• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan mikroba meningkat sampai 36 jam dan selanjutnya relatif menurun hingga pengamatan pada 72 jam fermentasi (Gambar 5.1). Secara umum, jumlah kapang (Gambar 5.1A dan 5.1B) lebih tinggi pada perlakuan dengan penambahan kultur starter, dimana jumlah kapang pada perlakuan AC lebih banyak daripada CC yang lebih banyak daripada SF. Penambahan kultur starter meningkatkan jumlah kapang secara nyata pada 36 - 72 jam fermentasi, baik pada grits jagung Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Sementara itu pertumbuhan kapang pada perlakuan SF menurun dengan tajam setelah 36 – 72 jam fermentasi. Penambahan mikroba dalam jumlah tinggi diduga dapat mengendalikan proses fermentasi sehingga mikroba yang berperan adalah mikroba yang ditambahkan.

Dibandingkan dengan penelitian Rahmawati et al. (2013), jumlah kapang pada penelitian ini relatif lebih rendah. Diduga hal ini berkaitan dengan penggunaan jenis air yang berbeda. Rahmawati et al. (2013) menggunakan air steril sementara itu penelitian ini menggunakan AMDK yang mungkin masih mengandung bakteri sehingga menekan pertumbuhan kapang yang ditambahkan.

Menurunnya jumlah kapang setelah fermentasi 36 jam diduga karena ada kapang yang mati dan adanya pertumbuhan BAL. BAL akan menghasilkan asam laktat dan asam-asam organik lain serta senyawa antimikroba (Omemu 2007; Rai 2010) yang dapat menghambat pertumbuhan kapang. Secara umum penambahan kultur starter baik pada perlakuan CC maupun AC dapat meningkatkan jumlah kapang hingga akhir fermentasi dibandingkan perlakuan SF.

Jumlah khamir (Gambar 5.1C dan 5.1D) selama fermentasi sampai 72 jam relatif meningkat untuk semua perlakuan. Secara umum jumlah khamir pada perlakuan SF lebih sedikit dari perlakuan CC yang lebih sedikit dari perlakuan AC. Penambahan kultur starter baik pada perlakuan CC maupun AC dapat meningkatkan jumlah khamir hingga akhir fermentasi dibandingkan perlakuan SF. Ada perbedaan jumlah khamir yang tumbuh selama 72 jam fermentasi dibandingkan dengan kapang, yaitu jumlah khamir pada perlakuan SF meningkat hingga 36 jam dan selanjutnya relatif stabil, sehingga pada 72 jam fermentasi jumlah khamir relatif lebih tinggi dibandingkan kapang. Pola ini terlihat sama pada kedua jenis jagung. Lebih tingginya jumlah khamir pada 36 – 72 jam fermentasi menunjukkan bahwa khamir lebih tahan terhadap kondisi asam dibandingkan kapang. Halm et al. (2004) melaporkan bahwa khamir mempunyai toleransi yang tinggi terhadap asam laktat. Bahkan, Candida krusei yang

ditemukan pada fermentasi jagung untuk produksi ogi dapat menstimulasi pertumbuhan Lactobacillus plantarum.

A B C D E F

Gambar 5.1. Pola pertumbuhan kapang, khamir, BAL pada grits jagung varietas Anoman 1 (A, C, E) dan Pulut Harapan(B, D, F) berturut- turut selama fermentasi. SF: grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi

Jumlah BAL meningkat selama 72 jam fermentasi untuk kedua jenis jagung. Penambahan kultur starter pada perlakuan CC dan AC meningkatkan jumlah awal BAL. Namun, setelah 36 jam, jumlah BAL seluruh perlakuan relatif sama.

