• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYANDANG TUNADAKSA DI SEKOLAH INKLUSIF ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYANDANG TUNADAKSA DI SEKOLAH INKLUSIF ISLAM"

Copied!
228
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP STRIVING FOR SUPERIORITY PADA SISWA

PENYANDANG TUNADAKSA DI SEKOLAH

INKLUSIF ISLAM

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat S-1 Psikologi dan S-1 Sarjana Pendidikan Islam

Pada Jurusan Tarbiyah

Diajukan Oleh : SUJOKO

F 100 050 110 /G 000 060 132

TWINNING PROGRAM

FAKULTAS PSIKOLOGI-AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

(2)

KONSEP STRIVING FOR SUPERIORITY PADA SISWA

PENYANDANG TUNADAKSA DI SEKOLAH

INKLUSIF ISLAM

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat S-1 Psikologi dan S-1 Sarjana Pendidikan Islam

Pada Jurusan Tarbiyah

Oleh: SUJOKO

F 100 050 110 / G 000 060 132

TWINNING PROGRAM

FAKULTAS PSIKOLOGI-AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

(3)

KONSEP STRIVING FOR SUPERIORITY PADA SISWA

PENYANDANG TUNADAKSA DI SEKOLAH

INKLUSIF ISLAM

Yang diajukan oleh: SUJOKO

F 100 050 110 / G 000 060 132

Telah disetujui untuk dipertahankan di depan Dewan Penguji

Telah disetujui oleh :

Pembimbing Utama

DR. Nanik Prihartanti Tanggal 20 Februari 2009

Pembimbing Pendamping

(4)

KONSEP STRIVING FOR SUPERIORITY PADA SISWA

PENYANDANG TUNADAKSA DI SEKOLAH

INKLUSIF ISLAM

Yang diajukan oleh: SUJOKO

F 100 050 110 / G 000 060 132 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji

Pada Tanggal 26 Februari 2009

Dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Penguji Utama

DR. Nanik Prihartanti Penguji Pendamping I

Dra. Chusniatun, M.Ag

Penguji Pendamping II

Drs. Muh. Ngemron, MS

Universitas Muhammadiyah Surakarta Fakultas Agama Islam

Dekan

Fakultas Psikologi Dekan

(5)

MOTTO

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang

ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya;

dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

(QS. Ar Rad 11)

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”

(QS. Al Insyirah 5-6)

”Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Oleh sebab itu, yakin dan optimislah dalam melakukan segala sesuatu. Karena dengan itu kamu akan mendapatkan apa

yang kamu mau”

(6)

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini penulis persembahkan untuk :

 Bapak dan Ibu tercinta, Yang telah memberikan doa perhatian, kasih sayang dan dukungan yang tiada

henti-hentinya untuk keberhasilan dan kebahagiaan anak-anaknya.

(7)

KATA PENGANTAR

Ο

Ο

Ο

Οóóóó¡

¡

¡

¡

ÎÎÎÎ0000

««««!

!

!

!$$$$####

ÇÇÇÇ



≈≈≈≈uuuuΗΗΗΗ÷÷÷÷q

q

q

q

§§§§9999$$$$####

ÉÉÉÉΟ

Ο

Ο

ΟŠŠŠŠÏÏÏÏm

m

m

m

§§§§9999$$$$####

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillahirrobillaalamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt, yang atas ridho-Nya telah melimpahkan segala berkah, rahmat, hidayah dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “KONSEP STRIVING FOR SUPERIORITY PADA SISWA PENYANDANG TUNADAKSA DI SEKOLAH INKLUSIF ISLAM”. Hasil peneitian menunjukkan bahwa striving for superiority ini merupakan suatu bentuk usaha yang dilakukan oleh siswa penyandang tunadaksa untuk menutupi kekurangsempurnaan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya, baik dengan cara melakukan coping strategy maupun dengan cara mengoptimalkan potensi-potensi lain yang ada pada dirinya.

Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada Rosulullah Nabi Muhammad SAW. Penyelesaian karya ini tak lepas dari banyak pihak dan pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih antara lain kepada:

1. Susatyo Yuwono S.Psi, M.Si, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

2. Dra. Chusniatun, M.Ag selaku dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

3. Dr. Nanik Prihartanti, selaku pembimbing utama skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Dra. Chusniatun, M.Ag selaku pembimbing kedua yang penuh kesabaran dan perhatian dari awal sampai akhir penulisan skripsi. 5. Drs. Mohammad Amir, M.Si selaku pembimbing akademik yang

senantiasa memberikan pengarahan dan saran mengenai studi selama penulis menempuh studi.

(8)

6. Seluruh Dosen, TU, dan staf Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu dan kelancaran dalam menyelesaikan studi.

7. Bapak dan Ibu tercinta, yang senantiasa memberikan kasih sayang, dan limpahan doa untuk keberhasilan dan kebahagiaan masa depan penulis. Adik-adikku tersayang, yang selalu memberikan keceriaan di dalam melaksanakan skripsi.

8. Drs. Joko Riyanto, SH. MM selaku Kepala Sekolah SMP Muh I Simpon Surakarta yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengadakan penelitian. Dan memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti.

9. Bapak Bambang Tri Susilo selaku Kepala Sekolah SMP Ta’mirul Islam Surakarta yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengadakan penelitian. Dan memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti.

10. Muh. Muhtarom, AM PD selaku Kepala Sekolah SMP Muh 2 Kartasura yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengadakan penelitian. Dan memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti.

11. Subjek AD, BPW dan RAP, yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman seperjuangan, Patria Mukti dan Mas Hasyim yang selalu memberikan dorongan dan bantuan ketika penulis sedang mengalami keputusasaan.

13. Rekan-rekan yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas inspirasi dan dukungan yang telah diberikan.

Dari semua pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, penulis memohon maaf atas keterbatasan kata-kata. Sekali lagi dari lubuk hati yang paling dalam, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr.W

Surakarta, 26 Februari 2009 Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

ABSTRAKSI ... xv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Keaslian Penelitian ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Peneltian ... 8

BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep striving for superiority ... 10

(10)

2. Faktor-faktor striving for superiority ... 11

3. Bentuk-bentuk striving for superiority ... 14

B. Tunadaksa ... 16

1. Pengertian tunadaksa ... ... 16

2. Klasifikasi tunadaksa ... 17

3. Penyebab tunadaksa ... 22

C. Sekolah inklusif islam ... 24

1. Pengertian sekolah inklusif islam... ... 24

2. Latar belakang sekolah inklusif islam ... 26

3. Landasan sekolah inklusif islam ... 27

4. Pengaruh sekolah inklusif islam terhadap kepribadian siswa penyandang tunadaksa... 30

D. Pertanyaan penelitian... 33

BAB III. METODE PENELITIAN A. Identifikasi gejala penelitian ... 34

B. Definisi operasional gejala penelitian ... 34

C. Informan penelitian ... 35

D. Metode pengumpulan data ... 38

1. Wawancara ... 38

2. Observasi ... 39

3. Alat tes psikologi “sacks sentence computation test” (SSCT)... 40

(11)

E. Metode analisis data ... 41

1. Metode analissi data wawancara ... 42

2. Metode analisis data observasi ... 44

3. Metode analisis alat tes psikologi “sacks sentence computation test” (SSCT)... 44

4. Metode analisis dokumentasi ... …… 49

F. Keabsahan data ... 50

1. Kredibilitas ... 50

2. Transferabilitas ... 51

3. Dependabilitas ... 51

4. Konfirmabilitas ... …….. 52

BAB IV. PERSIAPAN PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 53

1. Orientasi Kancah ... 53

2. Persiapan Alat Pengumpulan Data ... 54

a. Penyusunan pedoman wawancara ... 54

b. Penyusunan pedoman observasi ... 55

c. Persiapan alat tes psikologi ... 56

d. Dokumentasi ... 57

B. Pelaksanaan Penelitian ... 57

1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 57

(12)

