KAJIAN SISTEM KELEMBAGAAN
KEHUTANAN UNTUK MEMPERKUAT
KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN UNTUK
RPJMN 2020 – 2024 DAN MASTER PLAN
PEMBANGUNAN KEHUTANAN MENUJU
2045
Kajian Sistem Kelembagaan Kehutanan untuk
Memperkuat Kesatuan Pengelolaan Hutan Untuk
RPJMN 2020 – 2024 dan Master Plan
Pembangunan Kehutanan Menuju 2045
Disiapkan Oleh
Agus Setyarso
Didukung Oleh
USAID -Bangun Indonesia untuk Jaga Alam Demi Keberlanjutan (BIJAK) AIA Central, level 41, Jl. Jend. Sudirman Kav 48-A Karet Semanggi Jakarta Selatan 12930, DKI Jakarta – Indonesia.
Telp (021) 2253 5830
February, 2019
Pernyataan
Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan
Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah pendapat para penulis dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF ... iii
BAGIAN PERTAMA ...1
KAJIAN TENTANG SISTEM KELEMBAGAAN KEHUTANAN DAN POSISI KPH ...1
1. LATAR BELAKANG KAJIAN ...2
2. TUJUAN DAN RUANG LINGKUP...3
3. METODA ...3
4. HASIL KAJIAN AWAL ...7
BAGIAN KEDUA ... 22
USULAN RANCANGAN KELEMBAGAAN KEHUTANAN 2020-2024 DAN ARAH KELEMBAGAAN KEHUTANAN 2045 ... 22
1. STOCK TAKING DARI HASIL KAJIAN SEBELUMNYA (DELIVERABLE I) ... 23
a. HASIL KAJIAN MENGENAI SISTEM KELEMBAGAAN KEHUTANAN ... 23
b. KONSTELASI KPH PADA SISTEM KELEMBAGAAN KEHUTANAN ... 23
2. ANALISIS HISTORIS KELEMBAGAAN KEHUTANAN ... 25
a. PERSPEKTIF TUGAS DEPARTEMEN/KEMENTERIAN KEHUTANAN ... 25
b. FUNGSI ... 25
c. KOORDINASI LINTAS SEKTOR/KEMENTERIAN ... 26
d. KOORDINASI INTERNAL ... 26
e. STRUKTUR ORGANISASI ... 26
3. ANALISIS EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI KELEMBAGAAN KLHK ... 27
a. RINCIAN ANALISIS EFEKTIFITAS ... 29
4. PERANCANGAN KELEMBAGAAN KEHUTANAN 2020-2024... 35
a. KESENJANGAN YANG DITEMUKAN ... 35
b. TANTANGAN BAGI KELEMBAGAAN KEHUTANAN 2020-2024 ... 37
c. DISAIN KELEMBAGAAN KEHUTANAN YANG DIUSULKAN ... 38
5. ARAH KELEMBAGAAN KEHUTANAN 2045 ... 41
a. TANTANGAN MENJELANG 2045 ... 41
b. IMPLIKASI PADA KELEMBAGAAN KEHUTANAN 2045 ... 42
ANNEXES ... 43
ANNEX I. ANALISIS HISTORIK - PERSANDINGAN PERATURAN PERUNDANGAN KELEMBAGAAN KEHUTANAN ... 44
ANNEX II. ANALISIS EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI KELEMBAGAAN LHK... 64
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kegiatan utama pada kerangka ini adalah memfasilitasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dengan seorang tenaga ahli independen untuk melakukan kajian dan analisis mengenai Sistem Kelembagaan Kehutanan dalam rangka memperkuat kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Rekomendasi kajian akan menjadi latar belakang studi untuk:
- Menyusun RPJMN 2020-2024 dan akan menginformasikan kepada berbagai pemangku kepentingan dalam mendukung pengelolaan hutan Indonesia. - Menyusun re-design kelembagaan kehutanan dalam Master Plan Pembangunan
Hutan Indonesai Menuju 2045.
Selain itu, hasil kajian dan analisis ini diharapkan dapat menjadi landasan rekomendasi untuk memperkuat KPH, terkait dengan Sistem Kelembagaan Kehutanan ke depan. Merujuk pada tujuan tersebut, kajian dan analisis terpilah ke dalam dua bagian yang bertautan. Bagian Pertama memuat tema: “KAJIAN TENTANG SISTEM
KELEMBAGAAN KEHUTANAN DAN POSISI KPH”, sedangkan Bagian kedua
bertema: “USULAN RANCANGAN KELEMBAGAAN KEHUTANAN
2020-2024 DAN ARAH KELEMBAGAAN KEHUTANAN 2045”
Pada Bagian Pertama, kajian yang dilakukan bertujuan untuk menghadirkan landasan
akademik dalam menempatkan KPH sebagai motor penggerak sistem kehutanan dan lingkungan saat sekarang dan di masa mendatang. Ruang lingkup kajian difokuskan pada aspek kelembagaan, dengan alasan bahwa aspek kelembagaan menjadi pintu masuk untuk segala perubahan yang sistemik sebagaimana yang diperlukan pada sistem kehutanan InI adalah “desk research”, yang mengandalkan pada perjalanan olah fikir pelaksana kajian, ditambah dengan konfirmasi fakta dan kecenderungan yang dilakukan melalui wawancara, FGD, studi literatur, pada kerangka mimbar keilmuan sistem kelembagaan kehutanan. Desk researh dimulai dengan mengulas tentang tata-kepemerintahan (governence) di bidang kehutanan, efektivitas dan ketepatan kelembagaan kehutanan, ulasan tentang efisiensi dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemerintahan yang dihadapkan pada amanat Undang Undang dan program prioritas Presiden, serta possisi KPH di dalam setting kelembagaan kehutanan.
Bagian Pertama ini menghasilkan butir-butir simpulan sebagai berikut: Simpulan pada Sistem Kelembagaan Kehutanan:
1. Situasi kelembagaan kehutanan ditentukan oleh sistem dan praksis
tata-kepemerintahan kehutanan. Kepemimpinan, koherensi dan koordinasi kebijakan, desentralisasi, dan kemitraan multi-pihak perlu dibenahi. Pada saat ini
tata-kepemerintahan kehutanan kurang menunjukkan potensi peran kehtuanan dengan panguasaan lebih dari 50% luas daratan sebagai sektor prioritas.
2. Kelembagaan kehutanan semestinya tercermin di dalam kelembagaan KLHK. Namun Kelembagaan KLHK masih dirancang dengan warna normatif, historik, dan empirik. Tidak terjadi perubahan signifikan yang dapat dibangun dengan
karakter kelembagaan seperti itu. Walhasil, indeks tatakelola hutan dinyatakan rendah oleh UNDP (2014).
3. Fungsi-fungsi pelayanan publik seharusnya dapat lebih dikemukakan, dan bukan didominasi oleh fungsi pelaksanaan kebijakan prioritas dang ditetapkan dari Pusat. Klien kehutanan adalah publik dalam arti luas, sedangkan kelembagaan kehutanan melayani kepentingan publik melalui kelembagan yang efektif (mampu
menimbulkan dampak) dan efisien (murah, cepat).
4. Ada lima pilar pada penyelenggaraan sistem kehutanan yang menjadi mandat untuk dipedomani (keberadaan hutan dengan luasan cukup dan sebaran yang proporsional, optimalisasi aneka guna manfaat hutan, meningkatkan daya dukung DAS, meningkatkan kemampuan dan keberdayaan masyarakat, menjamin
distribusi manfaat yang berkeadilan) . Ketika ini lepas dari pedoman, maka kelembagaan kehutanan itu tidak lagi melayani sistem kehutanan, tetapi melaksanakan petunjuk Presiden yang berbasis prioritas kebijakan dan tata-kepemerintahan kehutanan untuk pelaksanaan kebijakan prioritas tersebut. 5. Efektivitas kelembagaan kehutanan ditunjukkan oleh kinerja dampak kebijakan,
dan itu artinya pada tingkat implementasi di tapak. Oleh karena itu azas desentraliasi kelembagaan kehutanan menjadi penting untuk mewujudkan kelembagaan kehutanan yang efektif.
Konstelasi KPH pada Sistem Kelembagaan Kehutanan
1. Undang-undang Kehutanan 41/1999 yang kemudian diturunkan pada Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007 memuat perspektif yang jelas mengenai keberadaan dan pentingnya KPH di dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungannya di tingkat tapak. Namun demikian, RPJMN dan RENSTRA 2014-2019 mengakar kepada tugas pokok dan fungsi masing-masing Eselon I di KLHK. Ketika cakupan fungsi KLHK tidak menempatkan KPH sebagai prioritas cakupan, maka perspektif tata pemerintahan kehutanan terhadap KPH tidak terlalu kuat.
2. Tanpa kehadiran KPH, maka kebijakan kehutanan tidak mempunyai kelembagaan pada tingkat pengelolaan hutan. Hampir semua peraturan yang berkaitan dengan operasi kehutanan di tingkat tapak diselesaikan melalui skema perijinan, dan sebagian besar adalah perijinan pemanfaatan, bukan pengelolaan. Dengan kata lain, tidak ada skema pengelolaan di tingkat tapak tanpa kehadiran KPH. KPH juga tidak ditampilkan sebagai bagian dari kinerja KLHK (Gambar 4)
3. Rencana Kehutanan tingkat nasional (RKTN) 2010-2030 menyebutkan sedikit mengenai KPH yakni “Untuk menjalankan seluruh target di atas dibangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) pada seluruh fungsi hutan dan seluruh kawasan hutan negara sebagai lembaga pengelola hutan di tingkat tapak.