-2,00 -1,000,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 0 12 24 36 48 60 72 K ap an g (L og CF U/ m L )

Waktu fermentasi (jam)

SF CC AC -2,00 -1,000,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 0 12 24 36 48 60 72 K ap an g (L og CF U/m L )

Waktu fermentasi (jam)

SF CC AC -2,00 -1,000,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 0 12 24 36 48 60 72 K h am ir ( L og CF U/m L )

Waktu fermentasi (jam)

SF CC AC -2,00 -1,000,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 0 12 24 36 48 60 72 K h am ir ( L og CF U/m L )

Waktu fermentasi (jam)

SF CC AC -2,00 -1,000,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 0 12 24 36 48 60 72 BA L (L og C FU /m L)

Waktu fermentasi (jam)

SF CC AC -2,00 -1,000,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 0 12 24 36 48 60 72 B AL ( L og CF U/m L )

Waktu fermentasi (jam)

Tampaknya penambahan BAL tidak memengaruhi jumlah BAL di akhir fermentasi. Diduga karena BAL yang digunakan tidak ada yang bersifat amilolitik, sehingga BAL yang secara alami ada pada jagung dapat tumbuh dan berkembang setelah mikroba amilolitik memecah amilosa menjadi gula sederhana. Setelah BAL tumbuh maka jumlahnya meningkat dan relatif sama dengan perlakuan CC dan AC hingga 72 jam fermentasi. Hal ini diduga karena adanya khamir yang dapat menstimulasi pertumbuhan BAL. Nago et al. (1998) melaporkan selama fermentasi ogi, selama 1 - 3 hari pada 25 - 35 °C, diperoleh BAL yang terdiri dari Lactobacillus fermentum cellobiosus, L. brevis and L. fermentum spp tumbuh sampai 9 log CFU/g.

Nilai pH dan Total Asam Tertitrasi

Nilai pH air perendam dan tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan mengalami penurunan selama 72 jam fermentasi untuk semua perlakuan dan jenis jagung. Nilai pH air perendam sebesar 6.45 – 6.54 pada 0 jam menjadi 4.05 - 4.62 pada 72 jam fermentasi (Tabel 5.1). Nilai pH menurun tajam dari 0 - 36 jam fermentasi, yaitu berturut-turut dari pH 6.45 – 6.54 menjadi pH 4.18 - 5.32. Diduga hal ini berkaitan dengan meningkatnya pertumbuhan BAL, dimana pertumbuhan BAL meningkat dengan tajam pada 36 jam dan relatif stabil sampai 72 jam fermentasi. Selama fermentasi BAL menghasilkan asam laktat. Selain asam laktat, BAL juga menghasilkan asam asetat, etanol, dan CO2 (Corsetti

dan Settanni 2007). Asam-asam ini akan memengaruhi nilai pH tidak saja air perendam namun pH tepung dan total asam tertitrasi. Selain itu adanya berbagai jenis asam, juga memengaruhi aroma produk akhir (Corsetti dan Settanni 2007). Tabel 5.1. Nilai pH air perendam dan tepung jagung varietas Pulut Harapan dan

Anoman 1 hasil fermentasi grits jagung dengan penambahan kultur starter

Perlakuan (jam)

Varietas Anoman 1 Varietas Pulut Harapan pH perendam pH tepung Total asam tertitrasi (%bk) pH perendam pH tepung Total asam tertitrasi (%bk) SF 0 6.45±0.32 6.13±0.24 1.29±0.02 6.54±0.15 6.17±0.14 2.26±0.14 36 4.68±0.90 4.91±0.08 2.05±0.39 5.32±0.44 5.06±0.34 3.02±0.52 48 4.35±0.31 4.86±0.24 1.92±0.36 4.72±0.31 4.86±0.49 3.31±0.49 72 4.35±0.24 4.69±0.23 1.68±0.13 4.62±0.19 4.62±0.25 3.30±0.75 CC 0 6.45±0.32 6.13±0.24 1.29±0.02 6.54±0.15 6.17±0.14 2.26±0.14 36 4.29±0.21 4.82±0.39 1.29±0.57 4.30±0.20 4.77±0.23 3.19±0.08 48 4.21±0.16 4.75±0.36 3.26±0.55 4.20±0.06 4.77±0.34 3.40±0.11 72 4.08±0.06 4.59±0.19 3.25±0.51 4.13±0.09 4.52±0.20 3.48±0.23 AC 0 6.45±0.32 6.13±0.24 1.29±0.02 6.54±0.15 6.17±0.14 2.26±0.14 36 4.18±0.05 4.62±0.31 1.49±0.17 4.25±0.09 4.68±0.23 2.53±0.35 48 4.11±0.06 4.53±0.15 1.62±0.20 4.19±0.09 4.55±0.18 2.72±0.38 72 4.05±0.07 4.40±0.12 2.03±0.19 4.06±0.05 4.41±0.19 3.00±0.36