C. Hasil Penelitian dan Kategorisasi ... 63

1. Hasil Observasi ... 63

2. Hasil Interview dan tes psikologi ... 65

D. Pembahasan ... 86

BAB V. PENUTUP ... A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA dan LAMPIRAN

(13)

DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Guide Interview ... 38 2. Skoring SSCT ... 44 3. Subjek penelitian ... 58 4. Informan pendukung ... 59

(14)

DAFTAR BAGAN

Bagan Halaman

1. Bagan desain penelitian ... 50 2. Skema mekanisme sriving for superiority pada siswa tundaksa di sekolah

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Transkrip Wawancara 102 2. Hasil Try out………. 188 3. Hasil Tes SSCT……… 202

4. Foto Dokumentasi Subjek ... 208 5. Surat Keterangan Penelitian ... 212

(16)

ABSTRAKSI

Kelainan pada kondisi fisik yang kurang sempurna serta bersifat menetap yang disandang oleh tunadaksa dapat menimbulkan masalah-masalah yang kompleks. Selain berdampak pada aktifitas kesehariannya, kelainan ini juga sering menimbulkan gangguan pada mental penyandang tunadaksa. Maka tidak jarang penyandang tunadaksa ini mengalami gangguan-gangguan psikologis seperti merasa tidak berguna, tidak mampu, malu, minder, kecemasan dan permasalahan-permasalahan psikologis lainnya. Dampak-dampak tersebut akan semakin diperparah lagi jika kondisi lingkungan yang ada kurang mendukung dan tidak menerima kekurangan yang ada pada penyandang tunadaksa. Sehingga kemungkinan penyandang tunadaksa untuk semakin minder pun akan semakin besar. Namun tidak jarang pula penyandang tunadaksa yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya dan mampu menjalin interaksi sosial yang baik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena adanya konsep diri yang baik pada penyandang tunadaksa dan adanya dukungan sosial dari orang-orang yang ada disekitarnya.

Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep striving for superiority pada siswa penyandang tunadaksa yang ada di sekolah inklusif islam yang meliputi bentuk-bentuk striving for superiority dan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya konsep striving for superiority pada siswa penyandang tunadaksa tersebut.

Penelitian ini dilakukan di tiga sekolah yang berbeda, (1) SMP Muh I Simpon Surakarta, (2) SMP Ta’mirul Islam Surakarta, dan (3) SMP Muh 2 Kartasura. Subjek penelitian ini berjumlah 3 siswa yang di ambil secara purposive sampling, yaitu pengambilan subjek berdasarkan atas ciri-ciri dan kriteria-kriteria tertentu. Kriteria-kriteria tersebut meliputi, (1) Siswa tunadaksa yang sekolah di sekolah inklusif islam, (2) Usia 13-18 tahun, Untuk memperoleh data sebagaimana yang di inginkan, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa instrument pengumpulan data, diantaranya adalah; wawancara, observasi, tes psikologi dan dokumentasi.

Dari hasil analisis data di peroleh kesimpulan bahwa compensation adalah satu-satunya bentuk striving for superiority yang digunakan oleh penyandang tunadaksa untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya. Dan konsep striving for superiority yang dilakukan oleh siswa penyandang tunadaksa tersebut dipengaruhi oleh 2 faktor, pertama faktor internal yang berupa self-control, dan kedua faktor eksternal yang berupa dukungan sosial yang diberikan kepada penyandang tunadaksa.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa di sekolah merupakan masa-masa yang banyak dinanti, masa yang mengesankan sekaligus menyenangkan, baik pada anak-anak, remaja, maupun dewasa, dan mungkin bisa dikatakan bahwa masa paling indah adalah masa-masa di sekolah. Hal ini dikarenakan lingkungan sekolah akan memberikan pengaruh yang sangat besar kepada anak sebagi individu maupun sebagai mahluk sosial, peraturan sekolah, otoritas guru, disiplin kerja, cara belajar, kebiasaan bergaul, dan macam-macam tuntutan sekolah yang cukup ketat akan memberikan segi-segi keindahan dan kesenangan tersendiri pada anak (Purwanto: 2006)

Setiap siswa baik yang berkelainan maupun tidak, pada dasarnya menginginkan situasi yang bisa memotivasinya agar bisa selalu berprestasi dan berkarya di sekolahnya tanpa ada rasa malu dan takut untuk mengaktualisasikan segala sesuatu yang ada pada dirinya. Namun tidak semua siswa bisa mengaktualisasikan potensi yang ada pada dirinya tersebut; teman-teman, guru dan bahkan keluarganya justru menjadi salah satu faktor penyebab hilangnya keberanian mereka untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang ada pada dirinya. Hal ini nampak jelas sekali terlihat pada siswa-siswa yang memiliki kelainan dan dianggap berbeda dengan yang lainnya, seperti tunadaksa, tunarungu, tunawicara, tunanetra, badan terlalu gemuk dan atau kurus, dan lain sebagainya. Kelainan-kelainan dan perbedaan-perbedaan seperti inilah yang menjadi penyebab utama yang menjadikan mereka minder dan malu untuk

(18)

membaur dengan teman-temannya dan orang-orang yang ada di sekitarnya, sehingga dengan adanya perasaan malu dan minder tersebut akan menjadikan motivasi sekolah dan belajar merekapun berkurang.

Kekurangan-kekurangan yang ada ini akan mejadikan anak merasa malu dan minder yang akhirnya akan menjadikannya rendah diri (inferioritas) dihadapan para teman-temannya. Adler (dalam Suryabrata: 2002) mengatakan bahwa rasa rendah diri (inferiorioritas) ini muncul dan disebabkan karena adanya suatu perasaan kurang berharga yang timbul karena ketidak mampuan psikologis maupun sosial yang dirasakan secara subyektif, dengan kekurangan-kekurangan yang ada pada diri anak tersebut akan menjadikannya tersingkir dari kehidupan disekitarnya. Menurut Mappiare (1982) suatu bentuk ketiadaan yang dimiliki oleh seseorang dapat menyebabkan seseorang tersebut diabaikan dan kurang diterima oleh kelompoknya, semakin banyak kekurangannnya akan semakin besar pula kemungkinannya untuk ditolak oleh teman-temannya.

Mappiare (1982) mengatakan perlu diwaspadai bahwa penolakan-penolakan ini mempunyai arti yang penting bagi seorang remaja, karena secara tidak langsung penolakan itu akan mempengaruhi pikiran, sikap, perasaan, perbuatan-perbuatan dan penyesuaian dirinya, bahkan pengaruh tersebut akan terbawa dan berbekas sampai masa dewasanya. Apabila ini tidak segera diatasi, maka anak akan mudah mengalami depresi yang pada akhirnya semua harapannya akan pupus ditengah jalan.

Sementara itu Sumampouw dan Setiasih (2003) yang mengatakan bahwa siswa berkelainan sebenarnya memiliki kemampuan intelektual yang tergolong

(19)

cerdas, namun need endurance mereka rendah bahkan need achievement mereka tergolong sangat rendah. Hal ini menunjukan bahwa para penyandang cacat ini sebenarnya memiliki potensi yang memadai, namun karena adanya hambatan dari lingkungan yang tidak mendukungnya menjadikan mereka tersingkir dan tidak bisa menyamai prestasi siswa-siswa lain yang normal.

Pengaruh teman sebaya ini merupakan hal penting yang tidak dapat diremehkan, karena diantara remaja-remaja ini terdapat jalinan ikatan perasaan yang sangat kuat. Berdasarkan kenyataan ini dapat dimengerti bahwa hal-hal yang berkaitan dengan tingkah laku, minat, bahkan sikap dan pikiran remaja banyak dipengaruhi oleh teman-teman dalam kelompok mereka (Mappire: 1982).

