• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini merupakan studi awal bagi metode alternatif kultur diferensiasi ESC mencit menjadi neuron secara in vitro, yang akan digunakan untuk kepentingan penelitian yang pada akhirnya akan bermuara untuk kepentingan terapi degeneratif. Penelitian ini menggunakan conditioned medium dari kultur primer sel syaraf yang diyakini dapat menginduksi berkembangnya mESC menjadi neuron. Neuron yang terinduksi akan mengekspresikan nestin sebagai penanda molekuler bagi sel-sel progenitor neuron. Sebanyak 4 set sampel dari tiap perlakuan 10x-CM dan 1x-CM dikumpulkan untuk dianalisis pertumbuhan dan perkembangannya serta level ekspresi nestin dengan beta aktin sebagai kontrol pembanding. Metode pengukuran yang dipakai adalah semikuantitatif dengan 2 steps RT-PCR.

Beta aktin sebagai protein sitoskeleton diketahui bersifat relatif stabil dan secara umum berada dalam level konstan pada semua sel. Beta aktin digunakan sebagai kontrol prosedur teknis yaitu kontrol internal untuk kesalahan percobaan. Beta aktin terkonservasi dalam sel dan berfungsi dalam motilitas, struktur, dan integritas sel. Beberapa sumber menyatakan bahwa beta aktin terekspresi secara konstan pada semua sel tanpa pemberian perlakuan tertentu sebelumnya (Kouadjo et al 2007).

Kultur Primer Sel Syaraf

Kultur primer sel syaraf digunakan sebagai sumber untuk mendapatkan conditioned medium. Sumber eksplan yang digunakan adalah hemisfer serebri mencit yang berusia 2 hari. Bagian hemisfer serebri tersebut merupakan sumber dari berbagai tipe sel syaraf yang memiliki karakter multipoten, sehingga diharapkan porsi sel-sel progenitor masih tinggi. Dengan menggunakan metode monolayer, maka selain pertumbuhan dari sel-sel neurogenic juga terlihat perkembangan dari sel-sel non neurogenic seperti sel fibroblas (Walton et al 2006).

Selama penelitian, karakter dari kultur primer sel syaraf yang teramati adalah sel-sel tunggal cenderung membentuk ‘kaki-kaki’ ketika melekat ke dasar

petri setelah 24 jam. Pada beberapa hari kemudian terlihat adanya pertumbuhan soma dan neurit sebagai ciri khas dari neuron serta terkadang membentuk koneksi antar akson dari sel yang lain. Untuk menentukan dengan pasti tipe sel yang berkembang pada kultur primer sel syaraf dapat dikonfirmasi dengan uji imunohistokimia, namun saat penelitian metode ini tidak dilakukan. Sementara itu, ketika dilakukan tripsinasi untuk subkultur ternyata viabilitas sel menjadi turun dan sel-sel yang tumbuh memiliki morfologi yang abnormal. Apabila periode kultur diperpanjang maka maturasi neuron terlihat dengan adanya pertumbuhan dendrit. Berikut merupakan gambaran dari perkembangan sel-sel syaraf selama kultur.

Gambar 3 Perkembangan sel syaraf dalam kultur setelah: (A) 24 jam, (B) 2 hari, (C) 4 hari, (D) 6 hari, (E, F) 8 hari. Panah putih (neurit); panah hitam

(soma). Skala bar 5 μm (A, B, C); 9 μm (D, E); 8 μm (F)

A B

C D

Secara in vivo, perkembangan neuron ditandai dengan adanya soma dan neurit. Tingkat maturasi sel syaraf salah satunya ditentukan oleh jumlah neurit. Pada neuron bipolar memiliki soma berbentuk oval dan satu penjuluran akson serta dendrit, sedangkan pada neuron multipolar memiliki satu akson dan dendrit yang berkembang dari soma. Dengan adanya dendrit dan akson maka memungkinkan bagi neuron untuk saling berhubungan satu satu dengan yang lain melalui mekanisme sinapsis. Sinapsis dapat terbentuk melalui hubungan antara akson dengan akson, akson dengan dendrit, dan akson dengan soma (Akers dan Denbow 2008).

