• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Usahatani Tembakau di Jawa Timur

Tembakau memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi ekonomi, fungsi sosial, dan fungsi budaya. Secara ekonomi, tembakau yang memiliki masa tanam singkat telah memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Tembakau memiliki nilai ekonomis tinggi sebagai bahan yang dibutuhkan bagi industri rokok dan cerutu. Penerimaan negara dari industri hasil tembakau berupa cukai dan devisa. Tembakau juga berkontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) sesuai dengan jenis tembakau dan luas areal penanaman tembakau di daerah tersebut. Ditinjau dari sisi sosial budaya, menanam tembakau merupakan tradisi turun temurun bagi sebagian besar petani. Petani telah berhubungan dengan tembakau selama bertahun-tahun sejak mereka kecil sehingga ada faktor kesetiaan dari petani untuk tetap mengusahakan komoditi yang telah diwariskan leluhurnya. Selain itu, pengelolaan tanaman tembakau dilakukan secara intensif sehingga pada proses penanaman hingga pengolahan melibatkan banyak tenaga kerja.

Rata-rata areal tembakau di Jawa Timur 110 813 Ha per tahun dengan total produksi 83 292 ton. Lahan tembakau tersebut tersebar di 21 kabupaten dengan 102 742 Ha tembakau Voor-Oogst dan 8 072 Ha tembakau Na-Oogst. Pada tahun 2006, nilai investasi petani tembakau Jawa Timur sebesar 6.2 juta rupiah per Ha atau total sebesar 682 milyar rupiah. Besar investasi tersebut belum termasuk sewa lahan dan investasi gudang pengering. Usahatani tembakau telah menyerap 250 HOK per Ha per musim tanam atau total 27 703 250 HOK. Tembakau juga telah menyumbang cukai sebesar 75 persen atau 31,35 trilyun dari total nilai nasional sebesar 42 trilyun pada tahun 2007. Industri hasil tembakau di Jawa Timur berjumlah sekitar 1 367 unit dengan produksi rokok 169 milyar batang per tahun.

Berdasarkan jenis daun yg dihasilkan tembakau digolongkan menjadi lima jenis, antara lain tembakau cerutu (tembakau deli, tembakau vorstenlanden, tembakau besuki), tembakau pipa, tembakau sigaret (Virginia, oriental/turki,

11% 19% 18% 24% 28% ≤ Rp 2.000.000,00 Rp 2.000.001,00 - ≤ Rp 3.000.000,00 Rp 3.000.001,00 - ≤ Rp 4.000.000,00 Rp 4.000.001,00 - ≤ Rp 5.000.000,00 ≥ Rp 5.000.001,00

burley), tembakau asli atau rajangan, dan tembakau asepan. Sedangkan berdasarkan waktu dan masa panen terdapat tiga jenis tembakau, yakni tembakau musim penghujan (Na-Oogst), tembakau musim kemarau (Voor-Oogst), dan tembakau antara musim hujan dan kemarau (NO-VO). Tembakau musim penghujan biasa digunakan sebagai bahan baku cerutu, sedangkan tembakau musim kemarau diolah untuk rokok, tembakau asepan, dan tembakau asli atau rajangan. Selain kedua jenis tembakau di atas, sebagian petani juga menanam tembakau antara musim hujan dan kemarau yang biasa disebut tembakau pipa.

Tembakau merupakan tanaman yang tumbuh di daerah kering dengan iklim kering. Kualitas tembakau berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya karena perbedaan karakteristik lahan. Tembakau tumbuh di tanah yang liat atau debu berpasir dengan pH antara 5,0-6,5, memiliki drainase yang baik, tebal 30-40 cm, di ketinggian 0–200 m dpl (dataran rendah), 200-700 m dpl (dataran medium), dan lebih 1000 m dpl (dataran tinggi). Tembakau tumbuh dengan baik di iklim kering dengan curah hujan rata-rata 2 000 mm per tahun di dataran rendah dan 1 500-3 500 mm per tahun dataran tinggi. Tembakau tidak boleh terlalu banyak mendapat air sehingga tembakau biasa ditanam di daerah yang perbedaan musim kemarau dan musim hujannya nyata dengan musim kemarau minimal 4 bulan hujan. Pada umur satu bulan pertama tanaman tembakau membutuhkan sedikit hujan, namun selanjutnya hingga panen membutuhkan iklim kering. Pola tanam tembakau dapat dilihat pada Gambar 14.