Berkaitan dengan kekurang sempurnaan ini Alfred Adler seorang ahli optamologis dan psikiatri dari Wina (dalam Boeree: 2004) menyatakan bahwa setiap manusia memang pada dasarnya memiliki kelemahan dan kelebihan baik secara organik maupun psikologis. Namun tidak jarang orang dalam menghadapi kekurangan-kekurangan semacam ini cenderung melakukan kompensasai. Mereka berusaha untuk menutupi kelemahan-kelemahannya dengan berbagai cara sehingga banyak yang memiliki kelemahan fisik dengan segudang kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang yang dalam kondisi fisik sempurna sekalipun. Sayangnya tidak sedikit pula orang yang gagal dalam melakukan kompensasi tersebut, sehingga mereka menjalani hidupnya dengan perasaan tertekan dan penuh dengan penderitaan.

Phil (2008) menambahkan bahwa selain kompensasi para penyandang cacat juga sering melakukan complex superiority dalam bentuk penyesuaian diri

(20)

dan membentuk pertahanan yang memungkinkannya dapat mengatasi rasa inferioritas yang ada pada dirinya tersebut. Perilaku-perilaku pertahanan yang dilakukan oleh penyandang cacat untuk mengatasi rasa rendah diri ini dalam psikologi dikenal dengan istilah striving for superiority, yaitu suatu usaha yang dilakukan guna mengatasi rasa rendah diri dan kurang berharga yang ada pada dirinya agar menjadi peribadi-peribadi yang superior. Untuk mengatasi rasa inferioritas yang ada inipun cara berpikir siswa penyandang cacat ini harus dirubah, dari cara berpikir yang negatif terhadap kekurangan-sempurnaan yang ada pada dirinya kedalam cara berpikir yang positif dan optimis. Hal ini disebabkan karena kunci perubahan seseorang terletak pada pikirannya (Cleghorn, dalam Lestari: 2002). Oleh karena itu, cara berpikir seseorang perlu dirubah dari yang semula tidak mendukung menjadi mendukung diri sendiri dan berhenti mengkritik diri. Cara berpikir negatif dan pesimis harus dirubah menjadi cara berpikir yang positif dan optimis, sehingga dengan kekurang sempurnaan fisik seseorang tidak akan membuatnya takut untuk membaur dan berinteraksi dengan orang lain. Santoso (2007) menambahkan apabila seseorang selalu memikirkan ketakutan dan kekhwatiran maka semua ketakutan dan kekhwatiran akan tertarik masuk kedalam kehidupannya dan dia menjadi orang yang hidup dengan penuh ketakutan dan kekhwatiran. Sebaliknya apabila seseorang selalu memikirkan kebahagian dan keberhasilan maka segala bentuk kebahagiaan dan keberhasilan akan tertarik masuk ke dalam kehidupannya sehingga dia menjadi orang yang hidup dengan penuh kebahagiaan dan keberhasilan.

(21)

Cara berpikir seperti inilah yang harus ada pada diri setiap siswa penyandang cacat, sehingga dia tidak akan merasa terkucilkan dari kehidupan di sekitarnya. Dengan cara berpikir seperti ini seorang penyandang cacat akan dapat mengaktualisasikan potensi-potensi yang ada pada dirinya dengan tidak dihantui oleh rasa takut dan rendah diri. Karena apabila nilai-nilai agama banyak masuk ke dalam pembentukan kepribadian anak sewaktu kecil, maka tingkah laku anak tersebut akan diarahkan dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Meichati (dalam Purwati dan Lestari: 2002) bahwa hidup beragama akan dapat memberikan bantuan moral dalam menghadapi krisis serta menimbulkan sikap rela menerima kenyataan sebagaimana yang telah digariskan oleh Tuhan untuknya. Orang yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi akan memahami benar apa yang terkandung dalam firman Allah yang menyatakan bahwa orang Islam tidak boleh merasa rendah diri dan hina, karena pada hakikatnya mereka adalah mulia dengan keimanannya. Sebagaimana firman Allah:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. 49:13, dalam Hasbi, dkk:1978)

Santoso (2004) menambahkan bahwa nilai-nilai spiritual yang ada dalam diri seseorang merupakan sumber kekuatan yang dapat melahirkan kesabaran,

(22)

ketawakalan, berserah diri kepada Allah dan tidak mudah berputus asa dalam menghadapi perubahan-perubahan dalam kehidupan.

Nilai-nilai spiritual inilah yang akan menjadikan seseorang memiliki tingkat kesabaran yang tinggi dan tunduk terhadap semua ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan untuknya. Hal ini tercermin dalam hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengisyaratkan tentang kehidupan seorang muslim. Dalam haditsnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan;

“Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, semua urusannya adalah baik. Tidaklah hal itu didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia tertimpa kesenangan maka bersyukur. Maka itu baik baginya. Dan apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar. Maka itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, dalam An-Nawawi: 2006)

Inilah gambaran seorang muslim yang baik, seorang muslim yang memiliki kualitas Iman yang tinggi kepada Allah Ta’ala, dia akan melakukan segala sesuatu yang terbaik untuk dirinya dan dalam keadaan serta kondisi bagaimanapun juga dia akan tetap menikmati hidupnya ini tanpa ada rasa penyesalan.

Berdasarkan uraian-uraian ini, Penulis ingin mengajukan suatu permasalahan. Yaitu, bagaimana proses striving for superiority pada siswa penyandang tunadaksa yang menempuh pendidikan di sekolah inklusif islam? Berdasarkan permasalahan tersebut, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul “KONSEP STRIVING FOR SUPERIORITY PADA SISWA PENYANDANG TUNADAKSA DI SEKOLAH INKLUSIF ISLAM”.

(23)

B. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang terkait dengan tunadaksa telah banyak dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Handayani, S. (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Hubungan antara konsep diri dan berpikir positif dengan penyesuaian sosial pada remaja tunadaksa”. Senada dengan Handayani, Novita, R (2007) pun juga pernah meneliti tentang tunadaksa dalam skripsinya dengan judul “Hubungan antara dukungan sosial dengan kemandirian pada remaja penyandang cacat tubuh”. Dan penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Arif, S (2007) dalam skripsinya dengan judul “Hubungan antara dukungan sosial dengan aktualisasi diri pada remaja penyandang cacat tubuh’.

Dapat dilihat dari ke-tiga penelitian di atas belum pernah ada peneliti yang melakukan penelitian dengan tema “konsep striving for superiority pada siswa penyandang tunadaksa di sekolah inklusif islam”. Sehingga penulis tertarik untuk meneliti tema tersebut. Adapun perbedaan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada titik tekan yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2006) lebih menekankan pada aspek konsep diri penyandang tunadaksa dan tentang berpikir postitif dengan penyesuaian diri pada tunadaksa. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Novita (2007) lebih ditekankan pada aspek dukungan sosial dan kemandirian pada tunadaksa. demikian juga halnya dengan Arif (2007) yang juga menekankan pada aspek dukungan sosial dengan aktualisasi diri pada tunadaksa. Adapun penelitian yang penulis lakukan ini lebih menekankan pada usaha-usaha

(24)

(coping strategy) yang mungkin dilakukan oleh siswa penyandang tunadaksa dalam menutupi kekurang-kekurangan yang ada pada dirinya. Inilah yang menjadikan penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengeksplorasi secara mendalam mengenai bentuk-bentuk striving for superiority pada siswa penyandang tunadaksa yang menempuh pendidikan di sekolah inklusif islam.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan atau menghambat striving for superiority pada siswa penyandang tunadaksa yang menempuh pendidikan di sekolah inklusif islam.

D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi penyadang tunadaksa di sekolah inklusif

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyandang tunadaksa khususnya yang berada di sekolah inklusif, bahwa kekurang sempurnaan fisik bukanlah suatu alasan untuk tidak dapat maju, bangkit dan mandiri. Namun kekurang sempurnaan tersebut dapat dioptimalkan dengan berbagai macam cara, seperti mengoptimalkan berbagai potensi yang ada pada dirinya.

