• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stem cell atau stem cell, diprediksi memegang kunci untuk pengobatan beberapa penyakit yang pada saat ini tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan konvensional. Berkat kemajuan medis yang sifatnya preventif dan terapetik, umur rata-rata masyarakat modern pun cenderung meningkat. Hal ini mendorong munculnya penyakit degeneratif seperti Alzheimer, Parkinson, diabetes dan penyakit jantung yang menjadi beban sangat besar dalam sistem kesehatan (Mattson et al 2002). Beberapa pengobatan yang tersedia untuk penyakit tersebut dirasakan belum optimal. Pengobatan yang ada umumnya bersifat mengelola kondisi pasien demi memperbaiki kualitas hidupnya. Kondisi yang diderita tetap harus dimonitor untuk jangka waktu panjang, sehingga pada akhirnya akan menjadi beban finansial yang berat. Hal tersebut mendorong peneliti untuk mencari alternatif metode pengobatan dengan menggunakan stem cell (Atmosukarto 2005).

Selama bertahun-tahun para peneliti mencari dan mencoba memahami mengapa sebagian sel dan organ tubuh manusia mampu memperbaiki diri sedangkan sel dan organ lainnya tidak. Saat ini pencarian tersebut difokuskan pada bidang stem cell. Stem cell merupakan hasil penelitian dasar di bidang biologi yang diperkirakan dapat membawa terobosan yang besar di bidang kedokteran. Stem cell adalah jenis sel khusus yang memiliki kemampuan membentuk ulang dirinya dan pada saat bersamaan dengan pacuan yang tepat mampu membentuk diri menjadi sel yang terspesialisasi (NIH 2001). Sel-sel tersebut merupakan kumpulan sel yang dapat ditemukan pada semua tahap perkembangan mulai dari masa embrio preimplantasi hingga masa dewasa. Terdapat dua kelompok utama stem cell menurut sumbernya yaitu yang diisolasi dari inner cell mass embrio dan yang diisolasi dari berbagai jaringan dewasa (Denham et al 2007).

Pada tahun 1981, telah dilaporkan bahwa Evans dan Kaufman berhasil mengisolasi stem cell dari embrio mencit. Stem cell ini disebut embryonic stem cell (ESC). Untuk mendapatkannya mereka melakukan pembedahan mikro pada

bagian inner cell mass (ICM) dari blastosis mencit. Sel-sel tersebut merupakan sel-sel yang belum berdiferensiasi, dapat berproliferasi selama periode yang tak terbatas dalam kultur, dan dapat diinduksi untuk berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel dengan fungsi khusus sehingga bersifat pluripoten. Sementara itu penggunaan ESC dalam dunia klinis sampai saat ini belum dapat tercapai mengingat kontroversi etis masih melingkupinya. Namun demikian tidak menutup kesempatan bagi ESC untuk dikembangkan lebih dalam mengingat sifatnya yang khas tersebut (Setiawan 2006).

Stem cell dari jaringan dewasa (adult stem cell) dapat memperbanyak diri, tetapi mempunyai kemampuan diferensiasi yang terbatas. Jenis sel ini hanya dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel tertentu; karena itu sifat ASC adalah multipoten. Terdapat berbagai sumber yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber ASC diantaranya adalah sumsum tulang dan jaringan fetomaternal seperti darah tali pusat, matriks tali pusat, serta plasenta. Subset stem cell yang diketahui terkandung di dalamnya antara lain hematopoietic stem cells (HSC), bone marrow stromal cells, dan mesenchymal stem cells (MSC). Beberapa riset telah dilakukan untuk membuktikan manfaatnya sebagai sarana terapi berbasis sel seperti pada pasien-pasien keganasan hematologi, stroke, maupun terapi infark miokard (Guckin et al 2005).