Pembangunan KPH ini diprioritaskan di provinsi yang pemerintah daerahnya telah siap dan berkomitmen membangun KPH dan pada wilayah yang diprioritaskan sebagai lokasi penurunan emisi gas rumah kaca. Pada titik ini menjadi jelas bahwa KPH bukan menjadi arus utama pengelolaan hutan di tingkat tapak, dan hanya diprioritaskan pada sejumlah provinsi saja
4. Dari sisi legal, ruang KPH dipastikan pada Peraturan Pemerintah no 6/2007. Pada organisasi KLHK, ruang KPH dipecah menjadi 3 direktorat di 3 direktorat
jenderal. Direktorat KPHL ada di Ditjen BPDASHL, KPHK ada di bawah Direktorat Pengelolaan Kawasan Konservasi, dan Direktorat KPHP di bawah Ditjen PHPL mengurus KPHP.
5. Tidak begitu jelas koherensi dan koordinasi diantara ketiga direktorat tersebut maun pada level direktorat jenderal. Ini menunjukkan efisiensi kelembagaan yang rendah. Ditambah lagi, belum terbangun hubungan tata kerja fungsional antara KLHK dengan pemerintah Provinsi di daerah. KPH juga menerima perlakuan yang berbeda bergantung kepada inisiatif dan intensitas pemrograman dan
penganggaran di masing masing direktorat. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman dan komitmen kepemimpinan pada Direktorat Jenderal dan Direktorat yang bersangkutan.
6. Target yang ingin dicapai oleh KPHK adalah terbentuk dan beroperasinya sejumlah KPH. Beroperasinya KPH diindikasikan oleh keberadaan wilayah KPH, kelembagaan atau organisasi KPH, dan sarana-prasarana KPH. Indikator ini pada kenyataannya tidak mencukupi bagi KPH untuk beroperasi secara profesional dan mandiri. Variable lain seperti profesionalisme SDM KPH, Perencanaan KPH, penganggaran yang cukup untuk investasi publik atau penganggaran untuk biaya penyediaan kondisi pemungkin, serta instrumen peraturan yang bersifat insentif bagi KPH tetap diperlukan agar KPH mampu beroperasi secara profesional dan berkelanjutan
Pada Bagian Kedua, tujuan kajian adalah untuk menghadirkan usulan disain kelembagaan
kehutanan pada periode 2020-2024, serta untuk mengantarkan proyeksi kelembagaan kehutanan menjelenag 2045 (100 tahun Indonesia Merdeka).
Metoda kajian mencakup pembelajaran simpulan pada Bagian Pertama, analisis historik kelembagaan kehutanan, analisis efektivitas dan efisiensi kelembagaan KLHK (Kehutanan periode 2015-2019), perancangan kelembagaan kehutanan 2020-2024, serta arah
kelembagaan 2045.
Rancangan kelembagaan kehutanan yang diusulkan dibangun dari kesenjangan yang ditemui dan strategi untuk mengatasi kesenjangan yang prioritas atau mendesak. Butir-butir
kesenjangan yang ditemui pada kelembagaan kehutanan selama ini adalah sebagai berikut: 1. Tata Kelembagaan Kehutanan
Kelembagaan kehutanan kurang terfokus pada lima pilar pada penyelenggaraan sistem kehutanan yang menjadi mandat untuk dipedomani (keberadaan hutan dengan luasan cukup dan sebaran yang proporsional, optimalisasi aneka guna manfaat hutan, meningktkan daya dukung DAS, meningkatkan kemampuan dan keberdayaan masyarakat, menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan) . Ketika ini lepas dari pedoman, maka kelembagaan kehutanan itu tidak lagi melayani sistem kehutanan.
Efektivitas kelembagaan kehutanan semestinya ditunjukkan oleh kinerja dampak kebijakan, bukan berhenti pada hasil pelaksanaan kebijakan; dan itu artinya pada tingkat implementasi di tapak. Oleh karena itu azas desentraliasi kelembagaan kehutanan menjadi penting untuk mewujudkan kelembagaan kehutanan yang efektif.
2. Konstelasi KPH pada Kelembagaan Kehutanan
Azas desentralisasi kehutanan yang paling tepat adalah pada tataran difusi, yang berbarti peletakan kewenangan pengurusan dan pengelolaan sumberdaya hutan pada tingkat tapak. Konstruksi yang paling tepat untuk merespon itu adalah KPH. Tanpa kehadiran KPH, maka kebijakan kehutanan tidak mempunyai kelembagaan pada tingkat pengelolaan hutan. Hampir semua peraturan yang berkaitan dengan operasi kehutanan di tingkat tapak diselesaikan melalui skema perijinan, dan sebagian besar adalah perijinan pemanfaatan, bukan pengelolaan
3. Ruang Perubahan (Drivers for Change) Untuk Kelembagaan Kehutanan Analisis historis kelembagaan kehutanan menunjukkan bukti kuat bahwa tidak terjadi perubahan kelembagaan kehutanan selama ini. Nomenklatur boleh berbeda tetapi kandungan tugas, fungsi, dan bangun dasar struktur organisasi tidak beranjak dari sejak kehutanan diurus oleh lembaga setingkat departemen/ kementerian. Artinya, kelembagaan kehutanan telah menjadi artefak yang stabil selama puluhan tahun. Di sisi lain, kelembagaan kehutanan berada pada posisi instrumen, dan bukan tujuan pembangunan, pengurusan kehutanan, dan pengelolaan sumberaya hutan. Kelembagaan kehutanan harus berubah. Pertama, perlu pengembalian kelembagaan kehutanan untuk melayani
penyelenggaraan sistem kehutanan. Kehutanan merupakan sistem terbuka dan memiliki kompleksitas tertinggi di antara sektor yang ada. Oleh karena itu fungsi koordinasi dan sinergi lintas sektor maupun fungsi koordinasi dan sinkronisasi internal kementerian tidak dapat sedikitpun diabaikan.
Kedua, perubahan hanya dapat dilakukan melalui “agen perubahan”. Agen perubahan ini berada pada posisi untuk memobilisasi faktor-faktor yang memiliki kekuatan untuk merubah (antara lain mobilisasi visi dan misi, faktor regulasi, faktor kompetensi SDM, faktor kewenangan dan porto folio pemerintahan, faktor sumberdaya). Selama ini agen perubahan yang paling kuat pengaruhnya adalah Presiden, baru kemudian Menteri. Dengan demikian ruang perubahan sebenarnya tidak terlalu lebar, hanya berada pada dua agen yakni Presiden dan Menteri. Peluang dapat sedikit terbuka ketika lingkungan penasehat (advisory environment) Presiden dan Menteri dapat diakses dan dapat diberikan masukan.
4. Kesenjangan pada Efektivitas dan Efisiensi Lembaga Kehutanan
• Hampir seluruh kelembagaan pada Eselon I (teknis) kehilangan orientasi untuk penyelenggaraan sistem kehutanan, atau kehilangan (sebagian atau sebagian besar) relevansi dengan UU41/1999).
• Koherensi baik pada jejaring regulasi maupun tata hubungan kerja kurang dapat ditunjukkan oleh paparan tugas, fungsi dan struktur organisasi pada Eselon I (teknis). Koherensi antara pusat dan daerah tidak banyak dicakup oleh kelembagaan kementerian yang mengurusi kehutanan. Ruang manajemen kepemerintahan kehutanan yang konkuren antara pusat dan daerah,
sebagaimana dimandatkan oleh UU 23/2014, tidak banyak direfleksikan oleh setting kelembagaan di kementerian
• Untuk menghadapi penyelenggaraan sistem kehutanan yang kompleks, berbagai ruang terobosan dan kreativitas perlu disediakan pada setting kelembagaan kehutanan. Ruang terobosan hanya disediakan pada
kelembagaan Badan LBI, tetapi semestinya juga dilengkapi dengan arah makro terobosan agar tidak menyimpang dari fokus dukungan terhadap
penyelenggaraan sistem kehutanan.
• Penyelenggaraan sistem kehutanan selalui memerlukan internaksi dengan sektor lain dan para pihak pada umumnya. Komunikasi menjadi sangat vital terutama dalam efisiensi pemenuhan dampak kebijakan dan pelaksanaan kehutanan. Namun demikian, kelembagaan untuk mengelola komunikasi tidak tersedia. Maksimum yang tersedia pada beberapa kelembagaan Eselon I adalah pengelolaan informasi.
• Di samping komunikasi, kolaborasi selalu menjadi kebutuhan. Sistem
kehutanan mempunyai beban pelayanan publik terbesar, dan pelayanan untuk memenuhi kepentingan publik ini tidak dapat ditangani sendirian oleh
kelembagaan kehutanan. Faktanya, kolaborasi kurang dimunculkan pada setting kelembagaan yang ada. Maksimum yang tersedia adalah fungsi dan koponen struktur organisasi yang mengurusi kerjasama. Kolaborasi, adalah asosissi dengan pihak lainyang jauh lebih luas daripada kerjasama.
• Menyangkut kriteria kredibilitas lembaga, hal-hal berikut msih perlu dibenahi: (i) keterbukaan informasi dan keterlibatan para pihak untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan/kebijakan; (ii) terwujudnya dampak positif sebagai hasil kinerja kelembagaan; (iii) konsistensi pelayanan – yang
menyangkut standar kerja dan standar kompetensi SDM; (iv) terpenuhinya kebutuhan spesifik publik, terutama di daerah (pada lingkup KPH); dan (v) pemberian fasilitas para pihak (misalnya KPH) untuk berkreasi pada lingkup pemenuhan penyelenggaraan sistem kehutanan (NSPK yang luwes dan brsifat insentif bagi operator di tapak (KPH).