Nilai pH air perendam ketiga perlakuan berbeda, yaitu nilai pH pada perlakuan SF lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan AC. Hal ini berkaitan dengan adanya penambahan kultur starter pada 0 jam fermentasi (perlakuan CC) dan penambahan kultur starter pada 0 jam serta kapang dan khamir amilolitik pada 16 jam fermentasi (perlakuan AC). BAL memang tidak ditambahkan pada 16 jam fermentasi, tetapi khamir amilolitik yang ditambahkan akan menstimulasi pertumbuhan BAL (Halm et al. 2004) sehingga diduga menghasilkan asam laktat lebih tinggi yang menyebabkan pH menjadi lebih rendah.

Nilai pH tepung jagung putih berkisar 6.13 - 6.17 pada 0 jam fermentasi menjadi 4.40 - 4.41 pada 72 jam fermentasi. Nilai pH tepung menurun tajam dari 0 - 36 jam fermentasi, yaitu berturut-turut dari pH 6.13 - 6.17 menjadi pH 4.62 - 5.06. Penurunan pH juga ditemukan oleh Alka et al. (2012) pada tepung jagung hasil fermentasi spontan grits jagung selama 36 jam, yaitu pH 5.76 pada 0 jam dan turun menjadi pH 3.50 pada 36 jam fermentasi dan Zeng et al. (2012) pada tepung jagung hasil fermentasi spontan grits jagung selama 36 jam, yaitu pH 6.5 pada 0 jam dan turun menjadi 3.55 - 3.65 pada 36 jam.

Penurunan nilai pH disebabkan adanya asam-asam yang dihasilkan oleh BAL, terutama asam laktat. Hal ini sejalan dengan jumlah total asam tertitrasi tepung yang dihasilkan. Semakin lama waktu perendaman, dimana pH tepung semakin menurun, maka total asam semakin meningkat. Total asam tepung jagung berkisar antara 1.29 – 2.26 % pada 0 jam menjadi 2.03-3.48 % pada 72 jam fermentasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Omemu et al. (2007), dimana fermentasi hingga 48 jam meningkatkan total asam dari 0.32% menjadi 0.42%. Jumlah total asam yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Omemu et al. (2007). Meningkatnya jumlah asam cenderung memengaruhi aroma tepung jagung putih yang dihasilkan, yaitu menjadi beraroma agak asam.

Komposisi Kimia

Komposisi kimia kernel dan tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan disajikan pada Tabel 5.2 dan 5.3. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa kernel jagung Anoman 1 dan Pulut Harapan termasuk dalam standar SNI jagung. Tabel 5.2. Komposisi kimia jagung yang digunakan

Jenis uji Jenis jagung

Anoman 1 Pulut Harapan

Kadar air (%) 9.0 ± 0.03 10.5 ± 0.02

Kadar abu (% bk) 1.6 ± 0.01 1.7 ± 0.01

Kadar lemak (% bk) 5.5 ± 0.00 5.6 ± 0.01

Kadar protein (% bk) 10.0 ± 0.03 10.1 ± 0.00 Kadar karbohidrat (% by different) 73.9 ± 0.01 72.1 ± 0.03

Tabel 5.3. Komposisi kimia tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter

Perlakuan Kadar air Protein (%bk) Lemak (%bk) Abu (%bk) Serat kasar (%bk) Amilosa (%bk)