Padi, jagung, palawija Tanam Pemeliharaan Panen Pengolahan

Padi, jagung, palawija Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des

Gambar 14 Pola tanam tembakau

Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tulungagung (2013)

Penanaman tembakau dimulai dengan pembibitan. Pertama-tama tanah diolah menjadi butiran-butiran halus dan gembur. Kemudian dibuat bedengan dengan tinggi 20-30 cm, lebar 100 cm, jarak antar bedengan 100 cm, dan panjang sesuai kebutuhan. Arah bedengan membujur utara selatan. Atap bedengan menghadap ke timur atau memakai plastik putih sebagai penutup. Jumlah bibit sebanyak 400 batang per m2. Setelah pembibitan masuk ke tahap persiapan tanam. Tanah dibajak atau dicangkul 2 sampai 3 kali dengan kedalaman 25-30 cm. Setiap selesai diolah, tanah diangin-anginkan selama satu minggu. Kemudian dibuat bedengan dan gulutan sesuai dengan kemiringan tanah. Tidak lupa dibuat saluran drainase untuk pengairan tanaman tembakau.

Bibit tembakau yang sudah berumur 35-55 hari dapat mulai ditanam pada tanah dengan kapasitas lapang. Penanaman biasanya dilakukan sore hari di atas jam 14.00 atau bila perlu diberi pelindung pada saat proses penanaman. Bibit

tembakau ditanam dengan jarak tanam bervariasi 60 X 70 cm – 80 X 100 cm. Setelah dilakukan penanaman harus dilakukan pemeliharaan pada tanaman tembakau. Beberapa kegiatan pemeliharaan yang dilakukan petani antara lain penyulaman, penyiangan, pengairan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, serta pemangkasan. Tanaman tembakau dapat mulai dipanen saat berumur 65-75 hari saat daun tembakau berwarna hijau kekuningan, ujung daun melengkung dan sedikit mengering. Pemanenan tembakau saat umur tanaman masih terlalu muda akan menghasilkan daun tembakau dengan rasa pahit, warna tidak mengkilat, elastisitas rendah, ringan, dan rasa arum, sedangkan jika panen terlau tua mengakibatkan berat turun dan mudah rontok.

Biaya produksi yang dikeluarkan untuk usahatani tembakau relatif lebih tinggi dibandingkan tanaman lainnya seperti padi atau jagung. Biaya produksi tembakau untuk satu musim mencapai Rp 9 352 500/Ha dengan biaya tenaga kerja sebagai komponen biaya terbesar. Biaya ini dikeluarkan untuk pembelian sarana produksi, tenaga kerja, dan pemanenan. Biaya produksi usahatani tembakau secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 6. Komposisi biaya ini merupakan biaya yang dikeluarkan petani Bojonegoro dalam menjalankan usaha tembakau. Komposisi biaya dan pendapatan petani secara umum dapat dilihat pada Tabel 6. Perhitungan ini merupakan biaya yang dikeluarkan dan pendapatan yang diperoleh petani dari 1 Ha lahan tembakau irigasi di Lamongan.