(25)

2. Bagi kepala sekolah sekolah inklusif islam

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan bagi kepala sekolah inklusif islam untuk selalu memperhatikan siswa-siswanya yang memiliki kelainan dan hendaknya selalu mengintruksikan kepada para guru-guru yang ada agar senantiasa memotivasi siswa-siswanya agar tetap semangat dan optimis dalam mensikapi kekurang sempurnaan yang ada pada siswa-siswanya.

3. Bagi orang tua siswa penyandang tunadaksa

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi informasi penting bagi para orang tua yang memiliki anak cacat secara fisik untuk selalu membimbing dan mendukung anak-anaknya untuk bisa berpikir yang positif dalam mensikapi kekurang sempurnaan fisiknya.

4. Bagi ilmuwan psikologi pendidikan

Diharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan psikologi pendidikan pada khususnya.

5. Bagi peneliti lain

Bagi peneliti lain yang tertarik ingin melakukan penelitian dengan tema yang sama, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan tambahan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP STRIVING FOR SUPERIORITY 1. Pengertian Striving For Superiority

Setiap manusia di sadari atau tidak pasti pernah merasa malu dan minder kepada orang lain baik yang berkaitan dengan koqnisinya maupun yang berkaitan dengan kondisi fisiknya. namun di balik itu semua manusia juga memiliki kecenderungan bangkit dan menutupi kekurangan yang ada pada dirinya tersebut. Sebagaimana yang diyakini oleh Adler (dalam Alwisol: 2007) bahwa setiap individu memulai kehidupan dengan kelemahan fisik yang mengaktifkan perasaan inferior, perasaan yang menggerakkan orang untuk berjuang menjadi superior. Individu yang secara psikologis kurang sehat berjuang untuk menjadi pribadi yang superior, dan individu yang secara psikologis sehat akan berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Inilah yang kemudian Adler sebut dengan istilah striving for superiority. Sudrajad (2008) meyakini bahwa striving for superiority ini merupakan suatu bentuk usaha yang digunakan untuk mengatasi perasaan inferioritas (rendah diri) pada diri seseorang yang selanjutnya akan menghasilkan perasaan aman dan nyaman tanpa kekhawatiran dan kecemasan. Phil (2008) menambahkan bahwa striving for superiority ini merupakan suatu dorongan untuk mengatasi inferiority dengan mencapai keunggulan. Dorongan ini merupakan daya penggerak yang kuat bagi individu sepanjang hidupnya. Dengan adanya striving for superiority menyebabkan manusia selalu berkembang ke arah kesempurnaan dan akan membuat seseorang memiliki pandangn lebih optimis dan

(27)

positif terhadap dirinya serta lebih berorientasi ke masa depan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Chaplain (1986) bahwa striving for superiority ini merupakan sumber kekuatan bagi manusia untuk berjuang demi masa depannya, bangkit dari keterpurukan yang menghantui kehidupannya tidak hanya sebatas cukup kuat dan cukup pintar namun bangkit untuk menjadi sempurna dengan menghilangkan segala sesuatu yang menjadi penghambat dan penghalang bagi mereka untuk sempurna.

Berdasarkan definisi dari tokoh-tokoh diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa konsep striving for superiority ini merupakan suatu bentuk usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mengatasi rasa malu, rendah diri dan perasaan kurang sempurna yang ada pada diri seserorang untuk dapat menjadi individu-individu yang sempurna dan mampu mengaktualisasikan potensi serta kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Striving for Superiority

Kehidupan manusia selalu dimotivasi oleh satu dorongan utama yaitu dorongan untuk mengatasi perasaan inferior menjadi superior. Alwisol (2007) mengatakan bahwa dorongan untuk mengatasi perasaan inferior dan menjadi superior ini akan ditentukan oleh pandangan mengenai masa depan seseorang serta tujuan dan harapannya, dan untuk mengatasi perasaan inferior dengan mencapai keunggulan (superior) ini dibutuhkan suatu keberanian diri untuk menghilangkan rasa takut dalam dirinya.

(28)

Keberanian diri untuk menghilangkan rasa takut tersebut tidak akan muncul begitu saja, namun ada beberapa hal yang dapat menstimulusnya agar bisa muncul pada diri seseorang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Santoso (2004) bahwa setidaknya ada 4 (empat) faktor utama yang dapat membangkitkan keberanian dalam diri seseorang tersebut, ke-empat faktor tersebut adalah:

a. Visi Hidup

Visi hidup merupakan sebuah keyakinan yang paling bernilai yang menjadi tujuan untuk diraih dalam kehidupan ini. Visi hidup yang jelas berdasarkan suara hati spiritual sebagai pusat makna tertinggi dalam hidup ini yang akan mendorong keberanian dan kebermaknaan hidup seseorang, yang berupa visi hidup untuk mencari keridhoan Allah semata, hidupnya, matinya dan segala sesuatu yang dilakukannya hanyalah untuk mengharapkan keridhoan-Nya. Pernyataan Santoso ini dikuatkan dengan firman Allah yang berbunyi:

Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, (QS. 6:162, dalam Hasbi, dkk: 1978)

Dengan visi hidup ini akan menjadikan seseorang tidak takut akan kegagalan dan akan menjadikannya sebagai individu yang memiliki keberanian yang tinggi dalam menjalani kehidupan ini, mengalahkan berbagai kelemahan dan hambatan dalam diri.

b. Keyakinan Hati

Keyakinan hati yang berupa keyakinan akan kemampuan diri dan potensi diri yang diiringi dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Ta’ala dapat melahirkan rasa yakin dalam diri seseorang. Karena dengan keimanan dan

(29)

ketaqwaan inilah seseorang akan ditinggikan dan dimuliakan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya yang lain. Pernyataan Santoso ini dikuatkan dengan firman Allah, sebagaimana yang telah Allah tegaskan dalam surat ke-58 ayat 11 bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman atas hamba-hamba-Nya yang lain.

“....Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...” (QS 58:11, dalam Hasbi, dkk:1978)

c. Rasa Percaya Diri.

Rasa percaya diri ini akan tumbuh dalam diri seseorang jika mampu menguasai diri sendiri, memahami diri, mengenali berbagai bakat dan kemampuan diri serta kompetensi yang ada pada dirinya. Pernyataan Santoso ini dikuatkan dengan firman Allah, Allah berfirman dalam surat al-Imran ayat 139 yang berbunyi:

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. 3:139, dalam Hasbi, dkk: 1978)

Imanlah yang akan mengangkat derajat seseorang, dengan keimanan seseorang tidak perlu takut dan merasa lemah dihadapan orang lain. Karena dengan keimanan ini Allah akan menjadikannya mulia dan tinggi dihadapan orang lain. Terlebih lagi Allah tidak membeda-bedakan antara hamba-hambanya karena adanya perbedaan ras, warna kulit, kecantikan dan ketampanannya.

Rasulullah SAW bersabda:

“sesungguhnya Allah tidak melihat kalian karena bentuk dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat hati dan perbuatan kalian”.(HR Mutafaq Alaihi, dalam An-Nawawi: 2006)

(30)

d. Semangat dan Ambisi

Semangat dan ambisi ini merupakan salah satu cara yang digunakan untuk meningkatkan keberanian dan motivasi hidup seseorang. Semangat dan ambisi hidup ini muncul karena adanya keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Selain itu semangat dan ambisi hidup ini juga disebabkan karena adanya jaminan dari Allah SWT yang berupa kemudahan dalam menjalani kehidupan ini jika mereka mau bertaqwa kepada-Nya. Pernyataan Santoso ini dikuatkan dengan firman Allah yang berbunyi:

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, (QS. 94:5, dalam Hasbi, dkk: 1978)

Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa striving for superiority ini tidak tiba-tiba tubuh dan muncul pada diri seseorang. Namun striving for superiority ini tumbuh karena ada suatu hal yang mempengaruhinya. Diantara hal-hal yang dapat mendorong munculnya keinginan untuk melakukan striving for superiority tersebut adalah visi hidup, keyakinan hati, rasa percaya diri serta semangat dan ambisi yang ada pada diri seseorang. Ke-empat hal inilah yang akan menumbuhkan keberanian diri untuk menghilangkan rasa takut dalam diri.

