• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bagian ini akan dibahas dampak NTM terhadap arus perdagangan sektor elektronika Indonesia untuk menjawab permasalahan yang ketiga. Analisis dampak NTM akan diawali dengan pembahasan mengenai pengujian model Cross Sectional Gravity yang digunakan untuk menghasilkan model yang layak dan estimasi yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Tahap berikutnya akan dianalisis terlebih dahulu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi arus perdagangan sektor elektronika Indonesia. Pada akhir bagian akan dianalisis secara mendalam dampak NTM berdasarkan tujuan pemberlakuannya yaitu core measures (kebijakan melindungi produsen lokal) dan non core measures (kebijakan melindungi konsumen lokal).

Pengujian Model Cross Sectional Gravity

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis cross sectional gravity model. Model ini akan diestimasi menggunakan pendekatan ordinary least square (OLS). Untuk memperoleh model yang cocok maka dilakukan uji kelayakan dan kecocokan model (goodness of fit). Untuk memperoleh estimasi yang bersifat BLUE maka dilakukan pengujian asumsi dasar.

Uji Kelayakan dan Kecocokan Model (Goodness of fit)

Uji kelayakan model menunjukkan bahwa nilai probability (F-Statistic) pada kedua model yang digunakan adalah 0,0000 seperti yang terlihat pada Lampiran 5. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa minimal ada satu variabel bebas yang mempengaruhi bariabel tidak bebas. Uji kecocokan model (goodness of fit) ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi (R2). Nilai R2 pada model pertama sebesar 0,80 yang berarti variasi variabel bebas mampu menjelaskan 80 persen variasi variabel tidak bebas, sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya. Nilai R2 pada model kedua sebesar 0,83 yang berarti variasi variabel bebas mampu menjelaskan 83 persen variasi variabel tidak bebas, sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya.

Uji Asumsi Dasar

Untuk memperoleh estimasi yang bersifat BLUE (best linier unbiased estimator) maka dilakukan uji asumsi dasar meliputi uji normalitas, non multikolinieritas, non heteroskedastisitas, dan non autokorelasi. Hasil Jarque- Bera test diperoleh nilai Probability (P-Value) sebesar 0,067 pada Lampiran 6. Nilai Probability (P-Value) > 0,05 maka H0 diterima sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data residual yang diteliti berdistribusi normal. Sehingga asumsi normalitas terpenuhi. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinieritas antar variabel bebas salah satu caranya adalah dengan melihat nilai Correlation Matrix antar variabel bebas. Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Lampiran 7, diperoleh nilai Correlation Matrix antar masing-

masing variabel bebas sebesar kurang dari 0,8. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antar variabel bebas yang diteliti tidak terjadi multikolinearitas. Hasil Uji Durbin Watson dilakukan melalui program Eviews 6.0 dan menghasilkan nilai statistik Durbin Watson sebesar 1,879. Karena nilai berada antara 1,77 dan 2,23 maka data tersebut dinyatakan tidak ada korelasi antar error yang dihasilkan. Dengan demikian secara statistik, secara statistik dapat dinyatakan bahwa tidak ada pelanggaran asumsi autokorelasi. Sedangkan pada pengujian heteroskedastisitas menggunakan uji breusce pagan, dinyatakan bahwa model melanggar asumsi heteroskedastisitas. Sehingga, untuk memperbaiki pelanggaran asumsi tersebut maka dilakukan estimasi model dengan white heteroskedasticity consistent coefficient covariance.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Arus Perdagangan Sektor Elektronika

Berdasarkan hasil pengujian Model 1 dan Model 2 diperoleh informasi bahwa arus perdagangan elektronika dipengaruhi oleh pendapatan perkapita negara pengekspor, pendapatan perkapita negara pengimpor, produksi, nilai tukar riil, biaya ekspor, dan kebijakan non tarif. Model 1 memberikan informasi bahwa NTM tidak mempengaruhi arus perdagangan sektor elektronika Indonesia. Namun jika NTM didisagregasi menjadi dua berdasarkan tujuan pemberlakuannya maka informasi yang diperoleh adalah kebijakan yang bertujuan melindungi produsen (core measures) berdampak negatif, sedangkan kebijakan yang bertujuan melindungi kondumen lokal (non core measures) berdampak positif terhadap arus perdagangan sektor elektronika Indonesia seperti terlihat pada Tabel 17 Analisis lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi arus perdagangan sektor elektronika Indonesia akan dijelaskan ke dalam beberapa sub bagian.

