• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Interview dan tes psikologi

BAB IV. PERSIAPAN PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

C. Hasil Penelitian dan Kategorisasi

2. Hasil Interview dan tes psikologi

2.1. Subjek I

Nama : A.D.

Usia : 13 th

Profesi : Pelajar

Tipe kecacatan : Ringan/monoplegia

Sekolah asal : SMP Muhammadiyah I Simpon Surakarta

Meskipun subjek memiliki kaki yang cacat, namun subjek senatiasa

bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah untuknya. Subjek selalu mensyukuri

apa-apa yang telah diberikan kepadanya. Walaupun cacat subjek tidak menyerah

dan selalu berpikir positif dalam mensikapi kekurangan yang ada pada dirinya

“Ya aku mas, aku sudah bersyukur Alkhamdulillah sudah diberi kaki

kayak gini tapi otaknya kan bisa berpikir untuk anu perilakunya”.

(W1.S1:265-268). “Ya kan sudah dikasih kesempurnaan walaupun

masih dikit. Harus bersyukur.” (W2.S1:296-297).

Sebagai manusia biasa subjek mengakui bahwa dia juga sama dengan

manusia lain yang memiliki kelemahan namun juga memiliki kelebihan.

Subjek mengaku bahwa dia memiliki kelemahan dalam hal fisik karena

kecacatan yang ada pada kaki sebelah kirinya, sehingga untuk melakukan

aktifitas-aktifitas yang membutuhkan tenaga fisik terutama kaki seperti berjalan

jauh dan lari subjek akan merasa kesulitan atau bahkan tidak bisa sama sekali.

Namun dibalik kelemahan yang ada ini, subjek yakin bahwa dia juga memiliki

kelebihan lain, seperti otak yang cerdas dan pengetahuan tentang agama yang

melebihi teman-temannya yang lain.

“E…kadang ya capek kalau lari wah capek. Kalau maen bola

kadang.” (W1.S1:156-157). “Olah raga, soalnya kalau lari saya

cepet bener capek. Terus gini sakit, baru gitu-gitu sakit. panas

kadang-kadang kalau pas hujan olah raganya pas hujan baru kena

beberapa tetes saja sudah sakit”. (W2.S1:143-148).”Kelemahan

Untuk menumbuhkan rasa percaya diri dengan adanya

kekurangan-kekurangan yang ada pada diri subjek. Subjek akan selalu belajar dengan

sunguh-sungguh dan akan selalu berusaha untuk menjaga perasaan teman-temannya

dengan cara tidak mengejek dan menghinanya. Karena subjek berkeyakinan

bahwa ketika dia mampu menjaga perasaan temannnya, maka temannya juga akan

mejaga perasaan subjek.

Selain itu subjek juga selalu berdzikir dan berdo’a kepada Allah serta selalu

mendekatkan diri pada Allah. Karena dengan cara berdzikir dan memohon

pertolongan kepada-Nya inilah subjek akan diberi kemudahan oleh Allah dalam

segala hal.

Selain itu subjek selalu menjadikan ejeken-ejekan itu sebagai sumber

motivasinya untuk belajar dan subjek senantiasa menubuhkan keyakinan dalam

diri sendiri bahwa dia mempunyai kelebihan-kelebihan lain yang tidak dimiliki

oleh teman-temannya, seperti otak yang cerdas, kemampuan TIK dan wawasan

Agama yang luas.

“Anu kadang dzikir kalau malem dzikir terus ngaji, dzikir terus

berdoa.” (W1.S1:271-272). “Ya selalu mendekatkan diri sama

Allah.Dzikir, do’a anu minta pertolongan biar dikasih kemudahan

biar lancar sama biar masuk surga…(tersenyum.:)”

Bagi subjek kecacatan bukanlah suatu penghalang untuk melakukan suatu

aktifitas, akan tetapi subjek mampu beraktifitas sebagaimana orang normal pada

umumnya. Aktifitas-aktifitas subjek ini ditujukan dengan memperbanyak ibadah

kepada Allah, seperti; sholat, mengaji dan bahkan sholat malam pun juga sering

subyek lakukan. Itu semua ditujukan untuk mengharapkan ridho Allah Ta’ala.

“Ya biasa, sholat ya sholat. Ngaji ya ngaji dan nganu kalau bisa

bangun malem sholat tahajud.” (W1.S1:120-123).

