Gambaran Umum Lembaga Lanjut Usia Indonesia (LLI)
Lembaga Lansia Indonesia yang dibentuk pada tanggal 29 Mei 2000 mempunyai visi untuk menjadikan lembaga ini sebagai mitra pemerintah yang berdaya guna dan berhasil guna untuk menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif dalam mewujudkan lanjut usia yang berkualitas, mandiri dan berguna. Dalam mewujudkan visi tersebut, LLI membuat beberapa misi, yaitu: pertama, meningkatkan kualitas lansia secara berkesinambungan, yang meliputi kesehatan fisik, mental, sosial dan spiritual, pengetahuan dan keterampilan serta jaminan sosial dan kebutuhan hidup. Kedua, mengupayakan kemandirian lansia selama mungkin agar kehidupannya menjadi produktif dan berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, kelompok dan masyarakat. Ketiga, meningkatkan keadaan masyarakat untuk menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan lansia menjadi subyek dalam kehidupan selama mungkin. Keempat, meningkatkan kepedulian masyarakat untuk memberikan pelayanan dan perawatan bagi lansia yang memerlukan, secara manusiawi dan bermartabat.
Lembaga Lanjut Usia terdiri dari 7 bidang yaitu: Bidang Pembinaan Kesra, Bidang Pembinaan Kesehatan Lansia, Bidang Peningkatan SDM Lansia, Bidang Kerohanian dan Keagamaan, Bidang Peningkatan Peran Serta Masyarakat, Bidang Penelitian Pengembangan dan Organisasi dan Bidang Hubungan Dalam dan Luar Negeri.
Bidang pembinaan kesra, LLI mengembangkan dana dan teknologi guna membantu para lansia untuk memperpanjang kemampuan kemandirian sosial dan ekonomi, termasuk perolehan Sistem Jaminan Sosial Nasional untuk seluruh lanjut usia yang bergerak dibidang formal, informal maupun non formal serta mempermudah akses bagi para lansia dalam pemanfaatan fasititas umum.
Dibidang pembinaan kesehatan, LLI telah mengupayakan pedoman tentang kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, serta pelayanan terpadu. Bidang ini juga mengupayakan klinik Geriatri, Rehabilitasi Medik Geriatri, mendorong profesionalisme dibidang ilmu dan perawatan Geriatri, mengusahakan kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan serta pelestarian lingkungan hidup dikaitkan dengan kesehatan.
Untuk peningkatan SDM Lansia, LLI mengadakan berbagai pelatihan dan keterampilan, mengupayakan terbentuknya kesempatan kerja bagi lansia. Untuk peningkatan peran serta masyarakat, LLI menitikberatkan upaya peningkatan
peran keluarga terhadap anggotanya yang lanjut usia, serta membangun serta meluaskan jaringan kerja dengan generasi muda organisasi masyarakat termasuk melalui RT/RW. Dalam rangka ini dilakukan pilot proyek pengembangan POSYANDU Lansia di Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Depok, untuk membentuk kelompok lansia dengan peran keluarga dan masyarakat yang peduli pada masalah kesehatan lansia.
Lembaga Lanjut Usia (LLI) memiliki berbagai cabang pada tiap daerah, salah satunya di Bogor. LLI Kota Bogor dibentuk berdasarkan surat keputusan walikota Bogor pada tanggal 25 Juni 2004. LLI Bogor memiliki visi mewujudkan lansia Bogor yang berkualitas mandiri berguna, bahagia dengan upaya bersama antar masyarakat dan pemerintah melalui LLI Kota Bogor yang efektif dan efisien. Untuk mewujudkan visi tersebut, LLI Kota Bogor memiliki misi untuk meningkatkan kualitas dan usia harapan hidup seluruh lansia di Kota Bogor secara berkesinambungan.
Program kerja yang disusun oleh LLI Kota Bogor ada empat bidang, antara lain: bidang kesehatan, bidang rohani dan agama, bidang informasi dan komunikasi dan bidang umum. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan LLI Kota Bogor antara lain jalan sehat bagi lansia, senam lansia setiap sabtu, pemeriksaan kesehatan bagi lansia, pemberian penghargaan bagi pasangan lansia yang telah berumah tangga lebih dari 50 tahun, pengajian bersama, undian haji dan bakti sosial dengan kunjungan ke panti werdha.