Tepung jagung Anoman 1

SF 0 8.64±1.14 9.14±0.47 4.59±0.68 0.94±0.20 9.27±0.21 37.17±2.39 36 9.91±1.92 8.03±0.29 4.29±0.28 0.55±0.04 8.88±0.54 37.37±4.19 48 10.83±1.16 7.25±0.63 4.06±0.12 0.52±0.02 8.91±0.46 37.26±3.87 72 10.94±2.29 6.98±0.58 3.92±0.58 0.47±0.04 6.63±1.20 35.97±5.20 CC 0 8.64±1.14 9.14±0.47 4.59±0.68 0.94±0.20 9.27±0.21 37.17±2.39 36 9.09±0.73 8.00±0.65 4.35±0.47 0.60±0.19 9.34±1.64 35.05±2.65 48 9.43±0.49 7.76±0.26 4.24±0.61 0.57±0.12 9.05±1.12 34.87±2.63 72 9.70±0.36 7.14±0.87 4.04±0.90 0.50±0.13 6.70±1.23 30.24±2.22 AC 0 8.64±1.14 9.14±0.47 4.59±0.68 0.94±0.20 9.27±0.21 37.17±2.39 36 9.61±0.31 8.10±0.24 4.41±0.16 0.62±0.31 9.21±1.64 36.89±1.21 48 9.80±0.20 7.69±0.10 4.37±0.53 0.58±0.14 8.78±2.33 35.25±1.16 72 9.97±0.12 7.03±0.31 4.11±0.24 0.55±0.12 6.64±0.30 31.14±1.13 Tepung jagung Pulut

SF 0 8.70±0.73 9.46±0.27 4.35±0.63 1.10±0.08 9.18±0.19 13.70±1.39 36 10.53±1.38 8.94±0.36 4.48±0.36 0.74±0.03 8.65±0.35 11.14±3.30 48 10.92±2.47 8.80±1.12 4.11±0.26 0.68±0.02 7.96±2.26 10.88±2.46 72 11.83±2.74 8.68±0.89 3.87±0.42 0.57±0.04 6.72±1.34 10.19±2.09 CC 0 8.70±0.73 9.46±0.27 4.35±0.63 1.10±0.08 9.18±0.19 13.70±1.39 36 9.22±0.58 9.32±0.17 4.75±0.77 0.71±0.15 8.75±0.74 13.79±2.28 48 9.68±0.50 9.17±0.03 4.64±0.78 0.63±0.13 8.50±0.81 13.81±1.66 72 9.96±0.42 8.29±0.24 4.45±0.90 0.60±0.01 6.73±1.04 12.90±1.17 AC 0 8.70±0.73 9.46±0.27 4.35±0.63 1.10±0.08 9.18±0.19 13.70±1.39 36 9.47±0.04 9.40±0.21 4.78±0.30 0.79±0.15 8.78±0.68 13.09±1.12 48 9.54±0.09 9.20±0.19 4.68±0.09 0.70±0.21 8.45±1.41 12.47±1.15 72 9.78±0.04 8.41±0.24 4.55±0.15 0.62±0.24 7.26±1.13 11.95±1.10

Menurut SNI 01-3920-1995 tentang jagung, syarat mutu I kernel jagung yaitu mempunyai kadar air maksimal 14. Kedua varietas jagung yang digunakan masih memenuhi syarat SNI dimana mempunyai kadar air 9.0 (varietas Anoman 1) dan 10.5 % (varietas Pulut Harapan).

Secara umum jumlah protein, lemak, abu, serat kasar dan amilosa tepung jagung cenderung menurun selama fermentasi hingga 72 jam, kecuali kadar air. Hal ini karena adanya proses pencucian, penggilingan dan penepungan dimana bagian-bagian perikarp dan lembaga yang banyak mengandung serat dan lemak

serta bagian yang mengapung pada saat pencucian terbuang. Selain itu, menurunnya jumlah protein, lemak, abu, serat kasar dan amilosa tepung jagung selama 72 jam fermentasi diduga karena adanya aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba selama fermentasi. Beberapa mikroba yang digunakan sebagai kultur starter mempunyai aktivitas amilolitik, yaitu Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, dan Candida famata (Rahmawati et al. 2013). Menurut Ghosh dan Ray (2011) Rhizopus oryzae menghasilkan enzim selulase, hemiselulase, pektinase, tannase, phytase, lipase dan protease. Tang et al. 2012 melaporkan Rhizopus stolonifer menghasilkan enzim selulase. Aspergillus niger selain mempunyai aktivitas amilolitik, juga memunyai aktivitas pektinolitik (Heerd et al. 2012) dan Panagiotou et al. (2013) melaporkan Fusarium oxysporum mempunyai aktivitas selulolitik dan xilanolitik.