Saat ini, aplikasi ESC dalam terapi beberapa penyakit telah banyak dikembangkan. Transplantasi ESC untuk terapi pada manusia masih menghadapi persoalan. Hal tersebut dikarenakan adanya persoalan reaksi penolakan imun antara resipien dengan donor yang tidak dekat kekerabatannya dan masalah etika ketika harus menggunakan embrio dari manusia. Keadaan itulah yang mendasari mengapa transplantasi ESC untuk terapi penyakit masih menggunakan hewan model (Matahine dan Boediono 2006).

Telah dikemukakan bahwa ESC memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel penyusun tubuh, salah satunya adalah sel-sel syaraf. Aplikasi ESC untuk terapi penyakit neurodegeneratif terbukti bermanfaat meskipun masih dalam tahap penelitian pada hewan coba. Beberapa contoh penyakit neurodegeneratif yang telah dilaporkan dapat diterapi dengan menggunakan ESC ataupun sel prekursor pada hewan coba antara lain central

nervous system (CNS) injury (Liu et al 2000) dan Parkinson (Bjorklund et al 2002). Pada penelitian tersebut terungkap bahwa resipien mampu menunjukkan perbaikan fungsional pada sistem koordinasinya.

Diferensiasi Embryonic Stem Cells

Stem cell memiliki beberapa sifat dasar yang menjadi ciri-ciri dari stem cell. Pertama, sel ini dapat bertambah banyak dengan cepat, tanpa mengalami perubahan morfologis termasuk pada kariotipnya (jumlah kromosomnya) dan dapat dipertahankan dalam keadaan ‘tidak terdiferensiasi’ untuk jangka waktu yang lama. Kedua, stem cell yang telah dikultur dapat dikembalikan dengan mikroinjeksi ke dalam blastosis resipien dan berkontribusi pada perkembangan embrio hasil penggabungan sel dari dua sumber yang berbeda itu. Embrio yang dihasilkan dinamakan chimaera (Bryja et al 2006).

Berdasarkan karakter yang dimiliki, ESC dapat diarahkan perkembangannya menjadi tiga lapisan embrional yaitu mesoderm, endoderm, dan ektoderm. Berbagai penelitian telah dilakukan guna mengembangkan metode diferensiasi ESC menjadi tipe sel yang lain, termasuk neuron. Metode tersebut antara lain melalui pembentukan embryoid bodies (EB). Embryoid bodies merupakan sekumpulan atau agregat sel yang pertumbuhannya dapat mengarah pada sel-sel ektodermal, endodermal, dan mesodermal. Metode yang kedua adalah kokultur ESC dengan sel stroma. Sel stroma dapat menyediakan berbagai faktor yang dibutuhkan untuk berdiferensiasi. Metode yang ketiga yaitu mengkultur ESC secara monolayer dengan menggunakan protein sebagai matriks ekstraseluler (Hoefen et al 2004, Keller 2005). Ketiga metode tersebut telah banyak dikembangkan guna mendapatkan metode yang dapat diaplikasikan untuk tujuan terapi. Sementara itu, pada proses diferensiasi sering kali dibutuhkan kondisi in vitro yang terukur, salah satunya dengan menggunakan medium bebas serum. Hal tersebut dikarenakan serum memiliki berbagai macam senyawa seperti protein, hormon, dan growth factor (Puspitasari et al 2008).

Berbagai riset telah dilakukan dengan menerapkan EB sebagai fase atau tahap prediferensiasi dari ESC. Wei et al 2005 mengungkapkan bahwa pembentukan EB diperlukan dalam diferensiasi in vitro. Selama diferensiasi,

agregat sel tersebut memiliki kemampuan untuk mengekspresikan perkembangan embriogenesis. Kumpulan sel ini memiliki karakter seluler dari tiga lapis germinal yaitu ektodermal, mesodermal, dan endodermal. Pada kondisi tertentu EB dapat berkembang membentuk suatu tipe sel dengan memberikan sinyal yang tepat dan juga dipengaruhi oleh interaksi antar sel (Bhattacharya et al 2005).

Dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dari metode untuk mendiferensiasikan ESC, beberapa peneliti telah memperkenalkan metode yang lebih simpel dengan hasil yang cukup baik. Metode tersebut adalah mendiferensiasikan ESC tanpa melalui pembentukan EB. Hal yang mendasarinya adalah EB memiliki sejumlah sel yang heterogen dengan kompleksitas seluler yang tinggi sehingga perlu dilakukan purifikasi. Metode yang digunakan yaitu dengan menumbuhkan ESC yang akan diarahkan perkembangannya secara monolayer (Conti et al 2005).

Metode tanpa pembentukan EB telah diterapkan pada diferensiasi mESC menjadi neuron. Motohashi et al 2007 menjelaskan bahwa mESC yang ditumbuhkan dalam sistem kultur monolayer dengan stimulasi sinyal dari retinoic acid mampu meningkatkan populasi sel prekursor neural secara signifikan. Koloni sel yang terbentuk mengekspresikan marker molekuler untuk neuron (beta Tubulin III) dan sel glia (GFAP). Sementara itu, metode monolayer juga diaplikasikan pada kultur neural stem cells yang disertai induksi dari EGF dan bFGF menghasilkan outgrowth sel-sel yang positif mengekspresikan nestin dan GFAP (Walton et al 2006). Dengan demikian terlihat bahwa metode monolayer yang dikombinasikan dengan penambahan senyawa penginduksi dapat diterapkan untuk mendiferensiasikan stem cell menjadi neuron.

Conditioned Medium

Teknik diferensiasi menggunakan faktor penginduksi saat ini telah banyak diaplikasikan oleh berbagai kelompok riset stem cell. Dengan menilik kembali pada konsep dasar kultur in vitro, kondisi microenvironment ternyata juga turut menjadi salah satu faktor keberhasilan. Dengan memberikan microenvironment yang spesifik, stem cell dapat tumbuh dan berkembang dengan mengekspresikan karakter tertentu (Sonoyama et al 2007).

Salah satu teknik pengarahan adalah dengan mengaplikasikan suatu senyawa penginduksi misalnya conditioned medium (CM), yang bertindak sebagai penyedia microenvironment bagi kultur. Conditioned medium merupakan medium yang dikoleksi dari suatu kultur primer dan mengandung sejumlah komponen hasil sekresi kultur primer tersebut. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa CM mengandung sejumlah faktor yang dapat menginduksi diferensiasi ESC. ESC yang dikultur dalam medium bebas serum dengan penambahan CM dapat berkembang menjadi sel-sel progenitor neuron, neuron, maupun sel-sel glia (Bentz et al 2006).

Eksplorasi mengenai pengaplikasian CM guna pengarahan stem cell menjadi neuron saat ini telah memberikan berbagai hasil. Hasil tersebut nantinya diharapkan dapat berkontribusi untuk menjawab berbagai permasalahan transplantasi stem cell. Dengan meninjau kembali bahwa CM terdiri atas komponen yang bermanfaat besar bagi pengembangan metode kultur, maka saat ini telah dicoba untuk menguraikan komponen CM itu sendiri. Berbagai metode telah dilakukan guna mendapatkan profil protein penyusun CM (Timmers et al 2007). Dengan demikian dapat diperoleh protein-protein yang menjadi kandidat dalam diferensiasi stem cell menjadi neuron. CM yang digunakan dapat berasal dari kultur neural stem cell (Zhang et al 2006), dorsal root ganglia dan sel astrosit serta glia (Moghadasali et al 2007).

Neural Stem Cell

Pada otak mamalia terdapat tiga area yang mengalami neurogenesis yaitu subventricular zone (SVZ), olfactory bulb (OB), dan lapisan sel granular hippocampus (gambar 1). Pengujian terhadap tingkat proliferasi dengan menggunakan penanda bromodeoxyuridine (BrdU) pada sejumlah mamalia membuktikan bahwa neurogenesis tetap berlangsung hingga individu mengalami penuaan (senescence) (Doetsch et al 1997).