Tugas dan Fungsi pada Kelembagaan Kehutanan
Komponen utama kelembagaan terletak pada kandungan Tugas dan Fungsi. Diusulkan untuk mempertimbangkan muatan tugas dan fungsi sebagai berikut:
1. Tugas kementerian yang mengurusi bidang kehutanan
Kementerian yang mengurusi Kehutanan mempunyai tugas menyelenggarakan sistem kehutanan dan urusan pemerintahan di bidang kehutanan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pembangunan dan pemerintahan negara
2. Fungsi kementerian yang mengurusi bidang kehutanan
a. perumusan dan penetapan kebijakan penyelenggaraan sistem kehutanan b. perumusan dan penetapan kebijakan prioritas pembangunan nasional bidang
kehutanan
c. fasilitasi (komunikasi, koordinasi, sinkronisasi, pembinaan, kerjasama, jejaring) pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan sistem kehutanan dan prioritas
d. penguatan pendukung penyelenggaraan sistem kehutanan (informasi, SDM profesional, pendanaan, pengembangan strategi dan teknologi, sarana-prasarana, dukungan administrasi)
Bangun Dasar Struktur Organisasi Kehutanan 2020-2024
1. Organisasi kehutanan bersifat matriks, yang mengutamakan efektivitas dan
efisiensi fungsi di dalam melayani sistem kehutanan dan membantu Presiden untuk menjalankan kepemerintahan. Dengan demikian banhun struktur organisasi tidak dapat menerapkan tipe departemental dengan batas-batas kewenangan sebagai perangkat utamanya. Artinya, fungsi lebih diutamakan daripada kewenangan. Kewenangan berbasis fungsi kawasan hutan (konservasi, lindung, produksi) ditiadakan, tetapi memperjelas dan memperkuat fungsi konservasi – ekologi, perlindungan DAS, fungsi produksi-ekonomi kehutanan, dan fungsi peningkatan keberdayaan masyarakat
2. Pelayanan terhadap penyelenggaraan sistem kehutanan diwujudkan dengan merumuskan visi dan misi pemerintahan bidang (sektor) kehutanan berdasar sistem kehutanan, dengan memperhatikan fokus kepemerintahan 2020-2024. 3. Koherensi dalam aspek regulasi, kebijakan, program, pembangkitan dukungan, dan
tata pelaksanaan operasionalisasi sistem kehutanan dikawal Oleh Sekretariat Jenderal
4. Peningkatan fungsi DAS secara tegas disebut pada salah satu komponen penyelenggaraan sistem kehutanan
5. Ada lima fokus yang mendesak dan atau menjadi prasyarat keberlanjutan
pembangunan. Kelima fokus tersebut diperlakukan sebagai kebijakan arus utama (streamlined policies). Setiap fokus yang streamlined dikoordinasikan dan disinkronisasikan oleh salah satu Eselon I, tetapi implementasi kebijakan dan programnya berada pada setiap Eselon I teknis.Kelima fokus tersebut adalah: a. Fokus pengembangan ekonomi kehutanan (untuk menghadapi kepanjangan
ketegangan ekonomi global)
b. Fokus peningkatan keberdayaan masyarakat hutan (bekerjasama dengan sistem kepemerintahan dan pengembangan ekonomi lokal berbasis desa) c. Fokus pelayanan kehutanan pada pengendalian perubahan iklim
d. Fokus fungsi konservasi dan ekologi
e. Fokus desentralisasi kehutanan melalui kerangka KPH Bangun Struktur yang Diusulkan
1. Struktur Utama a. Menteri
b. Sekretariat Jenderal yang membidangi pengawalan koordinasi dan sinkronisasi penyelenggaran sistem kehutanan, serta penyelenggaraan dukungan
c. Eselon I Teknis yang membidangi pengawalan keberadaan hutan dan perencanaan penyelenggaraan sistem kehutanan
d. Eselon I Teknis yang membidangi peningkatan fungsi/kinerja DAS e. Eselon I Teknis yang membidangi aneka guna manfaat kehutanan pada
kerangka ekonomi kehutanan yang tangguh, lestari dan berkelanjutan
f. Eselon I Teknis yang membidangi pengelolaan dan pengembangan konservasi-ekologi
g. Eselon I Teknis yang membidangi keberdayaan masyarakat dan distribusi manfaat kehutanan
h. Eselon I Teknis yang membidangi operasionalisasi sistem kehutanan melalui kerangka KPH
2. Struktur Pendukung
a. Inspektorat yang mengawal kelancaran penyelenggaraan sistem kehutanan b. Eselon I Pendukung untuk pemenuhan SDM kehutanan profesional
c. Eselon I Pendukung untuk pengembangan pengelolaan dan manfaat kehutanan d. Eselon I Pendukung untuk pelayanan fungsi penasehat sistem kehutanan
(forestry advisory board) Arah Kelembagaan Kehutanan 2045
Arah kelembagaan kehutanan menjelang 2045 didasarkan atas proyeksi dinamika situasi, yang banyak ditandai oleh terjadinya reforma politik pemerintahan, lahirnya generasi baru pada bidang perekonmian dan industri, bergantinya pola penggunaan energi yang bersandar pada energi listrik terbarukan, dampak perubahan iklim, dan keniscayaan bahwa kehutanan diproyeksikan sebagai sektor mewah yang diperbutkan sebagai penyangga sistem baru pada kehidupan manusia, maka direkomendasikan arah kelembagaan kehutanan 2045 sebagai berikut:
a. Kelembagaan Kehutanan diarahkan untuk menyumbang energi terbarukan – terutama untuk penyediaan listrik
b. Kelembagaan Kehutanan diarahkan untuk memainkan sumber kemakmuran baru bagi bangsa Indonesia, pada konstelasi dan dinamika ekonomi global c. Kelembagaan kehutanan adalah individu, kelompok dan jejaring kerja,
berbasis Individual human resource performance
d. Kelembagaan kehutanan harus melayani pemahaman baru mengenai kelestarian sumberdaya alam dan keberlanjutan pembangunan. Kelestarian dan keberlanjutan mengarah pada Dynamic, non-linear path for sustainability – real time checking untuk penilaian kelestarian dan keberlanjutan
e. Kelembagaan kehutanan mejadi penyangga stabilisasi gejolak dan kejutan alam maupun kejutan dari dinamika politik dan ekonomi global
f. Kelembagaan kehutanan dan KPH menerapkan virtual networking dan berbasis real time cooperation. Kelembagaan kehutanan sangat lentur untuk bekerja bersama siapapun.
g. Kelembagaan kehutanan berada pada E-span of control, E-based institution h. Automated decision-making processes, tetapi masih menggunakan formalitas
keputusan oleh yang berwenang
i. Kelembagaan politik menjadi satu dengan kelembagaan birokratik dan menjadi satu dengan kelembagaan management kehutanan
Konstelasi KPH pada kelembagaan kehutanan 2045
1. span of control menjadikan kelembagaan KPH menjadi lembaga green E-hypermart berbasis operasi ekonomi hijau lestari pada spesifikasi lansekap 2. Kelembagaan KPH diarahkan untuk pelayanan IT dan DT pada pelayanan
surprising, creative products and services – flex management and businesses Tidak ada lagi desa di dalam dan sekitar hutan yang kehidupan masyarakatnya tidak cerdas pada 2045. Smart livelihood mencirikan kinerja KPH. Mesin-mesin kehutanan berbasis listrik diciptakan di desa, dan menjadi modal penting bagi ekonomi berbasis desa. Peran ekonomi urban tinggal 30 persen
3. Kelembagaan kehutanan dan KPH telah menggunakan Robotic Management Information System/MIS dan Management Control System/MCS
BAGIAN PERTAMA
KAJIAN TENTANG SISTEM
KELEMBAGAAN KEHUTANAN
DAN POSISI KPH
1. LATAR BELAKANG KAJIAN
Kajian ini menyangkut akan kebutuhan awal bagi penyusunan disain tata kelola
(Governance) dalam mengurus dan mengelola sumberdaya hutan dan lingkungannya di Indonesia. Isu yang muncul pada permukaan adalah terus menurunnya kondisi sumberdaya hutan terutama hutan alam, terus bertambahnya masalah tenurial atau sosial, tidak
terselesaikannya masalah “open access” kawasan hutan, bahkan PIPIB sebagai instrumen moratorium pemanfaatan hutan alam dan lahan gambut terus diperpanjang. Pada sisi lain muncul dorongan yang terus menguat untuk makin mengedepankan peran masyarakat, dan bentuk pengelolaan di tingkat tapak pada kerangka KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) terus dibangun. Ancaman terhdap sumberdaya hutan dan lingkungannya secara latent masih dijumpai secara nyata, antara lain kebakaran hutan dan lahan serta penebangan liar dan penyelundupan hasil-hasil hutan lainnya.
Ada satu hal yang menjadi mindset selama ini, yang dibangun semenjak diundangkannya UU 5/1976 Tentang Pokok Pokok Kehutanan dan tidak atau belum berubah juga meskipun sudah diganti dengan UU 41/1999 Tentang Kehutanan. Mindset yang membudaya tergiring pada kawasan hutan kayu konservasi dan perlindungan. Ukuran luas dan meterkubik tidak pernah lepas dari ukuran kinerja. Tatakelola kehutanan diterjemahkan pada pengurusan hutan. Artinya, pemerintah secara konvensional sangat mengutamakan produk regulasi. Implementsi regulasi diserahkan kepada operator ekonomi yang didominasi oleh
pemegang ijin. Maka jadilah rejim “perijinan” sebagai panutan bagi pemerintah seolah tak ada rejim lain yang menjadi alternatif. Pada posisi seperti ini Pemerintah selalu berasumsi semua masalah dapat diselesaikan dengan regulasi.
Kemudian muncul pembangunan KPH, setelah sekian puluh tahun tidak ada beritanya. Konsep KPH, sesuai dengan nafas atau ruh perundnagan yang berlaku sejak 1967, adalah konsep eksekusi atau operasi kehutanan di tingkat tapak, dengan kemasan bahwa KPH adalah pemegang mandat pengelolaan hutan. Ketika KPH ada dan beroperasi secara profesional, maka KPH manjadi satuan implementsi peraturan perundangan dan program nasional kehutanan, dan penjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya hutan secara berkeadilan. Banyak terjadi kejutan mental. Lebih banyak orang yang menaynyakan mengapa perlu KPH, dan bukan bagaimana KPH dapat beroperasi. Sudah ada skema ijin kenapa harus ada skema KPH? Bukannya ini menjadi tambahan birokrasi baru? Rupanya sudah tertanam budaya bahwa ijin adalah bentuk pengelolaan hutan. Padahal sebagian ijin yang dikeluarkan adalah ijin usaha pemanfaatan hasil hutan, bukan ijin pengelolaaan hutan. Mereka lebih bertanya soal seperti itu daripada bertanya siapa yang sebenarnya mengelola hutan di tingkat tapak, melaksanakan pengelolaan DAS di kawasan hutan, mengelola fungsi lindung, mengelola kawasan konservasi.