Tabel 17. Hasil estimasi dampak NTM

Variabel tidak bebas : LOG (Arus Perdagangan) Variabel bebas

Model 1 Model 2

Koefisien Prob. Koefisien Prob.

C -18.99814* 0.0038 -22.69167* 0.0006

LOG(PDB perkapita negara pengekspor) 1.810788* 0.0000 1.738617* 0.0000 LOG(PDB perkapita negara pengimpor) 0.417656* 0.0403 0.675368* 0.0020 LOG(Produksi) 0.489764* 0.0000 0.557125* 0.0000 LOG(Biaya Perdagangan) 1.318758 0.1197 1.626687* 0.0474 LOG(Nilai Tukar Riil) 0.150716* 0.0002 0.091296* 0.0257

Coverage Ratio 0.004242 0.2526 - -

Coverage Ratio core measures - - -0.011968* 0.0147 Coverage Ratio non core measures - - 0.011038* 0.0135 Tarif -0.004285 0.9917 0.148711 0.7282

R-squared 0.803364 0.828067

Adjusted R-squared 0.778785 0.803059

F-statistic 32.68435 33.11153

Prob(F-statistic) 0.000000 0.000000

Pendapatan Perkapita Negara Pengekspor

Peningkatan pendapatan perkapita dalam negeri sebesar 1 persen akan meningkatkan ekspor sebesar 1,73 persen ceteris paribus. Pendapatan perkapita

dalam negeri memiliki elastisitas yang paling tinggi diantara indikator lainnya. Faktor ini merupakan faktor penunjang perdagangan yang paling penting.

Pendapatan perkapita dalam negeri menunjukkan kemampuan negara tersebut untuk berinvestasi pada sektor elektronika. Semakin besar kemampuan dan kapasitas suatu negara maka semakin besar investasi yang dapat ditanamkan dan berdampak pada peningkatan output produk elektronika. Dari sisi ekspor, peningkatan pendapatan perkapita Indonesia akan meningkatkan ekspor Indonesia ke negara ASEAN. Dari sisi impor, peningkatan produksi dan pendapatan perkapita negara partner dagang Indonesia akan meningkatkan jumlah impor produk elektronika ke Indonesia. Pengaruh positif pendapatan perkapita terhadap arus perdagangan sesuai dengan hipotesis awal penelitian. Adanya peningkatan pendapatan perkapita dalam negeri akan meningkatkan arus perdagangan elektronika Indonesia akan meningkat.

Produksi

Peningkatan produksi sebesar 1 persen akan meningkatkan ekspor sebesar 0,55 persen ceteris paribus. Nilai koefisien produksi lebih rendah dibandingkan pendapatan perkapita negara pengekspor, namun faktor ini merupakan faktor yang sama pentingnya dengan pendapatan nasional.

Pendapatan perkapita dan produksi dalam negeri menunjukkan kemampuan dan kapasitas negara tersebut untuk menghasilkan produk-produk elektronika. Semakin besar produksi maka output yang dihasilkan semakin banyak dan akan meningkatkan stok produksi dalam negeri. Kelebihan stok produksi ini dapat meningkatkan ekspor ke negara lain dengan asumsi kebutuhan dalam negeri tidak meningkat. Peningkatan ekspor dari satu negara ke negara lainnya akan meningkatkan arus perdagangan. Dari sisi ekspor Indonesia, peningkatan produksi Indonesia akan meningkatkan ekspor Indonesia ke negara ASEAN. Dari sisi impor Indonesia, peningkatan produksi negara partner dagang Indonesia akan meningkatkan jumlah impor produk elektronika ke Indonesia. Pengaruh positif produksi terhadap arus perdagangan sesuai dengan hipotesis awal penelitian. Adanya peningkatan kapasitas produksi maka arus perdagangan elektronika Indonesia akan meningkat.

Pendapatan Perkapita Negara Pengimpor

Peningkatan pendapatan perkapita negara pengimpor sebesar 1 persen akan meningkatkan ekspor sebesar 0,67 persen ceteris paribus. Pendapatan perkapita negara pengimpor menunjukkan daya beli konsumen, semakin tinggi daya beli masyarakat di negara mitra dagang Indonesia maka ekspor elektronika Indonesia akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin tinggi daya beli masyarakat Indonesia maka impor elektronika Indonesia juga semakin besar.