Conditioned Medium

Contioned medium adalah medium kultur yang telah digunakan sebagian oleh suatu sel. Conditioned medium mengandung sejumlah faktor yang disekresikan oleh kultur sel tersebut. Faktor-faktor tersebut diyakini dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan sel yang dikultur. Pada umumnya, CM digunakan dengan mencampurnya dengan fresh medium kultur. Beberapa riset melakukan purifikasi terhadap faktor-faktor yang terkandung di dalam CM, dengan maksud agar didapatkan spektrum protein yang mengandung protein target. Telah diketahui sebelumnya bahwa CM yang berasal dari kultur primer sel syaraf mengandung sejumlah komponen penting seperti growth factor (faktor pertumbuhan) antara lain NGF (nerve growth factor), GDNF (glial derived- neurotrophic factor), dan GFAP (glial fibrillary acidic protein) (Xu et al 2005).

Conditioned medium yang dikoleksi dari kultur primer setelah inkubasi selama 48 jam, kemudian dilakukan proses pemekatan menggunakan Centricon plus 20®. Centricon plus 20® menerapkan prinsip ultrafiltrasi yang akan menyebabkan hanya protein berberat molekul lebih dari 10 kDa yang tertahan. Selanjutnya dilakukan pengukuran konsentrasi terhadap konsentrat hasil pemekatan dan CM tanpa pemekatan. Hasilnya adalah 2615 μg/ml (untuk 10x- CM) dan 490 μg/ml (untuk 1x-CM). 10x-CM merupakan CM hasil pemekatan sedangkan 1x-CM merupakan CM tanpa pemekatan. Dengan kata lain, 10x-CM mengandung sejumlah concentrated protein dengan berat molekul lebih dari 10 kDa yang berkontribusi penting bagi diferensiasi ESC mencit menjadi neuron.

Sedangkan 1x-CM merupakan CM yang mengandung sejumlah crude protein. Berikut merupakan hasil pengukuran konsentrasi CM dengan Biorad Protein Assay.

Gambar 4 Hasil pengukuran konsentrasi CM

Dengan memasukkan nilai absorbansi kedua macam CM yaitu 1,469 (10x-CM) dan 0,619 (1x-CM) pada persamaan tersebut, maka didapat nilai konsentrasinya adalah 2615 μg/ml (untuk 10x-CM) dan 490

μg/ml (untuk 1x-CM)

Dengan meninjau kembali pada spesifikasi dari Centricon plus 20®, maka penggunaan Centricon menjadi krusial. Centricon memiliki membran ultracel regenerated cellulose yang bersifat low binding terhadap molekul protein. Sehingga diharapkan protein yang hilang dapat diminimalisir. Di lain pihak, beberapa studi mengemukakan bahwa penggunaan Centricon dapat menyebabkan terjadinya protein loss akibat adanya sejumlah molekul protein yang masih menempel pada dinding Centricon, sehingga tidak seluruhnya dapat terkoleksi sebagai konsentrat. Namun demikian, beberapa riset menyatakan bahwa Centricon tetap dapat digunakan dalam melakukan proses pemekatan sampel protein.

Konsentrasi Standar y = 0.0004x + 0.0507 R2 = 0.9808 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 BSA (ug/m l) A b so rb an s

Kultur ESC mencit

Kultur ESC dilakukan menurut petunjuk dari Zhang et al 2006 dengan sedikit modifikasi. Inner cell mass yang berhasil diisolasi secara immunosurgery dikultur dengan pemberian LIF 20 ng/ml selama 8 hari dalam petri yang telah dilapisi gelatin. Selama penelitian terlihat adanya pertumbuhan dan perkembangan dari sel-sel ICM. Hal tersebut ditandai dengan mulai melekatnya koloni ICM pada dasar petri setelah 24 jam kultur (Gambar 5). Perlekatan menandakan bahwa sel mampu berinteraksi dengan kondisi kultur yang diberikan dan viabilitas sel itu sendiri.