Menempatkan KPH di dalam sistem yang sedah berpuluh tahun berkembang dengan skema perijinan menjadi tidak mudah. Ini memerlukan perubahan paradigma, perubahan pola pikir, bahkan perubahan budaya dalam menangani sumberdaya kehutanan dan
2. TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Kajian ini dilakukan bertujuan untuk menghadirkan landasan akademik dalam
menempatkan KPH sebagai motor penggerak sistem kehutanan dan lingkungan saat sekarang dan di masa mendatang
Ruang lingkup kajian difokuskan pada aspek kelembagaan, dengan alasan bahwa aspek kelembagaan menjadi pintu masuk untuk segala perubahan yang sistemik sebagaimana yang diperlukan pada sistem kehutanan
3. METODA
InI adalah “desk research”, yang mengandalkan pada perjalanan olah fikir pelaksana kajian, ditambah dengan konfirmasi fakta dan kecenderungan yang dilakukan melalui wawancara, FGD, studi literatur, pada kerangka mimbar keilmuan sistem kelembagaan kehutanan. Desk researh dimulai dengan mengulas tentang tata-kepemerintahan (governence) di bidang kehutanan, efektivitas dan ketepatan kelembagaan kehutanan, ulasan tentang efisiensi dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemerintahan yang dihadapkan pada amanta Undang Undang dan program prioritas Presiden, serta possisi KPH di dalam setting kelembagaan kehutanan.
a. Tata-kepemerintahan
Tata-kepemerintahan kehutanan di tingkat nasional dapat dimengerti melalui praksis kekuasaan dan kewenangan pada aspek ekonomi, lingkungan, dan politik untuk mengelola urusan kehutanan pada berbagai tingkatan, melalui instrumen mekanisme atau regulasi, proses atau aliran rencana sampai dengan pelaksanaan kegiatan, dan tata kelembagaan yang menyangkut organisasi, hubungan tata kerja dan SDM atau aktor pelaksana
(
https://www.un.org/development/desa/dpad/wp-content/uploads/sites/45/publication/2015wess_ch6_en.pdf)
Tata-kepemerintahan kehutanan yang baik mengikuti kaidah pada good-governance, yang dapat tersususn atas kriteria penegakan hukum dan aturan, kelembagaan yang efektif, transparansi dan akuntabilitas di dalam pengelolaan pelayanan publik di bidang kehutanan, penghormatan terhadap hak azasi manusia, dan inklusi para pihak dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut kepentingannya.
Struktur tata-kepemerintahan yang efektif haruslah menjadi landasan untuk implementasi kebijakan. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada pengembangan dan implementasi kebijakan, antara lain kepemimpinan, koherensi dan koordinasi kebijakan, informasi dan komunikasi, desentralisasi pelaksanaan kebijakan, serta kemitraan dengan berbagai pihak baik sektor publik maupun pihak-pihak pada sektor privat.
Kepemimpinan politik yang transformasional dan akuntabel, yang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi para pihak, menjadi faktor kritikal utama. Kepemimpianan yagn transformasional dan akuntabel dapat membangkitkan tata-kepemerintahan yang baik, membangun kelembagaan yang handal, memperbaiki akuntabilitas dan transparansi ketika memperagakan pelayanan publik, membangun stabilitas, serta melakukan pengembangan yang berkelanjutan.
Kepemimpinan yang visioner yang kemudian mampu mentransformasikan visi nasional ke dalam strategi pembangunan, mampu memobilisasi sumberdaya dan kemitraan lintas sektor baik pemenrintah maupun sektro swasta. Dia juga mampu melaukan fasilitasi untuk koordinasi dan koherensi kebijakan, serta meyakinkan bahwa semua kegiatan pada bidang urusannya dapat disinergikan untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional
Koordinasi dan koherensi Kebijakan
Terutama untuk urusan kehutanan yang dari aspek kawasannya saja meliputi lebih dari 50% luas daratan Indinesia, kebijakan yang koheren dan terkoordinasi manjadi kritikal. Kebijakan yang koheren memerlukan dukungan sistemik untuk implementasi kebijakan lintas sektor dan antar tngkatan pemerintahan, dan memerlukan
pembangkitan sinergi dalam mencapai tujuan pembangunan kehutanan. Pada sisi yang lain hal ini dapat diinterpretasikan sebagai intensifikasi proses-proses komunikasi dan pengambilan keputusan yagn melibatkan dukungan lintas sektor dan antar tingkat pemerintahan. Koordinasi diantara keenterian/lembaga negara, serta melengkapinya dengan program dan anggaran seringkali menjadi tantangan yang tidak mudah diatasi. Inisiatif kepemimpinan bdang kehutanan untuk menginisiasi komunikasi dan koordinasi dengan kementerian dan lembaga seperti Bappenas, Kementerian Keuangan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UMKM, serta koordinasi dengan Pemerintah Provinsi, dipandang sebagai prasyarat minimal berjalannya tata-kepemerintahan kehutanan yang efektif
Pemerintah daerah dan desentralisaai
Desentralisasi untuk urusan kehutanan hampir tidak dapat dihindari untuk mencapai tingkat efektivitas tata-kepemerintahan yang baik. Desentralisasi bidang kehutanan mendekatkan pelayanan publik urusan kehutanan kepada konstituen di lapangan. Di smaping itu, desentralisasi kehutanan memaksa sektor kehutanan untuk menjalankan tata-kepemerintahan secara lebih akuntable, karena kontrol sosial menjadi lebih intensif.
Kemitraan multi-pihak
Mewujudkan kemitraan dengan aktor-aktor non-pemerintah baik di tngkat nasional maupun di Provinsi adalah krusial dan sangat menentukan apakah pembangunan kehutanan dapat mencapai kelestarian maupun keberlanjutan atau tidak. Namun demikian, kemitraan semcam ini selalu menerlukan pendanaan ang cukup besar yang sering mengganggu intersitas hubungan. Oleh karena itu perlu dibuka dan
dengan kepentingan global, misalnya kepentingan untuk pengendalian perlubahan iklim dan kepentingan untuk pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs). Beberapa SDGs terkait lingkungan dapat dikontribusikan secara langsung oleh sektor kehutanan, dan beberapa lagi semisal kemiskinan, gender, dan pendidikan atau
pencerdasan kehidupan masyarakat dapat dimanfaatkan untuk kerjasama internasional bidangkehutanan, bersama-sama dengan bidang lainnya.
Keempat faktor diatas, yakni kepemimpinan yang akuntabel, koherensi dan koordinasi kebijakan, desentralisasi, serta kemitraan para pihak, haruslah dapat dikemas di dalam satu kerangka kelembagaan yang tunggal. Beberapa fenomena kelembagaan untuk pencapaian pembangunan kehutanan lestari dan berkelanjutan adalah sebagai berikut (mengambil pelajaran dari UNDP (2015):
Pertama, peran tata-kepemerintahan melalui kelembagaan yang efektif menjadi kunci untuk menjamin bahwa pelayanan publik bidang kehutanan dapat berjalan sesuai dengan kerangka kelestarian dan keberlanjutan pembangunan. Banyak ragam dalam mendisain kelembagaan, tetapi untuk urusan kehutanan, prinsip kelestarian dan keberlanjutan haruslah diletakkan sebagai fndasi pertama dan utama, sebelum bangun kelembagaan dirancang.
Kedua, kembali kepada kepemimpinan politik bidang kehutanan yagn responsif dan bertanggung jawab. Ini terkonstruksi pada komitmen nyata dalam mengawal kemauan politik untuk pembangunan kehutanan sesuai yang diamanatkan di dalam UU 41/1999. Visi kepemimpinan kehutanan harus dimulai dari ruh undang-undang ini, atau undang undang yang baru ketika undang-undang Kehutanan 41/1999 diganti.
Ketiga, koordinasi kebijakan dan strategi di tingkat nasional dan koherensinya pada semua tingkatan kepemerintahan. Hal ini juga berarti bahwa politik dan kebijakan kehutanan mampu diarusutamakan pada setiap sektor yang terkait kehutanan.
Keempat, ada banyak bukti bahwa ketidak hdiran kompetensi dan kapasitas di tingkat nasional maupun di Provinsi, terutama di dalam menjalankan fungsi kelembagaan guna mengantarkan pelayanan publik, serta kemampuan mobilisasi pendanaan sampai ke tingkat tapak, menyebabkan kegagaln pencapaian tujuan pembangunan kehutanan lestari dan berkeleanjutan
Kelima, keitraan multi-pihak secara luas dan sampai ke tingkat global tanpa meninggalkan karakter nasional dan lokal, mempunyai peran nyata pada kinerja pembangunan. Artinya, kelembagaan kehutanan yang dibangun haruslah mengandung kekuatan untuk membangkitkan kemitraan multi pihak ini.
Keenam, adanya jaminan bahwa sistem pemantauan dan evaluasi pembangunan berjalan secara sistemik dan objektif. Bahwa pembangunan kehutanan lestari dan berkelanjutan tidak hanya diukur dari luaran (output) program dan kegiatan, tetapi dari dampak nyata pada sistem sumberdaya kehutanan, sistem kehidupan masyarakat, dan sistem kinerja ekonomi baik di tingkat lokal, wilayah maupun nasional.
b. Efisiensi kelembagaan Publik bidang Kehutanan: perspektif program dan fungsi lembaga
(Diadopsi dari “Determining the Structure and Functions of Government: Program and Functional Reviews”, Nick Manning and Neil Parison 2007, Moscow, The World Bank) Terdapat beragam tipologi dalam mengulas soal kelembagaan, terutama dari persepektif program dan fungsi lembaga, yakni:
Pertama adalah Ulasan murni tentang kebijakan atau program. Ulasan ini bertujuan untuk mencari celah pada reforma kebijakan, atau bertujuan untuk membuang program dengan prioritas rendah, dan menambah upaya kebijakan pada yang prioritasnya tinggi. Perubahan mendasar tata-kepemerintahan kehutanan, termasuk berlakunya UU 23/2014, serta diundangkannya PP 06/2007, mengharuskan
dilakukannya ulasan murni kebijakan dan program kehutanan, dengan konsekuansi pada reforma organisasi baik di tingkat nasional sampai dengan tingkat tapak/KPH Kedua adalah tinjauan efisiensi kelembagaan, yang tidak memerlukan perubahan mendasar pada kebijakan kehutanan, tetapi fokus pada perubahan proses dalam menjalankan organisasi dan pelayanan publik agar terjadi efisiensi yang lebih tinggi. Kebijakan ini banyak dilakukan untuk urusan kehutanan, yaitu dengan merubah tata cara, atau de-birokratisasi, sampai dengan merubah anggaran untuk efisiensi
pembiayaan.