Tabel 6 Komposisi biaya usahatani tembakau per hektar

Uraian Jumlah (Rp)

Biaya Produksi Biaya tenaga kerja

8 930 000 (Persemaian, pengolahan tanah, tanam, penyiangan,

penyiraman, panen, pasca panen) Biaya sarana produksi

955 000 (Bibit tembakau)

Lain-lain 520 000

Total biaya produksi 10 405 000

Hasil Produksi

Produksi tembakau rajangan = 1 552 Kg

Harga tembakau di tingkat petani = Rp 17 500,00 per kg

Total pendapatan petani (produksi x harga) 26 687 500

Hasil Usahatani Tembakau 16 282 500

Sumber: Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Lamongan (2013)

Setelah dipanen, tembakau kemudian diproses menjadi daun bahan setengah jadi berupa daun kering rajangan atau daun kering krosok. Proses ini disebut proses curing, yaitu pengolahan daun tembakau dari daun segar menjadi

keadaan tertentu sehingga dapat dimanfaatkan oleh perusahaan dengan cara mengatur suhu dan kelembabannya. Pengaturan suhu dan kelembaban daun tembakau dapat menimbulkan perubahan kimia dan biokimia di dalamnya. Tembakau kering rajangan adalah tembakau yang diolah dengan cara dipotong- potong (dirajang) terlebih dahulu kemudian dijemur, sedangkan tembakau kering krosok membutuhkan proses pengovenan untuk pengeringannya. Biaya pengolahan tembakau menjadi daun kering rajangan sebesar Rp 1 500 000 untuk hasil panen tembakau per hektarnya sedangkan untuk menjadi daun kering krosok dibutuhkan biaya sebesar Rp 2 500/kg daun kering krosok. Proses pengolahan ini memiliki peran yang cukup besar pada kualitas tembakau yang dihasilkan.

Tabel 7 Biaya pengolahan daun tembakau per hektar

No Uraian Jumlah Harga Satuan

(Rp) Total Biaya (Rp) 1 Daun Kering Rajangan

Perajangan daun 40

HOK 30 000 1 200 000

Pengeringan/pengepakan 10

HOK 30 000 300 000

Jumlah 1 500 000

2 Daun Kering Krosok Biaya pemrosesan

(oven)

2 500 per kg kering krosok Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bojonegoro (2012)

Daun tembakau yang dihasilkan dapat dijual dalam bentuk daun basah, daun rajangan, dan daun krosok. Tiap bentuk dijual dengan tingkat harga yang berbeda sehingga menghasilkan keuntungan yang berbeda. Petani yang menjual dalam bentuk daun basah memperoleh keuntungan yang paling sedikit karena langsung dijual tanpa proses pengolahan sehingga tidak ada nilai tambah. Keuntungan tertinggi diperoleh dari penjualan tembakau rajangan yaitu tembakau yang dirajang kemudian dikeringkan dengan bantuan sinar matahari. Berikut rincian biaya produksi dan keuntungan yang dihasilkan oleh tembakau yang dijual dalam bentuk daun basah, daun rajangan, dan daun krosok.

Tabel 8 Perbandingan biaya dan pendapatan penjualan daun tembakau Bentuk Uraian Daun basah - Produksi rata-rata - Harga rata-rata - Nilai produksi - Biaya produksi - Pendapatan Rp Rp Rp Rp 7 000 1 800 12 600 000 9 352 500 3 247 500 Kg per Kg Daun rajangan - Produksi rata-rata - Rendemen rata-rata - Harga rata-rata - Produksi rajangan - Nilai produksi - Biaya produksi - Pendapatan Rp Rp Rp Rp 7 000 17 17 900 1 190 20 230 000 10 852 500 9 377 500 Kg Persen Per Kg Per Ha Daun krosok - Produksi rata-rata - Rendemen rata-rata - Harga rata-rata - Produksi rajangan - Nilai produksi - Biaya produksi - Pendapatan Rp Rp Rp Rp Rp 7 000 17.5 17 500 1 225 21 437 500 12 415 000 9 022 500 Kg Persen Per kg Per Ha

Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bojonegoro (2013)

Pabrik rokok membeli tembakau dari petani dalam bentuk krosok dan rajangan tidak langsung dari petani. Gambaran tataniaga tembakau petani menunjukkan proses yang cukup panjang mulai dari petani hingga pabrik rokok sehingga dalam hal ini memungkinkan petani menjadi pihak yang memperoleh harga rendah dan konsumen memperoleh harga yang cukup tinggiSaluran pemasaran tembakau hasil olahan petani dapat dilihat pada Gambar 15 dan Gambar 16.

Gambar 15 Saluran pemasaran tembakau kerosok di Jawa Timur Sumber: Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (1998)

Petani Pengoven Pengumpul kerosok

Pabrik rokok Tengkulak

Gambar 16 Saluran pemasaran tembakau rajangan di Jawa Timur Sumber: Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (1998)

Usahatani tembakau di Jawa Timur merupakan usaha turun-temurun yang sudah dijalankan oleh masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Hal ini juga yang diakui oleh 78 persen petani responden. Mereka menyatakan bahwa mereka mengusahakan tembakau karena dulu orang tua mereka juga menanam tembakau dan mewariskan lahan tembakaunya kepada mereka. Menanam tembakau sudah berjalan turun-temurun dari generasi ke generasi. Mereka juga sudah mulai ikut mengurus kebun tembakau sejak mereka kecil. Oleh karena itu terdapat hubungan antara petani dengan komoditi yang telah diusahakan selama bertahun-tahun sehingga petani cenderung menanam komoditi yang telah diwariskan leluhurnya. Selain karena menjadi usaha turun temurun, petani responden menanam tembakau dengan alasan diajak keluarga/teman/instansi (10 persen), usaha ini menguntungkan (7 persen), dan karena tidak ada pilihan lain (5 persen).

Gambar 17 Alasan petani memilih menanam tembakau

Petani responden di daerah penelitian juga mengalami kendala dalam menjalankan usahatani tembakau. Masalah utama bagi sebagian besar petani adalah mengenai permodalan. Biasanya petani tidak memiliki modal awal untuk menanam tembakau dan sebagian besar petani tidak memiliki sertifikat tanah

78%

7% 10%

5%

Usaha turun temurun Usaha ini menguntungkan Diajak

keluarga/teman/instansi Tidak ada pilihan lain Petani Tengkulak daun hijau Tengkulak rajangan Pengrajang Pengumpul rajangan Pabrik rokok

sebagai jaminan untuk meminjam modal ke bank sehingga petani meminjam uang dari rentenir dengan bunga yang tinggi. Menurut Setiawan (2005), hal ini mengakibatkan kesejahteraan petani masih di bawah rata-rata karena usaha yang seharusnya untung menjadi tidak berkembang karena petani harus mengembalikan uang ke rentenir dalam jumlah besar. Petani membutuhkan modal yang besar pada saat musim tanam tembakau. Modal yang diperlukan untuk menanam tembakau sekitar 6-15 juta rupiah per hektar dengan keuntungan 6-20 juta rupiah per hektar. Jumlah ini lebih besar dibandingkan modal yang diperlukan untuk menanam komoditas lain seperti padi atau jagung. Oleh karena itu, sebanyak 61 persen responden menginginkan adanya bantuan permodalan atau pinjaman lunak karena selama ini mereka kesulitan dalam mengakses permodalan.

Selain masalah permodalan juga petani menghadapi masalah pemasaran. Selama ini tembakau petani dibeli oleh pabrik rokok yang menentukan harga tembakau petani. Jika pabrik rokok sudah memiliki cukup persediaan maka mereka tidak akan membeli tembakau milik petani. Hal ini ditegaskan oleh 26 persen petani responden sehingga mereka mengharapkan pemerintah dapat membantu dalam memasarkan tembakau mereka. Selain kedua jenis bantuan di atas, petani mengharapkan dukungan dan bantuan pemerintah dalam hal penyediaan benih bermutu, pupuk, dan pestisida (11 persen) serta pendidikan dan pelatihan mengenai budidaya tembakau (2 persen).

Gambar 18 Bantuan dan dukungan pemerintah yang diharapkan oleh petani

Dimensi Masing-Masing Variabel

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain sifat individu (personality trait), lingkungan ekonomi, lingkungan sosial, lingkungan politik, lingkungan fisik, perilaku kewirausahaan, dan kinerja usaha. Setiap variabel memiliki dimensi-dimensi yang berkontribusi pada pembentukan variabel. Setiap variabel diukur melalui dimensi yang menyusunnya karena variabel yang digunakan tidak dapat diukur secara langsung. Pada Tabel 9 dapat dilihat nilai rata-rata setiap dimensi yang menyusun setiap variabelnya.

11% 61% 2% 26% Bantuan benih bermutu, pupuk, dan pestisida Bantuan permodalan/pinjaman lunak Pendidikan dan pelatihan tentang budidaya tembakau Bantuan pemasaran

Tabel 9 Persepsi petani tembakau terhadap masing-masing dimensi

Variabel Dimensi Nilai Rata-

Rata

Sifat Individu (X1)

Need for Achievement 3.72

Innovativeness 3.60

Proactive Personality 3.35

Self-efficacy 3.55

Stress Tolerance 3.35

Need for Autonomy 3.66

Internal locus of control 3.52

Risk taking 3.75

Lingkungan Ekonomi (X2)

Harga input output 3.37

Akses modal 3.00

Struktur pasar 3.09

Inovasi produk olahan 3.36

Peranan asosiasi 3.76

Lingkungan Sosial (X3)

Latar belakang keluarga 4.06

Pendidikan 3.09 Sikap masyarakat 3.94 Nilai budaya 3.25 Lingkungan Politik (X4) Kebijakan pemerintah 3.17

Dukungan lembaga publik 3.36

Lingkungan Fisik (X5) Cuaca 3.05 Kesuburan tanah 3.56 Sarana prasarana 4.01 Perilaku Kewirausahaan (Y1)

Mendeteksi dan eksploitasi peluang 3.26 Membuat keputusan di bawah

ketidakpastian 3.35 Bekerja keras 3.94 Kemampuan manajemen 3.49 Kinerja Usaha (Y2) Produktivitas 4.51 Kualitas 4.49 Keuntungan 3.41

Sumber: data diolah

Persepsi petani tembakau terhadap masing-masing variabel indikator dapat dilihat pada Lampiran 5. Penjelasan mengenai masing-masing variabel sifat

individu, lingkungan ekonomi, lingkungan sosial, lingkungan politik, lingkungan fisik, perilaku kewirausahaan, dan kinerja usaha adalah sebagai berikut:

Sifat Individu

Sifat-sifat individu (personality traits) merupakan alasan, tindakan, dan sumber keunikan individu yang akan mempengaruhi perilakunya pada usahatani tembakau. Sifat merupakan pola konsistensi dari pikiran, perasaan, atau tindakan yang membedakan seseorang dari yang lain. Sifat-sifat yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya need for achievement, innovativeness, proactive personality, self efficacy, stress tolerance, need for autonomy, internal locus of control, dan risk taking (Rauch dan Frese 2007).

Petani tembakau memiliki keinginan untuk berprestasi yang tinggi. Petani responden merasa bangga dan berprestasi akan pekerjaan mereka, jika usaha mereka berhasil dan lebih baik dibandingkan petani lainnya. Walaupun memiliki keinginan untuk berprestasi yang tinggi, namun petani responden kurang proaktif. Selama ini mereka hanya menanam tembakau tanpa melihat peluang yang muncul. Beberapa petani di Sugihwaras, Bojonegoro, tidak peduli apakah tembakau yang ditanam akan untung atau rugi. Misalnya saja, penurunan harga tembakau yang membuat keuntungan petani berkurang tidak membuat petani berhenti menanam tembakau. Hal itu dikarenakan menanam tembakau telah menjadi kegiatan yang rutin mereka lakukan secara turun-temurun setiap tahunnya. Hanya beberapa petani saja yang mengamati tren dan peluang di bisnis tembakau. Oleh karena itu, tidak begitu banyak petani di daerah penelitian yang usahanya berkembang.

Gambar 19 Petani tembakau Bojonegoro

Sumber:http://images.tempo.co/?id=35095&width=620

Selain memiliki keinginan berprestasi yang tinggi, petani responden bersedia menerapkan inovasi dalam menanam tembakau, seperti menanam varietas baru atau menerapkan teknologi baru yang dapat mempengaruhi produktivitas dan kualitas daun tembakau yang dihasilkan. Saat ini banyak muncul inovasi varietas baru dan cara-cara teknologi pengolahan tembakau yang hemat energi. Menurut Djajadi et al. (2007), Balai Penelitian Tanaman dan Serat (Balittas) telah menghasilkan dan mensosialisasikan teknologi budidaya yang disesuaikan dengan permasalahan, jenis, dan areal tembakau. Salah satu hasil teknologi yang dikembangkan Balittas adalah oven pengering portabel yang

pengoperasiannya dapat dipindah mendekati lahan sehingga dapat menghemat biaya hasil angkut panen. Sosialisasi teknologi yang dihasilkan dilakukan dalam bentuk demplot dengan melibatkan petani dan pengguna terkait. Ada beberapa teknologi yang sudah ditinggalkan petani seperti pemanfaatan kayu bakar untuk pengovenan kecuali kayu turi yang ditanam sendiri, serta mengurangi penggunaan minyak tanah dan batu bara sebagai bahan bakar proses pengeringan tembakau. Saat ini sedang dikembangkan cangkang kelapa sawit dan kemiri sebagai alternatif bahan bakar. Petani juga mulai menerapkan mekanisasi pertanian, seperti penggunaan traktor, kultivator, dan mesin rajang dan mulai menggunakan pestisida nabati, termasuk pemanfaatan limbah tembakau, untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia.

Umumnya petani responden memiliki kepercayaan diri dalam mengelola usahatani tembakau walaupun kondisi tidak menentu. Kepercayaan diri ini timbul karena budidaya tembakau sudah digeluti petani selama bertahun-tahun. Namun, di sisi lain petani merasa ada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi hasil produksi tembakau. Salah satu faktor eksternal tersebut adalah banjir. Banjir yang merendam tanaman tembakau dapat menyebabkan tanaman busuk dan gagal panen seperti banjir yang terjadi pada tahun 2010. Banjir ini membuat petani trauma dan sebagian petani beralih ke komoditas lain. Kondisi ketidakpastian ini juga membuat nilai rata-rata variabel indikator internal locus of control tidak terlalu tinggi. Menurut petani responden, banyak faktor eksternal yang mempengaruhi usaha sehingga tidak semua hasil dapat dikontrol. Hal ini juga yang membuat petani tetap meminta pendapat orang lain dalam membuat keputusan walaupun semua keputusan akhir di dalam usahanya tetap diambil oleh petani itu sendiri.

Usahatani tembakau termasuk usaha yang memiliki risiko tinggi. Kemauan dan keberanian petani menerima risiko di dalam usahatani tembakau tercermin dari nilai rata-rata variabel indikator pengambilan risiko yang cukup tinggi. Petani menanggung risiko keuangan karena dibutuhkan modal yang besar untuk menanam tembakau, sedangkan di sisi lain petani juga dihadapkan pada risiko pasar dan risiko produksi. Harga jual, jumlah, dan kualitas tembakau ditentukan oleh pabrik rokok sebagai pembeli sehingga petani memiliki posisi tawar yang rendah dan hanya dapat menerima harga yang ditetapkan oleh pembeli. Ini merupakan konsekuensi dari pasar oligopsoni yang dihadapi oleh petani tembakau. Selain itu petani masih harus menghadapi risiko gagal panen karena cuaca yang tidak menentu. Walaupun risiko pengusahaan tembakau tinggi, namun berpotensi menghasilkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan usahatani padi, jagung, atau palawija. Petani tembakau bersedia menerima risiko tersebut dengan konsekuensi kerugian yang besar jika mengalami gagal produksi. Pengambilan risiko yang dilakukan petani bukan tanpa pertimbangan, mereka juga mempertimbangkan kemungkinan berhasil atau gagal sebelum membuat keputusan.

Lingkungan Ekonomi

Variabel lingkungan ekonomi merupakan kondisi ekonomi yang akan berpengaruh pada usahatani tembakau, diantaranya harga input output, akses modal, struktur pasar, inovasi produk olahan tembakau, dan peranan asosiasi.

Harga merupakan faktor penting bagi petani tembakau. Sebanyak 59.4 persen petani menilai harga jual tembakau telah memberikan keuntungan bagi mereka. Harga tembakau sangat mempengaruhi areal tanam pada tahun berikutnya, yaitu jika harga tembakau cukup baik pada tahun ini maka pada tahun selanjutnya luas areal tanamnya akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya minat petani untuk menanam tembakau karena besarnya insentif yang diperoleh dari usahatani tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika harga pada tahun ini kurang bagus dan bahkan menyebabkan petani merugi maka areal tanam pada tahun selanjutnya akan menurun karena petani sudah tidak berminat menanam tembakau. Kondisi harga jual tembakau yang cenderung meningkat pada tahun 2009-2012 membuat areal penanaman tembakau meningkat dan menyebabkan over supply sehingga mengakibatkan harga tembakau jatuh pada tahun 2012. Pada umumnya, fenomena penanaman tembakau saat harga jual tembakau meningkat terjadi pada lahan sawah, karena banyak alternatif tanaman yang dapat diusahakan di sawah. Sedangkan pada lahan tegal petani cenderung menanam tembakau, karena belum ada komoditi lain yang dapat diusahakan dengan baik di lahan tegalan. Selain itu, tembakau juga telah memberikan pendapatan yang lebih baik dibandingkan komoditi lainnya. Fluktuasi harga pada tembakau disebabkan oleh kondisi cuaca saat panen dan juga perkiraan jumlah produksi tembakau yang dihasilkan petani, namun seringnya penyebab penurunan harga tembakau yang terjadi disebabkan adalah ketidakseimbangan penawaran dan permintaan. Murdiyati et al. (2007) menjelaskan bahwa di satu sisi terjadi penurunan produksi rokok sedangkan di sisi lain areal dan produksi tembakau rakyat cenderung meningkat. Selain itu, mutu tembakau tidak sesuai dengan keinginan pabrik rokok sehingga harga jual tembakau rendah.

Gambar 20 Perkembangan harga tembakau

Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bojonegoro (2013) 16,000 20,000 31,000 30,000 32,000 20,500 11,700 14,000 17,000 19,000 23,500 12,500 0 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Pergerakan harga tembakau berdampak pada pendapatan petani. Pada tahun 2010 pendapatan petani menurun karena cuaca buruk yang berdampak pada merosotnya produksi tembakau. Pendapatan petani meningkat tajam pada tahun 2011 karena pada tahun tersebut harga tembakau cukup tinggi. Tingginya harga pada tahun 2011 terjadi karena banyak perusahaan rokok membeli tembakau dalam jumlah besar untuk persediaan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kekurangan pasokan tembakau seperti yang terjadi pada tahun 2010. Pada tahun 2012 harga tembakau mengalami penurunan hingga 50 persen karena produksi petani jauh melebihi permintaan pabrik rokok dan ditambah masuknya tembakau impor dengan jumlah cukup banyak. Peningkatan produksi petani disebabkan oleh banyaknya petani yang tertarik menanam tembakau melihat besarnya keuntungan yang diperoleh dari tanaman tembakau pada tahun 2011. Masalah kelebihan pasokan tembakau menjadi permasalahan serius di tingkat petani karena selain

Dokumen terkait