Khamir yang digunakan sebagai kultur starter juga dilaporkan dapat menghasilkan berbagai enzim, misalnya Kodamae ohmeri menghasilkan enzim phytase pada biji-bijian (Li et al. 2008) dan lipase (Bussamara et al. 2010); Candida famata menghasilkan enzim glucoamylase (Mohammed 2007) serta lipase and protease (Wojtatowicz et al. 2001); sedangkan Candida krusei mempunyai aktivitas lipolitik, esterase, and amilolitik yang berkontribusi pada flavor akhir produk pangan (Omemu et al. 2007). Khamir yang mempunyai aktivitas lipolitik berperan sebagai prekursor asam lemak dan berkontribusi secara signifikan terhadap flavor produk akhir (Romano et al. 1996). Khamir amilolitik dapat memotong senyawa komplek dari pati dan oligosakarida menjadi gula sederhana yang dapat memperbaiki kualitas gizi bahan tersebut, karena menjadi lebih mudah dicerna dan berperan penting pada aroma, flavor, rasa, dan struktur produk akhir (Omemu et al. 2007).

Selain aktivitas mikroba, penurunan kandungan protein diduga terjadi karena larutnya albumin selama perendaman 72 jam. Nilai pH memengaruhi kelarutan protein di dalam air. Pada pH di luar titik isoelektriknya, protein mempunyai kelarutan tinggi di dalam air. Titik isoelektrik protein pada umumnya adalah pada pH 4.5 - 4.8 (Corredig 2006). Pada perendaman 0 – 36 jam pH larutan perendam di atas titik isoelektrik hal ini diduga memengaruhi penurunan protein. Setelah 36 – 72 jam fermentasi, nilai pH berada pada titik isoelektrik protein, namun protein masih mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya aktivitas mikroba proteolitik.

Penurunan lemak selama perendaman, diduga sebagai akibat aktivitas lipase yang dihasilkan oleh R. oryzae, Kodamae ohmeri, Candida famata dan Candida krusei. Penurunan lemak pada perlakuan SF lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan AC. Hal ini diduga dengan semakin banyaknya jumlah mikroba yang ditambahkan, maka akan terjadi persaingan yang semakin ketat, sehingga aktivitas mikroba akan menurun.

Perendaman 0 – 36 jam menurunkan kadar abu tepung yang dihasilkan. Jagung mengandung mineral P, K, Ca, Mg, Na, Fe, Cu, Mn, dan Zn (Bressani 1990). Jagung varietas Srikandi putih mengandung mineral Ca 41 mg/100 g, Mg 212 mg/100 g, P 123 mg/100 g dan K 276 mg/100 g (Suarni et al. 2010). Diduga selama perendaman mineral-mineral ini larut karena mineral mempunyai tingkat kelarutan tinggi dalam air dan afinitas rendah sehingga banyak terdapat sebagai

ion bebas (Watson 2001). Penurunan mineral pada fermentasi 36-72 jam relatif lebih kecil dibandingkan 0 - 36 jam. Hal ini diduga karena adanya bentuk komplek dari mineral. Fosfor di dalam jagung sebagian berada sebagai garam kalium-magnesium asam fitat yang merupakan bentuk ester dari heksafosfat inositol. Mineral dalam bentuk komplek tidak larut dalam air perendam (Watson 1987) sehingga penurunan kadar abu setelah 36 jam relatif rendah.