Ketiga adalah tinjauan menyangkut arus utama program dan efisiensi. Semua kebijakan ditinjau ulang pada sisi efisiensinya, dan dilakukan re-prioritasi program. Hal ini
diimbangi dengan restrukturisasi instrumen kebijakan pemerintah. Hal ini biasa dilakukan oleh Kementerian yang membidangi urusan Kehutanan. Setiap terjadi pergantian kepemerintahan, diikuti dengan re-organisasi, penyusunan isu strategis dan program strategis baru, dan dikemas di dalam RPJMN Kehutanan.
Keempat adalah tinjuan menyangkut pengarus utamaan fungsi kementerian. Ini menyangkut perubahan kebijakan, sedikit perubahan struktur organisasi.
mengeliminasi duplikasi atau tumpang tindih kebijakan dan fungsi unit kerja, dan penggabungan beberapa unit kerja
Kelima adalah tinjauan organisasi dan rekayasa proses pelayanan publik. Contohnya adalah perubahan atau penghapusan fungsi unit kerja di kementerian, atau perubahan fungsi unit kerja. Tinjauan ini cenderung berfokus pada konsolidasi fungsi-fungsi yang hampir sama di antara unit kerja kementerian.
Fungsi kelembagaan
(Bannock Consulting 1999) merumuskan ringkasan yang bermanfaat mengenai fungsi yang seharusnya diperankan oleh institusi publik pada kerangka penyusnan kelembagaan yang efektif dan efisien:
1. Fungsi kebijakan seperti perencanaan strategis, penyusunan regulasi, pengembangan standard, penyusunan NSPK (norma, standar, pedoman dan kriteria), analisis kebijakan, prediksi kebijakan. Fungsi ini disebut sebagai fungsi utama dan memerlukan kompetensi yang spesifik untuk itu
2. Fungsi Koordinasi, supervisi dan pemantauan kinerja: penyelenggaraan hubungan koordinatif lintas kementerian dan lintas unit yang berbeda, pemantauan unit kerja yang ada dibawah hierarki-nya, fasilitasi dan menyelenggarakan kondisi pemungkin jenjang di bawahnya
3. Fungsi pelayanan publik: pengadaan barang dan atau jasa baik untuk internal pemerintah maupun eksternal para pihak di luar pemerintah. Pelayanan publik langsung biasanya berada pada porto-folio pemerintah Provinsi melalui pengaturan dekonsentrasi atau tugas pembantuan. Namun demikian seringkali kementerian mempunyai Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bertugas sebagai pelaksana teknis kegiatan kementerian di tapak.
4. Fungsi pendukung. Ini mencakup pengelolaan keuangan, pegelolaan SDM, sistem informasi, infrastruktur, pembangunan kapasitas (Diklat), audit internal (Irjen), dan kesekretariatan.
5. Fungsi regulator seperti penerbitan lisensi, sertifikasi, ijin, akreditasi, pengawasan, penyelesaian keberatan/komplain, dan audit keuangan.
Di dalam menetapkan fungsi-fugsi tersebut, perlu diperhatikan pertimbangan sebagai berikut:
1. Fungsi-fungsi tersebut dibutuhkan untuk melindungi kepentingan publik 2. Fungsi tersebut diperlukan (diminta) oleh masyarakat
3. Fungsi-fungsi tersebut mendukung prioritas pemerintah
4. Fungsi-fungsi tersebut dimandatkan oleh undang-undang atau perjanjian internasional
5. Ketika prioritas pemerintah tidak dapat dipenuhi hanya melalui regulasi, fiskal, dana transfer, atau subsidi
4. HASIL KAJIAN AWAL
A. Kajian terhadap sistem kelembagaan Kehutanan
1. Sistem tata-kepemerintahan kehutanan a. Kepemimpinan Kehutanan
i. Kepemimpinan politik yang transformasional dan akuntabel. Tantangan yang pertama kali dihadapi oleh Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan adalah melaksanakan transformasi kelembagaan dari sebelumnya
Kementerian kehutanan dan kementerian Negara Lingkungan Hidup, menjadi satu kementerian lingkungan hidup dan kehutanan. Transformasi ini dimandatkan oleh Presiden, bukan atas dasar aspirasi para pihak. Sejauh mana aspirasi para pihak kemudian diserap oleh kepemimpinan kehutanan, tiak dapat dilacak secara jelas. KLHK kemudian menyusun program
prioritas yang dibangun berdasar program prioritas Kabinet. Program prioritas ini disusun berbasis isu strategis yang dirasakan pada waktu itu. Dengan demikian kelembagaan KLHK mengikuti proses pengembangan isu menjadi program nasional prioritas bidang LHK. Bagaimana merespon akuntabilitas dan transparansi ketika memperagakan pelayanan publik, dan mengembangkan kehutanaan dalam skema kelestarian dan keberlanjutan, tidak dapat secara jelas rumusannya pada dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh pemerintah.
ii. Kapasitas Kepemimpinan Kehutanan (dan lingkungan hidup) untuk mengembangkan visi sesuai dengan aspirasi para pihak dan mandat UU 41/1999, tidak juga secara jelas terlacak. Yang muncul adalah visi yang diturunkan dari Visi Pemerintah pada tahun 2014-2019, yang berbasis Nawacita. Nawacita adalah nilai-nilai yang dibawa oleh kepemimpinan Presiden. Dengan demikian, ketika Presiden tidak menempatkan kehutanan sebagai sektor unggulan, maka pegembangan tata-kepemerinthana juga menjadi terbatas pada tata-kepemerintahan kehutanan yang berada pada sektor non unggulan dan hanya menjadi sektor pendukung pada Pembangunan Nasional 2014-2018
b. Kebijakan yang koheren dan koordinatif
i. Telah dipaparkan bahwa terutama untuk urusan kehutanan yang dari aspek kawasannya saja meliputi lebih dari 50% luas daratan Indonesia, kebijakan yang koheren dan terkoordinasi menjadi kritikal. Kebijakan kehutanan memerlukan dukungan lintas sektor dan antar tingkat
pemerintahan. Kenyataannya adlaah bahwa posisi kehutanan lebih banyak mendkung kebijakan sektor alinnya, Misalnya pada sektor pertanian, sektor pariwisata, sektor industri, dan bidang infrastruktur pembangunan (jalan, waduk, jaringan listrik, dll). Dengan demikian pembangunan
kehutanan tidak dipersepsikan sebagai pembangunan yang ikut mengatur (to govern) pembangunan nasional tetapi sebagai posisi pendukung pembangunan bagi sektor lain. Dari aspek ini kemudian sering muncul keluhan bahwa kehutanan menghambat pembangunan bagi sektor lain
ii. Tentu untuk megurus kehutanan, intensifikasi proses-proses komunikasi dan koordinasi yang melibatkan sektor lain tidak banyak dilakukan. Pemanfaatan komunikasi dankoordinasi melalui Kementerian koordinasi dan lembaga kordinatif semisal Bappenas dan Kementerian Keuangan juga tidak banyak diinisiasi. Komunikasi dengan Presiden terlihat sangat baik sehingga mampu manjdikan kebijakan dan program Perhutanan Sosial (PS) dan TORA memperoleh dukungan dari sektor-sektor lain. Namun
demikian, dukungan sektor lain dalam bentuk program dan anggaran belum dapat dilacak hingga saat ini. Inisiatif kepemimpinan bidang kehutanan untuk menginisiasi komunikasi dan koordinasi dengan kementerian dan lembaga seperti Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UMKM, serta koordinasi dengan Pemerintah Provinsi, dipandang sebagai prasyarat minimal berjalannya tata-kepemerintahan kehutanan yang efektif
c. Desentralisasi kehutanan
i. Desentralisasi untuk urusan kehutanan hampir tidak dapat dihindari untuk mencapai tingkat efektivitas tata-kepemerintahan yang baik. Pada saat ini urusan kehutanan menjadi urusan pilihan bagi pemerintah provinsi dan hampir tidak ada urusan kehutanan yang dikelola oleh pemerintah Kabupaten/Kota kecuali Tahura. Posisi sebagai urusan pilihan menjadi kurang menguntungkan karena provinsi yang kaya hutan belum tentu mempunyai prioritas pembangunan bidang kehutanan. Ketika urusan kehutanan sudah ditetapkan posisinya oleh Provinsi, maka berlaku ketentuan konkurensi, yakni modulasi manajemen pemerintahan
kehutananbersama antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi. Hal ini juga belum banyak diinisiasi oleh KLHK. Beberapa Provinsi
mengambil inisitif untuk mengundang KLHK dan UPT nya untuk koordinasi dan sinergi program prioritas kehtuanan di daerah.
ii. Desentralisasi kehutanan yang sebenarnya terjadi ketika semua urusan danpengelolaan sumberdaya hutan danlingkungannya telah dilaksanakan (atau di-difusi-kan) oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Yang kemudian banyak terjadi adalah isu desentralisasi kewenangan oleh KPH, bukan desentralisasi atau difusi mengenai pelaksanaan tata-kelola dan pengelolaan kehutanan di tingkat tapak.