Gambar 5 Perkembangan ICM selama kultur ESC. ICM yang attach setelah 24 jam (A), koloni primer ESC dengan outgrowth (panah) pada hari ke-4 (B), dan koloni setelah hari ke-8 yang memperlihatkan area outgrowth (C). Skala bar 2 μm (A), 5 μm (B dan C)

Selama kultur, ternyata pemberian LIF mampu mendukung perkembangan sel tetap dalam tahap undifferentiated. LIF merupakan anggota interleukin-6 (IL- 6) cytokine family yang berperan dalam mempertahankan pluripotensi dan self renewal ESC mencit. LIF menstimulasi ESC mencit melalui gp130 yang berfungsi sebagai heterodimer bersama dengan LIF receptor. Aktivasi gp310 menyebabkan teraktivasinya janus associated tyrosine kinase (JAK) dan signal transducer and activation of transcription 3 (STAT3). STAT3 selanjutnya masuk ke dalam nukleus dan menyebabkan ekspresi gen c-Myc, Oct4 atau Tbx3 yang berperan dalam mempertahankan pluripotensi dan self renewal ESC. Bukti terakhir menunjukkan bahwa Oct4 selalu diekspresikan eksklusif di semua ESC (Pesche dan Scholer 2001).

Secara umum, terlihat bahwa ICM yang dikultur mampu berkembang dalam medium ESC yang didapat dari 4 kali pengulangan (Tabel 1). Keseluruhan blastosis yang diperoleh dibagi ke dalam 2 kelompok, tiap kelompok terdiri atas 200 embrio. Kondisi kultur yang diberikan kepada kedua kelompok tersebut adalah sama. Dari 200 blastosis yang berhasil dikoleksi kemudian dilakukan immunosurgery, ada sebagian embrio yang belum mampu berkembang dalam kondisi kultur yang diberikan.

Tabel 1 Perkembangan ICM dalam kultur

Perlakuan Jumlah embrio Attachment rate (%) Koloni primer (%) Outgrowth (%) 10x-CM 1x-CM 200 200 147 (73.5 ± 2.52) 145 (72.5 ± 4.43) 132 (66 ± 7.66) 134 (67 ± 5.29) 132 (66 ± 7.66) 132 (66 ± 4.90)

Kemampuan ICM untuk melekat ke dasar petri (attachment rate) pada kedua kelompok berturut-turut adalah 73.5 ± 2.52% dan 72.5 ± 4.43%. Attachment rate diobservasi pada 24 dan 48 jam setelah penanaman. ICM yang melekat selanjutnya akan tumbuh dan berkembang membentuk koloni primer. Perkembangan koloni primer ditandai dengan bertambahnya diameter koloni seiring bertambahnya hari pengamatan. Beberapa peneliti berpendapat bahwa koloni primer memiliki sel-sel dengan karakter stem cell. Hingga hari ke-8, koloni primer yang terbentuk yaitu 66 ± 7.66% dan 67 ± 5.29%. Pada koloni primer,

stem cell tumbuh dan berkembang membentuk multilayer. Selain itu juga terlihat adanya pertumbuhan sel ke arah samping koloni atau outgrowth. Sebanyak 66 ± 7.66% dan 66 ± 4.90% koloni dapat berkembang membentuk outgrowth.

