BAB II LANDASAN TEORI
C. Sekolah inklusif islam
1. Pengertian Sekolah Inklusif Islam
Seiring dengan gema kebangkitan pendidikan islam, pada tataran global
berkembang tuntutan perlunya kesempatan pendidikan yang merata kepada semua
manusia, tanpa membedakan kemampuan fisik (normal atau tuna), strata sosial,
jender, dan latar belakang etnis, budaya dan agamanya.
Sekolah inklusif islam ini adalah perbaduan antara sekolah inklusif dan
pendidikan islam. Secara harfiah sekolah inklusif merupakan sekolah yang di
dalamnya terdapat siswa-siswa yang heterogen yang tidak membedakan antara
normal atau cacat dan lain sebagainya. Sedangkan islam dalam pendidikan itu
sendiri menurut Fattah (2005) adalah suatu proses membantu pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang melalui
pelatihan segenap daya dan potensi (termasuk daya dzikir dan nalarnya) yang
dilaksanakan sedemikian rupa sehingga nilai-nilai Islam tertanam dalam
dapat diaktualisasikan. Jadi secara sederhana sekolah inklusif islam ini dapat
diartikan sebagai suatu model sekolah inklusif yang bernuansa islam.
Di sekolah inklusif islam ini para siswanya di samping anak-anak normal
juga terdapat anak-anak berkelainan yang memiliki beragam
kelainan/penyimpangan, baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau
sensoris neurologist. Sebagaimana yang dikatakan oleh Warsiki (2007) bahwa
pendidikan inklusif ini adalah konsep pendidikan yang melibatkan anak-anak
berkebutuhan khusus (ABK) atau "cacat" ke dalam sistem pendidikan reguler. Di
dalam sekolah inklusif ini semua orang adalah bagian yang berharga apapun
perbedaan mereka. Ini berarti bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan
maupun ketidakmampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, latar
belakang budaya atau bahasa, agama atau gender, menyatu dalam komunitas
sekolah yang sama. Fattah (2005) menambahkan bahwa sekolah inklusi
mengakomodasi semua peserta didik tanpa mempertimbangkan kondisi fisik,
intelektual, sosial, emosional, linguistik mereka dan kondisi lainnya. Ini berarti
mencakup anak yang cacat dan berbakat, anak jalanan dan yang bekerja, anak dari
penduduk terpencil dan nomadik (berpindah-pindah), anak dari kelompok
minoritas bahasa, etnis atau budaya, dan anak dari kelompok atau wilayah yang
termarjinalisasikan lainnya. Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan
sarana yang sangat efektif untuk memberantas diskriminasi, menciptakan
masyarakat yang hangat relasinya, membangun masyarakat inklusif, dan
mensukseskan pendidikan untuk semua.
perkembangan dan kemajuan zaman. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tarsidi
(2002) pengertian sekolah inklusif ini akan terus-menerus berkembang sejalan
dengan semakin mendalamnya renungan orang terhadap praktek yang ada, dan
sejalan dengan dilaksanakannya pendidikan inklusif dalam berbagai budaya dan
konteks yang semakin luas. Bahkan pengertian sekolah inklusif ini harus terus
berkembang jika sekolah inklusif ini ingin tetap menjadi jawaban yang riil dan
berharga untuk mengatasi tantangan pendidikan dan hak asasi manusia.
Berdasarkan uraian definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
sekolah inklusif islam adalah suatu model sekolah yang bernuansa islam baik dari
segi lingkungan yang islami, guru dan siswa-siswa yang beragama islam. Dan di
dalam sekolah ini terdapat siswa-siswa yang heterogen, karena selain siswa-siswa
yang normal di dalam sekolah ini juga terdapat siswa-siswa yang berkelainan,
seperti cacat tubuh, gifted, disleksia, disgrafia, dan lain sebagainya.
2. Latar Belakang Sekolah Inklusif
Dalam undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan undang-undang
Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan
bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam
pendidikan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi
bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang
berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan
terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa
penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Aretha (2007) mengatakan bahwa dengan sekolah inklusif ini, anak
berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam
masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat
dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu
diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk
mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah. Sekolah inklusif ini diharapkan
dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak
berkelainan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sekolah
inklusif ini dilatar belakangi oleh adanya suatu keyakinan bahwa pendidikan itu
adalah hak semua anak tanpa terkecuali anak-anak penyandang cacat. Yaitu hak
untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum tanpa adanya
diskriminasi.
Sekolah inklusif sebagai sekolah formal ini bediri atas beberapa landasan.
Baker (1995, dalam Stubbs: 2002) mengatakan bahwa penerapan sekolah inklusif
ini memiliki 4 (empat) landasan, ke empat landasan tersebut adalah:
a. Landasan Filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia
adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas
fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini
sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun
horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi.
Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik,
kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan
sebagainya. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku
bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan
sebagainya.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika tersebut, kelainan (kecacatan)
dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan
suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah
dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri
individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya
makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak
memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku,
bahasa, budaya, atau agama dan disisi Allah mereka adalah sama, karena Allah
normal sebagaimana Allah tidak membeda-bedakan antara suku, bangsa dan
budaya kecuali karena tingkat ketaqwaan mereka kepada Allah. Itulah yang akan
membedakan mereka disisi Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh imam Ahmad:
“Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahwa Tuhanmu adalah satu dan Bapakmu adalah satu. Ketahuilah bahwasa bangsa Arab tidaklah lebih utama dari pada non-arab, dan non-arab tidaklah lebih utama dari pada orang arab, dan orang kulit merah tidaklah lebih utama dari pada orang kulit hitam, demikian sebaliknya orang kulit hitam tidaklah lebih utama dari pada orang kulit merah, kecuali karena ketaqwaan mereka....” (HR. Ahmad, dalam An-Nawawi: 2006)
b. Landasan Yuridis
Secara ringkas Stubbs (2002) memaparkan landasan yuridis dalam
pendidikan inklusif ini, diantara landasan-landasan yuridis yang dipakai dalam
perumusan pendidikan inklusif ini adalah:
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 2. Konvensi PBB 1989 tentang Hak Anak 3. Konferensi Jomtien 1990
4. Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat Tahun 1993.
5. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994.
6. Konferensi Dakar tahun 2000. c. Landasan Pedagogis
Pada pasal 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
demokratis dan bertanggungjawab. Melalui pendidikan, peserta didik berkelainan
dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu
individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam
masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari
teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus
diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
d. Landasan Empiris
Baker (1995, dalam Stubbs: 2002) mengemukakan bahwa penelitian
tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an,
namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of
Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan
penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif
dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara
segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat.
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada 4 (empat)
hal yang dijadikan landasan berdirinya sekolah inklusif. Ke-empat landasan
tersebut adalah; landasan filosofis, landasan yuridis, landasan pedagogis dan
landasan empiris.
4. Pengaruh sekolah inklusif islam terhadap siswa penyandang tunadaksa
Secara kodrati penyandang tunadaksa sama seperti orang normal pada
umumnya, yaitu sebagi makhluk sosial yang saling membutuhkan antara yang
diperlakukan layak dan wajar baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat
maupun dalam lingkungan sekolahnya. Hal ini disebabkan karena di dalam
lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan sekolah terdapat pandangan
yang berbeda tentang penyandang tunadaksa tersebut, sebagaimana yang
dikatakan oleh Purnarini (2006) bahwa didalam lingkungan tersebut ada yang
sudah mengerti dan dapat memahami akan kekurang sempurnaan mereka namun
juga ada yang belum bisa menerima kehadiran mereka di lingkungannya. Kondisi
yang demikian inilah yang dapat membuat para penyandang cacat merasa tidak
percaya diri, rendah diri, tidak berguna, tidak nyaman, putus asa, tidak berharga
dan kecemasan akan masa depan mereka.
Mappiare (1982) menambahkan bahwa suatu bentuk ketiadaan yang dimiliki
oleh seseorang dapat menyebabkan seseorang tersebut diabaikan dan kurang
diterima oleh kelompoknya, semakin banyak kekurangannnya akan semakin besar
pula kemungkinannya untuk ditolak oleh teman-temannya. Dengan adanya
penolakan-penolakan dari lingkungan penyandang cacat ini nantinya akan
menjadikan mereka rendah diri dan memiliki konsep diri yang rendah. Hurlock
(dalam Nasution: 2007) mengatakan bahwa anak yang memiliki konsep diri yang
rendah akan mengembangkan penyesuain sosial yang kurang baik, mengalami
perasaan yang tidak menentu, inferioritas, dan memiliki level harga diri yang
rendah.
Setidaknya inilah dampak negatif yang mungkin akan muncul ketika
anak-anak berkelainan tersebut di ikut sertakan dengan anak-anak-anak-anak yang normal dalam
negatif terhadap siswa berkelainan, namun adakalanya sekolah inklusif ini justru
memberikan dampak yang positif terhadap para penyandang cacat tersebut.
Dampak positif dari adanya sekolah inklusif tersebut akan dipengaruhi oleh
kualitas spiritual seorang siswa tunadaksa, sebagaimana yang dikatakan oleh
Meichati (dalam, Purwati dan Lestari: 2002) bahwa kehidupan beragama akan
memberikan bantuan moral dalam menghadapi krisis krisis serta menimbulkan
sikap rela menerima keyataan yang ada. Sebagaimana firman Allah yang
berbunyi:
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. 3:139. dalam Hasbi, dkk:1978)
Diantara dampak-dampak positif dari sekolah inklusif ini adalah
sebagaimana yang diutarakan oleh Aretha (2007) bahwa sekolah inklusif ini
memberikan dampak positif baik terhadap perkembangan akademik maupun
sosial anak berkelainan. Diantara dampak-dampak positifnya adalah; siswa belajar
untuk dapat memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan
adanya perbedaan individual. Selain itu anak berkelainan juga dapat belajar
keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di lingkungan masyarakat
karena sudah terbiasa hidup dilingkungan yang heterogen.
Nashih Ulwan (1999) menambahkan bahwa dengan membiasakan
anak-anak cacat tersebut bergaul dengan orang lain baik dengan cara mengundang
orang lain kerumahnya maupun dengan cara membawa anak-anak cacat tersebut
perasaan minder pada diri penyandang cacat tersebut akan berkurang. Mereka
akan memiliki sifat percaya diri dan akan selalu terdorong untuk dapat maju tanpa
merasa takut dan malu kepada orang lain.
Manfaat sekolah inklusif ini tidak hanya dirasakan oleh siswa yang
berkelainan saja, namun berdampak pula bagi masyarakat. Dampak yang paling
esensial adalah sekolah inklusif mengajarkan nilai sosial yang berupa kesetaraan
antar individu.
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sekolah inklusif ini
berpengaruh terhadap kepribadian siswa penyandang tunadaksa. Pengaruh
tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam; yaitu pengaruh positif dan
pengaruh negatif. Pengaruh positif ini akan muncul ketika siswa penyandang cacat
tersebut mampu bersikap secara positif atas kekurang sempurnaan yang ada pada
dirinya dan adanya diskriminasi lingkungan yang ditujukan kepadanya. Sementara
itu pengaruh negatif ini akan muncul ketika siswa penyandang cacat tersebut tidak
mampu melakukan kontrol diri terhadap tekanan yang berupa
penolakan-penolakan yang datang dari lingkungannya.