d. Kemitraan para pihak
Dilihat dari faktanya, tata-kepemerintahan kehutanan telah berada pasa posisi “open access”. Ini artinya semua sektor lain dapat melakukan pendekatan dan intervensi pada sektor kehutanan. Sektor kehutanan tidak lagi dapat berdiri
sebagai pilar tersendiri untuk bisa tegak, tetapi harus melakukan kemitraan dengan berbagai pihak. Interaksi multi-pihak menjadi kursial untuk merumuskan kembali identitas tata-kepemerintahan kehtuanan. Hal ini sudah banyak
dilakukanoleh KLHK. Namun demikian, kemitraan kehutanan dan lingkungan tidak berangkat dari satu sitem kemitraan kehutanan nasional, tetapi lebih nayk diselenggarakan oleh masing-masing Eselon I. Ada berbagai guus tugas di KLHK dan ada berbagai forum kehutanan di Provinsi, menunjukkan bukti bahwa kemitraan belum dilakukan secara sistemik. Kemitraan global dipandang kurang didasari oleh kepentingan nasional di bidang kehutanan, tetapi lebih banyak dilakukan sebagai komitmen pada berbagai konvensi dan ratifikasi internasional. Ratifikasi perubahan iklim, ratifikasi konservasi keanekaragaman hayati,
konvensi mengenai EU-FLEGT, kerjasama ASEAN bidang ekonomi dan FLEG serta Pengelolaan hutan lestari, misalnya, menunjukkan bukti pernyataan tersebut di atas.
e. Indeks tata-kelola kehutanan
UNDP menyelenggarakan penilaian terhadap tata-kepemerintahan kehutanan secara berkala melali indeks tata-kelola kehutanan (Forest Governance Index). UNDP menggunakan isu prooritas sebagai kriteria pada indeks tersebut. Pada Tahun 2014 UNDP menggunakan empat isu prioritas yakni: (i) kepastian
kawasan hutan, (ii) keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan, (iii) integritas dan transparansi pengelolaan hutan, serta (iv) kapasitas penegakan hukum. Keempat isu tersebut kemudian ditetapkan sebagai kriteria penilaian. Indikator-indikator pada masing-masing isu dirumuskan melalui proses konsultasi para pihak. Hasilnya disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Indikator penilaian tata-kelola hutan (UNDP, 2014)
Setelah penilaian dilakukan, diperoleh indeks tata-kelola hutan berdasarkan provinsi sampel sebagai berikut (Gambar 2)
Dapt disimak bahwa tidak ada satu provinsipun yang mampu mencapai lebih dari indeks 50 pada tatakelola hutan. Provinsi-provinsi yang kaya hutan belum tentu mempunyai indeks yang lebih baik daripada yang dipunyai oleh provinsi yang sumberdaya hutannya lebih sedikit. Ini menunjkkan adanya kebutuhan untuk mentransformasikan sistem tata-kepemerintahan kehutanan secara serius dari pusat ke daerah. Sebaliknya, daerahpun memerlukan perhatian dari Pusat untuk dapat secara konkuren memperbaiki indeks tatakelola hutan tersebut.
2. Sistem kelembagaan kehutanan
Disimak pada hasil kajuian terhadap tata-kepemerinthaan kehtuanan pada sub-bab seblumnya, jelas terlihat bahwa masalah kelembagaan kehutanan, di samping SDM/kepemimpinan, menjadi sorotan utama dan menjadi sangat krusial. Untuk itu kajian ini dilanjutkan dengan lebih fokus pada teme kelembagaan kehutanan
Analisis situasi kelembagaan Kehutanan. Analisis ini dilaukan denganmengikuti metoe yang dikembangakan oleh Guy Peters, 2000
(https://www.ihs.ac.at/publications/pol/pw_69.pdf Guy Peters, 2000. Institutional theory: Problems and Prospects)
1. Organisasi kehutanan, SDM, tupoksi, dan implementasi kebijakan
Kelembagaan palng kurang harus mengikuti mandat Undang-undang kehutanan 41/1999. Pada Undang-undang ini,
i. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu (UU 41/1999)
ii. Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
a) menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
b) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat
lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; c) meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
d) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
Faktanya adalah kelembagaan kehutanan dari dulu sampai sekarang selalu mempunyai karakter normatif, historikal, dan empirik
• Normative - Individu maupun kelompok melaksanakan fungsi di dalam lembaganya sebagaimana tupoksinya, dan bukan karena mereka akan memaksimumkan dampak dan manfaat misi pembangunan kehutanan • Historical - Argumennya adalah pilihan-pilihan ang diambil oleh individu
atau kelompok di dalam lembaga diambil berdasar kebiasaan masa lalu. Kelembagaan kehutanan yang diterapkan sangat bergantung pada kebiasaan pada waktu yang lalu
• Empirical - Individu dan kelompok di dalam kelembagaan kehutanan mempunyai pilihan untuk melakukan perubahan tetapi mereka memilih untuk diam untuk tidak menimbulkan gejolak akibat perubahan yang mungkin ditimbulkan
Dengan demikian kelembagaan kehutanan ditentukan oleh individu atau kelompok yang berada internal di dalam kelembagaan tersebut, bukan oleh pendapat obyektif dari pihak yang independen. Ketika kelembagaan
ditntukanoleh individu atau kelompok di internal kelembagaan, maka yang terjadi adalah kecenderungan untuk berada di zona nyaman, zona kompromi untuk kenyamanan kerja bersama.
Pada sisi yang lain, praksis perancangan kelembagaan kehutanan diatur melalui Peraturan Presiden yang menginduksi program prioritas Presiden (misalnya Nawacita pada periode 2014-2019). Program prioritas Presiden tidak selalu mengambil arus utama penyelenggaraan kehutanan pada UU 41/1999. Kelembagaan pemerintahan mewadahi strategi dan pergerakan manajemen publik. Namun, manajemen publik kehutanan Indonesia diatur menurut UU 23/2014 yagn berbasis manajemen kepemerintahan yang konkuren, atau co-management antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Ketika Presiden tidak menyebut kehutanan sebagai program prioritas, maka kelembagaan kehutanan manjadi limehakan hanya untuk melayani program-program yang ditetapkan oleh Presiden. Dengan kata lain, elembagaan kehutanan tidak atau kurang ditentukan oleh aspirasi sumberdaya hutan dan lingkungannya sebagaimana diamanatkan oleh UU 41/1999
Ketika fokus diambil untuk periode 2014-2019, maka kelembagaan kehutanan hanya diwarnai oleh kelambagaan di KLHK. Bahkan sebagian besar Provinsi mengambil warna KLHK sebagai acuan kelembagaan kehutanan di daerah. Pada konstelasi ini, kelembagaan KLHK dicirikan oleh tugas pokok dan fungsi sebagai berikut (Permen LHK 18/2015)
• KLHK periode 2014-2019 mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara (Permen LHK 18/2015). T idak disebutkan penugasan oleh UU 41/1999 untuk
menyelenggarakan kehutanan sebagai suatu sistem. Jadi pola pikir yang berkembang adalah membantu Presiden.
• Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan fungsi : a) perumusan dan penetapan kebijakan
b) pelaksanaan kebijakan
c) koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan
d) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan e) pelaksanaan penelitian, pengembangan, dan inovasi
f) pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia g) pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif
h) pembinaan dan pemberian dukungan administrasi i) pengelolaan barang milik/kekayaan negara
j) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan KLHK • Cakupan fungsi yang diemban oleh KLHK adalah
a. pemantapan kawasan hutan dan lingkungan hidup secara berkelanjutan,
b. pengelolaan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, c. peningkatan daya dukung daerah aliran sungai dan hutan lindung, d. pengelolaan hutan produksi lestari, peningkatan daya saing industri
primer hasil hutan,
e. peningkatan kualitas fungsi lingkungan, pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan,
f. pengendalian dampak perubahan iklim, g. pengendalian kebakaran hutan dan lahan, h. perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan,
i. serta penurunan gangguan, ancaman, dan pelanggaran hukum bidang lingkungan hidup dan kehutanan;
Fungsi kebijakan yang harus dipenuhi oleh KLHK, yang mencakup perencanaan strategis, penyusunan regulasi, dan penyusunan NSPK (norma, standar,
pedoman dan kriteria), Namun demikian tidak banyak dijumpai fungsi analisis kebijakan dan prediksi kebijakan ke depan. Fungsi-fungsi ini sudah banyak
ditransformasi ke dalam unit-unit kompetensi kerja SDM pejabat LHK, tetapi tidak banyak dilakukan uji kompetensi yang sesuai dengan aturan Undang-undang ketenagakerjaan.
• Fungsi Koordinasi, supervisi dan pemantauan kinerja: penyelenggaraan hubungan koordinatif lintas kementerian dan lintas unit yang berbeda tidak banyak dilakukan, barangali dengan asumsi masingmasing
kementerian/Lembaga telah mempunyai tugas pokom dan fungis
masingmasing sehingga seluruh program Presend sudah habis terbagi di dalam kelembagaan kementerian/lembaga. Pemantauan unit kerja yang ada dibawah hierarki-nya diseleggarakan melalui format pelaporan dan evaluasi. Namun demikian, fasilitasi dan menyelenggarakan kondisi pemungkin jenjang di bawahnya untuk berkinerja optimal masih belum berbasis kebutuhan spesifik, melainkan berbasis tipologi unit kerja yang kemudianmenghasilkan standar pemenuhan sarana-prasarana.
• Fungsi pelayanan publik di LHK mengikuti lingkup yang dibangun pada RPJMN, renstra, program dan kegiatan LHK. Sampai dengan saat ini engadaan barang dan jasa yang berasal dari sumberdaya hutan
diselenggarakan melalui skema perijinan. Baru pada tiga tahun terakhir diperkenalkan pengdaan barang dan jasa sumebrdaya hutan dan lingungan melalui mekanisme kerjasama dan pengelolaan wilayah
tertentu oleh kPH. Selebihnya, UPT menjadi pelaksana pengadan barang dan jasa melalui program prioritas misalnya perlindungan hutan,
konservasi, rehabilitasi lahan dan hutan, tata batas, pendidikan dan penyuluhan.