Secara keseluruhan, persentase perkembangan ICM dalam kultur yang diperoleh selama penelitian apabila dibandingkan dengan hasil perkembangan kultur ICM oleh peneliti-peneliti sebelumnya yaitu masih rendah. Salah satu faktor yang mungkin menjadi penyebabnya adalah para peneliti sebelumnya menggunakan feeder layer, sedangkan pada penelitian ini tidak menggunakan feeder layer. Feeder layer menyediakan lingkungan kultur yang mampu mendukung perkembangan ICM. Pada kultur ESC, sel-sel fibroblas umum digunakan sebagai feeder layer karena diyakini memproduksi sejumlah agen mitogen yang dapat menunjang perkembangan ICM serta adanya kontak langsung juga berefek positif (Joo 2001).

Diferensiasi ESC Mencit menjadi Neuron

Diferensiasi ESC menjadi neuron dilakukan setelah hari ke-8 kultur. Pada saat itu telah terlihat adanya outgrowth dari koloni primer. Observasi terhadap kultur diferensiasi dilaksanakan selama 7 hari. Selama pengamatan, terlihat adanya beberapa sel yang memiliki morfologi seperti neuron (neural-like cells) atau NLC yaitu adanya pertumbuhan neurit. Fenomena yang tampak selama proses kultur diferensiasi adalah pertumbuhan NLC cenderung di area outgrowth dengan kepadatan sel yang relatif rendah. Selain itu beberapa NLC memiliki neurit yang membentuk anastomosa dengan sel lainnya. Neuron yang tumbuh diidentifikasi sebagai neural-like cells (NLC) dikarenakan pewarnaan spesifik neuron dan pengujian imunositokimia untuk menentukan tipe atau jenis sel yang tumbuh tidak dilakukan. Berikut merupakan karakter sel yang berdiferensiasi.

Tabel 2 Karakter koloni yang berdiferensiasi

Perlakuan Sampel Outgrowth Koloni dengan

NLC (%) NLC 10x-CM A01 A02 A03 A04 34 38 30 30 3 (8.82) 5 (13.16) 2 (6.67) 2 (6.67) 12 (8.83 ± 3.06) + ++ + + 1x-CM B01 B02 B03 B04 31 31 36 34 0 0 0 0 0 (0.00 ± 0.00) ta ta ta ta

Dari koloni yang berdiferensiasi terdapat < 50 NLC (+) dan 50 – 200 NLC (++); ta = tidak ada

Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa pada sampel dengan penambahan 1x- CM tidak menunjukkan adanya pertumbuhan NLC. Hal yang berbeda tampak pada sampel dengan penambahan 10x-CM. Sebanyak 8.83 ± 3.06% NLC teramati di bagian outgrowth, sehingga dapat dikatakan bahwa penambahan 10x-CM lebih mampu menginduksi terbentuknya NLC dari mESC. Kemampuan tersebut dikarenakan CM yang telah dikonsentratkan hingga 10 kali diduga mengandung sejumlah komponen protein yang dapat dijadikan kandidat untuk mengarahkan perkembangan mESC menjadi NLC. Hal senada juga dikemukakan oleh Fukuda et al (2006) dan Moghadasali et al (2007) bahwa conditioned medium dari kultur primer syaraf mengandung sejumlah faktor yang penting bagi perkembangan ESC menjadi neuron seperti FGF-2, NGF, GDNF, dan GFAP. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan riset-riset sebelumnya persentase NLC yang berkembang masih sangat rendah. Faktor yang mungkin menjadi penyebabnya adalah kemungkinan belum optimalnya kandungan dari CM yang digunakan sebagai dampak dari adanya fenomena protein loss pada penggunaan sistem untuk pemekatan. Selain itu apabila ditinjau dari aspek sumber pembuatan CM, dugaan yang timbul adalah kemungkinan kultur primer sel syaraf yang berkembang

selama 8 hari telah memiliki neuron yang matang sehingga porsi untuk NPC rendah.