Gambar 1. Area neurogenesis pada otak mencit yaitu subventricular zone, olfactory bulb, dan lapisan sel granular hippokampus

(Doetsch et al 1997)

Beberapa subtipe sel teridentifikasi berada di area SVZ dan memiliki peranan tertentu. Subtipe astrocyte-like cells atau stem cells tipe B memberikan ekspresi positif terhadap penanda GFAP. Sel glia radial mampu berdiferensiasi menjadi neural precursor cells. Neural stem cells (NSC) membelah secara asimetris menghasilkan astrocyte-like cells dan sel prekursor (Tipe C). Selanjutnya sejumlah sel tipe B dan tipe C membentuk semacam saluran sehingga neuroblast bermigrasi menuju sub ventricular zone. Neuroblast yang bermigrasi merupakan hasil diferensiasi sel tipe C dan dinamakan sel tipe A. Neuroblast membelah hingga terintegrasi sebagai sel granular di area OB. Sementara itu, sel- neuron yang matur mengisi area korteks. Selanjutnya stem cells di lapisan sub granular menghasilkan sejumlah sel prekursor (Gambar 2). Kemudian neuroblast bermigrasi menuju lapisan sel granular dan memiliki dendrit di lapisan molekuler (Cleary et al 2006). Dengan demikian, pertumbuhan dan perkembangan NSC melibatkan serangkaian tahapan mulai dari pembelahan, diferensiasi, migrasi, dan maturasi.

Gambar 2. Skema perkembangan neural stem cell dapat diidentifikasi dengan menggunakan sejumlah penanda yang spesifik (Cleary et al 2006)

Pada umumnya diferensiasi stem cell menjadi neuron mengkonfirmasi adanya penanda neural progenitor cell (NPC) yaitu nestin. Nestin mengkode protein filamen intermedit tipe VI. Filamen intermedit diketahui terlibat dalam pengaturan morfologi bipolar dan kinetika sel prekursor (Kang et al 2007).

Secara struktural, nestin memiliki domain N terminal terpendek dan domain C terminal terpanjang diantara protein filamen intermedit lainnya. Nestin merupakan molekul besar dengan terminal memiliki lebih dari 500 residu. Pada manusia, nestin mengkode protein dengan 1618 asam amino. Nestin sebagai protein filamen intermedit terlibat dalam pembelahan sel selama tahap perkembangan awal dari CNS, peripheral nervous system (PNS), dan sel myogenic. Selama diferensiasi, nestin mengalami down regulasi dan ekspresinya tergantikan oleh protein filamen intermedit tissue spesific. Ketika berlangsung neurogenesis dan gliogenesis, nestin digantikan oleh filamen intermedit spesifik sel yaitu neurofilamen dan GFAP. Selain itu, ekspresi nestin juga muncul pada saat terjadi kondisi patologis misalnya terjadinya perlukaan sel glia akibat CNS injury dan saat regenerasi jaringan otot yang mengalami cidera. Namun demikian,

pembahasan detil mengenai fungsi dan regulasi nestin masih kurang. Informasi lain menyatakan bahwa regulasi nestin bergantung pada siklus sel (cell cycle- dependent). Ekspresinya meningkat ketika sel berada pada fase G1-S yaitu NPC mengalami pemanjangan dari dendrit. Selanjutnya ekspresi akan menurun pada fase G2-M yaitu saat NPC bermitosis. Fosforilasi upstream faktor transkripsi POU kelas III (Pou3f2) menurunkan aktivitas ikatan terhadap elemen enhancer nestin sehingga transkripsi nestin menurun pada fase G2-M. Perlu diketahui bahwa nestin merupakan gen target dari faktor transkripsi SOX-POU dimana protein SOX berkontribusi dalam mempertahankan keadaan tetap NPC (Sunabori et al 2008).

Dokumen terkait