• BP2SDM menjadi motor pengambangan dan pegelolaan SDM di LHK. Fenomenal utnk dicatata bahwa BP2SDM menyelenggarakan
peningkatan kapasitas untuk ASN kehutanan (dan lingkungan hidup) terutama yagn mengkuti jalu fungsional (tenaga teknis kehutanan, penyuluh, polisi hutan, perencana, pengendali ekosistem hutan). BO2SDMK pernah menyelenggarakan pengambangan SDM untjk KPH tetapi kemudian terhenti. Serfikikasi profesi dilakukan terutama melalui LS tipe II atau LSP internal KLHK.
j. Fungsi regulator seperti penerbitan lisensi, sertifikasi, ijin, akreditasi, pengawasan, penyelesaian keberatan/komplain, dan audit keuangan telah dilaksnakan sepenuhnya oleh KLHK.
2. Kapasitas kelembagan untuk merespon lingkungan internal dan eksternal
KLHK menyusun tugas pokok dan funhgsi untuk setiap jenjang unit kerja mulai dari Diretur Jendral Atau Kepala Badan Atau Sekretariat Jendral, Direktur
atatu Kepala Pusat atau Kepala Biro, Sub-Direktorat atau Bagian, dan Seksi atau sub-Bagian. Respon dinamika internal diselesaikan melalui mekanisme dan format tugas pokom dan fungsi tersebut. Untuk merespon lingkungan
eksternal, harus melalui Menteri sebagai pengambil keputusan. Kecuali isu yang berkembang di lingkukan eksternal hanya sebatas isu teknis, maka yang Eselon I yang bersangkutan dapat memperikan respon. Ketika lingkungan eksternal memunculkan isu-isu politik dan kebijakan, seringkali tidak segera dapat ditanggapi oleh KLHK, kecuali isu yang telah diperintahkan oleh Presiden.
3. Identifikasi kekuatan dan peluang sistem kelembagaan kehutanan
Sistem kelembagaan kehutanan memang dirancang berbasis nilai-nilai dan kebijakna prioritas Presiden. Kekuatan kelembagaan kehutanan kemudian dibn=angun untuk menyelenggarakan tugas poko dan fungsi KLHK, dan ini menjadi kunci untuk mencapai kinerja kementerian. Bahkan
kelembagaankehutanan mampu menangkap isu-isu strategis, bai isu-isu untuk menjadipeluang program KLHK ke depan, maupun isu-siu yang mengancam program pririas Presiden di bidang kehutanan (Gambar3).
Peluangnya adalah bahwa kepemimpinan kehutanan selalu dapat menyampaikan perkembangan, perbaikan, bahkan reforma kelembagaan kehutanan kepada Presiden. Peluang itu sebenarnya dapat menjadi kunci bagi perbaikan kinerja tata-pemerintahan kehutanan, bukan sekedar kinerja KLHK.
Gambar 3. Fokus penyelenggaraan sistem kehutanan oleh Kelembagaan Kehutanan
Tantangannya adalah bahwa semua siu-isu strategis haruslah dapat diinternailasikan ke dalam sistem kehutanan. Dengan demikian sistem kehutanan harus menjadi fokus kinerja kelembagaan kehutanan. Bukan lagi kinerja kelembagaan kehutanan sekedar ditunjukkan oleh kinerja KLHK dalam memenuhi tugas pokok dan fungsinya.
Kelemahan kelembagaan KLHK adalah tidak menjadikan UU 41/1999 sebagai landasan merancang kelembagaan. UU 41/1999 mencakup kehutanan sebagai suatu sistem dan menjadi penting bahwa kinerja akhir yang harus ditampilakn adalah kinerja sistem kehutanan, bukan hanya sekedar kinerja KLHK. Ini berbarti bahwa KLHK harus mampu mengembalikan fokus pada kehtuanan sebagai sistem dengan 5 pilar penyelenggaraan kehutanan (kawasan hutan, adneka guna manfaat hutan, DAS, keberdayaan masyarakat, distribusi manfaat yang berkeadilan). Status kinerja sistem kehutanan yang diwakili oleh 5 pilar tersebut yagn harus dicari baseline-nya, dan kemudian ditetapkan status yang diharapkan kedepan (kembali pada Gambar 3)
5. Resume situasi kelembagaan kehutanan
i. Situasi kelembagaan kehutanan ditentukan oleh sistem dan praksis tata-kepemerintahan kehutanan. Kepemimpinan, koherensi dan koordinasi kebijakan, desentralisasi, dan kemitraan multi-pihak perlu dibenahi. Pada saat ini tata-kepemerintahan kehutanan kuarang menunjukkan potensi peran kehtuanan dengan panguasaan lebih dari 50% luas daratan sebagai sektor prioritas.
ii. Kelembagaan kehutanan semestinya tercermin di dalam kelembagaan KLHK. Namun Kelembagaan KLHK masih dirancang dengan warna normatif, historik, dan empirik. Tidak terjadi perubahan signifikan yang dapat dibangun dengan karakter kelembagaan seperti itu. Walhasil, indeks tatakelola hutan dinyatakan rendah oleh UNDP (2014)
iii. Fungsi-fungsi pelayanan publik seharusnya dapat lebih dikemukakan, dan bukan didominasi oleh fungsi pelaksanaan kebijakan prioritas dang ditetapkan dari Pusat. Klient kehutanan adalah publik dalam arti luas, sedangkan kelembagaan kehutanan melayani kepentingan publik melalui kelembaganayang efektif (mampu menimbulkan dampak) dan efisien (murah, cepat).
iv. Ada lima pilar pada sistem kehutanan yang mennjadi mandat untuk dipedomani (kawasa, aneka guna manfaat hutan, DAS, keberdayaan masyarakat, distribusi manfaat yang berkeadilan) . Ketika ini lepas dari pedoman, maka kelembagaan kehutanan itu tidak lagi melayani sistem kehutanan, tetapi melaksanakan petunjuk Presiden yang berbasis prioritas kebijakan dan tata-kepemerintahan kehutanan untk pelaksanaan kebijakan prioritas tersebut.
v. Efektivitas kelembagaan kehutanan ditunjukkanoleh kinerja dampak kebijakan, dan itu artinya pada tingkat implementasi di tapak. Oleh karena itu azas desentraliasi kelembagaan kehutanan menjadi penting untuk mesurjudkan kelemagaan kehutanan yang efektif.
B. Kajian terhadap konstelasi KPH pada sistem kelembagaan Kehutanan 1. Perspektif tata-kepemerintahan kehutanan terhadap KPH
a. Undang-undang Kehutanan 41/1999 yang kemudian diturunkan pada Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007 memuat perspektif yang jelas mengenai
keberadaan dan pentingnya KPH di dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungannya di tingkat tapak. Namun demikian, RPJMN dan Renstra 2014-2019 mengakar kepada tugas pokok dan fungsi masing-masing Eselon I di KLHK. Ketika cakupan fungsi KLHK tidak menempatkan KPH sebagai prioritas cakupan, maka perspektif tata-kepemerintahan kehutanan terhadap KPH tidak terlalu kuat. Kepemimpinan kehutanan memandang cakupan fungsi sebagaiman telah disebutkan dimuka (pemantapan kawasan hutan dan lingkungan hidup secara berkelanjutan, pengelolaan konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya, peningkatan daya dukung daerah aliran sungai dan hutan lindung, pengelolaan hutan produksi lestari, peningkatan daya saing industri primer hasil hutan, peningkatan kualitas fungsi lingkungan, pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, pengendalian dampak perubahan iklim, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, perhutanan sosial dan kemitraan lingkungan, serta penurunan gangguan, ancaman, dan pelanggaran hukum bidang lingkungan hidup dan kehutanan) maka terlihat KPH menjadi tidak fokus. Persoalan koherensi dan koordinasi menyangkut kebijakan KPh juga tidak terlihat signifikan di dalam KLHK, apalagi lintas sektor. Bahwa hampir semua cakupan fungsi tersebut dapat dilaksanakan oleh KPH di tingkat tapak, menjadi tidak jelas arahannya. Pendekatan KLHK kepada Pemerintah Provinsi untuk
desentralisasi KPH kurang terlihat efektif, dengan ditandainya komitmen yang masih sangat beragam mengenai pembangunan dan pengembangan KPH oleh Provinsi. Pada berbagai statement di forum-forum pertemuan mengenai isu kehutanan, terlihat bahwa kompetensi pejabat dalam hal KPH masih tidak sama. Pemahaman KPH di tingkat pemerintah provinsi lebih rendah lagi.
Dengan demikian, KPH hanya dipandang sebagai beban kelembagaan dan beban anggaran bagi sebagian besar Pemerintah Provinsi. KPH juga
kurangmemperoleh perhatian dalama hal kerjasama para pihak.