Serat kasar

Jumlah serat kasar pada tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan selama fermentasi dengan penambahan kultur starter selama 72 jam cenderung menurun dengan semakin lama fermentasi. Kadar serat tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan berturut-turut berkisar antara 9.27 % dan 9.18 % pada 0 jam dan 6.63 – 6.70 % dan 6.72 – 7.26 pada 72 jam fermentasi. Kandungan serat kasar pada jagung putih varietas Srikandi putih 2.1 % (Widowati et al 2005), lokal pulut 2.94 % (Suarni dan Firmansyah 2005), dan tepung jagung kuning 8.19% (Widaningrum et al 2009). Serat kasar tepung jagung putih varietas Srikandi hasil fermentasi spontan sebesar 2.97 % pada 0 jam dan 1.10% pada 72 jam fermentasi (Aini et al. 2010). Perbedaan kadar serat kasar disebabkan perbedaan varietas. Secara umum jumlah serat kasar untuk semua perlakuan menurun dengan semakin lamanya waktu fermentasi (Tabel 5.3).

Serat tanaman terdiri dari lignin, selulosa, hemiselulosa, senyawa pektat, gum, waxes, dan oligosakarida yang tidak dapat dicerna. Lignin, selulosa, waxes dan oligosakarida, tidak larut di dalam air, namun hemiselulosa dan senyawa pektat bersifat larut air (Winarno 2008). Penurunan kandungan serat kasar diduga karena larutnya hemiselulosa dan senyawa pektat dalam air perendam, selain itu kapang yang mempunyai aktivitas selulolitik dan pektinolitik seperti Rhizopus oryzae (Ghosh dan Ray 2011), Rhizopus stolonifer (Tang et al. 2012) dan Fusarium oxysporum (Panagiotou et al. 2013) akan menguraikan serat kasar menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga total serat kasar menurun.

Amilosa

Kadar amilosa tepung jagung putih varietas Anoman 1 cenderung menurun untuk semua perlakuan selama fermentasi sampai 72 jam, dengan jumlah berkisar antara 37.17 % pada 0 jam fermentasi dan 30.24 – 35.97 % pada 72 jam fermentasi (Gambar 5.2). Amilosa adalah fraksi pati yang mempunyai rantai lurus. Claver et al. (2010) melaporkan bahwa selama fermentasi, mikroba amilolitik menghasilkan enzim amilase yang akan menyerang ikatan α-1,4-D- glikosidik pada granula pati. Sehingga amilosa yang merupakan polimer glukosa akan terhidrolisis. Glukosa banyak mengandung gugus hidroksil, sehingga amilosa bersifat hidrofilik dan larut dalam air. Selama perendaman sampai 72 jam, diduga sebagian amilosa terlarut dalam air perendam. Selain itu adanya aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba diduga memecah amilosa sehingga dengan semakin lama waktu fermentasi kadar amilosa akan menurun. Perlakuan AC yang mendapat penambahan mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi

menghasilkan kadar amilosa yang relatif sama dengan perlakuan CC. Diduga meningkatnya jumlah mikroba yang ditambahkan menyebabkan kompetisi antar mikroba meningkat sehingga aktivitas tidak menjadi lebih tinggi.

A

B

Gambar 5.2. Kadar amilosa (%) tepung tepung jagung putih varietas Anoman 1 (A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi 72 jam. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi

Kadar amilosa tepung jagung putih varietas Pulut Harapan cenderung menurun selama fermentasi hingga 72 jam, yaitu 13.70 % pada 0 jam menjadi 11.95 – 12.90 % pada 72 jam fermentasi. Penurunan amilosa diduga berkaitan dengan terhidrolisisnya amilosa oleh enzim. Namun pada perlakuan CC fermentasi hingga 48 jam relatif meningkatkan kadar amilosa. Peningkatan kadar amilosa diduga akibat aktivitas enzim glukoamilase yang dapat memotong rantai cabang amilopektin sebelah luar (Xie et al. 2005). Hal ini akan meningkatkan jumlah rantai lurus, sehingga kadar amilosa meningkat. Dengan bertambahnya waktu fermentasi hingga 72 jam, jumlah amilosa menurun. Penurunan ini diduga karena rantai lurus yang diperoleh telah terhidrolisis menjadi gula sederhana yang dapat menurunkan kadar amilosa tepung. Penurunan kadar amilosa pada tepung

0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 12 24 36 48 60 72 K a d a r a m il os a ( % b k)

Waktu fermentasi (jam)