Meskipun kekurang sempurnaan subjek ini tidak terlalu mempengaruhi

aktifitas keseharian subjek, namun kekurang sempurnaan fisik subjek tersebut

terkadang menjadi bahan ejekan dan olok-olokan dari teman-temannya.

Ejekan-ejekan tersebut tidak lantas membuat subjek gusar dan marah kepada orang yang

mengejek dan mengolok-oloknya, namun subjek menanggapinya dengan penuh

keikhlasan dan subjek selalu berupaya untuk tetap sabar dan tabah dalam

mengahadapinya.

Hal ini disebabkan karena subjek meyakini bahwa kekerasan tidak tepat

bila dihadapi dengan kekerasan karena akan semakin memperkeruh permasalahan,

inilah yang ingin ditunjukan oleh subjek. Subjek membuktikan bahwa dengan

kelembutan, ketenangan dan kesabaran semua masalah bisa dihadapinya dan

dengan kelembutan, ketenangan serta kesabaran tersebut dapat membuahkan hasil

Hal ini terbukti dengan tidak adanya orang-orang yang mengejek,

mengucilkan dan meremehkan subjek setelah subjek menunjukkan sikap positif

dan selalu bersikap baik kepada teman-temannya tersebut.

“Ya caranya misalnya minta uang dikasih aja, gak papa. Kalau mau njotos, jangan no mas. Jangan gitu wong bolo sama-sama teman jangan gitu, terus tak gojekin gitukan nanti bisa bagus nggak jadi kekerasan lagi. Gak jadi malakin lagi.” (W1.S1:178-185). “Tapi gak papa. Anu malah tak buat jangan putus asa, kan masih ada temen yang baik.” (W1.S1:217-218). “Ya sama kayak tadi, ya kalau misalnya marah itu jangan gitu, kan sama temenkan kalau marahkan gak enak. Dosa kan gak boleh sama Nabi Muhammad gak apa kan gak diperbolehkan marah.” (W1.S1:228-232). “Ada, tapi Oh jangan gitu sama temen jangan gitu, gak boleh, sesama muslim kan nganu harus kan ukhuwah islamiah. Semua kan saudara, gak boleh nyek-nyekan, saling mengejek-mengejek kan gak boleh. Terus dia minta maap, oya maap ya…”(W2.S1:196-201). “Akan berserah diri kepada Allah. Bersabar dan tawakal.” (SSCT/1/A.D/KD).

Subjek bukanlah tipe orang yang apatis, namun subjek adalah orang yang

suka bergaul dan gemar memperbanyak teman. Namun dalam melakukan

interaksi subjek cenderung lebih meyukai orang-orang yang memiliki karakter

yang baik, karena kebaikan dari seorang teman, guru dan orang–orang yang ada

disekitarnya tersebut sangatlah penting bagi dirinya karena kebaikan-kebaikan

tersebut akan menjadi motivasi tersendiri bagi subjek untuk tetap semangat dan

lebih percaya diri dalam menerima kekurang sempurnaan fisiknya.

“Pengennya ya kumpul dengan orang-orang yang normal.” (W2.S1:64-65). “Tapi aku kan pengen tahu dengan dunia luar, teknologi. Terus aku pengen punya temen banyak, kalau di sekolah khusus kan temennya dikit.” (W2.S1:68-71). “Ya enak, gurunya sabar, murid-muridnya enak suka memberi semangat.“ (W2.S1:73-74).

Kebaikan-kebaikan yang ditujukan oleh teman dan guru serta orang-orang

yang ada disekitar subjek terbukti mampu dalam menumbuhkan rasa percaya diri

pada diri subjek. Sehingga dalam menjalani aktifitas kesehariannya subjek tidak

pernah merasa malu dengan kondisi fisiknya yang cacat dan berbeda dengan

orang pada umumnya.

Subjek meyakini bahwa rasa percaya diri ini bisa tumbuh karena adanya

ukhuwah islamiyah yang terjalin antara subjek dan orang-orang yang ada

disekitarnya. Ukhuwah islamiyah ini merupakan alat pemersatu. Apabila

seseorang sudah memahami ukhuwah islamiyah ini dia tidak akan pernah merasa

tinggi diantara orang-orang yang lain, tidak akan pernah mengejek dan menghina

teman-temannya.

Ukhuwah islamiyah inilah yang menjadikan subjek lebih percaya diri

dihadapan teman-temannya. Sehingga subjek tumbuh menjadi pribadi yang

matang, tidak malu dan minder walaupun dia memiliki fisik yang tidak sempurna

sebagaimana teman-temannya yang lain.