Pemerintah/KLHK masih kuat dalammempertahankan skema perijinan untuk semua bentuk pemanfaatan hutan.
b. Tanpa kehadiran KPH, maka kebijakan kehutanan tidak mempunyai
berkaitan dengan operasi kehutanan di tingkat tapak diselesaikan melalui skema perijinan, dan sebagian besar adalah perijinan pemanfaatan, bukan pengelolaan. Dengan kata lain, tidak ada skema pengellaan di tingkat tapak tanpa kehadiran KPH. KPH juga tidak ditampilkan sebagai bagian dari kinerja KLHK (Gambar 4)
c. Rencana Kehutanan tingkat nasional (RKTN) 2010-2030 menyebutkan sedikit mengenai KPH yakni “Untuk menjalankan seluruh target di atas dibangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) pada seluruh fungsi hutan dan seluruh kawasan hutan negara sebagai lembaga pengelola hutan di tingkat tapak. Pembangunan KPH ini diprioritaskan di provinsi yang pemerintah daerahnya telah siap dan berkomitmen membangun KPH dan pada wilayah yang
diprioritaskan sebagai lokasi penurunan emisi gas rumah kaca. Pada titik ini menjadi jelas bahwa KPH bukan menjadi arus utama pengelolaan hutan di tingkat tapak, dan hanya diprioritaskan pada sejumlah provinsi saja
Gambar 4. KPH tidak ditampilkan sebagai capaian kinerja KLHK
d. Tetapi, KPH dapat menjadi isu yagn seksi pada beberapa momentum. Diawali oleh kebijakan dari Bappenas yang berintikan prnsip “no KPH no budget”, KPH menjadi seksi bagi KLHK untuk mendapatkan porsi anggaran dari Bappenas. Terutama pada Direktorat Jenderal Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, dan pada Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KPH disebut secara kuat pada bagian Renstra Kementerian LHK yang menyangkut KPHL, KPHP, dan KPHK. Penyebutan di dalam renstra menjadi penting sebagai landasan pengajuan rencana kegiatan dan anggaran. Menjadi tidak konsisten ketika KLHK didalam Laporan Kinerja (2017) di satu sisi KPH tidak
dimunculkan sebagai capaian kinerja, tetapi pada bagian lain KPH selalu disebut sebagai indikator pembangunan Kehutanan sepanjang 5 tahun (Gambar 5.)
Gambar 5. KPH selalu disebut dalam rumusan kinerja KLHK 2015-2019
2. Ruang KPH pada sistem kelembagaan kehutanan
a. Dari sisi legal, ruang KPH dipastikan pada Peraturan Pemerintah no 6/2007. Pada organisasi KLHK, ruang KPH dipecah menjadi 3 direktorat di 3 direktorat jenderal. Direktorat KPHL ada di Ditjen BPDASHL, KPHK ada di bawah Direktorat Pengelolaan Kawasan Konservasi, dan Direktorat KPHP di bawah Ditjen PHPL mengurus KPHP.
b. Tidak begitu jelas koherensi dan koordinasi diantara kertiga direktorat tersebut maun pada level direktorat jenderal. Ini menunjukkan efisiensi kelembagaan yang rendah. Ditambah lagi, belum terbangun hubungan tata kerja fungsional antara KLHK dengan pemerintah Provinsi di daerah. KPH juga menerima perlakuan yang berbeda bergantung kepada inisiatif dan intensitas pemrograman dan penganggaran di masing masing direktorat. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman dan komitmen kepemimpinan pada Direktorat Jenderal dan Direktorat yang bersangkutan.
c. Target yang ingin dicapai oleh KPHK adalah terbentuk dan beroperasinya sejumlah KPH. Beroperasinya KPH diindikasikan oleh keberadaan wilayah KPH, kelembagan atau organisasi KPH, dan sarana-prasarana KPH. Indikator ini pada kenyataannya tidak mencukupi bagi KPH untuk beroperasi secarea profesional dan mandiri. Variable lain seperti profesionalisme SDM KPH, Perencanaan KPH, penganggaran yang cukup untuk investasi publik atau penganggaran untuk biaya penyediaan kondisi pemungkin, serta instrumen peraturan yang bersifat insentif bagi KPh tetap diperlukan agar KPH mampu beroperasi secara profesional dan berkelanjutan
d. Dalam hal kelembagaan yang difasilitasi oleh KLHK, maka KPH memperoleh pesaing yagn berat yakni pemegang ijin. Sebagimana disampaikan di muka, operator ekonomi yang sekarang bekerja di lapangan adalah para pemegang ijin pemanfaatan hutan. Ketika KLHK diminta respon untuk kinerja ekonomi, maka secara pragmatis fasilitasi terhadap pemegang ijin lebih diprioritaskan, daripada fasilitasi kepada KPH.Dengan demikian, di KLHK ada dua pilar operator, yakni KPH dan pemegang ijin pemanfaatan. Bahkan program perhutanan sosial dikemas dengan skema perijinan, dan kurang mementingkan skema kerjasama kemitraan dengan KPH.
e. Simpulannya adalah bahwa ruang bagi KPH pada sistem kelembagaan kehutanan terbuka lebar, tetapi pemanfatan ruang tersebut masih terbatas.
BAGIAN KEDUA
USULAN RANCANGAN
KELEMBAGAAN KEHUTANAN
2020-2024 DAN ARAH
KELEMBAGAAN KEHUTANAN
2045
1.
STOCK TAKING
DARI HASIL KAJIAN SEBELUMNYA
(DELIVERABLE I)
a. HASIL KAJIAN MENGENAI SISTEM KELEMBAGAAN KEHUTANAN
vi. Situasi kelembagaan kehutanan ditentukan oleh sistem dan praksis tata-kepemerintahan kehutanan. Kepemimpinan, koherensi dan koordinasi kebijakan, desentralisasi, dan kemitraan multi-pihak perlu dibenahi. Pada saat ini tata-kepemerintahan kehutanan kurang menunjukkan potensi peran kehtuanan dengan panguasaan lebih dari 50% luas daratan sebagai sektor prioritas.
vii. Kelembagaan kehutanan semestinya tercermin di dalam kelembagaan KLHK. Namun Kelembagaan KLHK masih dirancang dengan warna normatif, historik, dan empirik. Tidak terjadi perubahan signifikan yang dapat dibangun dengan karakter kelembagaan seperti itu. Walhasil, indeks tatakelola hutan dinyatakan rendah oleh UNDP (2014)
viii. Fungsi-fungsi pelayanan publik seharusnya dapat lebih dikemukakan, dan bukan didominasi oleh fungsi pelaksanaan kebijakan prioritas dang ditetapkan dari Pusat. Klien kehutanan adalah publik dalam arti luas, sedangkan kelembagaan kehutanan melayani kepentingan publik melalui kelembagan yang efektif (mampu menimbulkan dampak) dan efisien (murah, cepat).
ix. Ada lima pilar pada penyelenggaraan sistem kehutanan yang menjadi mandat untuk dipedomani (keberadaan hutan dengan luasan cukup dan sebaran yang proporsional, optimalisasi aneka guna manfaat hutan, meningkatkan daya dukung DAS, meningkatkan kemampuan dan keberdayaan masyarakat, menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan) . Ketika ini lepas dari
pedoman, maka kelembagaan kehutanan itu tidak lagi melayani sistem kehutanan, tetapi melaksanakan petunjuk Presiden yang berbasis prioritas kebijakan dan tata-kepemerintahan kehutanan untuk pelaksanaan kebijakan prioritas tersebut.
x. Efektivitas kelembagaan kehutanan ditunjukkan oleh kinerja dampak kebijakan, dan itu artinya pada tingkat implementasi di tapak. Oleh karena itu azas desentraliasi kelembagaan kehutanan menjadi penting untuk mewujudkan kelembagaan kehutanan yang efektif.
b. KONSTELASI KPH PADA SISTEM KELEMBAGAAN KEHUTANAN
i. Undang-undang Kehutanan 41/1999 yang kemudian diturunkan pada Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007 memuat perspektif yang jelas
mengenai keberadaan dan pentingnya KPH di dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lingkungannya di tingkat tapak. Namun demikian, RPJMN dan RENSTRA 2014-2019 mengakar kepada tugas pokok dan fungsi masing-masing Eselon I di KLHK. Ketika cakupan fungsi KLHK tidak menempatkan KPH sebagai prioritas cakupan, maka perspektif tata pemerintahan kehutanan terhadap KPH tidak terlalu kuat.
ii. Tanpa kehadiran KPH, maka kebijakan kehutanan tidak mempunyai
kelembagaan pada tingkat pengelolaan hutan. Hampir semua peraturan yang berkaitan dengan operasi kehutanan di tingkat tapak diselesaikan melalui skema perijinan, dan sebagian besar adalah perijinan pemanfaatan, bukan pengelolaan. Dengan kata lain, tidak ada skema pengelolaan di tingkat tapak tanpa kehadiran KPH. KPH juga tidak ditampilkan sebagai bagian dari kinerja KLHK (Gambar 4)
iii. Rencana Kehutanan tingkat nasional (RKTN) 2010-2030 menyebutkan sedikit mengenai KPH yakni “Untuk menjalankan seluruh target di atas dibangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) pada seluruh fungsi hutan dan seluruh kawasan hutan negara sebagai lembaga pengelola hutan di tingkat tapak. Pembangunan KPH ini diprioritaskan di provinsi yang pemerintah daerahnya telah siap dan berkomitmen membangun KPH dan pada wilayah yang diprioritaskan sebagai lokasi penurunan emisi gas rumah kaca. Pada titik ini menjadi jelas bahwa KPH bukan menjadi arus utama pengelolaan hutan di tingkat tapak, dan hanya diprioritaskan pada sejumlah provinsi saja iv. Dari sisi legal, ruang KPH dipastikan pada Peraturan Pemerintah no 6/2007.
Pada organisasi KLHK, ruang KPH dipecah menjadi 3 direktorat di 3 direktorat jenderal. Direktorat KPHL ada di Ditjen BPDASHL, KPHK ada di bawah Direktorat Pengelolaan Kawasan Konservasi, dan Direktorat KPHP di bawah Ditjen PHPL mengurus KPHP.
v. Tidak begitu jelas koherensi dan koordinasi diantara ketiga direktorat tersebut maun pada level direktorat jenderal. Ini menunjukkan efisiensi kelembagaan yang rendah. Ditambah lagi, belum terbangun hubungan tata kerja fungsional antara KLHK dengan pemerintah Provinsi di daerah. KPH juga menerima perlakuan yang berbeda bergantung kepada inisiatif dan intensitas pemrograman dan penganggaran di masing masing direktorat. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman dan komitmen kepemimpinan pada Direktorat Jenderal dan Direktorat yang bersangkutan.
vi. Target yang ingin dicapai oleh KPHK adalah terbentuk dan beroperasinya sejumlah KPH. Beroperasinya KPH diindikasikan oleh keberadaan wilayah KPH, kelembagan atau organisasi KPH, dan sarana-prasarana KPH. Indikator ini pada kenyataannya tidak mencukupi bagi KPH untuk beroperasi secarea profesional dan mandiri. Variable lain seperti