SF CC AC 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 12 24 36 48 60 72 K a d a r a m il os a ( b k)

Waktu fermentasi (jam)

SF CC AC

Pulut Harapan memengaruhi karakteristik pasting yang dihasilkan selama fermentasi. Kadar amilosa tepung Pulut Harapan yang mendapat perlakuan AC cenderung menurun selama 72 jam fermentasi, walaupun nilainya lebih tinggi dibandingkan perlakuan SF. Diduga penambahan mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi membuat kompetisi mikroba tumbuh dan berkembang cukup besar sehingga aktivitas menjadi tidak optimal, khususnya aktivitas amilolitik.

SIMPULAN

Selama fermentasi jumlah kapang cenderung meningkat sampai 36 jam fermentasi dan selanjutnya menurun hingga 72 jam fermentasi baik pada grits jagung putih varietas Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Sementara itu jumlah khamir dan BAL cenderung meningkat untuk semua perlakuan baik pada grits jagung putih varietas Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Penambahan kultur starter (perlakuan CC dan AC) dapat meningkatkan jumlah kapang dan khamir pada awal hingga akhir 72 jam fermentasi dibandingkan perlakuan SF, namun tampaknya penambahan kultur starter hanya meningkatkan jumlah BAL di awal fermentasi dan tidak memengaruhi jumlah BAL di akhir fermentasi.

Selama fermentasi BAL menghasilkan asam-asam organik yang dapat menurunkan nilai pH air perendam dan tepung yang dihasilkan, sehingga meningkatkan total asam. Selain itu aktivitas enzim-enzim selama 72 jam fermentasi menyebabkan penguraian komponen-komponen tepung sehingga cenderung menurunkan kadar protein, lemak, abu dan serat kasar tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Aktivitas enzim selama fermentasi dapat menurunkan kandungan amilosa pada tepung Anoman 1, namun perlakuan 36CC dan 48CC cenderung meningkatkan kandungan amilosa pada tepung jagung varietas Pulut Harapan yang dihasilkan.

SARAN

Disarankan untuk tidak perlu menambahkan BAL jika akan memfermentasi dengan kultur starter karena tampaknya BAL yang ada secara alami pada bahan dapat tumbuh dengan baik selama fermentasi.

PUSTAKA

Aini N, Hariyadi P, Muchtadi TR, Andarwulan N. 2010. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat gelatinisasi tepung jagung putih yang dipengaruhi ukuran partikel. J Teknol dan Industri Pangan 21: 18-24.

Alka S, Neelam Y, and Shruti S. 2012. Effect of fermentation on physicochemical properties & in vitro starch and protein digestibility of selected cereals. International Journal of Agriculture and Food Science 2 (3) : 66-70

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington D.C.

AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington D.C.

AOAC. 2006. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington D.C.

Bussamara R, Fuentefria AM, de Oliveira ES, Broetto L, Simcikova M, Valente P, Schrank A, Vainstein MH. 2010. Isolation of a lipase-secreting yeast for enzyme production in a pilot-plant scale batch fermentation. Bioresource Technology 101: 268–275.

Claver IP, Zang H, Li Q, Zhu K, Zhou H. 2010. Impact of the soak and the malt on the physicochemical properties of the sorghum starches. Int J Mol Sci. 11: 3002-3015. doi:10.3390/ijms11083002.

Corsetti A, Settanni L. 2007. Lactobacilli in sourdough fermentation Review. Food Research International 40: 539–558. doi:10.1016/j.foodres.2006.11.01 Ghosh B and Ray RR. 2011. Current commercial perspective of Rhizopus oryzae:

A review. Journal of Applied Sciences 11 (14): 2470-2486. DOI 10.3923/jas.2011.2470.2486

Halm M, Osei-Yaw A, Hayford A, Kpodo KA, and Amoa-Awua WKA. 1996. Experiences with the use of a starter culture in the fermentation of maize for 'kenkey' production in Ghana. World Journal of Microbiology & Biotechnology 12: 591-536.