Perkembangan NLC pada tiap sampel memiliki sedikit perbedaan. Secara visual, NLC cenderung mudah terlihat dikarenakan tumbuh di area outgrowth, memiliki soma dan neurit. Selanjutnya NLC dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok berdasarkan jumlahnya pada tiap sampel. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa jumlah NLC dari tiap sampel bervariasi. Pada sampel A01, A03, dan A04 memiliki NLC lebih sedikit dibanding sampel A02. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh faktor kondisi fisiologis dari sampel. Sandra et al 2005 menyatakan bahwa setiap sel memiliki kemampuan untuk merespon terhadap stimulus yang diberikan berbeda. Dugaan tersebutlah yang mendasari perbedaan tersebut. Sementara itu, pada perlakuan 1x-CM tidak tampak adanya perkembangan NLC. Berikut merupakan gambaran NLC yang teramati.

Gambar 6 Beberapa neural-like cells yang teramati pada hari ke-7 Skala bar 5 μm (A, B, C) dan 7 μm (D)

A B

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa CM berperan besar dalam diferensiasi mESC menjadi neuron. Berbagai riset membuktikan bahwa sejumlah komponen penting dalam CM ikut berkontribusi. Sebagai contoh, FGF-2 dan EGF berperan untuk meregulasi diferensiasi NPC menjadi neuron dan astrosit (Bjorklund et al 2002), bFGF berkontribusi dalam neurit outgrowth, GDNF mampu mendukung perkembangan neuron dopamine (Hoefen et al 2004), serta NGF dapat menginduksi perkembangan mESC menjadi neuron (Kitazawa dan Shimizu 2005).

Ekspresi nestin

Isolasi RNA total dari tiap sampel dilakukan setelah kultur diferensiasi berusia 7 hari (Pachernik et al 2002). Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa RNA total yang berhasil diisolasi dari tiap sampel terdapat pada kisaran 29.80 ng/μl hingga 90.40 ng/μl. Sebagai kontrol positif terhadap nestin adalah jaringan otak yang memiliki RNA total dengan konsentrasi 90.40 ng/μl. Setelah RNA total didapat maka dilakukan konversi ke cDNA. Namun demikian, selama penelitian tidak dilakukan penyesuaian atau penyamaan konsentrasi awal RNA yang akan dikonversi, sehingga hasil pembacaan PCR dari keseluruhan koloni sel pada tiap sampel.

Tabel 3 Hasil isolasi RNA total dari sampel

Sampel Nama sampel Kadar RNA (ng/μl) Rasio A260/280

10x-CM A01 A02 A03 A04 Rata-rata 45.90 58.60 30.50 29.80 41.20 ± 13.78 1.97 2.26 1.81 1.89 1.98 ± 0.20 1x-CM B01 B02 B03 B04 Rata-rata 38.80 48.40 67.40 59.50 53.53 ± 12.53 1.83 1.89 2.11 2.05 1.97 ± 0.13 Jaringan otak C01 90.40 1.86

Untuk mendeteksi ekspresi dari gen target, sebelumnya dilakukan optimasi terhadap primer agar didapatkan hasil pembacaan pita tunggal dan spesifik. Berdasarkan hasil PCR, dapat dikatakan bahwa pemilihan primer sudah cukup spesifik sehingga produk yang dinilai intensitasnya (pita sebesar 327 bp untuk nestin) hanya mencerminkan hasil amplifikasi RNA, dan bebas dari kontaminasi DNA genomik.

Hasil PCR mengkonfirmasi bahwa sampel dengan penambahan 1x-CM tidak menghasilkan pita ekspresi nestin. Sedangkan pada sampel dengan penambahan 10x-CM terlihat bahwa nestin terekspresi dengan intensitas pita yang bervariasi (Gambar 7).

Gambar 7 Hasil gel elektroforesis sampel 10x-CM.