Nilai Tukar Riil

Peningkatan nilai tukar riil sebesar 1 persen akan meningkatkan arus perdaganan sebesar 0,09 persen ceteris paribus. Nilai tukar riil meningkat atau mata uang negara pengekspor terdepresiasi maka akan mengakibatkan harga produk di negara pengekspor akan menjadi lebih murah sehingga mendorong permintaan produk dari negara lain. Arus perdagangan akan meningkat karena permintaan produk elektronika meningkat. Stabilitas nilai tukar riil mata uang

Indonesia terhadap mata uang negara lain merupakan syarat penting bagi perdaganan elektronika.

Pentingnya stabilitas nilai tukar ini juga terkait dengan struktur industri elektronika Indonesia. Pada bahasan di BAB IV diperoleh informasi bahwa perdagangan terbesar adalah pada komoditi component yang merupakan bahan baku dari komoditi elektronika akhir seperti consumer product dan telecomunication. Dua produk akhir ini mulai berkembang di Indonesia dengan potensi pasar yang sangat besar. Bahan baku industri ini sebagian besar masih di impor dari negara lain. Ketika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, bukan hanya berpengaruh terhadap peningkatan ekspor namun juga berpengaruh terhadap peningkatan biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku. Oleh karena itu, nilai tukar rupiah perlu di jaga pada level dimana dapat meningkatkan ekspor tetapi disisi lain tidak membebani biaya input.

Biaya Perdagangan

Biaya perdagangan dalam penelitian ini didekati dengan biaya ekspor. Pada Model 1 biaya perdagangan tidak berpengaruh terhadap arus perdagangan Indonesia. Namun pada Model 2, biaya perdagangan positif mempengaruhi arus perdagangan elektronika Indonesia. Hasil penelitian ini menarik karena berbeda dengan hipotesis yang dikemukakan sebelumnya.

Dari hasil model kedua diketahui bahwa kebijakan yang lebih dominan mempengaruhi arus perdagangan adalah core measures. Banyaknya kebijakan core measures yang ada di kawasan ASEAN menghambat arus perdagangan Indonesia. Core measures merupakan kebijakan yang tidak bisa di prediksi (non automatic licensing) dan bersifat menghambat (prohibition), sehingga memaksa produsen untuk melakukan hal-hal yang bisa meloloskan produknya dari hambatan tersebut. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah menggunakan jasa perantara perdagangan. Biaya negoisasi perdagangan ini menjadi faktor pembentuk biaya perdagangan. Semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk perantara maka semakin besar biaya perdagangan.

Peningkatan biaya perdagangan seharusnya akan mengurangi arus perdagangan. Namun karena biaya perdagangan tidak hanya mencakup biaya transportasi, tetapi juga termasuk biaya-biaya lainnya seperti biaya negoisasi atau komisi, maka transaksi perdagangan akan meningkat. Karena semakin besar biaya komisi akan semakin besar transaksi perdagangan di sektor ini. Wuryan (2010) menyatakan bahwa penggunaan jasa seseorang sebagai perantara (broker) dalam perjanjian jual beli mempengaruhi besarnya transaksi barang. Semakin besar komisi yang diterima, maka akan mendorong broker untuk berusaha meningkatkan transaksi perdagangan meskipun itu membawa kerugian bagi pihak lain.

Kebijakan non tarif

Hasil estimasi Model 1 menunjukkan bahwa hipotesis awal yang menyatakan adanya pengaruh negarif NTM terhadap arus perdagangan tidak terbukti. Penggunaan NTM untuk melakukan proteksi perdagangan suatu negara tidak mempengaruhi arus perdagangan Indonesia. Hasil estimasi Model 2 menunjukkan bahwa NTM mempengaruhi arus perdagangan dengan memisahkan

variabel ukuran NTM menjadi dua yaitu core measure dan non core measures. Pengaruh NTM akan dijelaskan secara lebih rinci di bagian selanjutnya.

Dampak NTM ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia

Pemberlakuan NTM di suatu negara dilakukan dengan berbagai alasan baik dari ekonomi, lingkungan, maupun kesehatan. Secara ekonomi kebijakan dilakukan karena mempertimbangkan kondisi ekonomi suatu negara. Misalnya jika pasar komoditi tertentu suatu negara dibanjiri oleh produk-produk impor, dan besarnya produk impor tersebut mengganggu produksi dalam negeri maka negara memiliki hak untuk membatasi masuknya produk impor dengan alasan pengamanan. Kebijakan ini akan melindungi produsen dalam negeri agar produknya dapat bersaing dengan produk-produk impor. Kebijakan yang bertujuan untuk melindungi produsen lokal disebut core mesures.

Selain melindungi produsen lokal, NTM juga dapat digunakan untuk melindungi konsumen lokal. Alasan yang sering digunakan oleh setiap negara mencakup aspek lingkungan dan kesehatan. NTM diberlakukan dengan pertimbangan akan bahaya yang diakibatkan oleh produk-produk yang mengganggu kesehatan. Beberapa kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan umumnya dilakukan dalam bentuk standardisasi dan sertifikasi. Kebijakan yang bertujuan untuk melindungi konsumen diklasifikasikan ke dalam non core measures.

Pengaruh NTM nyata pada level signifikansi 5 persen namun nilai koefisiennya sangat kecil yaitu sebesar 0,01. Meskipun elastisitasnya kecil namun NTM tetap akan mempengaruhi arus perdagangan sektor elektronika. Pada sektor elektronika kebijakan yang lebih dominan mempengaruhi arus perdagangan sektor elektronika adalah core measures. Nilai elastisitas variabel core measures lebih besar dibandingkan variabel non core measures.

Core Measures

Kebijakan yang termasuk core measures antara lain price control measures, finance measures, quantity control measures, dan monopolistik measures. Berdasarkan data yang diperoleh dari database ASEAN, pada komoditi elektonika hanya terdapat dua jenis core measures yaitu bentuk non automatic licensing dan prohibition. Indikator yang digunakan untuk mengukur penggunaan core measures adalah coverage ratio dari penggunaan dua jenis NTM tersebut. Penggunaan kebijakan non automatic licensing dan prohibition pada beberapa produk elektronika di masing-masing negara ASEAN mengurangi arus perdagangan Indonesia.

Peningkatan cakupan core measure sebesar 1 persen akan mengurangi arus perdagangan sebesar 0,01 persen ceteris paribus. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nakakeeto (2011) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif dari penggunaan non technical measures (kebijakan selain SPS dan TBT) terhadap arus perdagangan di negara Mali, Senegal, dan Uganda. Pada ketiga negara tersebut, peningkatan kebijakan non technical mengurangi arus perdagangan pada sektor pertanian. Kebijakan yang menghambat masuknya produk impor seperti prohibition dan non automatic licensing menyebabkan

berkurangnya ekspor antara negara satu dan negara lainnya. Core measures bersifat secara langsung menghambat perdagangan (prohibition) dan tidak dapat diprediksi waktunya (non automatic licensing) sehingga menyebabkan berkurangnya volume perdagangan secara keseluruhan. Volume perdagangan akan mempengaruhi harga produk. Konsumen akan dirugikan karena menanggung harga yang lebih mahal dan produsen diuntungkan dengan peningkatan produksi dengan harga tinggi. Namun pada akhirnya secara keseluruhan akan merugikan perekonomian. Pembatasan impor dengan menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan akan mempengaruhi welfare (Wall 1999).

Terkait dengan hasil sebelumnya yang menunjukkan bahwa adanya komisi atau biaya negoisasi dalam perdagangan ekspor dan impor, maka kebijakan ini semakin memberikan peluang bagi pihak-pihak yang menginginkan keuntungan yang lebih tinggi untuk menciptakan perdagangan yang tidak sehat. Konsumen akan semakin terbebani dengan biaya produk yang mahal. Analisis kesejahteraan yang ditunjukkan Wall mengungkapkan pemberlakuan trade policy akan mengakibatkan net welfare lost yang lebih besar dibandingkan penerapan tarif yaitu sebesar quota rent yang tidak menjadi penerimaan pemerintah. Quota rent dapat dihasilkan dari penjualan lisensi kuota impor. Pada akhirnya proteksi terhadap perdagangan tersebut akan merugikan perekonomian secara keseluruhan (Salvatore 1997).

Non Core Measures

Non core measures yang diberlakukan di ASEAN meliputi automatic licensing dan technical measures. Peningkatan cakupan NTM dengan tipe non core measures sebesar 1 persen akan meningkatkan arus perdagangan sebesar 0,01 persen ceteris paribus. Penggunaan non core measures ternyata dapat meningkatkan arus perdagangan.

Berbeda dengan core measures yang sifatnya secara langsung menghambat perdagangan, non core measures merupakan kebijakan yang terkait prosedur dan standar kualitas. Sehingga persyaratan yang menjadi hambatan tersebut masih bisa terpenuhi oleh eksportir atau produsen sehingga tidak mengurangi perdagangan melainkan meningkatkan perdagangan.

