang gaya dorongnya lebih lemah dibandingkan tinggi penyerongan yang pendek. Pemberian BAP eksogen tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Pertumbuhan ujung batang mendominasi pertumbuhan bagian lain sehingga pembentukan cabang lateral dihambat. Hal ini dikarenakan fenomena dominansi apikal. Pada pembibitan batang bawah tanaman karet, selama bagian ujung tanaman masih ada dominansi apikal tersebut terus terjadi (Muller dan Ottoline, 2011). Ujung batang merupakan tempat diproduksinya auksin. Tunas okulasi mulai membengkak dan pecah setelah dilakukan penyerongan pada ujung batang bawah tanaman karet, sehingga tidak lagi terjadi suplai auksin dari tunas apikal sehingga kadar auksin dalam ruas dibawahnya berkurang (Tanaka et al. 2006).

Sebagai akibatnya, terjadi ekspresi IPT (Isopentenil Transferase) pada tanaman (Hirose et al. 2008). IPT merupakan enzim yang bertanggung jawab sebagai biokatalisator pada biosintesis sitokinin (Takei et al. 2004).

Tinggi Tunas Okulasi

Data hasil pengamatan tinggi tunas okulasi untuk 85, 99, 113 dan 127 hari setelah perlakuan (hsp) tertera pada Lampiran 4, 7, 10 dan 13, dan data hasil transformasinya pada Lampiran 5, 8, 11 dan 14. Hasil analisis statistik yang tertera pada Lampiran 6, 9, 12 dan 15, diketahui terdapat interaksi yang nyata antar perlakuan tinggi penyerongan dengan konsentrasi BAP pada peubah amatan tinggi tunas okulasi. Rataan tinggi tunas okulasi pada interaksi perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP tertera pada Tabel 2.

Tabel 2.Tinggi tunas okulasi karet dengan perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP pada beberapa umur pengamatan

Perlakuan

Tinggi Tunas Okulasi Karet (mm) pada beberapa Umur Pengamatan (hsp) Keterangan : Data dianalisis setelah ditransformasikan dengan (√x+0,5). Nilai pada kolom

yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5%.

Secara umum peningkatan konsentrasi BAP akan menurunkan tinggi tunas pada tingkat penyerongan rendah (10 cm) dan sedang (20 cm). Hal ini

dikarenakan BAP aktif pada konsentrasi rendah dan menjadi penghambat pada konsentrasi tinggi. Berbeda halnya dengan tingkat penyerongan yang tinggi (30 cm), peningkatan konsentrasi BAP meningkatkan tinggi tunas. Siagian et al.

(2006) menyatakan bahwa pertumbuhan tunas okulasi akan lebih jagur pada tanaman yang diserong lebih tinggi karena ketersediaan cadangan makanan lebih banyak pada batang bawah yang diserong lebih tinggi.

Gambar 1. Grafik pertambahan tinggi tunas okulasi per pengamatan

Dari grafik pertambahan tinggi tunas okulasi yang ditampilkan pada Gambar 1, perlakuan penyerongan tinggi (30 cm) dengan konsentrasi 60 mg menunjukkan pertambahan tinggi tunas okulasi paling tinggi sedangkan perlakuan penyerongan

P1B0, 366.67

rendah (10 cm) dengan konsentrasi BAP 60 mg, menunjukkan pertambahan tinggi tunas okulasi paling rendah. Pada periode awal pengamatan yaitu hari ke 29 setelah perlakuan, perlakuan tinggi penyerongan yang rendah (10 cm) dan sedang (20 cm) dengan tanpa pemberian konsentrasi BAP mengalami pertumbuhan paling cepat. Kemudian diikuti oleh bibit yang diberi perlakuan penyerongan tinggi 20 cm dengan konsentrasi BAP 15, 30, 45 dan 60 mg pada pengamatan hari ke 36 dan 43 setelah perlakuan. Hal ini dikarenakan pertumbuhan tunas lateral (tunas liar) sedikit yang menjadi pesaing terhadap tunas okulasi (Siagian, 2012).

Berbeda halnya dengan tanaman yang diberi perlakuan tinggi penyerongan paling tinggi (30 cm) dengan konsentrasi BAP 15, 30, 45 dan 60 mg. Pada periode awal pertumbuhan hari ke 29 sampai dengan hari ke 40 setelah perlakuan bibit belum bertunas. Namun pada hari ke 50 setelah perlakuan bibit mulai bertunas dan mengalami pertumbuhan tunas yang pesat. Hal ini dikarenakan akumulasi tunas lateral yang tumbuh menekan pertumbuhan tunas okulasi pada masa awal pengamatan. Perawatan dilakukan dengan merempel semua tunas liar yang tumbuh untuk mengurangi tekanan terhadap tunas okulasi (Siagian dan Sunarwidi, 1987). Peningkatan konsentrasi BAP dibutuhkan untuk mengatasi tekanan tunas liar agar pertumbuhan tunas okulasi lebih jagur.

Diameter Tunas Okulasi

Data hasil pengamatan diameter tunas okulasi dapat dilihat pada Lampiran 16, dan data hasil transformasinya pada Lampiran 17. Hasil analisis statistik yang tertera pada Lampiran 18 diketahui, terdapat interaksi yang nyata antar perlakuan tinggi penyerongan dengan konsentrasi BAP pada peubah amatan diameter tunas

okulasi. Rataan diameter tunas okulasi karet pada interaksi perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Diameter tunas okulasi dengan perlakuan tinggi penyerongan dan BAP Penyerongan Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

DMRT taraf 5%. Data pada tabel dianalisis setelah ditransformasi dengan (√x+0,5)

Rerata diameter tunas okulasi pada interaksi perlakuan penyerongan 20 dan 30 cm dengan konsentrasi 0 mg, 15 mg, 30 mg, 45 mg dan 60 mg, menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata. Sedangkan pada interaksi perlakuan penyerongan 10 cm dengan konsentrasi 15 mg, 30 mg, 45 mg dan 60 mg menunjukkan nilai yang berbeda nyata terhadap interaksi perlakuan penyerongan 20 dan 30 cm.

Tanaman secara alami telah memproduksi sitokinin, dengan adanya pemberian sitokinin BAP secara eksogen akan semakin menambah jumlah sitokinin yang justru menghambat pertumbuhan diameter tunas pada tingkat penyerongan rendah (10 cm) dan sedang (20 cm). Berbeda halnya pada tanaman yang diserong paling tinggi (30 cm), peningkatan konsentrasi BAP dapat memicu pertumbuhan yang dapat mengalahkan efek persaingan dari tunas lateral (tunas liar) yang muncul.

Sitokinin akan merangsang pembelahan sel melalui peningkatan laju sintesis protein (Lakitan, 2011), dengan adanya pembelahan sel maka jumlah sel akan menjadi banyak dan dengan adanya auksin sel dapat membesar dan memanjang.

Setelah pemanjangan ini, sel terus tumbuh dengan mensintesis kembali material dinding sel dan sitoplasma (Campbell et al. 2002). Pertumbuhan diameter cabang lateral pada tanaman perlakuan disebabkan karena adanya aktifitas kambium

pembuluh. Bagian batang ini akan bertambah diameternya pada saat inisial fusiform kambium membentuk xilem sekunder ke bagian dalam dan floem sekunder ke bagian luar. Akumulasi jaringan pembuluh sekunder ini yang mempunyai peranan besar terhadap pertumbuhan diameter.

Jumlah Tangkai Daun

Data hasil pengamatan jumlah tangkai daun dapat dilihat pada Lampiran 19, dan data hasil transformasinya dapat dilihat pada Lampiran 20. Hasil analisis statistik yang tertera pada Lampiran 21 diketahui, terdapat interaksi yang nyata antar perlakuan tinggi penyerongan dengan konsentrasi BAP pada peubah amatan jumlah tangkai daun. Rataan jumlah tangkai daun pada interaksi perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP tertera pada Tabel 4.

Tabel 4.Jumlah tangkai daun dengan perlakuan penyerongan dan BAP Penyerongan Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

DMRT taraf 5%. Data dianalisis setelah ditransformasi dengan (√x+0,5)

Interaksi tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP secara umum menghasilkan pertambahan jumlah tangkai daun semakin sedikit pada perlakuan penyerongan rendah (10 cm) dan sedang (20 cm). Hal ini berbeda dengan perlakuan tingkat penyerongan tinggi (30 cm), peningkatan konsentrasi BAP menghasilkan pertambahan jumlah tangkai daun yang semakin tinggi. Pada Tabel 4 data perlakuan P1B2 dan P1B3 tertera 0 dikarenakan tanaman yang diamati tidak tumbuh.

Kadar Klorofil a

Data hasil pengukuran peubah amatan kadar klorofil a dapat dilihat pada Lampiran 22, dan data hasil transformasinya dapat dilihat pada Lampiran 23.

Hasil analisis statistik yang tertera pada Lampiran 24 diketahui, interaksi perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP berpengaruh tidak nyata terhadap peubah amatan kadar klorofil a. Rataan kadar klorofil a pada interaksi perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP tertera pada Tabel 5.

Tabel 5.Kadar klorofil a dengan perlakuan penyerongan dan BAP

Penyerongan Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

DMRT taraf 5%. Data dianalisis setelah ditransformasi dengan (√x+0,5)

Rerata kadar klorofil a dipengaruhi oleh faktor tunggal. Pada perlakuan tinggi penyerongan rerata tertinggi diperoleh pada perlakuan tinggi penyerongan 30 cm yaitu sebesar 6,80 mg/L, sedangkan rerata kadar klorofil a terendah diperoleh pada perlakuan peyerongan 10 cm, 1,13 mg/L. Sedangkan konsentrasi BAP menunjukkan rerata kadar klorofil a tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian BAP. Hasil penelitian ini mengindikasikan semakin tinggi penyerongan, maka semakin meningkatkan kadar klorofil a pada tunas okulasi. Dan tidak dibutuhkan penambahan BAP karena menghambat akumulasi klorofil a. Arniputri dan Purnomo (2003) menyatakan bahwa penggunaan sitokinin cenderung mengakumulasikan klorofil kalus pada percobaan in vitro, tidak pada tajuk tanaman. Data pada perlakuan P1B2, P1B3 tertera 0 dikarenakan tanaman yang diamati tidak tumbuh, sedangkan nilai rerata perlakuan P1B4 dan P2B4 tertera 0

dikarenakan jumlah daun yang akan diamati kadar klorofilnya jumlahnya tidak tercukupi.

Kadar Klorofil b

Data hasil pengukuran peubah amatan kadar klorofil b dapat dilihat pada Lampiran 25 dan data hasil transformasinya dapat dilihat pada Lampiran 26. Hasil analisis statistik yang tertera pada Lampiran 27 diketahui, perlakuan tinggi penyerongan berpengaruh nyata terhadap peubah amatan kadar klorofil b. Rataan kadar klorofil b pada interaksi perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Kadar klorofil b dengan perlakuan penyerongan dan konsentrasi BAP

Penyerongan Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

DMRT taraf 5%. Data dianalisis setelah ditransformasi dengan (√x+0,5)

Rerata kadar klorofil b paling tinggi diperoleh pada perlakuan tinggi penyerongan 30 cm yaitu sebesar 8,07 mg/L, sedangkan rerata kadar klorofil paling rendah diperoleh pada perlakuan tinggi tunas okulasi 10 cm yaitu sebesar 1,33 mg/Lmg. Hasil penelitian ini mengindikasikan semakin tinggi perlakuan penyerongan, semakin meningkatkan kadar klorofil b (Arniputri dan Purnomo, 2003). Data pada perlakuan P1B2, P1B3 tertera 0 dikarenakan tanaman yang diamati tidak tumbuh, sedangkan nilai rerata perlakuan P1B4 dan P2B4 tertera 0 dikarenakan jumlah daun sampel yang akan diamati kadar klorofilnya tidak tercukupi jumlahnya.

Bobot Kering Total

Data hasil pengukuran peubah amatan bobot kering total tertera pada Lampiran 28, data hasil transformasinya pada Lampiran 29. Hasil analisis statistik yang tertera pada Lampiran 30 diketahui, terdapat interaksi yang tidak nyata antar perlakuan tinggi penyerongan dengan konsentrasi BAP pada peubah amatan bobot kering total. Rataan bobot kering total pada perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP tertera pada Tabel 7.

Tabel 7.Bobot kering total dengan perlakuan penyerongan dan BAP

Penyerongan Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

DMRT taraf 5%.Data dianalisis setelah ditransformasi dengan (√x+0,5)

Pada peubah amatan bobot kering total faktor yang mempengaruhi adalah perlakuan tinggi penyerongan, semakin tinggi penyerongan batang bawah bobot kering total yang dihasilkan semakin besar (18,13 g/tanaman). Sedangkan pada perlakuan pemberian BAP, rataan bobot kering total tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian BAP (18,94 g/tanaman). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi penyerongan, maka bobot kering total yang dihasilkan semakin besar dan tidak dibutuhkan pemberian konsentrasi BAP.

Data pada perlakuan P1B1 dan P1B4 tertera 0 dikarenakan sampel yang akan diamati tidak cukup untuk untuk parameter ini karena digunakan untuk parameter kadar klorofil. Sedangkan perlakuan P1B2 dan P1B3 data yang tertera 0 dikarenakan tidak ada tanaman yang tumbuh.

Bobot Kering Tunas

Data hasil pengukuran peubah amatan bobot kering tunas tertera pada Lampiran 31, dan hasil transformasinya tertera pada Lampiran 32. Hasil analisis statistik yang tertera pada Lampiran 33 diketahui, terdapat interaksi yang tidak nyata antar perlakuan tinggi penyerongan dengan konsentrasi BAP pada peubah amatan bobot kering tunas. Rataan bobot kering tunas pada perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP tertera pada Tabel 8.

Tabel 8. Bobot kering tunas dengan perlakuan penyerongan dan BAP

Penyerongan Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

DMRT taraf 5%. Data dianalisis setelah ditransformasi dengan (√x+0,5)

Pada peubah amatan bobot kering total, rerata tertinggi diperoleh pada perlakuan tinggi penyerongan 30 cm (3,87g/tanaman). Faktor yang mempengaruhi adalah perlakuan tinggi penyerongan, semakin tinggi penyerongan batang bawah bobot kering tunas yang dihasilkan semakin besar karena cadangan makanan yang tersedia lebih banyak (Siagian 2012). Sedangkan pada perlakuan pemberian BAP, rataan bobot kering total tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa pemberian BAP (19g/tanaman). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa tidak dibutuhkan pemberian konsentrasi BAP. Peningkatan konsentrasi BAP semakin menghambat pertambahan bobot kering total. Data pada perlakuan P1B1 dan P1B4 tertera 0 dikarenakan sampel yang akan diamati tidak cukup untuk untuk parameter ini karena digunakan untuk parameter kadar klorofil. Sedangkan perlakuan P1B2 dan P1B3 data yang tertera 0 dikarenakan tidak ada tanaman yang tumbuh.

Serapan N Tunas

Data hasil pengukuran peubah amatan serapan N tunas tertera pada Lampiran 34, hasil transformasinya pad Lampiran 35. Hasil analisis statistik yang tertera pada Lampiran 36 diketahui, terdapat interaksi yang tidak nyata antar perlakuan tinggi penyerongan dengan pemberian BAP pada peubah amatan serapan N tunas.

Rataan serapan N tunas pada perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP tertera pada tabel 9.

Tabel 9.Serapan N tunas dengan perlakuan penyerongan dan BAP

Penyerongan Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

DMRT taraf 5%Data dianalisis setelah ditransformasi dengan (√x+0,5)

Pada peubah amatan serapan N tunas yang berpengaruh nyata adalah faktor tunggal. Semakin tinggi penyerongan batang bawah didapatkan rerata serapan N tunas yang semakin tinggi. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa tidak dibutuhkan pemberian BAP untuk memperoleh serapan N yang baik.Data pada perlakuan P1B1 dan P1B4 tertera 0 dikarenakan sampel yang akan diamati tidak cukup untuk untuk parameter ini. Sedangkan perlakuan P1B2 dan P1B3 data yang tertera 0 dikarenakan tidak ada tanaman yang tumbuh.

Serapan P Tunas

Data hasil pengukuran peubah amatan serapan P tunas tertera pada Lampiran 37 dan hasil transformasinya tertera pada Lampiran 38. Hasil analisis statistik yang tertera pada Lampiran 39 diketahui, terdapat interaksi yang tidak nyata antar perlakuan tinggi penyerongan dengan pemberian BAP pada peubah amatan

serapan P tunas. Rataan serapan P tunas pada perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP tertera pada tabel 10.

Tabel 10. Serapan P tunas dengan perlakuan penyerongan dan BAP (mg)

Penyerongan Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

DMRT taraf 5%. Data dianilisis setelah ditransformasi dengan (√x+0,5)

Pada peubah amatan serapan P tunas yang berpengaruh nyata adalah faktor tunggal. Semakin tinggi penyerongan batang bawah didapatkan rerata serapan P tunas yang semakin tinggi. Sedangkan pemberian BAP, peningkatan konsentrasi BAP menurunkan rerata serapan P tunas. Data pada perlakuan P1B1 dan P1B4 tertera 0 dikarenakan sampel yang akan diamati tidak cukup untuk parameter ini.

Sedangkan perlakuan P1B2 dan P1B3 data yang tertera 0 dikarenakan tidak ada tanaman yang tumbuh.

Tunas Liar

Data hasil pengamatan jumlah tunas liar tertera pada Lampiran 40 dan hasil transformasinya tertera pada Lampiran 41. Hasil analisis statistik yang tertera pada Lampiran 42 diketahui, terdapat interaksi yang nyata antar perlakuan tinggi penyerongan dengan konsentrasi BAP pada peubah amatan tunas liar. Rataan jumlah tunas liar pada interaksi perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP tertera pada Tabel 11.

Tabel 11. Jumlah tunas liar dengan perlakuan penyerongan dan BAP Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

DMRT taraf 5%. Data dianilisis setelah ditransformasi dengan (√x+0,5).

Data pada Tabel 11. merupakan akumulasi dari seluruh pengamatan, diamati setiap 7 hari dan langsung dibuang tunas liarnya. Rerata jumlah tunas liar yang muncul tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan tinggi penyerongan 30 cm dengan konsentrasi BAP 60 mg, sedangkan rerata jumlah tunas liar yang muncul terendah diperoleh pada interaksi perlakuan tinggi penyerongan 10 cm dengan konsentrasi BAP 15 mg. Hasil penelitian ini mengindikasikan semakin tinggi penyerongan dan semakin tinggi pemberian konsentrasi BAP mendukung semakin tingginya jumlah tunas liar yang terbentuk. Hal ini dikarenakan sel-sel meristem yang ada di bagian pucuk tanaman dihilangkan, akibatnya tanaman yang dipangkas ujung batangnya beralih melakukan pertumbuhan menyamping, pembentukan cabang atau tunas lateral. Sitokinin mempunyai peran yang penting pada pembentukan cabang lateral, karena sitokinin yang terdapat pada ujung akar akan ditransport secara akropetal melalui bagian xilem ke bagian atas tanaman (Tekei et al. 2001).

Selain adanya jaringan meristem, hormon dan nutrisi juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Hormon dan nutrisi yang semula berada di bagian apikal dipindahkan ke jaringan meristem yang sedang aktif tumbuh (Lakitan, 1996) menyebutkan bahwa penambahan sitokinin dalam konsentrasi

yang tinggi memberikan pengaruh yang baik terhadap pembentukan tunas dan menghasilkan jumlah tunas terbanyak.

Teori ”Nutrien Diversion” menyatakan bahwa dominansi apikal terjadi karena gerakan nutrien ke atas diarahkan ke tunas apikal bukan ke tunas lateral, hal ini sebagai akibat adanya produksi auksin di apikal tanaman. Daun dan beberapa tunas yang terbebas dari dominansi apikal akan mulai tumbuh dan menghasilkan auksin. Adanya sitokinin akan memacu pembelahan sel dan produksi auksin sehingga terbebas dari dominansi (Darmanti et al. 2008).

Salah satu pekerjaan yang harus dilakukan secara rutin setelah penyerongan batang adalah penunasan. Penunasan dilakukan dengan menggunakan pisau tunas.

Penunasan dimaksudkan untuk mencegah timbulnya persaingan energi yang diperlukan untuk pertumbuhan dari mata okulasi. Pertumbuhan tunas okulasi (Siagian, 2006) akan lebih jagur pada tanaman yang diserong lebih tinggi jika diikuti dengan penunasan terhadap tunas liar secara intensif dan tepat waktu.

Apabila tunas liar tidak segera dibuang, maka pertumbuhan tunas okulasi akan terhambat atau tidak tumbuh sama sekali. Pada penelitian ini pengamatan jumlah tunas liar dilaksanakan 7 hari sekali dan setelah dihitung langsung dibuang.

Okulasi Hidup

Data hasil pengamatan jumlah okulasi hidup tertera pada Lampiran 43 dan hasil transformasinya tertera pada Lampiran 44. Hasil analisis statistik yang tertera pada Lampiran 45 diketahui, terdapat interaksi yang nyata antar perlakuan tinggi penyerongan dengan konsentrasi BAP pada peubah amatan okulasi hidup.

Rataan okulasi hidup pada interaksi perlakuan tinggi penyerongan dan konsentrasi BAP tertera pada Tabel 12.

Tabel 12. Jumlah okulasi hidup dengan perlakuan penyerongan dan BAP Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

DMRT taraf 5%. Data dianalisis setelah ditransformasi dengan (√x+0,5).

Rerata jumlah tunas okulasi hidup yang tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan tinggi penyerongan 30 cm dengan pemberian BAP 45 dan 60 mg, sedangkan yang paling sedikit diperoleh pada interaksi perlakuan tinggi penyerongan 10 cm. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk memperoleh persentase keberhasilan okulasi hidup yang tinggi maka perlu dilakukan penyerongan yang tinggi 30 cm.

Tabel 13. Persentase tunas okulasi hidup

Perlakuan % Hidup Perlakuan % Hidup Perlakuan % Hidup

Tabel 13 menunjukkan bahwa pada akhir penelitian, persentase tunas okulasi hidup adalah pada perlakuan yang diserong lebih tinggi dan pemberian konsentrasi BAP tertinggi. Persentase okulasi hidup tertinggi ditunjukkan oleh tanaman yang diberi perlakuan penyerongan paling tinggi P3B3 dan P3B4. Hal ini berkaitan erat dengan jumlah cadangan makanan yang tersedia pada batang bawah (Siagian, 2006).

Dokumen terkait