• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL KAJIAN AWAL

Dalam dokumen Disiapkan Oleh Agus Setyarso (Halaman 18-34)

A. Kajian terhadap sistem kelembagaan Kehutanan

1. Sistem tata-kepemerintahan kehutanan a. Kepemimpinan Kehutanan

i. Kepemimpinan politik yang transformasional dan akuntabel. Tantangan yang pertama kali dihadapi oleh Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan adalah melaksanakan transformasi kelembagaan dari sebelumnya

Kementerian kehutanan dan kementerian Negara Lingkungan Hidup, menjadi satu kementerian lingkungan hidup dan kehutanan. Transformasi ini dimandatkan oleh Presiden, bukan atas dasar aspirasi para pihak. Sejauh mana aspirasi para pihak kemudian diserap oleh kepemimpinan kehutanan, tiak dapat dilacak secara jelas. KLHK kemudian menyusun program

prioritas yang dibangun berdasar program prioritas Kabinet. Program prioritas ini disusun berbasis isu strategis yang dirasakan pada waktu itu. Dengan demikian kelembagaan KLHK mengikuti proses pengembangan isu menjadi program nasional prioritas bidang LHK. Bagaimana merespon akuntabilitas dan transparansi ketika memperagakan pelayanan publik, dan mengembangkan kehutanaan dalam skema kelestarian dan keberlanjutan, tidak dapat secara jelas rumusannya pada dokumen resmi yang

dikeluarkan oleh pemerintah.

ii. Kapasitas Kepemimpinan Kehutanan (dan lingkungan hidup) untuk mengembangkan visi sesuai dengan aspirasi para pihak dan mandat UU 41/1999, tidak juga secara jelas terlacak. Yang muncul adalah visi yang diturunkan dari Visi Pemerintah pada tahun 2014-2019, yang berbasis Nawacita. Nawacita adalah nilai-nilai yang dibawa oleh kepemimpinan Presiden. Dengan demikian, ketika Presiden tidak menempatkan kehutanan sebagai sektor unggulan, maka pegembangan tata-kepemerinthana juga menjadi terbatas pada tata-kepemerintahan kehutanan yang berada pada sektor non unggulan dan hanya menjadi sektor pendukung pada Pembangunan Nasional 2014-2018

b. Kebijakan yang koheren dan koordinatif

i. Telah dipaparkan bahwa terutama untuk urusan kehutanan yang dari aspek kawasannya saja meliputi lebih dari 50% luas daratan Indonesia, kebijakan yang koheren dan terkoordinasi menjadi kritikal. Kebijakan kehutanan memerlukan dukungan lintas sektor dan antar tingkat

pemerintahan. Kenyataannya adlaah bahwa posisi kehutanan lebih banyak mendkung kebijakan sektor alinnya, Misalnya pada sektor pertanian, sektor pariwisata, sektor industri, dan bidang infrastruktur pembangunan (jalan, waduk, jaringan listrik, dll). Dengan demikian pembangunan

kehutanan tidak dipersepsikan sebagai pembangunan yang ikut mengatur (to govern) pembangunan nasional tetapi sebagai posisi pendukung pembangunan bagi sektor lain. Dari aspek ini kemudian sering muncul keluhan bahwa kehutanan menghambat pembangunan bagi sektor lain

ii. Tentu untuk megurus kehutanan, intensifikasi proses-proses komunikasi dan koordinasi yang melibatkan sektor lain tidak banyak dilakukan. Pemanfaatan komunikasi dankoordinasi melalui Kementerian koordinasi dan lembaga kordinatif semisal Bappenas dan Kementerian Keuangan juga tidak banyak diinisiasi. Komunikasi dengan Presiden terlihat sangat baik sehingga mampu manjdikan kebijakan dan program Perhutanan Sosial (PS) dan TORA memperoleh dukungan dari sektor-sektor lain. Namun

demikian, dukungan sektor lain dalam bentuk program dan anggaran belum dapat dilacak hingga saat ini. Inisiatif kepemimpinan bidang kehutanan untuk menginisiasi komunikasi dan koordinasi dengan kementerian dan lembaga seperti Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UMKM, serta koordinasi dengan Pemerintah Provinsi, dipandang sebagai prasyarat minimal berjalannya tata-kepemerintahan kehutanan yang efektif

c. Desentralisasi kehutanan

i. Desentralisasi untuk urusan kehutanan hampir tidak dapat dihindari untuk mencapai tingkat efektivitas tata-kepemerintahan yang baik. Pada saat ini urusan kehutanan menjadi urusan pilihan bagi pemerintah provinsi dan hampir tidak ada urusan kehutanan yang dikelola oleh pemerintah Kabupaten/Kota kecuali Tahura. Posisi sebagai urusan pilihan menjadi kurang menguntungkan karena provinsi yang kaya hutan belum tentu mempunyai prioritas pembangunan bidang kehutanan. Ketika urusan kehutanan sudah ditetapkan posisinya oleh Provinsi, maka berlaku ketentuan konkurensi, yakni modulasi manajemen pemerintahan

kehutananbersama antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi. Hal ini juga belum banyak diinisiasi oleh KLHK. Beberapa Provinsi

mengambil inisitif untuk mengundang KLHK dan UPT nya untuk koordinasi dan sinergi program prioritas kehtuanan di daerah.

ii. Desentralisasi kehutanan yang sebenarnya terjadi ketika semua urusan danpengelolaan sumberdaya hutan danlingkungannya telah dilaksanakan (atau di-difusi-kan) oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Yang kemudian banyak terjadi adalah isu desentralisasi kewenangan oleh KPH, bukan desentralisasi atau difusi mengenai pelaksanaan tata-kelola dan pengelolaan kehutanan di tingkat tapak.

d. Kemitraan para pihak

Dilihat dari faktanya, tata-kepemerintahan kehutanan telah berada pasa posisi “open access”. Ini artinya semua sektor lain dapat melakukan pendekatan dan intervensi pada sektor kehutanan. Sektor kehutanan tidak lagi dapat berdiri

sebagai pilar tersendiri untuk bisa tegak, tetapi harus melakukan kemitraan dengan berbagai pihak. Interaksi multi-pihak menjadi kursial untuk merumuskan kembali identitas tata-kepemerintahan kehtuanan. Hal ini sudah banyak

dilakukanoleh KLHK. Namun demikian, kemitraan kehutanan dan lingkungan tidak berangkat dari satu sitem kemitraan kehutanan nasional, tetapi lebih nayk diselenggarakan oleh masing-masing Eselon I. Ada berbagai guus tugas di KLHK dan ada berbagai forum kehutanan di Provinsi, menunjukkan bukti bahwa kemitraan belum dilakukan secara sistemik. Kemitraan global dipandang kurang didasari oleh kepentingan nasional di bidang kehutanan, tetapi lebih banyak dilakukan sebagai komitmen pada berbagai konvensi dan ratifikasi internasional. Ratifikasi perubahan iklim, ratifikasi konservasi keanekaragaman hayati,

konvensi mengenai EU-FLEGT, kerjasama ASEAN bidang ekonomi dan FLEG serta Pengelolaan hutan lestari, misalnya, menunjukkan bukti pernyataan tersebut di atas.

e. Indeks tata-kelola kehutanan

UNDP menyelenggarakan penilaian terhadap tata-kepemerintahan kehutanan secara berkala melali indeks tata-kelola kehutanan (Forest Governance Index). UNDP menggunakan isu prooritas sebagai kriteria pada indeks tersebut. Pada Tahun 2014 UNDP menggunakan empat isu prioritas yakni: (i) kepastian

kawasan hutan, (ii) keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan, (iii) integritas dan transparansi pengelolaan hutan, serta (iv) kapasitas penegakan hukum. Keempat isu tersebut kemudian ditetapkan sebagai kriteria penilaian. Indikator-indikator pada masing-masing isu dirumuskan melalui proses konsultasi para pihak. Hasilnya disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Indikator penilaian tata-kelola hutan (UNDP, 2014)

Setelah penilaian dilakukan, diperoleh indeks tata-kelola hutan berdasarkan provinsi sampel sebagai berikut (Gambar 2)

Dapt disimak bahwa tidak ada satu provinsipun yang mampu mencapai lebih dari indeks 50 pada tatakelola hutan. Provinsi-provinsi yang kaya hutan belum tentu mempunyai indeks yang lebih baik daripada yang dipunyai oleh provinsi yang sumberdaya hutannya lebih sedikit. Ini menunjkkan adanya kebutuhan untuk mentransformasikan sistem tata-kepemerintahan kehutanan secara serius dari pusat ke daerah. Sebaliknya, daerahpun memerlukan perhatian dari Pusat untuk dapat secara konkuren memperbaiki indeks tatakelola hutan tersebut.

2. Sistem kelembagaan kehutanan

Disimak pada hasil kajuian terhadap tata-kepemerinthaan kehtuanan pada sub-bab seblumnya, jelas terlihat bahwa masalah kelembagaan kehutanan, di samping SDM/kepemimpinan, menjadi sorotan utama dan menjadi sangat krusial. Untuk itu kajian ini dilanjutkan dengan lebih fokus pada teme kelembagaan kehutanan

Analisis situasi kelembagaan Kehutanan. Analisis ini dilaukan denganmengikuti metoe yang dikembangakan oleh Guy Peters, 2000

(https://www.ihs.ac.at/publications/pol/pw_69.pdf Guy Peters, 2000. Institutional theory: Problems and Prospects)

1. Organisasi kehutanan, SDM, tupoksi, dan implementasi kebijakan

Kelembagaan palng kurang harus mengikuti mandat Undang-undang kehutanan 41/1999. Pada Undang-undang ini,

i. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu (UU 41/1999)

ii. Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:

a) menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;

b) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat

lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; c) meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;

d) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan

Faktanya adalah kelembagaan kehutanan dari dulu sampai sekarang selalu mempunyai karakter normatif, historikal, dan empirik

• Normative - Individu maupun kelompok melaksanakan fungsi di dalam lembaganya sebagaimana tupoksinya, dan bukan karena mereka akan memaksimumkan dampak dan manfaat misi pembangunan kehutanan • Historical - Argumennya adalah pilihan-pilihan ang diambil oleh individu

atau kelompok di dalam lembaga diambil berdasar kebiasaan masa lalu. Kelembagaan kehutanan yang diterapkan sangat bergantung pada kebiasaan pada waktu yang lalu

• Empirical - Individu dan kelompok di dalam kelembagaan kehutanan mempunyai pilihan untuk melakukan perubahan tetapi mereka memilih untuk diam untuk tidak menimbulkan gejolak akibat perubahan yang mungkin ditimbulkan

Dengan demikian kelembagaan kehutanan ditentukan oleh individu atau kelompok yang berada internal di dalam kelembagaan tersebut, bukan oleh pendapat obyektif dari pihak yang independen. Ketika kelembagaan

ditntukanoleh individu atau kelompok di internal kelembagaan, maka yang terjadi adalah kecenderungan untuk berada di zona nyaman, zona kompromi untuk kenyamanan kerja bersama.

Pada sisi yang lain, praksis perancangan kelembagaan kehutanan diatur melalui Peraturan Presiden yang menginduksi program prioritas Presiden (misalnya Nawacita pada periode 2014-2019). Program prioritas Presiden tidak selalu mengambil arus utama penyelenggaraan kehutanan pada UU 41/1999. Kelembagaan pemerintahan mewadahi strategi dan pergerakan manajemen publik. Namun, manajemen publik kehutanan Indonesia diatur menurut UU 23/2014 yagn berbasis manajemen kepemerintahan yang konkuren, atau co-management antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Ketika Presiden tidak menyebut kehutanan sebagai program prioritas, maka kelembagaan kehutanan manjadi limehakan hanya untuk melayani program-program yang ditetapkan oleh Presiden. Dengan kata lain, elembagaan kehutanan tidak atau kurang ditentukan oleh aspirasi sumberdaya hutan dan lingkungannya sebagaimana diamanatkan oleh UU 41/1999

Ketika fokus diambil untuk periode 2014-2019, maka kelembagaan kehutanan hanya diwarnai oleh kelambagaan di KLHK. Bahkan sebagian besar Provinsi mengambil warna KLHK sebagai acuan kelembagaan kehutanan di daerah. Pada konstelasi ini, kelembagaan KLHK dicirikan oleh tugas pokok dan fungsi sebagai berikut (Permen LHK 18/2015)

• KLHK periode 2014-2019 mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara (Permen LHK 18/2015). T idak disebutkan penugasan oleh UU 41/1999 untuk

menyelenggarakan kehutanan sebagai suatu sistem. Jadi pola pikir yang berkembang adalah membantu Presiden.

• Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan fungsi : a) perumusan dan penetapan kebijakan

b) pelaksanaan kebijakan

c) koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan

d) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan e) pelaksanaan penelitian, pengembangan, dan inovasi

f) pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia g) pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif

h) pembinaan dan pemberian dukungan administrasi i) pengelolaan barang milik/kekayaan negara

j) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan KLHK • Cakupan fungsi yang diemban oleh KLHK adalah

a. pemantapan kawasan hutan dan lingkungan hidup secara berkelanjutan,

b. pengelolaan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, c. peningkatan daya dukung daerah aliran sungai dan hutan lindung, d. pengelolaan hutan produksi lestari, peningkatan daya saing industri

primer hasil hutan,

e. peningkatan kualitas fungsi lingkungan, pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan,

f. pengendalian dampak perubahan iklim, g. pengendalian kebakaran hutan dan lahan, h. perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan,

i. serta penurunan gangguan, ancaman, dan pelanggaran hukum bidang lingkungan hidup dan kehutanan;

Fungsi kebijakan yang harus dipenuhi oleh KLHK, yang mencakup perencanaan strategis, penyusunan regulasi, dan penyusunan NSPK (norma, standar,

pedoman dan kriteria), Namun demikian tidak banyak dijumpai fungsi analisis kebijakan dan prediksi kebijakan ke depan. Fungsi-fungsi ini sudah banyak

ditransformasi ke dalam unit-unit kompetensi kerja SDM pejabat LHK, tetapi tidak banyak dilakukan uji kompetensi yang sesuai dengan aturan Undang-undang ketenagakerjaan.

• Fungsi Koordinasi, supervisi dan pemantauan kinerja: penyelenggaraan hubungan koordinatif lintas kementerian dan lintas unit yang berbeda tidak banyak dilakukan, barangali dengan asumsi masingmasing

kementerian/Lembaga telah mempunyai tugas pokom dan fungis

masingmasing sehingga seluruh program Presend sudah habis terbagi di dalam kelembagaan kementerian/lembaga. Pemantauan unit kerja yang ada dibawah hierarki-nya diseleggarakan melalui format pelaporan dan evaluasi. Namun demikian, fasilitasi dan menyelenggarakan kondisi pemungkin jenjang di bawahnya untuk berkinerja optimal masih belum berbasis kebutuhan spesifik, melainkan berbasis tipologi unit kerja yang kemudianmenghasilkan standar pemenuhan sarana-prasarana.

• Fungsi pelayanan publik di LHK mengikuti lingkup yang dibangun pada RPJMN, renstra, program dan kegiatan LHK. Sampai dengan saat ini engadaan barang dan jasa yang berasal dari sumberdaya hutan

diselenggarakan melalui skema perijinan. Baru pada tiga tahun terakhir diperkenalkan pengdaan barang dan jasa sumebrdaya hutan dan lingungan melalui mekanisme kerjasama dan pengelolaan wilayah

tertentu oleh kPH. Selebihnya, UPT menjadi pelaksana pengadan barang dan jasa melalui program prioritas misalnya perlindungan hutan,

konservasi, rehabilitasi lahan dan hutan, tata batas, pendidikan dan penyuluhan.

• BP2SDM menjadi motor pengambangan dan pegelolaan SDM di LHK. Fenomenal utnk dicatata bahwa BP2SDM menyelenggarakan

peningkatan kapasitas untuk ASN kehutanan (dan lingkungan hidup) terutama yagn mengkuti jalu fungsional (tenaga teknis kehutanan, penyuluh, polisi hutan, perencana, pengendali ekosistem hutan). BO2SDMK pernah menyelenggarakan pengambangan SDM untjk KPH tetapi kemudian terhenti. Serfikikasi profesi dilakukan terutama melalui LS tipe II atau LSP internal KLHK.

j. Fungsi regulator seperti penerbitan lisensi, sertifikasi, ijin, akreditasi, pengawasan, penyelesaian keberatan/komplain, dan audit keuangan telah dilaksnakan sepenuhnya oleh KLHK.

2. Kapasitas kelembagan untuk merespon lingkungan internal dan eksternal

KLHK menyusun tugas pokok dan funhgsi untuk setiap jenjang unit kerja mulai dari Diretur Jendral Atau Kepala Badan Atau Sekretariat Jendral, Direktur

atatu Kepala Pusat atau Kepala Biro, Sub-Direktorat atau Bagian, dan Seksi atau sub-Bagian. Respon dinamika internal diselesaikan melalui mekanisme dan format tugas pokom dan fungsi tersebut. Untuk merespon lingkungan

eksternal, harus melalui Menteri sebagai pengambil keputusan. Kecuali isu yang berkembang di lingkukan eksternal hanya sebatas isu teknis, maka yang Eselon I yang bersangkutan dapat memperikan respon. Ketika lingkungan eksternal memunculkan isu-isu politik dan kebijakan, seringkali tidak segera dapat ditanggapi oleh KLHK, kecuali isu yang telah diperintahkan oleh Presiden.

3. Identifikasi kekuatan dan peluang sistem kelembagaan kehutanan

Sistem kelembagaan kehutanan memang dirancang berbasis nilai-nilai dan kebijakna prioritas Presiden. Kekuatan kelembagaan kehutanan kemudian dibn=angun untuk menyelenggarakan tugas poko dan fungsi KLHK, dan ini menjadi kunci untuk mencapai kinerja kementerian. Bahkan

kelembagaankehutanan mampu menangkap isu-isu strategis, bai isu-isu untuk menjadipeluang program KLHK ke depan, maupun isu-siu yang mengancam program pririas Presiden di bidang kehutanan (Gambar3).

Peluangnya adalah bahwa kepemimpinan kehutanan selalu dapat menyampaikan perkembangan, perbaikan, bahkan reforma kelembagaan kehutanan kepada Presiden. Peluang itu sebenarnya dapat menjadi kunci bagi perbaikan kinerja tata-pemerintahan kehutanan, bukan sekedar kinerja KLHK.

Gambar 3. Fokus penyelenggaraan sistem kehutanan oleh Kelembagaan Kehutanan

Tantangannya adalah bahwa semua siu-isu strategis haruslah dapat diinternailasikan ke dalam sistem kehutanan. Dengan demikian sistem kehutanan harus menjadi fokus kinerja kelembagaan kehutanan. Bukan lagi kinerja kelembagaan kehutanan sekedar ditunjukkan oleh kinerja KLHK dalam memenuhi tugas pokok dan fungsinya.