Dari sisi ekspor Indonesia, ketika negara mitra dagang Indonesia menerapkan kebijakan dalam bentuk technical regulation yang meliputi standarisasi, labeling, packaging, sertifikasi dan lain-lain maka eksportir Indonesia terdorong untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan standar. Semakin besarnya cakupan produk yang sudah sesuai dengan standar negara pengimpor maka produk ekspor asal Indonesia semakin diterima di pasar negara lain. Meskipun kebijakan seperti ini dapat meningkatkan harga, namun konsumen akan lebih percaya dengan kualitas produk ekspor Indonesia. Sehingga kebijakan non core measures yang diterapkan di negara-negara ASEAN akan meningkatkan ekspor Indonesia.

Dari sisi impor Indonesia, peningkatan pemberlakuan kebijakan di Indonesia akan meningkatkan arus perdagangan yang masuk ke Indonesia. Fasilitas pengujian, labeling, packaging di negara mitra dagang Indonesia terutama Singapura, membuat standarisasi yang ditentukan oleh Indonesia mudah dipenuhi oleh negara asal. Impor masih tetap dapat terjadi meskipun negara Indonesia sudah menerapkan NTM. Semakin besar cakupan komoditi yang

dikenakan NTM maka negara mitra dagang Indonesia akan berusaha memenuhi standarisasi yang sudah ditentukan, dan jika sudah terpenuhi berarti tidak ada alasan bagi Indonesia untuk menolak produk impor dari negara lain.

Pengaruh positif non core measure terhadap arus perdagangan berlawanan dengan hipotesis yang ditentukan pada awal penelitian. Namun, hasil pengujian ini sejalan dengan penelitian Nakakeeto (2011) yang menyatakan bahwa technical measure meningkatkan perdagangan di sektor pertanian. Fenomena ini juga terjadi pada perdagangan sektor elektronika Indonesia. Peningkatan non core measure yang didalamnya merupakan kebijakan yang terkait dengan technical measure meningkatkan arus perdagangan.

Karakteristik konsumen elektronika di kawasan ASEAN sudah modern dimana lebih mementingkan kualitas. Perdagangan komoditi elektronika lebih dikendalikan oleh permintaan (demand driven). Tujuan penerapan non core measures adalah melindungi konsumen sehingga konsumen memperoleh produk- produk yang berkualitas. Penerapan non core measures terutama pada standarisasi, sertifikasi, labeling, packaging hendaknya tidak dianggap sebagai hambatan perdagangan namun perlu dijadikan motivasi oleh setiap negara terutama Indonesia untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.

Tantangan Sektor Elektronika Indonesia

Permasalahan industri elektronika adalah semakin berkurangnya penguasaan pasar yang yang ditunjukkan dengan lambatnya peningkatan produksi domestik dibandingkan dengan peningkatan pasar domestik pada sektor tersebut. Salah satu hal yang menyebabkan tidak optimalnya penguasaan pasar adalah daya saing produk yang rendah sehingga produk elektronika Indonesia kurang bersaing di pasar domestik maupun internasional. Daya saing produk dipengaruhi oleh harga dan kualitas produk itu sendiri. Produk yang berkualitas dengan harga yang murah akan lebih dipilih oleh konsumen baik dalam negeri maupun luar negeri.

Pada era perdagangan bebas seperti saat ini, peningkatan daya saing produk harus dilakukan secara progresif. Pemerintah perlu beberapa isu yang sedang berkembang saat ini terutama isu terkait perdagangan dan integrasi ekonomi. Pemerintah juga perlu memperjelas arah kebijakan terkait dengan pengembangan industri elektronika. Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa isu dan tantangan sektor elektronika yang meliputi standarisasi produk, singgle market and production AEC 2015, dan pengembangan industri elektronika nasional.

Standardisasi Produk

Technical measures yang meliputi standarisasi, sertifikasi, labeling, packaging oleh masing-masing negara ASEAN akan meningkat dari waktu ke waktu untuk melindungi konsumen dan menjaga kualitas. Hal ini perlu menjadi perhatian karena terkait dengan neraca perdagangan elektronika Indonesia. Indonesia harus menjaga kinerja ekspornya agar dapat memperoleh manfaat dari perdagangan ASEAN. Hambatan utama yang dihadapi pengusaha Indonesia dalam menjalin hubungan perdagangan adalah masalah standar kualitas.

Hingga Agustus 2007, pemerintah Indonesia telah menetapkan 3.200 standar nasional industri (SNI), tetapi baru 215 SNI produk yang diwajibkan. SNI yang diwajibkan itu pun sebagian besar masih berlaku sukarela karena baru 34 SNI produk yang dinotifikasi ke WTO (Hidayati 2008). Data Badan Standardisasi Nasional (BSN) Juli 2013 menunjukkan bahwa total SNI untuk produk elektronika baru mencapai 222 unit. Jumlah ini dinilai masih sedikit jika dibandingkan komoditi lainnya seperti pertanian dan tanaman pangan yang mencapai 1 856 unit. Meskipun pasar ASEAN semakin terbuka, banyak produk Indonesia yang tidak akan bisa masuk pasar ASEAN karena belum punya standar produknya.

Renstra BSN 2010-2014 menyatakan masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh lembaga ini diantaranya :

1. BSN belum memiliki kewenangan penuh sebagai standard setter yang dijamin oleh peraturan perundangan.

2. BSN belum memiliki kewenangan dalam pengawasan barang bertanda SNI yang bersifat voluntary.

3. SNI yang telah ditetapkan sebagian besar belum sesuai kebutuhan pasar. 4. Sebagian besar SNI yang digunakan dalam perdagangan internasional belum

harmonis dengan standar internasional.

5. Pada umumnya UMKM yang berorientasi ekspor belum mampu memenuhi SNI yang harmonis dengan standar internasional.

6. Kurang terakomodirnya kepentingan Indonesia dalam pengembangan standar internasional.

7. Kurang terakomodirnya kepentingan Indonesia dalam forum kerjasama regional/bilateral di bidang standar dan penilaian kesesuaian.

8. Ketersediaan LPK belum optimal dalam mendukung regulasi teknis.

9. Belum optimal dukungan metrologi teknis terhadap pengembangan standar dan penilaian kesesuaian.

10.Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap standardisasi, termasuk pendidikan standardisasi.

11.Koordinasi, komunikasi dan interaksi BSN dengan pemangku kepentingan belum optimal.

12.Belum optimalnya komitmen regulator dalam mentaati Good Regulatory Practices.

13.Belum optimalnya integritas tanda SNI.

14.Jumlah sumber daya BSN belum cukup untuk mendukung pelaksanaan program BSN. Diperkirakan jumlah ideal SDM BSN sekitar 630 orang. 15.BSN belum memiliki gedung sendiri sehingga luas ruang kerja secara

keseluruhan menjadi sangat terbatas karena tergantung anggaran yang tersedia dan hal ini juga mengakibatkan keterbatasan dalam pengembangan jumlah SDM.

Masih banyaknya permasalahan yang dihadapi BSN terkait standardisasi menunjukkan masih lemahnya lembaga pengembangan standar di Indonesia. Meskipun Indonesia sudah memiliki (PP) No 102/2000 yang mengatur penyediaan fasilitas uji laboratorium sampai dengan pengawasan produk SNI, tetapi belum menunjukkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Padahal penguatan standar, lembaga akreditasi, dan kelengkapan fasilitas laboratorium penguji tidak bisa diabaikan. Dalam persaingan di pasar global, hambatan

nontarif, baik yang bersifat teknis, seperti standar keamanan produk, maupun nonteknis, seperti ketentuan label, menjadi perkara serius (Hidayati 2008). Kebijakan pemerintah dalam mewujudkan produk yang ramah lingkungan juga sudah dilakukan yaitu dengan penggunaan ecolabel. Namun kebijakan ini masih memiliki banyak kendala antara lain mahalnya biaya sertifikasi ecolabel (Adi 2007).

Pengawasan pemerintah terhadap masuknya produk impor yang belum memenuhi standar juga masih lemah. Akibatnya, banyaknya produk standar palsu bisa masuk ke pasar Indonesia. Pengawasan yang ketat dari Badan Standarisasi Nasional Indonesia adalah kunci untuk meredam derasnya arus impor dari negara lain. Sehingga kondisi neraca perdagangan yang positif dapat terjaga.

Namun upaya pemerintah terus dilakukan antara lain menyusun road map peningkatan daya saing produk Indonesia dengan target pada tahun 2010 akan tercipta 200 merk yang mempunyai daya saing di pasar domestik dan internasional. Ke-200 merk tersebut akan menjadi produk-produk dengan disain yang bagus buatan Indonesia dengan dukungan 3 kekuatan (branding, packaging, product design). Melalui upaya ini diharapkan Indonesia dapat meningkatkan kualitas sesuai standar internasional dan mengembangkan disain yang mengarah pada Indonesian brand image, serta mewujudkan Indonesia Incorporated.

Singgle Market and Production AEC 2015

Dokumen terkait