“Nggak, ngak sama sekali.” (W2.S1:99). “Ya ga papa, anu karena sesama muslim kan nganu harus kan ukhuwah islamiah. Semua kan saudara, gak boleh nyek-nyekan, saling mengejek-mengejek kan gak boleh.” (W.1.S1:102-105).

Perlakuan baik guru kepada subjek menyebabkan subjek mampu bertahan

di lingkungan sekolah yang inklusif ini. Meskipun subjek memiliki kelemahan

secara fisik, namun di sekolah ini subjek tidak mendapatkan perlakuan negatif

motivasi oleh guru-gurunya dan tidak dibeda-bedakan dengan siswa-siswa lain

yang memiliki fisik lebih sempurna dari subjek.

Untuk mengantisipasi munculnya sikap malu dan minder pada diri subjek,

guru-guru yang ada saling bahu-membahu untuk mengembalikan kepercayaan

subjek yang sempat ternodai dengan adanya pengalaman traumatik subjek ketika

subjek sekolah di negeri dulu yang selalu mendapatkan hinaan dan cemoohan baik

dari teman maupun guru subjek.

Diantara usaha-usaha yang dilakkan oleh para guru tersebut adalah: a)

Selalu memberi nasihat dan motivasi kepadanya, b) Tidak membeda-bedakannya

dengan siswa-siswa yang lainnya, c) Selalu meyakinkan subjek bahwa dimata

guru semua siswa itu sama.

“Ya memperlakukan saya ya seperti orang-orang biasa, misalnya gini-gini aku dibantuin. Dikasih semangat, dikasih spiritlah.” (W2.S1:130-132). “Kamu jangan begini-begini, hidup itu harus rileks gak boleh marah gak boleh malu sama temen. Semua temen sama.” (W2.S1:86-88). “Dulu iya. Tapi gak suka. Soalnya itu gurunya apa mandangnya gak kayak guru Islam. Kadang gini dimarahin, gak salah apa dimarahin.” (W1.S1:200-204). “Subjek memandang bahwa seorang guru juga baik dan subjek akan memberi salam ketika bertemu mereka.” (SSCT/1/A.D/HI).

Pengalaman buruk inilah yang menjadikan subjek enggan untuk sekolah di

sekolah negeri. Karena di sekolah negeri ini subjek sering mendapatkan perlakuan

yang tidak menyenangkan baik dari teman-teman maupun dari gurunya, selain itu

perbedaan Agama juga menjadi penyebab ketidaksukaan subjek untuk sekolah

disana. Di sekolah negeri ini subjek sering diganggu oleh teman-temannya bahkan

sampai pada taraf penganiayaan secara fisik, seperti memukul, menendang,

Menurut subjek munculnya perilaku-perilaku negatif ini disebabkan karena

ketidakpahaman mereka akan ilmu Agama, karena jika mereka paham Agama

mereka tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan seperti diatas.

“Kalau di negeri itu gurunya itu ada yang Kristen, Islam. temen-temennya ada yang ngejek, nglempari pakai batu, kan gak suka saya.” (W2.S1:152-154). “Ngejeknya oh begok lo…. Terus waktu aku lari kakiku dijegal sampai kepalaku ke jedut pintu. Terus dijotosin pernah juga.” (W2.S1:171-173). “Kalau di Negeri itu kan gak tahu hari akhir itu apa aja tanda-tandanya. Siapa yang masuk surga itu siapa saja, kan belum tahu. Kalau mereka tahu mereka gak akan kayak gitu, ngejek-ngejek kayak gitu. Kalau tahu isi agama mereka gak ngejek.” (W.2.S1:157-160). “Seorang teman bagi subjek adalah teman yang baik, tidak nakal, tahayul atau syirik.” (SSCT/1/A.D/HI)

Subjek tidak terlalu banyak berharap, namun dalam kehidupan ini subjek

hanya menginginkan teman dan guru-guru yang baik, yang bisa memotivasi dan

memberi semangat serta membantunya ketika subjek membutuhkan bantuan baik

dalam keadaan suka maupun duka. Sehingga subjek bisa menjalani kehidupan ini

dengan penuh rasa percaya diri dan tidak ada perasaan minder dalam dirinya.

“Anu kalau baik, temen-temen baik, guru-guru baik gak ada yang ngejek sudah Alkhamdulillah.” (W1.S1:316-318). “Kalau ya, ya anu itu ya Allah mohon saya dikasih kelebihan dan teman-teman saya biar gak nakal lagi.” (W2.S1:249-251)

2.2. Subjek II

Nama : B.P.W

Usia : 14 th

Profesi : Pelajar

Tipe kecacatan : Ringan/monoplegia

Subjek meyakini bahwa semua yang terjadi pada dirinya adalah sebuah

scenario yang telah Allah buat dan rencanakan untuknya dan subjek meyakini

bahwa semua itu pasti ada hikmahnya. Walaupun hikmah tersebut belum

diketahui oleh subjek, namun subjek tetap optimis bahwa kemudahan selalu ada

dalam setiap kesulitan dan subjek akan tetap berusaha untuk mewujudkan apa

yang dia cita-citakan.

“Yo gak papa mas, kan semua sudah diatur sama Allah. Kan pasti ada hikmahnya.” (W1.S2:113-114). “Ketakutan yang ada pada subjek adalah tentang masa depan, akan tetapi subjek ingin mewujudkan cita-citanya.” (SSCT/2/B.P.W/KD).

Meskipun demikian, kecacatan yang ada pada diri subjek tersebut

menjadikan subjek tidak leluasa bergerak, akibatnya subjek merasa kesulitan

untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah seperti olah raga dan

upacara bendera yang ada di sekolahnya. Namun dengan segala kekurangan yang

ada pada diri subjek tersebut tidak menjadikan subjek berpangku tangan dan

menunggu belas kasih orang lain, karena subjek ingin mandiri dan tidak mau

menyusahkan orang lain. Karena subjek masih bisa menjalani aktifitas

kesehariannya tanpa ada masalah yang berarti, baik untuk keperluan keseharian

seperti mengambil makan, belajar dan lain sebagainya. Inilah yang menjadi salah

satu kelebihan subjek dimata guru dan teman-temannya. Selain itu subjek juga

memiliki kelebihan lain yang cukup membuatnya bangga yaitu kemampuan

Akan tetapi untuk aktifitas-aktifitas lain yang memerlukan tenaga fisik

lebih banyak seperti berjalan jauh, berlari dan olah raga lainnya subjek merasa

kesulitan karena cacat fisik yang ada pada dirinya.

“Kaki saya, saya gak kuat kalau disuruh jalan lama, kaki saya suka sakit.” (W1.S2:149-150). “Gak bisa, kalau bisa jangan terlalu jauh nanti capek. Kan kakiku ini suka capek kalau jalan jauh.” (W2.S2:109-111). “Ya saya tidak mau nyusain orang lain, kalau saya bisa saya lakukan. “(W2.S2:156-157). “Bisa maen computer.” (W1.S2:138). “Karena dulu waktu masuk kelas I sudah bilang kalau kaki saya sakit kalau dipakai jalan jauh, jadi sama guru di ijinkan untuk tidak ikut olah raga”.(W1.S2:162-165). “Gak ada cuma ini aja, tapi kadang kalau pas upacara saya gak ikut gak apa-apa karena kalau ikut kelamaan berdiri kadang kaki saya suka sakit, jadi gak ikut gak papa.” (W1.S2:172-175). “Ya seperti biasa, biasa aja gak ada masalah.”(W1.S2:110). “Saya gak pernah maen jauh, paling dirumah aja atau ke tempat teman depan rumah saya. Kalau jauh-jauh gak boleh, trus suka capek.” (W1.S2:156-158). “Gak ada, semua bisa aku lakukan.” (W1.S2:112). “Kelemahan yang ada pada subjek, apabila berjalan terlalu jauh.” (SSCT/2/B.P.W/KD)

Kekurang sempurnaan fisik yang ada pada diri subjek ini tidak

membuatnya pesimis dan menyerah dengan keadaan, namun subjek senantiasa

menunjukkan rasa optimisme yang tinggi delam menghadapi permasalahan yang

menimpanya. Rasa optimisme ini ditunjukan dengan berbagai bentuk, diantaranya

adalah dengan berusaha dan belajar dengan sungguh-sungguh. Selain itu sholat

dan berdo’a juga selalu subjek lakukan.

Rasa optimisme ini juga terlihat dengan adanya kecenderungan subjek

untuk membaur dengan temannya yang normal, refresing dengan

senioritas, egoisme, arogan maupun rendah diri yang mungkin muncul diantara

mereka.

“Bisa aja, yang penting belajar, terus berusaha pasti bisa.” (W1.S2:125-126). “Paling sholat, terus berdoa.”(W2.S2:145) “Refresing, bermain sama teman-teman.” (W2.S2:88)

Namun subjek hanya bisa pasrah dan ikhlas ketika masih ada diantara

teman-temannya yang menghina dan mengejeknya karena kekurang sempurnaan

fisik yang ada pada dirinya. Hal ini disebabkan karena subjek tahu diri dan sadar

diri bahwa dia memang cacat dan berbeda dengan teman-temannya. Rasa pasrah

ini subjek tujukan kepada Allah sebagai Dzat yang menciptakannya, dan subjek

selalu berharap agar Allah bisa memberikan kelebihan yang lain sehingga subjek

tidak diejek dan diganggu oleh teman-temannya.

“Saya gini aja, saya biarkan orang-orang lain ngejek saya gak papa.” (W1.S2:92-93). “Ya gak papa, kan udah dari kecil udah kayak gini. Jadi gak papa.” (W1.S2:106-107). “Paling sholat, terus berdoa, biar jadi anak yang sholeh dan pinter dan bisa jadi pilot.” (W2.S2: 145-146). “Akan menghadapi kecacatan ini dengan penuh kesabaran.” (SSCT/2/B.P.W/KD)

Pada dasarnya ketidaksempurnaan fisik ini tidak menjadikan subjek malu

dan minder dalam bergaul dan berinteraksi dengan orang-orang yang normal.

Karena subjek meyakini bahwa meskipun dia secara fisik cacat, namun pada

dasarnya dia adalah normal dan sama seperti teman-temannya yang lain.

Inilah yang menjadikan subjek tidak malu dan minder kepada

teman-temannya, selain itu kebaikan teman-teman subjek di sekolah ini juga menjadi

salah satu faktor yang membuat subjek lebih percaya diri. Karena di sekolah ini

menolongnya dan bisa menerima kondisi subjek apa adanya.

“Ya sering bermain sama-sama saya, belajar sama-sama. Baik-baik sama saya. Tidak pernah ngeyek (mengejek-red) saya.” (W1.S2:80-82). “Kan mereka sudah tahu kalau saya punya kelemahan kaki saya gini. Mereka sudah maklum.” (W1.S2:85-87). “Kan saya normal walaupun kaki saya begini tapi saya normal.” (W2.S2:128-130). “Sering e… memberitahu kalau saya tidak bisa.” (W2.S2:35-36). “Teman bagi subjek, baik, tidak nakal, sholeh.” (SSCT/2/B.P.W/HI). “Nggak, enak di sekolah umum dari pada di sekolah khusus. Di sekolah umum di ta’mirul juga gak ada yang ngejek saya, semuanya juga baik-baik.” (W1.S.2:25-28). “Ya kan saya pengen bermain dengan orang-orang normal.” (W1.S2:34-35). “Yo gak suka, mosok maen sama orang cacat terus. Sayakan juga pengen maen dengan orang normal.” (W1.S2:41-43). “Kan kalau orang normal itu enak, diajak maen enak, pinter-pinter. Kan saya juga pengen seperti mereka. “(W1.S2:46-48). “Ya karena gak suka aja, gak suka dengan orang-orang cacat. Kan saya normal walaupun kaki saya begini tapi saya normal.” (W2.S2:128-130).

Secara psikologis kekurangsempurnaan ini tidak begitu berpengaruh

terhadap subjek, bahkan subjek merasa enjoy dan tidak malu dengan kondisi

fisiknya yang cacat. Namun kecacatan ini memiliki pengaruh yang besar terhadap

aktifitas keseharian subjek, terlebih lagi aktifitas-aktifitas yang memerlukan

tenaga fisik yang besar dan menguras tenaga seperti berjalan jauh, berlari dan lain

sebagainya.

“Ya kan kita sama, cuma beda kakinya aja. Kenapa harus malu.” (W1.S2:56-57). “Ya karena saya sudah biasa jadi gak malu lagi.“(W1.S2:131-132). “Biasa dengan kaki seperti ini, jalan yang begini. Tapi gak papa..” (W1.S1:134-135). “Saya gak pernah maen jauh, paling dirumah aja atau ke tempat teman depan rumah saya. Kalau jauh-jauh gak boleh, trus suka capek.” (W1.S2:156-158). “Nyantai aja, kan orang-orangnya baik semua. Enak biasa aja.” (W2.S2:136-137).

Meskipun demikian kecacatan ini bukanlah suatu alasan bagi guru untuk

memberikan pengkhususan bagi subjek, pengkhususan hanya diberikan dalam

bidang olah raga dan setiap aktifitas-aktifitas yang banyak memerlukan tenaga

fisik lainnya. Namun jika subjek masih mampu melakukannya, maka subjek

diharuskan untuk mengikuti semua kegiatan yang ada di sekolah tanpa ada

pengecualian.

Untuk kegiatan yang lain yang ada di sekolah ini subjek diperlakukan

sama seperti siswa-siswa pada umumnya tidak ada diskriminasi maupun

dispensasi bagi subjek. Perlakuan yang sama itu terlihat dalah hal membantu

siswa jika siswa mendapatkan kesulitan dalam proses belajar mengajar, memberi

memotivasi kepada siswa, menghukum jika bersalah dan kegiatan belajar

mengajar lainnya.

“E…perilaku. Eh…anu seperti membantu saya kalau saya sedang kesusahan.” (W1.S2:61-62). “Sama seperti yang lainnya, gak dibeda-bedain.” (W1.S2.78-79). “Biasanya pas olah raga mas, kalau olah raga, saya gak boleh ikut. Saya disuruh nonton aja.” (W1.S2:73-74). “Gak pernah, paling kalau guru itu kalau pas olah raga. Aku sering diberi keringanan gak ikut gak papa. Itu aja kalau yang lain ya sama aja dengan teman-teman yang lain.” (W1.S2:116-119). “Gak ada cuma kakak aja, tapi kadang-kadang guru-guru juga ngasih semangat untuk belajar yang rajin biar pinter.” (W1.S2:184-185). “Seperti anu ya baik-baik gak pernah gojek- gojeki. Seperti orang normal gitu melakukan saya.” (W2.S2:14-16). “Begitu juga dengan guru, mereka baik dan sabar.” (SSCT/2/B.P.W/HI)

Subjek tidak berharap banyak di sekolah ini, namun subjek hanya berharap

dia bisa mendapatkan teman-teman yang banyak dan baik hati serta bisa

dengan memiliki teman yang banyak dan berprestasi tersebut akan membuat

subjek menjadi lebih percaya diri dengan kondisi fisiknya yang cacat.

“Ya bisa belajar dengan baik, terus dapat prestasi, dan terus punya temen-temen yang banyak.” (W2.S2:81-83). “Tujuan

hidup yang diinginkan agar selalu pintar.”

(SSCT/2/B.P.W/KD)

2.3. Subjek III

Nama : R.A.P

Usia : 14 th

Profesi : Pelajar

Tipe kecacatan : Ringan/hemiplegia

Sekolah asal : SMP Muhammadiyah II Kartasura

Subjek memandang bahwa kehidupan yang dijalaninya adalah sesuatu

yang rumit, rumit karena subjek mengharapkan sesuatu yang sangat tidak

mungkin dicapainya dengan adanya kekurangan-kekurangan yang ada pada diri

dan keluarganya. Namun subjek mencoba untuk selalu berpikir positif dengan

meyakini bahwa subjek pasti mampu untuk menggapai apa yang diharapkannya

tentunya kalau subjek mau berusaha menutupi kekurangan-kekurangan yang ada

pada dirinya dan belajar dengan maksimal.

“Apa itu, kehidupan yang agak rumit gitu Karena kekurangan dan kekurangan saya ini.” (W1.S3:142-143). “Ya gitu, apa itu rumit banget. Saya kan hidup dikeluarga yang tidak mampu, terus saya pengen sekolah yang tinggi.” (W2.S3:89-91). “Mencoba terus berusaha untuk menutupinya.” (W1.S3:226). “Tentang masa depan, memungkinkan untuk dicapai.” (SSCT/3/R.A.P/KD)

Subjek meyakini bahwa setiap kelemahan pasti ada kelebihan. Demikian

orang pada umumnya. Kekurangan yang mencolok pada subjek adalah kaki kiri

dan tangan kirinya subjek yang kecil, Selain itu subjek adalah murid dengan fisik

terkecil yang ada di sekolah ini.

Namun kekurangan yang ada pada diri subjek tersebut menjadi daya tarik

tersendiri bagi guru-gurunya, karena justru dengan kekurangan tersebut

menjadikan guru-gurunya lebih sayang dan subjek menjadi siswa yang disenangi

oleh para guru. Selain itu subjek juga memiliki kelebihan yang lain, yaitu

kemampuan olah vocal subjek dan kemahirannya dalam menyusun kata-kata

menjadi puisi yang indah.

Dokumen terkait