Heerd D, Yegina S, Tari C, Fernandez-Lahore M. 2012. Pectinase enzyme- complex production by Aspergillus spp. In solid-state fermentation: A comparative study. food and bioproducts processing 9 0: 102–110. doi:10.1016/j.fbp.2011.08.003

Irtwange SV and Achimba O. 2009. Effect of the Duration of Fermentation on the Quality of Gari. Current Research Journal of Biological Sciences 1(3): 150- 154.

Juliano BO. 1971. A simplified assay for milled rice amylosa. Cereal Science today 16:334-360.

Li XY, Liu ZQ, Chi ZM. 2008. Production of phytase by a marine khamir Kodamaea ohmeri BG3 in an oats medium: Optimization by response surface methodology. Bioresource Technology 99: 6386–6390. doi:10.1016/j.biortech.2007.11.065.

Mohamed L, Zakaria M, Ali A, Senhaji W, Mohamed O, Mohamed E, EL Hassan B, Mohamed J. 2007. Optimization of growth and extracellular glucoamylase production by Candida famata isolate. African Journal of Biotechnology 6 (22): 2590-2595.

Nago MC, Hounhouigan JD, Akissoe N, Zanou E, Mestres C. 1998. Characterization of the Beninese traditional Ogi, a fermented maize slurry: Phisicochemical and Microbiological aspects. Int J Food Sci Tech 33: 307- 315. DOI: 10.1046/j.1365-2621.1998.00169.x.

Omemu AM, Oyewole OB, Bankole MO. 2007. Significance of yeasts in the fermentation of maize for ogi production. Food Microbiol 24: 571-576. doi: 10.1016/j.fm.2007.01.006.

Onwuka GI and Ogbagu NJ. 2007. Effect of fermentation on the quality and physical properties of cassava based fufu product made from two cassava varieties NR8212

and Nwangbisi. Journal of Food Technology 5 : 261-264.

Ohenhen RE, Ikenebomeh MJ. 2007. Shelf stability and enzyme activity studies of ogi: a corn meal fermented product. J Am Sci. 3 (1): 38-42.

Panagiotou G, Kekos D, Macris BJ, Christakopoulos P. 2003. Production of cellulolytic and xylanolytic enzymes by Fusarium oxysporum grown on corn stover in solid state fermentation. Industrial Crops and Products 18: 37-45

Qanytah dan Prastuti TR. 2008. Penerapan teknologi pascapanen jagung di Desa Kedawung Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008, Jogjakarta.

Rahmawati, Dewanti-Hariyadi R, Hariyadi P, Fardiaz D, Richana, N. 2013. Isolation And Identification Of Microorganisms During Spontaneous Fermentation Of Maize. J.Teknol. dan Industri Pangan 24: 38-44.

Rai AK, Tamang JP, Palni U. 2010. Microbiological studies of ethnic meat products of the Eastern Himalayas. Meat Science 85 : 560–567.

Suarni. 2005. Karakteristik sifat fisikokimia dan amilograf tepung jagung sebagai bahan pangan. Prosiding seminar dan lokakarya Nasional Makasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Suarni dan Firmansyah JU. 2005. Beras Jagung: Prosesing dan kandungan nutrisi sebagai bahan pangan pokok. Prosiding seminar dan lokakarya Nasional Makasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

Tang B, Pan H, Tang W, Zhang Q, Ding L, Zhang F. 2012. Fermentation and purification of cellulase from a novel strain Rhizopus stolonifer var. reflexus

TP-02. Biomass and Bioenergi 36: 366-372.

Doi:10.1016/j.biombioe.2011.11.003

Watson SA. 2001. Description, Development, Structure, and Compotition of the Corn Kernel dalam Hallauer AR. Editor Specialty corns. Washington: CRC. Pp 87

Widaningrum, Ratnaningsih, Richana N. 2009. Formulasi tepung komposisit ubijalar, jagung untuk substitusi terigu pada pembuatan mi kering. Prosiding Teknologi Inovatif Pacapanen II. Kementerian Pertanian- Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.

Widowati S, Santosa BAS, Suarni. 2005. Mutu gizi dan sifat fungsional jagung. Prosiding seminar dan lokakarya Nasional Makasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian