• Tidak ada hasil yang ditemukan

Impact of Non Tariff Measures (NTM) ASEAN on Indonesian Electronics Trade

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Impact of Non Tariff Measures (NTM) ASEAN on Indonesian Electronics Trade"

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK

NON TARIFF MEASURES (NTM)

ASEAN

TERHADAP ARUS PERDAGANGAN SEKTOR

ELEKTRONIKA INDONESIA

NILA FRIDHOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Non Tariff Measures (NTM) ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

NILA FRIDHOWATI. Dampak Non Tariff Measures (NTM) ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesaia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI dan ALLA ASMARA.

Sejak terbentuk General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1948, terjadi penurunan tarif yang cukup signifikan. Fokus perdagangan bergeser ke arah non-tariff measures (NTMs). Semakin meluasnya penggunaan NTM di kawasan ASEAN akan berdampak pada perdagangan regional dan akan menyulitkan terbentuknya ASEAN Economic Community pada tahun 2015. Sektor elektronika, yang merupakan sektor potensial di Indonesia menjadi salah satu sektor yang terkena dampak implementasi NTM.

Penelitian ini menyajikan gambaran mengenai perdagangan elektronika Indonesia dan implementasi NTM di ASEAN. Tujuan utama penelitian ini untuk menganalisis dampak NTM ASEAN terhadap perdagangan sektor elektronika Indonesia. Dua pendekatan yaitu inventory approach dan econometric approach digunakan untuk estimasi model cross sectional gravity. Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu BPS, WITS, WDI, Doing Bussiness, UNCTAD, dan publikasi internasional.

Perdagangan elektronika terbesar di Indonesia adalah perdagangan pada komoditi component dengan Singapura sebagai mitra dagang yang paling dominan. Letak Indonesia dan Singapura memungkinkan terjadinya integrasi produksi pada industri elektronika. Kerjasama Indonesia dan Singapura yang dituangkan dalam kerangka pembentukan Free Trade Zone Batam Bintan Karimun memiliki potensi yang cukup besar namun belum dikembangkan secara optimal. Negosiasi kembali kerjasama, perbaikan infrastruktur, kelembagaan penunjang perdagangan dikawasan tersebut perlu dilakukan.

Indonesia merupakan negara yang paling protektif dalam perdagangan sektor elektronika. Indonesia lebih banyak menggunakan kebijakan yang melindungi produsen lokal, sedangkan negara ASEAN lainnya lebih banyak menggunakan kebijakan yang melindungi konsumen lokal yang terkait standar kualitas, prosedur, labeling, packaging, dan sertifikasi. Jenis NTM yang paling banyak digunakan di ASEAN adalah non automatic licensing dan technical regulation yang banyak digunakan pada component dan consumer product.

Hasil empiris menunjukkan bahwa secara keseluruhan NTM ASEAN tidak mempengaruhi arus perdagangan elektronika Indonesia. Namun, jika NTM didisagregasi menjadi core dan non core measures, hasil penelitian menunjukkan peningkatan core measures akan mengurangi perdagangan dan peningkatan non core measures akan meningkatkan perdagangan sektor elektronika. Kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah pengembangan industri elektronika dengan mengutamakan kualitas, desain dan inovasi produk, serta memperluas penyediaan fasilitas uji laboratorium untuk pengujian standarisasi dengan biaya administrasi yang murah untuk meningkatkan daya saing produk ekspor elektronik Indonesia.

(5)

SUMMARY

NILA FRIDHOWATI. Impact of Non Tariff Measures (NTM) ASEAN on Indonesian Electronics Trade. Supervised by RINA OKTAVIANI and ALLA ASMARA.

As tariffs have fallen in the years since the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) was established in 1948, attention has progressively shifted towards non-tariff measures (NTMs). Pervasiveness non-tariff measures in ASEAN region will impact on regional trade and difficult for the establishment of ASEAN Economic Community by 2015. Electronics sector, which is a potential sector in Indonesia will be one of the sectors affected by the implementation of non-tariff measures.

This research provides a brief of Indonesian electronics trade and implementation of NTM in ASEAN. The main purpose of this study is to analyze the impact of ASEAN’s NTM on Indonesian electronics trade flows. Two approaches are used; the inventory approach and the econometric approach which makes use of the cross sectional gravity model. This research use secondary data which is collected from BPS, WITS, WDI, Doing Bussiness, UNCTAD, dan international publication.

The bigest electronics trade in Indonesia comes from component product with Singapura as a dominant trade partner. Indonesia and Singapure can join integration in production electronics because of their location. Indonesia-Singapura agreement on Free Trade Zone Bintan Batam Karimun haven’t optimal yet so need review in negotiation, infrastructure and institution development.

Indonesia is the most protective country in electronics trade. Indonesia use more NTM for pretecting local producer while other ASEAN country use more NTM for protecting local consumers such as labelling, packaging, standardize, and sertification requirement. Non automatic licensing dan technical regulation is used by almost all country in ASEAN to protect component dan consumer product.

The empirical results show that the overall ASEAN’s NTM does not affect Indonesian electronics trade flows. However, if NTM is disagregated into core and non core measure, the results showed that increase in core measure would reduce trade flows and increase in non core measure would increase Indonesian electronics trade flows. Government should develop electronics industry by focusing in quality, design and, inovation product. Government should provide testing laboratorium with cheaper administration cost to increase Indonesian export competitiveness.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

DAMPAK

NON TARIFF MEASURES (NTM)

ASEAN

TERHADAP ARUS PERDAGANGAN SEKTOR

ELEKTRONIKA INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(8)
(9)

NIM : H151114184

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Rina Oktaviani , MS Dr AHa Asmara, SPt MSi

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

セ@

DrIr

vGセ@

Nun"1t

nオセケ。イエッョッ

L@

MSi

TanggaJ Ujian: Tanggal Lulus: L.

Ji UG 2013

(10)

Judul Tesis : Dampak Non Tariff Measures (NTM) ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia

Nama : Nila Fridhowati NIM : H151114184

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS Ketua

Dr Alla Asmara, SPt MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 31 Juli 2013

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah kebijakan perdagangan, dengan judul Dampak Non Tariff Measures (NTM) ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS dan Bapak Dr Alla Asmara, SPt MSi yang telah memberikan bimbingan dari awal hingga akhir dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada suamiku tercinta, Argo Dwipa, SE.As dan putraku M. Farhan Raditya Argo yang telah memberikan dukungan, doa, dan kasih sayangnya kepada penulis serta rekan-rekan kuliah kelas khusus BPS S2 IPB Batch 4 yang telah terus memberikan semangat hingga selesainya tesis ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(12)

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Permasalahan 5

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 8

Hambatan Perdagangan 8

Hambatan Tarif 8

Hambatan Non Tarif 8

Non Tariff Measures 8

Faktor-faktor Penunjang Perdagangan 13

Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto) 13 GDP Negara Lain dan Exchange Rate 14

Jarak Ekonomi 14

Dampak Kebijakan Hambatan Non Tarif 14

Model Gravity 15

Analisis Regresi Linier Berganda 16

Penyimpangan terhadap Asumsi Regresi 17

Pengujian Parameter Model 18

Uji Koefisien Determinasi 18

Uji Elastisitas 19

Kajian Penelitian Terdahulu 19

Kerangka Penelitian 20

Hipotesis 20

3 METODOLOGI PENELITIAN 21

Jenis dan Sumber Data 21

Metode Analisis 22

Analisis Deskriptif 22

Analisis Model Cross Sectional Gravity 23

Definisi Variabel Operasional 24

4 GAMBARAN UMUM 25

Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia 25

Produksi dan Pasar 25

Produksi Komoditi Potensial 26

(13)

Incidence of NTM 38

Frequency Index 42

Coverage Ratio 44

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 46

Pengujian Model Cross Sectional Gravity 46

Uji Kelayakan dan Kecocokan Model (Goodness of fit) 46

Uji Asumsi Dasar 46

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Arus Perdagangan Sektor

Elektronika 47

Pendapatan Perkapita Negara Pengekspor 47

Produksi 48

Pendapatan Perkapita Negara Pengimpor 48

Nilai Tukar Riil 48

Biaya Perdagangan 49

Kebijakan non tarif 49

Dampak NTM ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika

Indonesia 50

Core Measures 50

Non Core Measure 51

Tantangan Sektor Elektronika Indonesia 52

Standardisasi Produk 52

Single Market and Production AEC 2015 54 Strategi Pengembangan Industri Elektronika Nasional 55

6 SIMPULAN DAN SARAN 57

Simpulan 57

Implikasi Kebijakan 57

Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 59

LAMPIRAN 62

(14)

pada lima komoditi utama tahun 2007 dan 2011 5

2 Klasifikasi NTM UNCTAD 9

3 Jenis dan sumber data yang digunakan 21

4 Produksi, pasar, share terhadap perdagangan ASEAN dan

dunia tahun 2007, 2009, dan 2011 25

5 Nilai produksi, persentase produksi, kontribusi produksi terhadap produksi ASEAN, dan kontribusi produksi Indonesia terhadap produksi dunia berdasarkan jenis komoditi tahun

2011 27

6 Nilai pasar, persentase pasar, kontribusi pasar terhadap pasar ASEAN, dan kontribusi pasar Indonesia terhadap pasar dunia

berdasarkan jenis komoditi tahun 2011 28

7 Produksi elektronika negara-negara ASEAN tahun 2011 30 8 Pasar elektronika negara-negara ASEAN tahun 2011 31 9 Kinerja perdagangan Indonesia terhadap ASEAN 32 10 Nilai ekspor tertinggi Indonesia terhadap ASEAN tahun 2011 32 11 Nilai impor terbesar Indonesia terhadap ASEAN tahun 2011 33 12 Neraca perdagangan Indonesia terhadap Malaysia, Filipina,

Singapura, dan Thailand Tahun 2011 38

13 NTM pada sektor elektronik di negara ASEAN 39 14 Jumlah pemberlakuan NTM berdasarkan negara, jenis NTM, dan

jenis produk tahun 2009 40

15 Jumlah NTM berdasarkan jenis komoditi dan jenis kebijakan

tahun 2009 41

16 Frequency Index berdasarkan negara dan delapan komoditi

elektronika tahun 2009 43

17 Hasil estimasi dampak NTM 47

DAFTAR GAMBAR

1 Skor tarif dan skor NTM di kawasan ASEAN (skala 0-100)

tahun 2011 3

2 Persentase jumlah NTM berdasarkan komoditi di kawasan

ASEAN tahun 2009 4

3 Perkembangan produksi dan perdagangan elektronika tahun

2007, 2009, dan 2011 5

4 Klasifikasi core dan non core NTM UNCTAD 11

5 Klasifikasi baru NTM UNCTAD 12

6 Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap welfare 15 7 Kriteria pengujian autokorelasi dengan Uji Durbin Watson 17

8 Kerangka Pemikiran 20

9 Nilai produksi berdasarkan jenis produk tahun 2007, 2009,

dan 2011 27

10 Nilai pasar elektronika berdasarkan jenis produk tahun 2007,

(15)

13 Jumlah perusahaan industri component di Provinsi Kep. Riau

tahun 2004 – 2010 35

14 Proporsi penggunaan input bahan baku lokal dan bahan baku impor pada industri komponen elektronika di Provinsi

Kepulauan Riau 36

15 Impor delapan komoditi elektronika Indonesia tahun 2011 37 16 Proporsi bahan baku lokal dan bahan baku impor industri

komponen elektronika Indonesia tahun 2001-2010 37 17 Frequency index elektronika negara-negara ASEAN tahun

2009 42

18 Frekuensi Index core measures dan non core measures pada

sektor slektronika negara-negara ASEAN tahun 2009 44 19 Coverage Ratio produk ekspor elektronika Indonesia ke

negara-negara ASEAN tahun 2009 44

20 Coverage Ratio produk impor elektronika Indonesia dari

negara-negara ASEAN tahun 2009 45

DAFTAR LAMPIRAN

1 Klasifikasi NTM 62

2 Definisi NTM 66

3 NTM pada Sektor Elektronik di Negara ASEAN 68

4 Penelitian Terdahulu 70

5 Hasil Estimasi 75

6 Uji Mormalitas 76

7 Uji Multikolinieritas 77

8 Klasifikasi Data Elektronika 78

(16)

AD : Antidumping

AEC : ASEAN Economic Community AFTA : ASEAN Free Trade Area

ASEAN : Assosiation of South-East Asian Nations BLUE : Best Unbiased Linear Estimation

BPS : Badan Pusat Statistik

BSN : Badan Standardisasi Nasional

CEPT : Common Effective Preferential Tariff DW : Durbin-Watson

FTA : Free Trade Agreement FTZ : Free Trade Zone

GATT : General Agreement on Tariff and Trade GDP : Gross Domestic Bruto

HS : Harmonize Systems IDN : Indonesia

IHK : Indeks Harga Konsumen MAL : Malaysia

NTB : Non Tariff Barrier NTM Non Tariff measures PDB : Produk Domestik Bruto PHI : Filipina

ROW : Rest of The World SIN : Singapura

SITC : Standard International Trade Clasification SNI : Standar Nasional Indonesia

SPS : Sanitary and Phitosanitary TBT : Technical Barrier to Trade

TCMCS : Coding System of Trade Control Measures THA : Thailand

TRAINS : Trade Analysis and Information System

UNCTAD : United Nations Conference on Trade and Development WDI : World Development Indicators

WEF : World Economic Forum

(17)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Perdagangan bebas (free trade) bertujuan untuk memaksimalkan output dunia dan keuntungan bagi setiap negara yang terlibat didalamnya. Perdagangan dapat memberikan keuntungan bagi negara-negara yang yang terlibat didalamnya karena negara tersebut akan berspesialisasi untuk menghasilkan komoditi secara efisien (Salvatore 1997). Perdagangan bebas tanpa hambatan akan memberikan dampak kesejahteraan yang lebih baik. Perdagangan internasional juga menciptakan peluang bagi industri dalam negeri untuk memperluas wilayah pemasaran sehingga dapat mengembangkan usahanya.

Sejak terbentuk General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1948 dan World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi dunia yang mengatur perdagangan internasional pada tahun 1995 memberikan dampak yang berarti terhadap pertumbuhan perdagangan. Berbagai putaran perundingan dilaksanakan dengan kesepakatan menciptakan perdagangan bebas di masa depan. Putaran perundingan yang terakhir yaitu Doha Round menyepakati penurunan hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif. Selama hampir dua dekade, negosiasi perdagangan antar negara sudah berhasil membantu menurunkan tarif. Berdasarkan database United Nations Conference on Trade and Development

(UNCTAD), Trade Analysis and Information System (TRAINS), rata-rata tarif komoditi agricultural and non-agricultural menurun dari 19.9 persen dan 6.7 persen pada tahun 1995 menjadi 7.4 persen dan 2.4 persen pada tahun 2008 (Basu et al. 2012). Namun krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 2008 yang ditandai oleh perlambatan ekonomi global membuat beberapa negara cenderung mengamankan perekonomian domestik dengan menerapkan berbagai proteksi (WTO 2012).

Kee et al. (2010) mengkaji pemberlakuan kebijakan perdagangan selama terjadi krisis global. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa selama periode krisis 2008-2009 hanya sedikit negara yang menggunakan kebijakan tarif dan kebijakan antidumping (AD) untuk menghadapi krisis tersebut. Penghitungan dampak tarif dan AD menunjukkan bahwa keduannya hanya menurunkan impor tidak lebih dari 2 persen padahal hasil estimasi WTO pada periode tersebut terjadi kontraksi impor sebesar 24 persen. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada indikasi terjadinya perubahan dalam kebijakan perdagangan. Salah satu alasan negara tidak memilih tarif sebagai instrumen kebijakan yaitu adanya kerjasama bilateral dan regional yang membatasi penggunaan kebijakan perdagangan tradisional seperti tarif sehingga akhirnya negara lebih meningkatan pemberlakuan kebijakan non tariff (Non Tariff Measures). Hal ini dapat menjelaskan bahwa sejak tahun 2009, baik negara maju maupun negara berkembang mulai menggunakan instrumen kebijakan perdagangan untuk menghadapi krisis ekonomi global dan krisis finansial. Negara-negara tersebut menggunakan alasan tertentu seperti perlindungan kesehatan dan lingkungan untuk melegitimasi proteksi. Sehingga isu perdagangan yang semula menurunkan hambatan tarif bergeser ke arah Non Tarif Mesures (NTM).

(18)

(UNCTAD 2013). Berbeda dengan Non Tariff Barrier yang merupakan kebijakan yang melanggar hukum perdagangan internasional, NTMs merupakan langkah-langkah kebijakan yang memiliki efek membatasi perdagangan tanpa melanggar hukum perdagangan internasional. NTM mencakup berbagai macam kebijakan yang terkait sanitary and phytosanitary measures (SPS), technical barrier to trade (TBT), quotas, import and export licences, export restrictions, customs surcharges, and anti-dumping and safeguard measure. Hasil laporan WTO pada tahun 2012 memperlihatkan pergeseran penerapan NTM sejak tahun 1968 sampai dengan 2005 yang semula lebih banyak menerapkan specific limitations dan charge on import menjadi lebih luas lagi pada technical barrier to trade serta custom and administrative procedures to entry.

Penerapan NTM akan berdampak pada penurunan ekspor negara-negara yang melakukan perdagangan. Penurunan ekspor tersebut akan mengurangi volume perdagangan sehingga akan ada potensial ekspor yang hilang. Andriamananjara et al. (2004) mengukur NTM dan menganalisis dampak penerapan NTM terhadap world trade dan welfare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa liberalisasi NTM akan meningkatkan perdagangan dunia dan global welfare. Wall (1999) melakukan estimasi cost of protection dari diberlakukannya kebijakan perdagangan di Amerika Serikat (AS) dan menyimpulkan bahwa proteksi impor yang dilakukan Rest of The World (ROW) akan mengurangi ekspor AS dan begitu pula sebaliknya. Proteksi yang dilakukan oleh AS menurunkan impor AS dan menyebabkan berkurangnya kesejahteraan. Pemberlakuan proteksi di banyak negara dalam bentuk NTM akan memberikan kerugian bagi produsen baik dalam negeri maupun luar negeri. Proteksi impor akan membuat negara pengimpor dirugikan dalam hal kompetisi di pasar domestik sehingga volume perdagangan akan berkurang. Negara pengekspor dan negara pengimpor akan kehilangan keuntungan dari perdagangan internasional.

Isu NTM tidak hanya ada di negara-negara maju seperti Amerika Serikat tetapi juga terjadi di negara-negara kawasan timur ASIA serta negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). ASEAN menunjukkan perhatian yang lebih terhadap NTM dengan diwajibkannya seluruh anggota ASEAN untuk melaporkan semua kebijakan perdagangan terkait NTM. Transparansi kebijakan perdagangan ini merupakan komitmen negara anggota ASEAN yang terikat pada perjanjian kerjasama bilateral dan regional. Kerjasama di kawasan ASEAN sudah menyepakati pembentukan ekonomi yang terintegrasi agar dapat bersaing dalam menghadapi keterbukaan perdagangan. Integrasi ekonomi ASEAN yang dikenal dengan Asean Free Trade Area (AFTA). AFTA terbentuk pada tahun 1992 dengan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utama dan akan berakhir dengan terbentuknya ASEAN Economic Comunity (AEC) pada tahun 2015.

Komitmen pengurangan tarif sudah ditunjukkan oleh negara-negara di kawasan ASEAN dengan penurunan tarif impor sampai dengan 0-5 persen pada tahun 2002 untuk komoditi tertentu dan menurunkan tarif sampai 0-5 persen untuk seluruh komoditi kategori Inclusion List (IL) pada 1 Januari 2010 bagi ASEAN-6, dan 2015-2018 bagi ASEAN-4 (Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam - CLMV).

(19)

tujuannya adalah tercapainya kemajuan yang cukup signifikan mengenai implementasi Work Programme on Elimination of Non-Tariff Barries (NTBs), revisi mengenai CEPT AFTA Rules of Origin, dan memfasilitasi perdagangan di kawasan. Penghapusan terhadap hambatan non tarif juga tercantum dalam Cetak Biru AEC, yaitu negara anggota ASEAN sepakat memberikan fokus utama pada implementasi penuh penghapusan NTBs menuju ASEAN 2015. Namun, pelaksanaan program kerja penghapusan hambatan non tarif dipandang tidak maksimal. Beberapa negara ASEAN hanya menghapuskan hambatan non tarif yang tidak bersifat high impact terhadap perdagangan intra ASEAN dan negara-negara anggota ASEAN lainnya (Kemendag 2011). Sehingga sampai saat ini ASEAN masih menekankan pentingnya penghapusan hambatan nontarif dan mengedepankan kebijakan non tarif yang lebih fasilitatif terhadap perdagangan yang pada akhirnya mendukung terwujudnya single market and production based yang diterapkan di ASEAN.

Sumber : World Economic Forum (2012)

Gambar 1. Skor tarif dan skor NTM di kawasan ASEAN (skala 0-100) tahun 2011.

Data WEF dalam publikasi Global Enabling Trade Report (GETR) 2012 menunjukkan bahwa negara-negara di ASEAN cenderung meningkatkan penggunaan kebijakan non tarif. Rata-rata skor NTM negara-negara di kawasan ASEAN meningkat dari tahun 2009 sebesar 35.5 (skala 0-100) menjadi 47.5 pada tahun 2010. Pada tahun 2011 rata-rata skor NTM turun menjadi 43 namun masih lebih tinggi dibandingkan tahun 2009. Dibandingkan dengan tarif, penggunaan non tariff measures di ASEAN menunjukkan nilai yang lebih tinggi. Pada Gambar 1 terlihat bahwa data tahun 2011 rata-rata skor tarif negara-negara di ASEAN sebesar 4.2 sedangkan rata-rata skor NTM di kawasan tersebut mencapai 43. NTM terbanyak diterapkan di Filipina mencapai 75.3 dan paling sedikit di Malaysia sebesar 4.7.

NTM di ASEAN paling banyak digunakan pada komoditi produk kimia (21 persen), mesin dan elektronika (18 persen), dan bahan makanan (14 persen) seperti terlihat pada Gambar 2. Kebijakan non tarif yang diterapkan pada komoditi produk kimia sebagian besar bertujuan untuk menghindari masuknya bahan-bahan kimia berbahaya termasuk obat-obatan terlarang yang tidak baik untuk kesehatan manusia dan lingkungan. Pada komoditi mesin dan elektronika non tariff measures yang digunakan dapat berupa aturan standar keselamatan. Sedangkan pada komoditi bahan makanan, beberapa negara melakukan persyaratan yang berkaitan dengan kualitas produk seperti packaging dan product certification.

6,0 4,6 4,2

0,0 6,4

16,6

40,9

75,3

29,1

53,9

0,0 20,0 40,0 60,0 80,0

p

e

rsen

tase

(%

)

Negara

Tarif

(20)

Penggunaan kebijakan non tarif dalam bentuk NTM di ASEAN menyebabkan kekhawatiran terhadap penurunan ekspor negara-negara di kawasan tersebut termasuk Indonesia.

Sumber: ASEAN, diolah

Gambar 2. Persentase jumlah NTM berdasarkan komoditi di kawasan ASEAN tahun 2009

Kinerja perdagangan Indonesia selama lima tahun terakhir pada lima komoditas utama menunjukkan bahwa terjadi peningkatan impor yang lebih besar dibandingkan peningkatan ekspor. Peningkatan ekspor Indonesia cukup tinggi yaitu sebesar 44 persen selama tahun 2007-2011 pada kelompok komoditi mineral. Kelompok komoditi ini merupakan komoditi yang sebagian besar dihasilkan oleh kegiatan pertambangan sehingga dalam jangka panjang komoditi ini dikhawatirkan akan mengalami penurunan seiring dengan semakin menipisnya cadangan sumber daya alam Indonesia. Nilai ekspor tertinggi kedua yaitu Mesin dan Elektronika. Namun ekspor kelompok komoditi ini hanya meningkat sebesar 7.12 persen selama tahun 2007-2011. Kondisi ekspor komoditi ini sangat berbeda dengan kondisi impornya. Impor Mesin dan Elektronika Indonesia meningkat sangat tajam yaitu sebesar 90.81 persen. Hal ini menunjukkan derasnya arus perdagangan mesin dan elektronika dari ASEAN ke Indonesia.

Kinerja perdagangan Indonesia dapat ditingkatkan dengan mendorong peningkatan ekspor pada komoditi industri yang potensial. Lord et al. (2010) menyatakan bahwa sektor elektronika merupakan sektor penyumbang terbesar pada ekspor industri di Indonesia. Jumlah ekspor elektronika mendekati satu per lima dari total ekspor industri Indonesia. Sektor elektronika merupakan sektor yang sangat penting bagi Indonesia.

Pentingnya sektor elektronika sebagai suatu komoditi yang dinilai potensial untuk dikembangkan di Indonesia dan banyaknya penerapan non tariff measures pada komoditi ini di kawasan ASEAN merupakan dasar pemikiran untuk mengangkat penelitian mengenai dampak non tariff measures ASEAN terhadap arus perdagangan Indonesia pada sektor elektronika.

Produk Kimia 21%

Mesin dan Elektronika

18%

Makanan olahan 14% Produk sayuran

8% Hewan dan produk hewan

7% Alat transportasi

7% Logam

Dasar 6%

Tekstil 2% Plastik dan Karet

2%

Kertas 2%

(21)

Tabel 1. Kinerja impor dan ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN pada lima komoditi utama tahun 2007 dan 2011 (Rupiah)

Ekspor Impor

No Kelompok

Komoditi 2007 2011

Trend

(2007-2011) dalam %

No Kelompok

Komoditi 2007 2011

Trend

(2007-2011) dalam %

1 Mineral 3316.3 13840.4 44.41 1 Mineral 7248.9 20630.4 44.93 2 Mesin dan

Elektronika

4922.1 6238.7 7.12 2 Mesin dan Elektronika

1965.5 9193.2 90.81

3 Logam Dasar

3489.0 4824.1 12.03 3 Alat transportasi

1307.1 3942.6 42.65

4 Lemak Hewani dan Nabati

1188.5 3701.8 36.85 4 Produk Kimia

2188.1 3563.4 19.55

5 Alat transportasi

1113.0 2377.2 26.00 5 Plastik dan Karet

914.5 3389.0 49.34

Sumber : ASEAN, diolah

Rumusan Permasalahan

Misi pemerintah dalam bidang industri elektronika tahun 2014 adalah terwujudnya industri elektronika sebagai industri andalan masa depan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu target yang ditetapkan pemerintah yaitu meningkatkan penguasaan pasar domestik maupun internasional (Kemenperin 2011). Data tahun 2011 menunjukkan bahwa produksi elektronika sebesar 10862 juta US $ yang tercatat masih lebih rendah dibandingkan dengan besarnya pasar elektronika di Indonesia yang mencapai 13164 juta US $. Peningkatan pasar domestik antara tahun 2009 sampai dengan 2011 mencapai 42 persen sedangkan produksi hanya mampu tumbuh sebesar 14 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa pasar domestik semakin berkurang. Rendahnya produksi juga menyebabkan rendahnya penguasaan pasar internasional khususnya di kawasan ASEAN.

Sumber: Reed Electronics Research

Gambar 3. Perkembangan produksi dan perdagangan elektronika tahun 2007, 2009,dan 2011 9775 9510 10862 6670 9269 13164 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000

2007 2009 2011

(22)

Data Reed Elektronics Research menunjukkan bahwa pada tahun 2011, produksi elektronika Indonesia hanya sebesar 6 persen terhadap total produksi ASEAN. Produksi Indonesia memiliki kontribusi yang paling kecil diantara negara-negara ASEAN seperti Singapura (34 persen), Malaysia (35 persen), Thailand (17 persen), dan Filipina (8 persen).

Rendahnya produksi komoditi elektronika merupakan indikasi bahwa produk Indonesia kalah bersaing dengan produk impor dari negara lain. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya saing produk elektronika adalah kebijakan non tarif. Penggunaan kebijakan non tariff measures oleh negara-negara seperti Singapura, Filipina, dan Malaysia mempengaruhi ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut.

Kebijakan non tarif yang diimplementasikan di negara-negara kawasan ASEAN termasuk Indonesia menyebabkan terbentuknya hambatan perdagangan dalam bentuk yang baru, sehingga semakin menjauhkan tujuan perdagangan bebas yang sudah disepakati bersama untuk membentuk AEC 2015. Sektor elektronika yang merupakan sektor potensial di kawasan ASEAN akan menjadi salah satu sektor yang terkena dampak dari pemberlakuan non tariff measures. Penggunaan non tariff measures pada sektor elektronika di negara-negara kawasan ASEAN dikhawatirkan akan menurunkan arus perdagangan sektor tersebut di kawasan ASEAN.

Pentingnya kajian mengenai dampak non tarif measures terhadap arus perdagangan pada sektor elektronika di kawasan ASEAN memberikan ruang peneliti untuk mengkaji lebih jauh mengenai permasalahan-permasalahan berikut ini:

1. Bagaimana perdagangan sektor elektronika Indonesia?

2. Bagaimana pemberlakuan NTM sektor elektronika di ASEAN?

3. Bagaimana dampak NTM ASEAN terhadap arus perdagangan sektor elektronika Indonesia?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Menganalisis perdagangan sektor elektronika Indonesia

2. Menganalisis pemberlakuan NTM sektor elektronika di ASEAN

3. Menganalisis dampak NTM ASEAN terhadap arus perdagangan sektor elektronika Indonesia.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain :

1. Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai kebijakan perdagangan dalam bentuk Non Tariff Measures dan dampaknya terhadap arus perdagangan pada sektor elektronika

2. Memberikan masukan bagi pemerintah terkait dengan kebijakan perdagangan

Ruang Lingkup

(23)
(24)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Hambatan Perdagangan

Perdagangan bebas (free trade) bertujuan untuk memaksimalkan output dunia dan keuntungan bagi setiap negara yang terlibat didalamnya. Namun dalam kenyataannya hampir setiap negara menerapkan berbagai bentuk hambatan terhadap berlangsungnya perdagangan internasional secara bebas. Bentuk hambatan perdagangan antara lain hambatan tarif dan hambatan non tarif. (Salvatore 1997)

Hambatan tarif

Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Ditinjau dari asal komoditi ada dua jenis tarif yaitu tarif impor dan tarif ekspor. Tarif impor adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari negara lain. Tarif ekspor adalah pajak untuk komoditi yang dieskpor. Sedangkan ditinjau dari cara penghitungan, tarif dibedakan menjadi tarif ad valorem, tarif spesifik, dan tarif campuran. Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. Tarif spesifik dikenakan sebagai beban dari setiap unit barang yang diimpor. Tarif campuran adalah gabungan dari keduanya.

Hambatan non tarif

Hambatan non tarif merupakan hambatan perdagangan yang terjadi di era modern dan merupakan bentuk proteksi perdagangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan hambatan tarif. Bentuk hambatan non tarif yang sering digunakan adalah kuota impor, pembatasan ekspor secara sukarela dan tindakan anti dumping. Praktek perdagangan yang terjadi pada saat ini, pemerintak melakukan intervensi dalam perdagangan internasional dengan menggunakan instrumen kebijakan lainnya yang lebih kompleks yaitu kebijakan yang menyembunyikan motif proteksi. Instrumen kebijakan yang menonjol antara lain pemberian subsidi ekspor, pembatasan impor, konsep pengekangan ekspor secara sukarela (voluntary export restrain), dan persyaratan kandungan lokal (local contain requirement). Berbagai proteksi perdagangan non tarif ini dapat diturunkan menjadi serangkaian negosiasi perdagangan multilateral. Perkembangan hambatan non tarif ini kemudian memberikan ruang bagi WTO untuk mendisiplinkan penggunaaanya. WTO kemudian mendefinisikan kebijakan-kebijakan perdagangan non tarif dengan istilah non tariff measures (NTM).

Non Tariff Measures

(25)

system yang dapat diakses oleh peneliti-peneliti di dunia melalui aplikasi software yang disebut World Integrated Trade Solution (WITS).

UNCTAD mengklasifikasikan NTM berdasarkan 6 kategori utama (core categories) yaitu price control measures; finance measures; automatic licensing measures; quantity control measures; monopolistic measure; and technical measures. Rincian klasifikasi NTM dapat dilihat pada Tabel 2 dan lebih rinci pada Lampiran 1.

Tabel 2. Klasifikasi NTM UNCTAD

Kode Deskripsi

3000 Price Control Measures

3100 Administrative Pricing

3200 Voluntary Export Price Restraint

3300 Variable Charges

3400 Antidumping Measures

3500 Countervailing Measures

3900 Price Control Measures N.E.S. 4000 Finance Measures

4100 Advance Payment Requirements

4200 Multiple Exchange Rates

4300 Restrictive Official Foreign Exchange Allocation

4500 Regulations Concerning Terms Of Payment For Mports

4600 Transfer Delays, Queuing

4900 Finance Measures N.E.S. 5000 Automatic Licensing Measures

5100 Automatic Licence

5200 Import Monitoring

5700 Surrender Requirement

5900 Automatic Licensing Measures N.E.S. 6000 Quantity Control Measures

6100 Non-Automatic Licensing

6200 Quotas

6300 Prohibitions

6600 Export Restraint Arrangements

6700 Enterprise-Specific Restrictions

6900 Quantity Control Measures N.E.S. 7000 Monopolistic Measures

7100 Single Channel For Imports

7200 Compulsory National Services

7900 Monopolistic Measures N.E.S. 8000 Technical Measures

8100 Technical Regulations

8200 Pre-Shipment Inspection

8300 Special Customs Formalities

8400 Return Obligation

8900 Technical Measures N.E.S.

Sumber : UNCTAD 2009

Price control measures merupakan kebijakan yang dilakukan untuk

(26)

pricing adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dari negara pengimpor dengan memperhitungkan harga domestik dari produsen atau konsumen dengan penerapan harga atap (celiling price) atau harga dasar (floor price), atau kembali ke nilai pasar internasional ditentukan. Berbagai istilah digunakan, tergantung pada negara atau sektor, untuk menamakan metode penetapan harga yang berbeda, seperti harga resmi, harga impor minimum atau harga impor dasar. Voluntary Export Price Restrain merupakan kebijakan dimana negara pengimpor negara pengekspor setuju untuk menjaga harga barangnya berada di atas kisaran harga tertentu. Variable charges adalah biaya yang menyebabkan harga barang impor mendekati harga barang produksi domestik sehingga berada pada suatu referensi harga tertentu. Biaya yang dikenakan pada komoditi primer dapat dihitung dari total berat komoditi sedangkan makanan hasil olahan dapat dilakukan sesuai dengan proporsi ketika barang akhir dihasilkan. Antidumping Measure adalah langkah-langkah yang dilakukan suatu negara sebagai tanggapan terhadap adanya keluhan atau pengaduan tindakan dumping negara lainnya. Dumping merupakan penjualan komoditi ke negara lain dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan harga penjualan domestiknya. Countervailing Measures adalah pengenaan pajak impor atau tarif tambahan terhadap produk-produk impor tertentu yang dicurigai memiliki daya saing (harga yang lebih rendah) karena didukung oleh subsidi ekpor dari negara asalnya.

Finance measures merupakan kebijakan yang mengatur akses dan biaya

dari foreign exchange untuk impor dan menetapkan terms of payment. Advance

Payment Requirements adalah biaya tambahan yang dikenakan terhadap transaksi

impor sebagai persyaratan pada saat mengajukan ijin impor. Transfer Delays,

Queuing merupakan delay minimum yang diperbolehkan antara waktu

pengiriman barang sampai dengan transaksi terakhir, biasanya 90, 180, 360 hari untuk barang konsumsi dan barang input industri serta 2-5 tahun untuk barang modal.

Monopolistic measures merupakan kebijakan yang menciptakan situasi monopoli dengan memberikan hak eksklusif kepada kelompok pelaku ekonomi tertentu karena alasan sosial, fiskal, dan ekonomi. Single channel for imports

adalah kebijakan dimana seluruh impor atau impor komoditas tertentu harus disalurkan melalui perusahaan pemerintah (state own agencies atau state controlled enterprises). Compulsory national services adalah hak eksklusif yang dimiliki pemerintah terkait asuransi nasional dan perusahaan perkapalan pada seluruh atau bagian impor tertentu.

Technical measures merupakan kebijakan yang terkait dengan karakteristik

produk seperti kualitas, keamanan, termasuk persyaratan administrasi seperti terminologi simbol, testing, packaging, marking dan labeling. Technical

regulation merupakan pengaturan terhadap persyaratan teknis terhadap produk

yang terkait dengan standar yang bertujuan untuk melindungi human life and helth, animal life and health (sanitary), lingkungan dan lain lain. Definisi kebijakan lainnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

(27)

pada Gambar 4. Klasifikasi ini kemudian digunakan oleh negara-negara di kawasan ASEAN sebagai dasar untuk pengumpulan data NTM di kawasan ASEAN.

Sumber: Basu et al. (2009)

Gambar 4. Klasifikasi core dan non core NTM UNCTAD

Perkembangan kebijakan non tarif dalam perdagangan internasional di era globalisasi membuat metodologi klasifikasi, penghitungan, dan pengumpulan data NTM yang baru sesuai dengan kondisi yang terjadi di beberapa tahun terakhir. Sehingga pada tahun 2006, sekretariat General established the Group of Eminent Persons on Non-tariff Barriers (GNTB) membentuk tim yang dinamakan Multi-Agency Support Team (MAST) untuk menyusun dan memperbarui klasifikasi, metode penghitungan dan pengumpulan data NTM. Definisi NTM yang ditetapkan adalah sebagai berikut:

Non-tariff measures (NTMs) are policy measures, other than ordinary customs tariffs, that can potentially have an economic effect on international trade in goods, changing quantities traded, or prices or both

(UNCTAD 2013).

Non-tariff measures (NTM) didefinisikan sebagai kebijakan-kebijakan selain tarif yang secara potensial dapat memiliki pengaruh ekonomi pada perdagangan komoditi internasional, mengubah kuantitas perdagangan atau harga atau keduanya. Klasifikasi NTM yang terbaru merupakan perluasan dari klasifikasi NTM yang lama dengan menambahkan beberapa cabang klasifikasi baru seperti kebijakan terkait ekspor seperti subsidi. Kalsifikasi ini membagi NTM menjadi dua bagian yaitu import measures dan export measures. Import measure meliputi

Imp

o

rt

mea

sure

s

Core measures

Non core measures

3 Price control measures

4 Finance measures (kecuali 417)

6 Quantity control measures (kecuali 617, 627, dan 637)

7 Monopolistik measures

5 Automatic licensing measures

8 Technical measures

417 Refundable deposit for sensitive product

617 Non automatic license for sensitive produscts

627 Quota for sensitive products

(28)

technical measures dan non technical measures. Skema klasifikasi baru NTM dapat dilihat pada Gambar 6.

Sumber : Basu et al. (2009)

Gambar 5. Klasifikasi baru NTM UNCTAD

Bagian A merupakan kebijakan yang terkait dengan sanitary and phytosanitary measures (SPS) yang merupakan kebijakan pembatasan substansi untuk food safety. Bagian ini juga termasuk aturan sertifikasi, testing, dan karantina terkait food safety. Bagian B merupakan technical barrier to trade measures (TBT) yang terkait labelling, standar spesifikasi dan kualitas, dan kebijakan lainnya yang melindungi lingkungan. Bagian C terkait preshipment inspection. Bagian D merupakan kebijakan untuk melindungi pasar domestik dari tindakan perdagangan negara lain yang tidak adil (unfair foreign trade) meliputi antidumping, countervailing, safeguard measures. Bagian E dan F merupakan kebijakan perdagangan tradisional meliputi licencing, quotas, dan kebijakan quantity control lainnya termasuk tariff rate quotas. Bagian F merupakan

Imp

o

rt

mea

sure

s

Technical measures

Non technical measures

A Sanitary and phytosanitary measures (SPS)

B Technical barrier to trade (TBT)

C Pre-shipent inspection and other formalities

D Price control measures

E License, quotas, prohibition dan quantity control

F Charges, taxes dan para-tariff measures lainnya

G Finance measures

H Anti competitive measures

I trade-related investment measures

J Distribution restrictions

K Restrictions on post-sales services

M Government procurement restrictions L Sudsidies (excluding export subsidies)

N Intelectual property

O Rules of origin

(29)

kebijakan terkait price control measures yang diterapkan untuk mengendalikan harga barang impor. Pada kategori ini juga termasuk kebijakan yang meningkatkan biaya impor (para-tariff measures). Bagian G merupakan Finance measures. Bagian H merupakan kebijakan yang mempengaruhi persaingan, terkait dengan kebijakan monopolistik. Bagian I merupakan kebijakan terkait investasi. Kebijakan yang membatasi investasi dengan persyaratan local content atau permintaan investasi yang terkait dengan ekspor untuk menyeimbangkan impor. Bagian J dan K terkait dengan perjalanan produk dan pelayanan yang berhubungan dengan produk setelah diimpor. Hal ini termasuk kebijakan non tarif karena akan mempengaruhi keputusan untuk impor. Bagian K merupakan pembatasan pada post sale service misal adanya pembatasan pada aksesoris. Bagian L, M, dan O terkait dengan behind the border policies. Bagian L meliputi kebijakan terkait subsidi yang mempengaruhi perdagangan. Bagian M adalah government procurement restriction measures. Chapter N merupakan kebijakan pembatasan terkait intellectual property measures and intellectual property rights. Chapter O, kebijakan yang membatasi karena asal produk atau inputnya. Bagian terakhir yaitu Bagian P merupakan kebijakan terkait ekspor meliputi ekspor taxes, export quotas and export prohibitions.

Menurut WTO, beberapa alasan pemberlakuan NTM di banyak negara tidak terlepas dari politik ekonomi suatu negara, antara lain :

1. Memperbaiki Market Failure

Kegagalan pasar (market failure) sering menjadi alasan bagi pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap perekonomian. Isu-isu yang berkaitan dengan perlindungan kesehatan dan keamanan bagi konsumen, perlindungan lingkungan dan polusi merupakan alasan yang paling banyak digunakan untuk melegitimasi proteksi. Keinginan suatu negara melindungi infant industry untuk mendukung berkembangnya industri domestik dan berbagai kekuatan monopoli yang dilakukan oleh perusahaan milik negara merupakan alasan berikutnya yang dijadikan dasar untuk melakukan berbagai pembatasan impor.

2. Beggar-thy-neighbour policies

Kebijakan perdagangan yang dilakukan oleh sebuah negara juga dilakukan dalam rangka memanipulasi terms of trade melalui NTM. Suatu negara berharap akan memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dari perdagangan dengan adanya perubahan nilai tukar perdagangan. Pemerintah juga dapat menggeser keuntungan yang semula didapat oleh suatu pelaku ekonomi menjadi milik pelaku ekonomi lainnya. (Profit-shifting non tariff measures).

3. Equity

4. Political Economy

Alasan yang lebih jauh lagi dapat terkait dengan permasalahan strategi politik ekonomi suatu negara.

Faktor-faktor Penunjang Perdagangan

Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto)

(30)

suatu negara terbuka dapat diketahui berdasarkan kurva batas kemungkinan produksinya. Batas kemungkinan produksi adalah sebuah kurva yang memperlihatkan berbagai alternatif kombinasi dua komoditi yang dapat diproduksi oleh sebuah negara dengan menggunakan semua sumberdayanya dengan teknologi terbaik yang dimilikinya. Jika diasumsikan negara memproduksi komoditi ekspor X, apabila terjadi kenaikan GDP, maka suatu negara akan menambah kapasitas negara untuk memproduksi komoditi X untuk kebutuhan domestik dan ekspor. Besar perubahan GDP yang terjadi menggambarkan pertambahan produksi domestik suatu negara. Adanya peningkatan GDP dan asumsi konsumsi masyarakat sama, maka negara akan mengekspor komoditi X menjadi lebih banyak dari sebelumnya.

GDP Negara Lain dan Exchange rate (ER)

Ekspor merupakan permintaan luar negeri terhadap barang domestik. Ekspor dipengaruhi oleh foreign income dan real excahange rate. Secara matematis, fungsi ekspor dapat ditulis sebagai berikut:

(+ , - )

(2.1)

(2.2)

Peningkatan pada foreign income, Y* , akan menyebabkan peningkatan

ekspor. Semakin tinggi foreign income berarti semaikin tinggi permintaan luar negeri terhadap semua komoditi baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri sehingga menyebabkan peningkatan ekspor. Peningkatan real exchange rate, ϵ, akan menyebabkan penurunan ekspor. Jika nilai tukar riil mengalami apresiasi maka harga komoditi dalam negeri akan lebih mahal dibandingkan harga di luar negeri sehingga menyebabkan penurunan ekspor (Blanchard 2005).

Jarak Ekonomi

Jarak ekonomi adalah indikasi dari biaya transportasi yang dihadapi oleh suatu negara dalam melakukan ekspor. Biaya transportasi adalah salah satu faktor penghambat perdagangan internasional. Jarak meningkatkan biaya transaksi pertukaran barang dan jasa internasional. Semakin jauh terpisah suatu negara dengan yang lain semakin besar pula biaya transportasi pada perdagangan diantara keduanya. Keuntungan yang diterima oleh suatu negara dari perdagangan internasional semakin kecil karena adanya biaya transportasi. (Krugman dan Obstfeld 2003) mempertimbangkan jarak kedua negara sebagai determinan penting untuk pola perdagangan geografis.

Dampak Kebijakan Hambatan Non Tarif

(31)

proteksi terhadap perdagangan tersebut akan menguntungkan bagi produsen namun merugikan bagi konsumen dan pada akhirnya akan merugikan perekonomian secara keseluruhan (Salvatore 1997).

Pembatasan impor dengan menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan akan mempengaruhi welfare. Wall (1999) mendeskripsikan dampak pembatasan impor dalam analisis keseimbangan parsial dengan mengilustrasikan supply dan demand suatu negara seperti terlihat dalam Gambar 6.

[image:31.595.113.445.188.409.2]

Sumber: Wall (1999)

Gambar 6. Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap welfare

Jika terjadi perdagangan bebas, barang yang diimpor akan berada pada harga dunia yaitu Pw. Negara akan mengkonsumsi sebesar QD0 dan produksi sebesar

QS0. Jumlah yang akan diimpor dari negara lain sebesar QD0-QS0. Ketika ada

proteksi impor maka harga akan meningkat menjadi PM. Sehingga negara tersebut

akan produksi sebesar QS1 dan jumlah impor akan berkurang menjadi QD1-QS1.

Konsumen akan dirugikan karena menanggung harga yang lebih mahal dan produsen diuntungkan dengan peningkatan produksi dengan harga tinggi. Surplus kondumen akan berkurang sebesar area A+B+C+D. Area A merupakan surplus konsumen yang ditranfer ke produsen. Area B dan D adalah Dead Weight Loss (DWL) yang merupakan kerugian perekonomian. Area C tidak merepresentasikan penerimaan pemerintah dari tarif karena pembatasan impor bukan berasal dari kebijakan tarif melainkan kebijakan non tarif. Area ini diukur sebagai quota rent. Jika tidak ada peningkatan pemerintah yang berasal dari quota rent ini maka quota rent akan didapat oleh produsen negara lain. Sehingga C direpresentasikan sebagai net welfare loss to economy. Penerimaan dapat meningkat melalui penjualan lisensi quota. Sehingga dengan menggunakan θ yang mencerminkan share dari quota rent maka total net welfare loss dari pembatasan impor sebesar B+D+(1- θ)C.

Model Gravity

Gravity model pertama kali dikembangkan oleh Tinbergen (1962) dan Poyhonen (1963) dan diaplikasikan pada perdagangan internasional untuk

PM

Quantity

PW

QS0

A B C D

S

D

QS1 QD1 QD0

(32)

menjelaskan aliran perdagangan bilateral oleh mitra dagang pada GNP dan jarak geografi antar negara. Model gravitasi adalah salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk mengestimasi berapa besarnya nilai barang yang keluar dan masuk di suatu wilayah. Model gravity merepresentasikan bahwa volume ekspor antara kedua negara mitra dagang merupakan increasing function dari GDP kedua negara tersebut dan decreasing function dari jarak diantara kedua negara tersebut. Model gravity yang sederhana dapat dituliskan sebagai berikut:

(2.3)

Dimana α, , , δ merupakan konstanta positif. X adalah ekspor, Y adalah pendapatan nasional, D adalah jarak. i menunjukkan negara pengimpor dan j menunjukkan negara pengimpor. Model ini kemudian diestimasi menggunakan data cross-section dari negara mitra gadang pada tahun (singgle year) tertentu atau pada periode beberapa tahun (several years).

Model gravity kemudian dikembangkan lagi oleh Wall (1999) dengan mengestimasi menggunakan data panel. Wall menunjukkan bahwa model fixed effect yang dihasilkan menunjukkan R2 yang tinggi dan menjelaskan bahwa estimasi dapat dilakukan dengan intersept yang berbeda-beda karena data yang digunakan memiliki unsur heterogeneity. Model fixed effect tersebut digunakan untuk mengestimasi dampak pembatasan impor terhadap ekspor dengan menambahkan indikator trade policy. Model gravity yang diperluas tersebut dituliskan sebagai berikut :

(2.4) Dimana:

X = Ekspor

Y = Pendapatan Nasional (GDP) D = Jarak Ekonomi

T = Trade Policy Index i = negara pengekspor j = negara pengimpor t = tahun

Model ini yang akan menjadi model rujukan untuk penelitian. Pengembangan model ini akan dilakukan dengan memodifikasi indikator trade policy menjadi indokator NTM dan menambahkan beberapa indikator terkait dengan perdagangan seperti tarif dan nilai tukar. Zahidi (2012) meneliti dampak trade facilitation terhadap arus perdagangan di kawasan ASEAN+3 menggunakan model panel gravity menggunakan indikator perdagangan seperti GDP riil per kapita negara ekportir, GDP riil per kapita negara importir, tarif, nilai tukar dan indikator terkait trade facilitation.

Regresi Linier Berganda

Analisis regresi berganda dapat digunakan untuk menangkap pengaruh beberapa variabel X bebas terhadap variabel terikat Y. Secara matematis hubungan variabel bebas k-1 dengan Y, variabel terikat dapat dituliskan sebagai berikut:

(33)

dengan 1= intersep, 2 sampai k= koefisien kemiringan parsial, u = unsur

gangguan stokastik (disturbance), dan i = observasi ke-i, N merupakan banyaknya populasi. Untuk variabel bebas kategorik yang berskala nominal atau ordinal maka variabel bebas tersebut berbentuk variabel dummy yang bernilai 1 dan 0. Variabel dummy akan bernilai 1 jika sesuai kategori referensi dan 0 untuk kategori lainnya.

Penyimpangan terhadap Asumsi Model Regresi

Tiga masalah yang seringkali muncul sehingga mengakibatkan asumsi dasar model regresi tidak terpenuhi yaitu multikolinearity, heteroskedastisity, dan autocorrelation.

a. Multikolinearity

Salah satu asumsi dasar model regresi adalah tidak ada hubungan linear antara variabel-variabel bebas dalam model. Cara untuk mendeteksi multicolinearity adalah dengan menghitung korelasi antara dua variabel bebas. Jika korelasi lebih besar dari 0,8 maka multicolinearity merupakan masalah.

b. Heteroskedastisity

Asumsi dasar lainnya adalah varians dari error yang dihasilkan adalah konstan. Dampak heteroskedastisity adalah hasil uji t dan F dapat menjadi tidak berarti (tidak ada gunanya). Mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat dilakukan melalui paket program Eviews 6.0 dengan membandingkan sum square resid pada hasil estimasi weighted dan unweighted. Masalah heteroskedastisitas dapat diatasi dengan menggunakan metode white-heteroskedastisity.

c. Autocorrelation

Asumsi yang terakhir adalah tidak adanya korelasi antar error yang dihasilkan. Autocorrelation dapat memengaruhi efisiensi model. Cara mendeteksi Autocorelation adalah dengan uji Durbin Watson.

Hipotesis dalam pengujian autokorekasi adalah: H0: tidak ada Otokorelasi positif atau negatif

H1: terdapat masalah Otokorelasi positif atau negatif.

Sumber: Yamin et al. (2010)

Gambar 7. Kriteria pengujian autokorelasi dengan Uji Durbin Watson

d

0 dL dU 2 4 - 4 - 4

Tolak H0

Ada masalah Otokorelasi positif

Tolak H0

Ada masalah Otokorelasinegatif Tidak Tolak H0

tidak ada masalah Otokorelasi Tidak ada

kesimpulan

(34)

Kriteria pengujian: Tolak H0 bila

Nilai d hitung atau nilai Durbin Watson Model lebih besar daripada nilai Durbin Watson table batas bawah (dL) yang berarti terdapat masalah otokorelasi positif (dw < dL)

Atau, nilai d hitung ataunilai Durbin Watson Model terletak antara nilai (4–dL < dw < 4) yang berarti terdapat masalah otokorelasi negatif Tidak tolak H0 bila

Nilai d hitung atau nilai Durbin Watson Model terletak antara nilai (dU < dw < 4-dU)

Pengujian parameter Model

Pengujian parameter model bertujuan untuk mengetahui kelayakan model dan apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis. Pengujian parameter meliputi koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi secara menyeluruh (F-test/uji F) dan uji koefisien regresi secara parsial (uji t).

a. Uji-F

Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi atau parameter model secara menyeluruh/bersamaan. Kriteria pengujiannya adalah jika nilai nilai F observasi > F tabel atau nilai probabilitas F-statistic < taraf nyata (α), maka keputusan menolak H

0

signifikan. Dengan menolak H0 berarti minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas.

b. Uji-t

Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji-t adalah : H

0 : βi = 0 Vs H1 : βi ≠ 0. Keputusan

dalam pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel atau dengan melihat nilai probabilitas dari t-hitung. Jika nilai t-hitung > t-tabel atau jika nilai probabilitas t < α=0,05 maka keputusan menolak H0 adalah signifikan. Kesimpulannya adalah peubah bebas secara parsial signifikan memengaruhi peubah tak bebas.

Uji Koefisien Determinasi (R²)

Nilai Uji R² mengukur kecocokan (goodnes of fit) dari persamaan regresi yaitu memberikan proporsi atau presentasi variasi total dalam variabel tidak bebas yang dijelaskan oleh variabel bebas atau merupakan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa baik garis regresi sampel menggambarkan populasi. Atau dengan kata lain bahwa Uji R² digunakan untuk menghitung seberapa besar variasi dari variabel bebas yang dapat menjelaskan variasi dari variabel tidak bebas. Nilainya berkisar antara 0-1. Jika nilai R² sama dengan 1, maka variasi variabel bebas mampu menjelaskan 100 persen variasi variabel tidak bebas. Sebaliknya jika nilai R² sama dengan 0, maka variasi variabel bebas tidak mampu menjelaskan sedikitpun variasi variabel tidak bebas. Kecocokan model dikatakan

(35)

Uji Elastisitas

Untuk mengetahui variabel mana yang paling berpengaruh dari variabel bebas terhadap variabel tidak bebas maka digunakan uji elastisitas, yaitu dengan membandingkan besarnya nilai koefisien beta dari variabel bebas yang terbesar.

Kajian Penelitian Terdahulu

Wall (1999) menganalisis dampak import protection terhadap arus perdagangan Amerika Serikat dan dampaknya terhadap welfare. Penelitian ini menggunakan analisis panel gravity untuk melihat dampak variabel GDP negara pengekspor, GDP negara pengimpor, dan Trade Policy Index terhadap arus perdagangan. Hasil penelitian menunjukkan adanya import protection di negara-negara selain U.S. menyebabkan ekspor AS 26.2 percen lebih rendah pada tahun 1996. Hambatan yang diberlakukan oleh Amerika Serikat menurunkan impor AS dari negara-negara non-NAFTA sebesar 15.4 persen per tahun yang menyebabkan welfare cost sebesar 1.45 persen. Sumber utama dari hilangnya kesejahteraan adalah pengalihan quota rent ke luar negeri daripada deadweight efficiency losses.

Fugazza (2008) menganalisis dampak penghapusan non tariff barrier terhadap trade dan welfare menggunakan computable general equilibrium (CGE) dalam kerangka GTAP. Data non tariff barrier yang digunakan adalah data advalorem equivalent of NTB.Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara dengan tingkat NTB yang tinggi seperti sub-Saharan Africa, South East Asia, dan North Africa tidak mendapatkan keuntungan yang berarti dari penurunan NTB secara global. Sejalan dengan Fugazza, Winchester (2008) melakukan simulasi penurunan tarif dan non tarif barrier pada perdagangan bilateral Australia dan New Zealand menggunakan CGE. Penurunan NTB akan menghasilkan gain of trade yang lebih besar dibandingkan penurunan tarif

Andriamananjara et al. (2003) memperkenalkan metode estimasi NTM price gaps menggunakan tiga metode yang berbeda (tariff equivalent, export tax equivalent and sand-in-the-wheels) dan menganalisis dampak ekonomi (trade, welfare dan production) dari penghapusan NTM pada produk alas kaki, pakaian, dan makanan olahan menggunakan CGE.

(36)

Kerangka Penelitian

Krisis global tahun 2008 berdampak pada terjadinya perlambatan ekonomi dunia termasuk perekonomian di kawasan ASEAN.Untuk menghadapi krisis tersebut negara-negara di kawasan tersebut menggunakan instrumen kebijakan perdagangan. Karena ikatan perjanjian dalam kerjasama perdagangan regional dan bilateral, negara lebih memilih menggunakan kebijakan non tarif dibandingkan tarif. Semakin tinggi pembatasan dalam bentuk NTM yang dilakukan oleh suatu negara dikhawatirkan akan menurunkan ekspor negara lain ke negara tersebut sehingga volume perdagangan kedua negara akan berkurang. Untuk melihat gambaran pemberlakuan NTM di kawasan ASEAN akan dilakukan analisis deskriptif implementasi NTM. Kemudian akan dianalisis dampak NTM terhadap arus perdagangan Indonesia pada sektor elektronika. Hasil penelitian ini akan menghasilkan implikasi kebijakan terkait perdagangan yang dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah.

Gambar 8. Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. GDP riil suatu negara berhubungan positif dengan arus perdagangan.

Peningkatan GDP riil suatu negara mitra dagangnya menyebabkan perdagangan bilateral diantara keduanya akan meningkat.

2. Biaya perdagangan antar negara yang melakukan perdagangan berhubungan negatif terhadap arus perdagangan. Semakin besar biaya perdagangan akan mengurangi arus perdagangan kedua negara.

3. Tarif dan non tariff measures yang diberlakukan pada elektronika di suatu negara berhubungan negatif terhadap arus perdagangan.

4. Nilai tukar riil berpengaruh positif terhadap arus perdagangan antara negara pengekspor terhadap negara mitra dagangnya.

Non Core Measure (Untuk melindungi konsumen

lokal) Penggunaan instrumen kebijakan dalam

menghadapi krisis global di ASEAN

Kebijakan Tariff

Implikasi Kebijakan

Implementasi Non Tariff Measures pada sektor elektronika

Non Tariff Measures Kebijakan Perdagangan

Dampak NTM terhadap arus perdagangan pada komoditi elektronika (Model Cross Sectional Gravity ) Core Measure

(untuk melindungi produsen lokal)

Faktor penunjang Perdagangan (pendapatan nasional, produksi, biaya ekspor, nilai

(37)

3 METODOLOGI PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

[image:37.595.109.522.218.381.2]

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari berbagai sumber antara lain World Bank, ASEAN, UNCTAD, UNCOMTRADE,WDI dan publikasi internasional. Rincian data yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis dan sumber data yang digunakan

No Jenis Data Tahun Sumber Keterangan

1 Non Tariff Measures

(NTM)

2009 ASEAN

2 GDP 2009 World Development

Indicator

Juta US $

3 Ekspor /Impor 2009,2011 WITS Juta US $

4 Tarif 2009 WITS Persen

5 Biaya Ekspor 2009 Doing Bussiness Juta US $ 6 Produksi dan pasar 2007,

2009, 2011

Reed Ekektronics Research

Juta US $

7 Nilai Tukar 2009 UNCTAD

Pengumpulan data terkait non tariff measures tidak mudah dilakukan. Kebijakan non tarif dapat dikeluarkan oleh lembaga yang berbeda dengan tujuan yang berbeda di masing-masing negara seperti Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, dan Departemen Perindustrian. Negara anggota ASEAN diwajibkan untuk menginventarisasi kebijakan-kebijakan tersebut dan melaporkan kepada sekretariat ASEAN. Namun, data yang tersedia belum terupdate secara berkala. Data terakhir yang tercantum pada database ASEAN menunjukkan kondisi tahun 2009 berdasarkan klasifikasi HS 4 digit. Ketidaklengkapan data yang menunjukkan waktu pemberlakuan kebijakan juga menjadi kendala untuk menganalisis dengan metode time series, sehingga penelitian ini hanya menggunakan analisis cross section untuk melihat pengaruh NTM terhadap arus perdagangan elektronika.

Data perdagangan berupa data ekspor dan impor diperoleh dari WITS dengan klasifikasi berdasarkan SITC 4 digit, sehingga diperlukan konversi klasifikasi ke dalam bentuk HS 4 digit agar dapat sejajar dengan data NTM. Data lainnya terkait perdagangan seperti tarif, biaya ekspor, produksi, pasar, dan nilai tukar berasal dari sumber yang berbeda-beda seperti terlihat pada Tabel 3.

(38)

Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan analisis model cross section gravity. Analisis deskriptif digunakan untuk menjawab permasalahan yang pertama dan kedua yaitu menganalisis kinerja perdagangan sektor elektronika Indonesia dan pemberlakuan NTM sektor elektronika di kawasan ASEAN. Pendekatan yang dilakukan untuk analisis pemberlakuan NTM adalah pendekatan inventory (inventory approach). Untuk menjawab permasalahan yang ketiga akan dilakukan analisis dampak NTM terhadap arus perdagangan Indonesia pada sektor elektronika menggunakan model cross sectional gravity.

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan analisis sederhana yang digunakan untuk memaparkan gambaran umum mengenai kinerja perdagangan sektor elektronika Indonesia dan kebijakan perdagangan berupa NTM yang diberlakukan di negara ASEAN. Pada bagian ini terdapat dua sub bagian dengan pokok bahasan yang berbeda. Sub bagian pertama akan membahas kinerja perdagangan sektor elektronika Indonesia terhadap negara-negara di ASEAN. Sub bagian kedua akan membahas kebijakan terkait NTM di negara-negara ASEAN pada sektor elektronika. Pada bagian ini akan akan dilakukan analisis pemberlakuan NTM menggunakan pendekatan inventory (inventory approach) yaitu melakukan inventarisasi kebijakan-kebijakan non tarif yang dilakukan oleh setiap negara dengan menghitung frequency index dan coverage ratio pada periode waktu yang disesuaikan dengan ketersediaan data. Frequency index dihitung dengan proporsi komoditi 4 digit HS (Harmonize System) yang diterapkan NTM terhadap jumlah total komoditi pada agregasi delapan kelompok utama sektor elektronika. Coverage Ratio merupakan metode pendekatan inventory dengan mempertimbangkan volume impor komoditi. Dengan menghitung Frequency Index dan Coverage Ratio dapat dibandingkan pemberlakuan NTM di masing-masing negara pada delapan kelompok utama sektor elektronika. Merujuk pada metodologi yang digunakan Bora et al. (2002), frequency index dan coverage ratio dapat dirumuskan dalam persamaan berikut ini:

Dimana:

Fj = Frequency index negara pengimpor pada level agregasi produk yang diinginkan

(39)

Frequency Index dan Coverage Ratio merupakan metode pengukuran non tariff measures. Nilai Frequency Index dan Coverage Ratio akan berada pada rentang nilai 0-100. Sehingga, semakin kecil nilai Frequency Index yaitu mendekati 0 menunjukkan semakin sedikit penggunaan NTM oleh suatu negara. Sebaliknya, semakin besar nilai Frequency Index mendekati 100 menunjukkan semakin banyak penggunaan NTM oleh suatu negara. Semakin tinggi nilai Frequency Index menunjukkan negara tersebut semakin protektif terhadap perdagangan. Nilai Coverage Ratio yang semakin kecil menunjukkan cakupan produk yang terkena kebijakan semakin kecil, sedangkan Coverage Ratio yang semakin besar menunjukkan cakupan produk yang terkena kebijakan semakin luas.

Analisis Model Cross Sectional Gravity

Analisis model cross sectional gravity digunakan untuk memperoleh model terbaik yang dapat menggambarkan

Gambar

Gambar 6. Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap welfare
Tabel 3. Jenis dan sumber data yang digunakan
Gambar 9. Nilai produksi berdasarkan jenis produk tahun 2007, 2009, dan 2011
Gambar 10. Nilai pasar elektronika berdasarkan jenis produk tahun 2007, 2009,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah seluruh peserta yang hadir dalam pelaksanaan kegiatan UAMBN Tahun Pelajaran 2012/2013 ini pada hari pertama sampai hari ketiga adalah 43 siswa dengan komposisi siswa

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

H 1 :Diduga variabel konten blog “The Laughing Phoenix” tidak berpengaruh signifikan terhadap persepsi followers mengenai nilai sosial merek pribadi Henry Manampiring

berkaitan dengan percobaan bunuh diri. Selain itu antara 30% sampai 50% penderita skizophrenia minimal sekali melakukan percobaan bunuh diri. b) Penggunaan alkohol dan

Menurut Sution Usman Adji, bahw a pengangkutan adalah : “Sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik disiplin kerja maupun gaya kepemimpinan transformasional yang ada pada Bank Jateng Cabang Surakarta berada dalam kategori tinggi.. Hal

[r]

Sehubungan telah dilaksanakannya Ujian tertulis dan paparan Penyesuaian Ijazah S1, dengan ini diberitahukan perubahan jadwal Ujian Psikologi (Assesment Psikologi) yang