Kelemahan kelembagaan KLHK adalah tidak menjadikan UU 41/1999 sebagai landasan merancang kelembagaan. UU 41/1999 mencakup kehutanan sebagai suatu sistem dan menjadi penting bahwa kinerja akhir yang harus ditampilakn adalah kinerja sistem kehutanan, bukan hanya sekedar kinerja KLHK. Ini berbarti bahwa KLHK harus mampu mengembalikan fokus pada kehtuanan sebagai sistem dengan 5 pilar penyelenggaraan kehutanan (kawasan hutan, adneka guna manfaat hutan, DAS, keberdayaan masyarakat, distribusi manfaat yang berkeadilan). Status kinerja sistem kehutanan yang diwakili oleh 5 pilar tersebut yagn harus dicari baseline-nya, dan kemudian ditetapkan status yang diharapkan kedepan (kembali pada Gambar 3)

5. Resume situasi kelembagaan kehutanan

i. Situasi kelembagaan kehutanan ditentukan oleh sistem dan praksis tata-kepemerintahan kehutanan. Kepemimpinan, koherensi dan koordinasi kebijakan, desentralisasi, dan kemitraan multi-pihak perlu dibenahi. Pada saat ini tata-kepemerintahan kehutanan kuarang menunjukkan potensi peran kehtuanan dengan panguasaan lebih dari 50% luas daratan sebagai sektor prioritas.

ii. Kelembagaan kehutanan semestinya tercermin di dalam kelembagaan KLHK. Namun Kelembagaan KLHK masih dirancang dengan warna normatif, historik, dan empirik. Tidak terjadi perubahan signifikan yang dapat dibangun dengan karakter kelembagaan seperti itu. Walhasil, indeks tatakelola hutan dinyatakan rendah oleh UNDP (2014)

iii. Fungsi-fungsi pelayanan publik seharusnya dapat lebih dikemukakan, dan bukan didominasi oleh fungsi pelaksanaan kebijakan prioritas dang ditetapkan dari Pusat. Klient kehutanan adalah publik dalam arti luas, sedangkan kelembagaan kehutanan melayani kepentingan publik melalui kelembaganayang efektif (mampu menimbulkan dampak) dan efisien (murah, cepat).

iv. Ada lima pilar pada sistem kehutanan yang mennjadi mandat untuk dipedomani (kawasa, aneka guna manfaat hutan, DAS, keberdayaan masyarakat, distribusi manfaat yang berkeadilan) . Ketika ini lepas dari pedoman, maka kelembagaan kehutanan itu tidak lagi melayani sistem kehutanan, tetapi melaksanakan petunjuk Presiden yang berbasis prioritas kebijakan dan tata-kepemerintahan kehutanan untk pelaksanaan kebijakan prioritas tersebut.

v. Efektivitas kelembagaan kehutanan ditunjukkanoleh kinerja dampak kebijakan, dan itu artinya pada tingkat implementasi di tapak. Oleh karena itu azas desentraliasi kelembagaan kehutanan menjadi penting untuk mesurjudkan kelemagaan kehutanan yang efektif.

B. Kajian terhadap konstelasi KPH pada sistem kelembagaan Kehutanan 1. Perspektif tata-kepemerintahan kehutanan terhadap KPH

a. Undang-undang Kehutanan 41/1999 yang kemudian diturunkan pada Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007 memuat perspektif yang jelas mengenai

keberadaan dan pentingnya KPH di dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungannya di tingkat tapak. Namun demikian, RPJMN dan Renstra 2014-2019 mengakar kepada tugas pokok dan fungsi masing-masing Eselon I di KLHK. Ketika cakupan fungsi KLHK tidak menempatkan KPH sebagai prioritas cakupan, maka perspektif tata-kepemerintahan kehutanan terhadap KPH tidak terlalu kuat. Kepemimpinan kehutanan memandang cakupan fungsi sebagaiman telah disebutkan dimuka (pemantapan kawasan hutan dan lingkungan hidup secara berkelanjutan, pengelolaan konservasi sumber daya alam dan

ekosistemnya, peningkatan daya dukung daerah aliran sungai dan hutan lindung, pengelolaan hutan produksi lestari, peningkatan daya saing industri primer hasil hutan, peningkatan kualitas fungsi lingkungan, pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, pengendalian dampak perubahan iklim, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan, serta penurunan gangguan, ancaman, dan pelanggaran hukum bidang lingkungan hidup dan kehutanan) maka terlihat KPH menjadi tidak fokus. Persoalan koherensi dan koordinasi menyangkut kebijakan KPh juga tidak terlihat signifikan di dalam KLHK, apalagi lintas sektor. Bahwa hampir semua cakupan fungsi tersebut dapat dilaksanakan oleh KPH di tingkat tapak, menjadi tidak jelas arahannya. Pendekatan KLHK kepada Pemerintah Provinsi untuk

desentralisasi KPH kurang terlihat efektif, dengan ditandainya komitmen yang masih sangat beragam mengenai pembangunan dan pengembangan KPH oleh Provinsi. Pada berbagai statement di forum-forum pertemuan mengenai isu kehutanan, terlihat bahwa kompetensi pejabat dalam hal KPH masih tidak sama. Pemahaman KPH di tingkat pemerintah provinsi lebih rendah lagi.

Dengan demikian, KPH hanya dipandang sebagai beban kelembagaan dan beban anggaran bagi sebagian besar Pemerintah Provinsi. KPH juga

kurangmemperoleh perhatian dalama hal kerjasama para pihak.

Pemerintah/KLHK masih kuat dalammempertahankan skema perijinan untuk semua bentuk pemanfaatan hutan.

b. Tanpa kehadiran KPH, maka kebijakan kehutanan tidak mempunyai

berkaitan dengan operasi kehutanan di tingkat tapak diselesaikan melalui skema perijinan, dan sebagian besar adalah perijinan pemanfaatan, bukan pengelolaan. Dengan kata lain, tidak ada skema pengellaan di tingkat tapak tanpa kehadiran KPH. KPH juga tidak ditampilkan sebagai bagian dari kinerja KLHK (Gambar 4)

c. Rencana Kehutanan tingkat nasional (RKTN) 2010-2030 menyebutkan sedikit mengenai KPH yakni “Untuk menjalankan seluruh target di atas dibangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) pada seluruh fungsi hutan dan seluruh kawasan hutan negara sebagai lembaga pengelola hutan di tingkat tapak. Pembangunan KPH ini diprioritaskan di provinsi yang pemerintah daerahnya telah siap dan berkomitmen membangun KPH dan pada wilayah yang

diprioritaskan sebagai lokasi penurunan emisi gas rumah kaca. Pada titik ini menjadi jelas bahwa KPH bukan menjadi arus utama pengelolaan hutan di tingkat tapak, dan hanya diprioritaskan pada sejumlah provinsi saja

Gambar 4. KPH tidak ditampilkan sebagai capaian kinerja KLHK

d. Tetapi, KPH dapat menjadi isu yagn seksi pada beberapa momentum. Diawali oleh kebijakan dari Bappenas yang berintikan prnsip “no KPH no budget”, KPH menjadi seksi bagi KLHK untuk mendapatkan porsi anggaran dari Bappenas. Terutama pada Direktorat Jenderal Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, dan pada Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KPH disebut secara kuat pada bagian Renstra Kementerian LHK yang menyangkut KPHL, KPHP, dan KPHK. Penyebutan di dalam renstra menjadi penting sebagai landasan pengajuan rencana kegiatan dan anggaran. Menjadi tidak konsisten ketika KLHK didalam Laporan Kinerja (2017) di satu sisi KPH tidak

dimunculkan sebagai capaian kinerja, tetapi pada bagian lain KPH selalu disebut sebagai indikator pembangunan Kehutanan sepanjang 5 tahun (Gambar 5.)

Dalam dokumen Disiapkan Oleh Agus Setyarso (Halaman 18-34)

Dokumen terkait