3. Bentuk-bentuk Striving for Superiority

Striving for superiority ini bukanlah hanya sebatas usaha yang digunakan untuk mengatasi rasa rendah diri (inferior) pada seseorang, namun striving for superiority ini merupakan awal dari kemajuan dan kebangkitan seseorang. Striving for superiority ini sendiri memiliki bentuk-bentuk yang khas

(31)

sebagaimana yang dikatakan oleh Adler (dalam Boeree; 2004) bahwa striving for superiority ini memiliki 2 (dua) bentuk pokok, kedua bentuk tersebut adalah: a. Kompensasi

Kompensasi merupakan sebuah istilah yang pertama kali perkenalkan oleh Alfred Adler seorang ahli optamologis dan psikiatri dari Wina. Sebagaimana yang dikatakan oleh Alwisol (2007) bahwa Alfred Adler pertama kali mengenalkan istilah kompensasi dalam hubungannya dengan perasaan inferior ini dalam bukunya yang berjudul “Study of Organ Inferiority and Its Physical Compensation” (1907), Adler mengatakan bahwa setiap individu mempunyai perasaan inferioritas, mereka mempunyai suatu tendensi alamiah untuk menyembunyikan perasaan ini. Untuk itu mereka mencari ekspersi yang tepat guna menutupi perasaan inferiornya tersebut. Dalam hal ini Boeree (2004) menjelaskan lebih lanjut bahwa kompensasi ini merupakan sebuah strategi yang digunakan untuk menutupi dan melindungi kelemahan dan ketidakmampuan yang ada dengan kemampuan-kemampuan yang lain. Menutupi atau melindungi kelemahan, frustasi, nafsu, merasa lemah atau tidak mampu dalam satu area kehidupan lewat sesuatu yang menyenangkan atau keahlian di area lain.

b. Komplek Superioritas

Selain mengenalkan istilah kompensasi di atas, Afred Adler juga mengenalkan istilah komplek superioritas dalam kaitannya dengan perasaan inferior pada seseorang.

Menurut Adler (dalam Boeree; 2004) komplek superioritas ini dilakukan untuk menutupi kelemahan dan keinferioran dengan cara berpura-pura memiliki

(32)

suatu kelebihan. Kompleks superioritas ini biasanya akan menjadikan seseorang menjadi diktator dan suka mengintimidasi orang lain sebagai wujud superiornya. Perasaan-perasaan komplek superioritas yang muncul ini biasanya seperti; kebutuhan kekuatan, keinginan berkuasa, tidak menghormati orang lain, biasanya dikombinasikan dengan kebutuhan prestise dan kepemilikan yang berujud sebagai kebutuhan mengontrol orang lain dan menolak perasaan lemah.

Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa striving for superiority ini dapat dilakukan melalui 2 (dua) bentuk, yaitu kompensasi dan komplek superiorritas. Kompensasi merupakan sebuah usaha yang digunakan untuk menutupi suatu kelemahan dan kekurangan yang ada pada dirinya dengan mencari kelebihan-kelebihannya dibidang yang sama dan atau kemampuan-kemampuan dibidang yang lain. Sedangkan komplek superioritas ini merupakan suatu usaha yang digunakan untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang ada dengan berpura-pura memiliki suatu kelebihan tertentu.

B. TUNADAKSA 1. Pengertian Tunadaksa

Istilah tunadaksa merupakan istilah yang tidak asing lagi, karena istilah ini cukup familier baik dalam bidang ilmu psikologi, kedokteran maupun pendidikan. Mangunsong (1998) mengatakan bahwa tunadaksa ini mempunyai pengertian yang luas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa tunadaksa atau cacat fisik ini merupakan suatu bentuk ketidakmampuan tubuh atau fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal. Namun secara spesifik tunadaksa ini dapat didefinisikan sebagai bentuk kelainan atau kecacatan pada

(33)

dan kecelakaan baik yang terjadi sebelum lahir, saat lahir dan sesudah kelahiran. Gangguan itu mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan pribadi. Meichati (dalam Purnarini: 2006) mengatakan bahwa seseorang dikatakan tunadaksa karena tidak berfungsinya anggota tubuh secara normal.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tunadaksa (cacat fisik) adalah ketidakmampuan seseorang dalam menjalankan aktivitas kesehariannya seperti orang pada umumnya dikarenakan adanya kelainan pada fungsi fisiknya yang bersifat menetap.

2. Klasifikasi Tunadaksa

Tunadaksa merupakan suatu tipe kelainan yang berpusat pada fisik yang tidak berfungsi sebagaimana semestinya. Namun ketidak berfungsinya fisik ini memiliki tipe yang berbeda-beda antara tunadaksa satu dengan yang lainnya. Berdasarkan pada tipe tunadaksa ini secara sederhana Mangunsong (1998) mengklasifikasikannya kedalam dua bagian, yaitu:

a. Anak tunadaksa yang tegolong bagian D (SLB D)

SLB D adalah anak yang menderita cacat polio atau yang lainya, sehingga mengalami ketidak normalan dalam fungsi tulang; otot-otot atau kerjasama fungsi otot-otot. Namun anak tipe SLB D ini memiliki kemampuan normal.

b. Anak tunadaksa yang tergolong bagian D 1 (SLB D1)

SLB D1 adalah anak yang menderita kecacatan sejak lahir, sehingga mengalami cacat jasmani karena tidak berfungsinya tulang, otot sendi dan

(34)

syaraf-syaraf. Anak tipe SLB D1 ini memiliki kemampuan intelegensi dibawah normal atau terbelakang.

Namun menurut Mangunsong (1998) jika tunadaksa ini dilihat dari sudut fa’ali nya maka tunadaksa tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu: a. Kelainan pada sistem serebral (cerebral system)

Penggolongan anak tunadaksa kedalam kelainan sistem serebral (cerebral) didasarkan pada letak penyebab kelainan yang terletak didalam sistem syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan pada sistem syaraf pusat mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial, karena otak dan sumsum tulang belakang merupakan pusat komputer dari aktivitas hidup manusia. Di dalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat kecerdasan, pusat motorik, pusat sensoris dan lain sebagainya. Kelompok kerusakan bagian otak ini disebut dengan cerebral palsy (CL).

Cerebral palsy ini dapat diklasifikasikan menurut: (1) Derajat kecacatan (2) Topografi anggota badan yang cacat dan (3) Fisiologi kelainan geraknya. 1. Penggolongan menurut derajat kecacatan.

Menurut derajat kecacatan ini tunadaksa dapat diglongkan menjadi tiga tipe, yaitu:

a. Golongan ringan; adalah mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat, berbicara tegas, dapat menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat hidup bersama-sama dengan anak normal lainnya, meskipun cacat tetapi tidak mengganggu kehidupan dan pendidikannya.

(35)

b. Golongan sedang: adalah mereka yang membutuhkan treatment/latihan khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri, golongan ini memerlukan alat-alat khusus untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu penyangga kaki, kruk/tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan pertolongan secara khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus dirinya sendiri.

c. Golongan berat: anak cerebral palsy golongan ini yang tetap membutuhkan perawatan dalam ambulasi, bicara, dan menolong dirinya sendiri, mereka tidak dapat hidup mandiri ditengah-tengah masyarakat. 2. Penggolongan menurut topografi

Dilihat dari topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh, Cerebrol palsy dapat digolongkan menjadi 6 (enam) golongan yaitu:

a. Monoplegia; hanya satu anggota gerak yang lumpuh misal kaki kiri sedang kaki kanan dan kedua tangannya normal.

b. Hemiplegia;, lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama, misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan kaki kiri. c. Paraplegia; lumpuh pada kedua tungkai kakinya.

d. Diplegia; lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri (paraplegia)

e. Triplegia; tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan kanan dan kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya lumpuh.

(36)

geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan kedua kakinya, quadriplegia disebutnya juga tetraplegia.

3. Penggolongan menurut fisiologi

Kelainan gerak dilihat dari segi letak kelainan di otak dan fungsi geraknya (motorik), anak cerebral palsy dibedakan atas:

a. Spastik; tipe spastik ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan atau kekakuan pada sebagian ataupun seluruh otot. Kekakuan itu timbul sewaktu akan digerakan sesuai dengan kehendak. Dalam keadaan ketergantungan emosional kekakuan atau kekejangan itu akan makin bertambah, sebaliknya dalam keadaan tenang, gejala itu menjadi berkurang. Pada umumnya, anak cerebrol palsy jenis spastik ini memiliki tingkat kecerdasan yang tidak terlalu rendah. Diantara mereka ada yang normal bahkan ada yang diatas normal.

b. Athetoid; pada tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya dapat digerakan dengan mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada sistem gerakan. Hampir semua gerakan terjadi diluar kontrol. Gerakan dimaksud adalah dengan tidak adanya kontrol dan koordinasi gerak. c. Ataxia; ciri khas tipe ini adalah seakan-akan kehilangan keseimbangan,

kekakuan memang tidak tampak tetapi mengalami kekakuan pada waktu berdiri atau berjalan. Gangguan utama pada tipe ini terletak pada sistem koordinasi dan pusat keseimbangan pada otak. Akibatnya, anak tuna tipe ini mengalami gangguan dalam hal koordinasi ruang dan ukuran, sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari: pada saat makan mulut terkatup

(37)

terlebih dahulu sebelum sendok berisi makanan sampai ujung mulut. d. Tremor; gejala yang tampak jelas pada tipe tremor adalah senantiasa

dijumpai adanya gerakan-gerakan kecil dan terus menerus berlangsung sehingga tampak seperti bentuk getaran-getaran. Gerakan itu dapat terjadi pada kepala, mata, tungkai dan bibir.

e. Rigid; pada tipe ini didapat kekakuan otot, tetapi tidak seperti pada tipe spastik, gerakannya tampak tidak ada keluwesan, gerakan mekanik lebih tampak.

f. Tipe Campuran; Pada tipe ini seorang anak menunjukan dua jenis ataupun lebih gejala tuna cerebral palsy sehingga akibatnya lebih berat bila dibandingkan dengan anak yang hanya memiliki satu jenis/tipe kecacatan.

b. Kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).

Penggolongan anak tunadaksa kedalam kelompok system otot dan rangka didasarkan pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan yaitu: kaki, tangan dan sendi, dan tulang belakang. Jenis-jenis kelainan sistem otak dan rangka ini antara lain meliputi:

1. Poliomylitis; penderita polio adalah mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil dan tenaganya melemah, peradangan akibat virus polio yang menyerang sumsum tulang belakang pada anak usia 2 (dua) tahun sampai 6 (enam) tahun.

2. Muscle Dystrophy; Anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot. Kelumpuhan pada penderita muscle dystrophy sifatnya progressif,

(38)

semakin hari semakin parah. Kondisi kelumpuhannya bersifat simetris yaitu pada kedua tangan atau kedua kaki saja, atau kedua tangan dan kedua kakinya.

Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian besar yaitu; kelainan pada sistem serebral (cerebral system) dan kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).

3. Penyebab Tunadaksa

Tunadaksa merupakan suatu tipe kelainan yang berpusat pada fisik yang tidak berfungsi sebagaimana semestinya. Namun ketidak berfungsinya fisik ini memiliki penyebab yang berbeda-beda antara tunadaksa satu dengan yang lainnya.

Menurut Mangunsong (1998) ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak hingga menjadi tunadaksa. Sebab-sebab tersebut adalah:

a. Sebab-sebab sebelum lahir (fase prenatal)

Pada fase ini kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan, kerusakan ini disebabkan oleh:

1. Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya, misalnya infeksi, syphilis, rubela, dan typhus abdominolis.

(39)

tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak. 3. Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi

sistem syarat pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.

4. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya ibu jatuh dan perutnya membentur yang cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi maka dapat merusak sistem syaraf pusat.

b. Sebab-sebab pada saat kelahiran (fase natal, peri natal)

Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antra lain:

1. Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu kecil sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen, kekurangan oksigen menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi, akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.

2. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.

3. Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun fungsinya.

c. Sebab-sebab setelah proses kelahiran (fase post natal)

(40)

1.Kecelakaan/trauma kepala, amputasi. 2. Infeksi penyakit yang menyerang otak. 3. Anoxia/hipoxia.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: sebab-sebab sebelum lahir (fase prenatal), sebab pada saat kelahiran (fase natal, peri natal), dan sebab-sebab setelah proses kelahiran (fase post natal).

C. SEKOLAH INKLUSIF ISLAM

1. Pengertian Sekolah Inklusif Islam

Seiring dengan gema kebangkitan pendidikan islam, pada tataran global berkembang tuntutan perlunya kesempatan pendidikan yang merata kepada semua manusia, tanpa membedakan kemampuan fisik (normal atau tuna), strata sosial, jender, dan latar belakang etnis, budaya dan agamanya.

Sekolah inklusif islam ini adalah perbaduan antara sekolah inklusif dan pendidikan islam. Secara harfiah sekolah inklusif merupakan sekolah yang di dalamnya terdapat siswa-siswa yang heterogen yang tidak membedakan antara normal atau cacat dan lain sebagainya. Sedangkan islam dalam pendidikan itu sendiri menurut Fattah (2005) adalah suatu proses membantu pertumbuhan dan perkembangan kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang melalui pelatihan segenap daya dan potensi (termasuk daya dzikir dan nalarnya) yang dilaksanakan sedemikian rupa sehingga nilai-nilai Islam tertanam dalam kepribadiannya dan melahirkan amal dan kebudayaan yang berorientasi kepada

(41)

dapat diaktualisasikan. Jadi secara sederhana sekolah inklusif islam ini dapat diartikan sebagai suatu model sekolah inklusif yang bernuansa islam.

Di sekolah inklusif islam ini para siswanya di samping anak-anak normal juga terdapat anak-anak berkelainan yang memiliki beragam kelainan/penyimpangan, baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologist. Sebagaimana yang dikatakan oleh Warsiki (2007) bahwa pendidikan inklusif ini adalah konsep pendidikan yang melibatkan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) atau "cacat" ke dalam sistem pendidikan reguler. Di dalam sekolah inklusif ini semua orang adalah bagian yang berharga apapun perbedaan mereka. Ini berarti bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidakmampuan mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa, agama atau gender, menyatu dalam komunitas sekolah yang sama. Fattah (2005) menambahkan bahwa sekolah inklusi mengakomodasi semua peserta didik tanpa mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik mereka dan kondisi lainnya. Ini berarti mencakup anak yang cacat dan berbakat, anak jalanan dan yang bekerja, anak dari penduduk terpencil dan nomadik (berpindah-pindah), anak dari kelompok minoritas bahasa, etnis atau budaya, dan anak dari kelompok atau wilayah yang termarjinalisasikan lainnya. Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan sarana yang sangat efektif untuk memberantas diskriminasi, menciptakan masyarakat yang hangat relasinya, membangun masyarakat inklusif, dan mensukseskan pendidikan untuk semua.

(42)

perkembangan dan kemajuan zaman. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tarsidi (2002) pengertian sekolah inklusif ini akan terus-menerus berkembang sejalan dengan semakin mendalamnya renungan orang terhadap praktek yang ada, dan sejalan dengan dilaksanakannya pendidikan inklusif dalam berbagai budaya dan konteks yang semakin luas. Bahkan pengertian sekolah inklusif ini harus terus berkembang jika sekolah inklusif ini ingin tetap menjadi jawaban yang riil dan berharga untuk mengatasi tantangan pendidikan dan hak asasi manusia.

Berdasarkan uraian definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sekolah inklusif islam adalah suatu model sekolah yang bernuansa islam baik dari segi lingkungan yang islami, guru dan siswa-siswa yang beragama islam. Dan di dalam sekolah ini terdapat siswa-siswa yang heterogen, karena selain siswa-siswa yang normal di dalam sekolah ini juga terdapat siswa-siswa yang berkelainan, seperti cacat tubuh, gifted, disleksia, disgrafia, dan lain sebagainya.

2. Latar Belakang Sekolah Inklusif

Dalam undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan

(43)

bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Aretha (2007) mengatakan bahwa dengan sekolah inklusif ini, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah. Sekolah inklusif ini diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sekolah inklusif ini dilatar belakangi oleh adanya suatu keyakinan bahwa pendidikan itu adalah hak semua anak tanpa terkecuali anak-anak penyandang cacat. Yaitu hak untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum tanpa adanya diskriminasi.

(44)

Sekolah inklusif sebagai sekolah formal ini bediri atas beberapa landasan. Baker (1995, dalam Stubbs: 2002) mengatakan bahwa penerapan sekolah inklusif ini memiliki 4 (empat) landasan, ke empat landasan tersebut adalah:

a. Landasan Filosofis

Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya.

Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika tersebut, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama dan disisi Allah mereka adalah sama, karena Allah tidak membeda-bedakan antara hamab-hamba-Nya yang cacat dengan yang

(45)

normal sebagaimana Allah tidak membeda-bedakan antara suku, bangsa dan budaya kecuali karena tingkat ketaqwaan mereka kepada Allah. Itulah yang akan membedakan mereka disisi Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh imam Ahmad:

“Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahwa Tuhanmu adalah satu dan Bapakmu adalah satu. Ketahuilah bahwasa bangsa Arab tidaklah lebih utama dari pada non-arab, dan non-arab tidaklah lebih utama dari pada orang arab, dan orang kulit merah tidaklah lebih utama dari pada orang kulit hitam, demikian sebaliknya orang kulit hitam tidaklah lebih utama dari pada orang kulit merah, kecuali karena ketaqwaan mereka....” (HR. Ahmad, dalam An-Nawawi: 2006)

b. Landasan Yuridis

Secara ringkas Stubbs (2002) memaparkan landasan yuridis dalam pendidikan inklusif ini, diantara landasan-landasan yuridis yang dipakai dalam perumusan pendidikan inklusif ini adalah:

1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 2. Konvensi PBB 1989 tentang Hak Anak 3. Konferensi Jomtien 1990

4. Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat Tahun 1993.

5. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994.

6. Konferensi Dakar tahun 2000. c. Landasan Pedagogis

Pada pasal 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang

(46)

demokratis dan bertanggungjawab. Melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.

d. Landasan Empiris

Baker (1995, dalam Stubbs: 2002) mengemukakan bahwa penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat.

Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada 4 (empat) hal yang dijadikan landasan berdirinya sekolah inklusif. Ke-empat landasan tersebut adalah; landasan filosofis, landasan yuridis, landasan pedagogis dan landasan empiris.

4. Pengaruh sekolah inklusif islam terhadap siswa penyandang tunadaksa Secara kodrati penyandang tunadaksa sama seperti orang normal pada umumnya, yaitu sebagi makhluk sosial yang saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya, ingin diterima secara utuh oleh masyarakat, serta

(47)

diperlakukan layak dan wajar baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat maupun dalam lingkungan sekolahnya. Hal ini disebabkan karena di dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan sekolah terdapat pandangan yang berbeda tentang penyandang tunadaksa tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Purnarini (2006) bahwa didalam lingkungan tersebut ada yang sudah mengerti dan dapat memahami akan kekurang sempurnaan mereka namun juga ada yang belum bisa menerima kehadiran mereka di lingkungannya. Kondisi yang demikian inilah yang dapat membuat para penyandang cacat merasa tidak percaya diri, rendah diri, tidak berguna, tidak nyaman, putus asa, tidak berharga dan kecemasan akan masa depan mereka.

Mappiare (1982) menambahkan bahwa suatu bentuk ketiadaan yang dimiliki oleh seseorang dapat menyebabkan seseorang tersebut diabaikan dan kurang diterima oleh kelompoknya, semakin banyak kekurangannnya akan semakin besar pula kemungkinannya untuk ditolak oleh teman-temannya. Dengan adanya penolakan-penolakan dari lingkungan penyandang cacat ini nantinya akan menjadikan mereka rendah diri dan memiliki konsep diri yang rendah. Hurlock (dalam Nasution: 2007) mengatakan bahwa anak yang memiliki konsep diri yang rendah akan mengembangkan penyesuain sosial yang kurang baik, mengalami perasaan yang tidak menentu, inferioritas, dan memiliki level harga diri yang rendah.

Setidaknya inilah dampak negatif yang mungkin akan muncul ketika anak-anak berkelainan tersebut di ikut sertakan dengan anak-anak-anak-anak yang normal dalam satu sekolah inklusif. Namun tidak selamanya sekolah inklusif ini berdapak

(48)

negatif terhadap siswa berkelainan, namun adakalanya sekolah inklusif ini justru memberikan dampak yang positif terhadap para penyandang cacat tersebut. Dampak positif dari adanya sekolah inklusif tersebut akan dipengaruhi oleh kualitas spiritual seorang siswa tunadaksa, sebagaimana yang dikatakan oleh Meichati (dalam, Purwati dan Lestari: 2002) bahwa kehidupan beragama akan memberikan bantuan moral dalam menghadapi krisis krisis serta menimbulkan sikap rela menerima keyataan yang ada. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. 3:139. dalam Hasbi, dkk:1978)

Diantara dampak-dampak positif dari sekolah inklusif ini adalah sebagaimana yang diutarakan oleh Aretha (2007) bahwa sekolah inklusif ini memberikan dampak positif baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan. Diantara dampak-dampak positifnya adalah; siswa belajar untuk dapat memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan adanya perbedaan individual. Selain itu anak berkelainan juga dapat belajar keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di lingkungan masyarakat karena sudah terbiasa hidup dilingkungan yang heterogen.

Nashih Ulwan (1999) menambahkan bahwa dengan membiasakan anak-anak cacat tersebut bergaul dengan orang lain baik dengan cara mengundang orang lain kerumahnya maupun dengan cara membawa anak-anak cacat tersebut berkunjung kerumah teman-temannya. Dengan cara pembiasaan ini, maka

(49)

perasaan minder pada diri penyandang cacat tersebut akan berkurang. Mereka akan memiliki sifat percaya diri dan akan selalu terdorong untuk dapat maju tanpa merasa takut dan malu kepada orang lain.

Manfaat sekolah inklusif ini tidak hanya dirasakan oleh siswa yang berkelainan saja, namun berdampak pula bagi masyarakat. Dampak yang paling esensial adalah sekolah inklusif mengajarkan nilai sosial yang berupa kesetaraan antar individu.

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sekolah inklusif ini berpengaruh terhadap kepribadian siswa penyandang tunadaksa. Pengaruh tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam; yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh positif ini akan muncul ketika siswa penyandang cacat tersebut mampu bersikap secara positif atas kekurang sempurnaan yang ada pada dirinya dan adanya diskriminasi lingkungan yang ditujukan kepadanya. Sementara itu pengaruh negatif ini akan muncul ketika siswa penyandang cacat tersebut tidak mampu melakukan kontrol diri terhadap tekanan yang berupa penolakan-penolakan yang datang dari lingkungannya.

D. PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan uraian-uraian diatas mendorong penulis untuk mengungkapkan pertanyaan penelitian:

1. Apa bentuk-bentuk striving for superiority pada siswa penyandang tunadaksa di sekolah inklusif islam?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses striving for superiority pada siswa penyandang tunadaksa di sekolah inklusif islam?

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Gejala Penelitian

Gejala penelitian yang menjadi fokus pembahasan dan hendak diungkap dalam penelitian ini adalah konsep striving for superiority pada siswa penyandang tunadaksa yang menempuh pendidikan di sekolah inklusif islam.

B. Definisi Operasional Gejala Penelitian

Definisi operasional gejala merupakan suatu batasan arti dari gejala atau konstrak yang merinci hal-hal yang dilakukan untuk mengukur gejala tersebut. Pada penelitian ini definisi gejalanya adalah:

1. Konsep striving for superiority

Konsep striving for superiority ini merupakan suatu dorongan untuk mengatasi rasa inferiority dengan mencapai keunggulan. Yaitu perasaan rendah diri dan kurang berharga yang dimiliki oleh penyandang tunadaksa untuk selanjutnya dirubah menjadi sesuatu yang lebih berharga, yakin akan kemampuan diri sendiri dan percaya diri.

Adapun alat ukur yang digunakan untuk mengungkap konsep striving for superiority tersebut adalah interview, observasi, SSCT, dan dokumentasi.

(51)

2. Siswa Penyandang Tunadaksa

Siswa penyandang tunadaksa adalah siswa yang mengidap kelainan atau kecacatan pada fisiknya yang tidak sesuai dengan orang-orang pada umumnya baik yang bersifat bawaan ataupun tidak. Adapun tipe tunadaksa dalam penelitian ini adalah anak tunadaksa namun memiliki kemampuan intelegensi yang normal.

3. Sekolah Inklusif Islam

Sekolah inklusif islam merupakan suatu bentuk sekolahan yang bernuansa islam yang didalamnya terdapat siswa-siswa yang heterogen, selain siswa normal disekolah inklusif ini juga terdapat siswa-siswa yang cacat/berkelainan.

C. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah siswa muslim penyandang tunadaksa yang sekolah disekolah inklusif, dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah populasi dan sampel pun memiliki arti yang berbeda dengan sampel dalam penelitian kuatitatif (Nasution,1988).

Selain itu, penentuan jumlah informan dalam penelitian kualitatif ini tidak ditentukan pada awal penelitian, tetapi pada waktu proses penelitian berjalan. Hal ini dilakukan karena penentuan jumlah informan bisa sedikit atau banyak tergantung pada pemilihan informannya dan keragaman fenomena yang diteliti (Nasution, 1988) sehingga apabila dalam rangkaian proses penelitian yang dilaksanakan nanti keterangan yang diberikan oleh informan sudah cukup dan

(52)

terwakili seluruh atau sebagian besar aspek yang ingin digali oleh peneliti maka jumlah informan akan segera di batasi.

Penentuan informan dalam penelitian ini diambil dengan cara purpossive sampling, yaitu pengambilan subyek berdasarkan ciri-ciri dan kriteria-kriteria tertentu. Kriteria tersebut meliputi:

1. Siswa tunadaksa yang sekolah di sekolah inklusif islam, 2. Usia 13-18 tahun.

Adapun alasan penulis menentukan karakteristik-karakteristik tersebut di atas adalah:

1. Siswa tunadaksa yang sekolah disekolah inklusif islam

Yaitu siswa-siswa cacat yang mengikuti pelajaran-pelajaran di sekolah inklusif yang bernuansa islam bersama dengan siswa-siswa yang tidak cacat. Alasan menggunakan subyek ini dikarenakan anak-anak cacat yang mengikuti program pendidikan di sekolah umum tersebut akan lebih mudah mengalami gangguan depresi bila dibandingkan dengan anak-anak cacat yang sekolah di tempat yang khusus untuk anak-anak cacat.

Hal ini dikarenakan di sekolah yang khusus anak cacat ini lingkungannya sudah terkondisikan, sehingga anak tidak akan merasa malu dengan kondisi fisiknya yang cacat.

(53)

2. Usia 13-18 Tahun

Penentuan kriteria subyek penelitian pada usia 13-18 tahun ini disebabkan karena usia tersebut merupakan masa remaja awal pada anak. Dan pada fase ini terdapat gejala-gejala yang disebut dengan negative phase.

Hurlock (dalam Mappiare: 1982) menguraikan cukup lengkap tentang gejala-gejala negative phase ini, diantaranya adalah:

a. Keinginan untuk menyendiri b. Kegelisahan

c. Pertentangan sosial d. Kepekaan perasaan e. Kurang percaya diri, dan

f. Mulai timbul minat pada lawan jenis

Dari beberapa gejala-gejala yang ada inilah yang menjadikan usia 13-18 tahun ini menjadi lebih menarik untuk diteliti, bagaimana seorang siswa yang cacat dapat menikmati sekolah dengan lingkungan yang tidak begitu mendukungnya dengan adanya kekurang sempurnaan pada dirinya tersebut.

(54)

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mengungkapkan permasalahan dalam penelitian ini antara lain:

1. Wawancara

Teknik wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara langsung yaitu penulis berhadapan langsung dengan informan serta mengajukan beberapa pertanyaan. Teknik ini dimaksudkan agar penulis dapat memperoleh data-data secara langsung dari informan. Agar data-data yang diperoleh sesuai dengan hasil wawancara, maka dalam kegiatan wawancara ini penulis memakai alat bantu berupa hand recorder, kaset dan buku guide wawancara. Adapun guide wawancara dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Table I Guide Wawancara

No/Code Faktor yang di ungkap Formulasi Pertanyaan

1a (01) BBSFS-1 1b (02) BBSFS-2 1c (03) BBSFS-3 1d (04) BBSFS-4 1e (05) BBSFS-5 1f (06) BBSFS-6 1g (07) 1) Bentuk-bentuk striving for superiority pada siswa muslim

penyandang tunadaksa di sekolah inklusif?

a. Apa yang membuat kamu tertarik untuk sekolah disini? (regurer vs khusus).

b. Bagaimana sikap guru-gurumu terhadapmu? c. Apakah kamu diperlakukan

sama dengan anak-anak normal lainya?

d. Teman-temanmu sendiri bagaimana dan sikap mereka terhadapmu seperti apa? e. Apakah teman-temanmu

sering mengejekmu dengan keadaanmu saat ini?

f. Apa yang kamu lakukan ketika teman-temamu mengejek dan

mengganggumu?

Gambar

Table I  Guide Wawancara
Table II  Skoring SSCT
Tabel III  Subjek Penelitian
Tabel IV  Informan Pendukung

Referensi

Dokumen terkait

berdampak terhadap ketersediaan database burung pada kawasan tersebut. Sehingga perlunya dilakukan penelitian burung di Kecamatan Singkil. Tujuan penelitian ini adalah

Terkait dengan hal tersebut diatas, setiap Sekolah Menengah Kejuruan wajib memiliki fasilitas atau prasarana berupa bengkel atau workshop yang sesuai dengan

pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang akan membantu pembuatan keputusan manajemen yang efektif oleh pengawas satuan pendidikan, memeriksa keefektifan pencapaian tujuan

Kontra bank garansi adalah jaminan yang diberikan penjamin (pihak asuransi yang sudah bekerjasama dengan Bank Jatim) secara penuh 100% kepada pihak penerima

Sifat kolektif kolegial yang diterapkan oleh komisioner KPU Kabupaten Sumbawa menjadikan orang – orang yang berada dalam internal KPU Kabupaten Sumbawa menjadi

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengambil setting di Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sukoharjo. Metode

Rencana Penarikan Dana dan Perkiraan Penerimaan yang tercantum dalam Halaman III DIPA diisi sesuai dengan rencana pelaksanaan kegiatan.. Tanggung jawab terhadap penggunaan anggaran

Permasalahan perencanaan jaringan logistik ini dapat dimodelkan sebagai masalah MIP (mixed integer programming). MIP adalah masalah optimisasi dengan fungsi objektif dan kendala