Pita hasil PCR berturut-turut adalah sampel A01 (1), A02 (2), A03 (3), A04 (4), jaringan otak (5), dan size marker 100 bp (6)

Nestin merupakan penanda molekuler awal yang digunakan untuk mendeteksi adanya neural progenitor cell (NPC). Perbedaan level ekspresinya bergantung dari jumlah sel progenitor pada tiap sampel. Sebagai kontrol

1 2 3 4 5 6 300 bp nestin 400 bp 327 bp beta aktin 500 bp 600 bp 580 bp

pembanding digunakan beta aktin. Setelah setiap gel didokumentasikan dengan G-box, maka dilakukan kuantitasi hasil pita-pita bacaannya. Hasil pengukuran untuk masing-masing sampel dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil rasio ekspresi nestin terhadap beta aktin pada sampel 10x-CM Nama

sampel

Nestin Beta aktin Rasio (Nestin/b aktin) Koloni yang berdiferensiasi Rasio per koloni A01 4297184 36588925 0.11744 3 0.039 A02 5003241 24625091 0.20318 5 0.041 A03 2558586 31653941 0.08083 2 0.040 A04 2914525 33302452 0.08752 2 0.044 Jaringan otak 26878599 384811474 0.69848

Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa hasil pembacaan beta aktin memiliki lebar variasi yang mirip untuk setiap sampel, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya kemiripan jumlah ekspresi beta aktin pada setiap sampel. Sedangkan untuk rasionya sendiri memiliki kisaran antara 0.08 sampai 0.69. Pada sampel dengan penambahan 10x-CM, sampel A02 memiliki nilai rasio nestin terhadap beta aktin tertinggi yaitu 0.20318 dan yang terendah adalah sampel A03 yaitu 0.08083. Sedangkan pada kontrol positif yaitu jaringan otak memiliki nilai rasio 0.69848. Apabila dibandingkan dengan kontrol positif maka nilai rasio dari tiap sampel dengan penambahan 10x-CM sudah sesuai yaitu nilainya lebih kecil.

Informasi lain yang dapat diangkat bahwa rasio ekspresi nestin/beta aktin dari tiap sampel memiliki kemiripan dan memiliki korelasi dengan jumlah koloni yang berdiferensiasi. Apabila dibandingkan antara nilai rasio nestin/beta aktin dengan jumlah koloni yang berdiferensiasi maka didapat nilai rasio ekspresi per koloni adalah berkisar 0.04 (pada semua sampel). Namun demikian, nilai rasio tersebut belum dapat dikatakan sebagai faktor utama ekspresi nestin dikarenakan masih diperlukan perbaikan dari proses PCR. Untuk menentukan ekspresi gen dari sel kultur diperlukan optimasi jumlah sel yang diisolasi RNA-nya dan optimasi jumlah siklus PCR, sehingga ekspresi yang muncul tidak bias.

Potensi 10x-CM dalam Diferensiasi mESC Mencit menjadi Neuron

Berdasarkan hasil-hasil penelitian didapatkan bahwa 10x-CM dapat menginduksi mESC menjadi NLC. Hal tersebut dikarenakan 10x-CM memiliki komponen protein yang berperan penting untuk diferensiasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan menggunakan Centricon plus 20® maka sejumlah protein dengan berat molekul di atas 10 kDa yang terkoleksi. Namun demikian, untuk menentukan faktor penginduksi atau protein mana yang memang berperan untuk mendiferensiasikan mESC menjadi NLC dalam penelitian ini masih belum dapat diinformasikan. Hal tersebut dikarenakan pengujian untuk mengidentifikasi profil protein dalam 10x-CM belum dilakukan. Lin et al 2008 juga menyatakan bahwa protein loss kemungkinan besar terjadi pada proses pemekatan menggunakan sistem filter, namun metode pemekatan sampel menggunakan sistem filter cukup reliable untuk diterapkan. Dengan menggunakan metode pemekatan ini maka didapatkan bagian konsentrat dan filtrat. Untuk menguji adanya protein loss maka filtrat perlu dikaji lebih lanjut. Filtrat ditengarai juga berpotensi mampu menginduksi. Filtrat merupakan hasil pemekatan 10x yang mengandung komponen protein dengan berat molekul < 10 kDa.

Dokumen terkait