Karakteristik Lansia Usia dan Jenis Kelamin
Lanjut usia merupakan proses alamiah dan berkesinambungan yang mengalami perubahan anatomi, fisiologis dan biokimia pada jaringan atau organ yang pada akhirnya mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan (Fatmah 2011). Lanjut usia adalah manusia yang sudah memasuki usia 60 tahun (Sumintarsih 2006). Menurut WHO diacu dalam Komnas Lansia (2008), lansia dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu 45- 59 tahun sebagai kelompok usia menengah (middle age), 60-74 tahun sebagai usia lanjut (elderly), 75-89 tahun sebagai usia tua (old) dan 90 tahun ke atas sebagai kelompok usia sangat tua (very old). Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui sebanyak 83.3% lansia berada pada kisaran usia 60-74 tahun, sedangkan 16.7% berada pada kisaran usia 75-90 tahun. Pada usia 60-74 tahun, proporsi lansia perempuan lebih besar dibandingkan dengan lansia laki-laki,
sedangkan pada usia 75-90 memiliki proporsi sebaliknya. Lansia tertua dalam penelitian ini berusia 82 tahun. Rata-rata usia lansia yaitu sebesar 68.0 6.05. Berikut ini adalah tabel sebaran lansia berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Tabel 7 Sebaran lansia berdasarkan usia dan jenis kelamin
Usia (thn) Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
60-74 tahun 11 78.6 14 87.5 25 83.3
75-90 tahun 3 21.4 2 12.5 5 16.7
Total 14 100 16 100 30 100
Pendidikan
Menurut BPS (2004), tingkat pendidikan dapat diukur dari pendidikan terakhir yang ditamatkan.Tingkat pendidikan pada penelitian ini terbagi menjadi enam kategori, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat SMP/sederajat, tamat SMA/sederajat dan tamat perguruan tinggi. Sebagian besar lansia (40.0%) mengenyam pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Lansia yang tamat SD/sederajat sebanyak (10.0%), tamat SMP/sederajat (30.0%), dan tamat SMA/sederajat (20.0%). Pada Tabel 8 dapat diketahui pula tingkat pendidikan tertinggi yaitu tamat perguruan tinggi lebih banyak terjadi pada lansia laki-laki (50.0%) daripada perempuan (31.3%).
Tabel 8 Sebaran lansia berdasarkan tingkat pendidikan
Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Tidak sekolah 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Tidak tamat SD 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Tamat SD/ sederajat 1 7.1 2 12.5 3 10.0
Tamat SMP/ sederajat 4 28.6 5 31.3 9 30.0
Tamat SMA/ sederajat 2 14.3 4 25.0 6 20.0
Tamat Perguruan tinggi 7 50.0 5 31.3 12 40.0
Total 14 100 16 100 30 100
Lansia peserta senam lanjut usia sebagian besar tinggal di kota, sehingga lebih mengerti akan pentingnya pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Sediaoetama (2008) bahwa tingkat pendidikan yang lebih berkaitan dengan pengetahuan gizi yang lebih tinggi yang memungkinkan dimilikinya informasi tentang gizi dan kesehatan yang lebih baik yang mendorong terbentuknya perilaku makan yang baik. Pada penelitian ini tidak ada lansia yang tidak tamat SD maupun tidak bersekolah, tingkat pendidikan yang paling rendah adalah tamat SD/sederajat (10.0%) dengan jumlah lansia yang minimum.
Pekerjaan
Sebanyak 70.0% lansia sudah pensiun dari pekerjaannya. Persentase pensiun pada lansia laki-laki (92.9%) lebih besar daripada perempuan (50.0%). Namun masih ada lansia yang bekerja (3.3%). Lansia yang bekerja mencari nafkah lebih banyak dilakukan oleh laki-laki (7.1%) sedangkan lansia perempuan lebih banyak menjadi ibu rumah tangga. Jenis pekerjaan yang masih dilakukan adalah pegawai swasta. Sedangkan lansia lain sudah tidak bekerja, pensiun dan ibu rumah tangga.
Tabel 9 Sebaran lansia berdasarkan pekerjaan
Pekerjaan Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Tidak bekerja 0 0.0 1 6.3 1 3.3
Buruh bangunan, angkut 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Pedagang keliling 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Supir angkut, ojek 0 0.0 0 0.0 0 0.0
PNS 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Pegawai swasta 1 7.1 0 0.0 1 3.3
IRT 0 0.0 7 43.8 7 23.3
Lainnya 13 92.9 8 50.0 21 70.0
Total 14 100 16 100 30 100
Bertambahnya usia lansia berdampak pada menurunnya kondisi fisik dan penurunan kemampuan untuk bekerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Muningatun (2006) yang menyatakan bahwa sebanyak 55.6% lansia di Kecamatan Ciampea tidak bekerja. Menurut Suhardjo (1989) diacu dalam Sukandar (2007) kemampuan individu menyediakan makanan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas dipengaruhi oleh pendapatan dan daya beli yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan dan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi kebiasaan makan individu. Sumber Pendapatan
Sumber pendapatan adalah asal biaya yang diperoleh atau dipergunakan lansia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Dari sumber pendapatan secara total yang diterima oleh lansia, bantuan yang berasal dari pensiunan memiliki persentase paling tinggi yaitu 73.3 persen. Dari Tabel 10 juga dapat diketahui sumber pendapatan lain yang diterima selain dari pensiunan yaitu bantuan dari anak 16.7%, sendiri 3.3% dan lainnya 6.7%. Dari hasil wawancara, bantuan yang diberikan kepada lansia sebagian besar berupa makanan, baik dalam bentuk mentah maupun makanan siap saji namun ada pula yang diberikan bantuan berupa uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena sudah tidak berpenghasilan.
Tabel 10 Sebaran lansia berdasarkan sumber pendapatan
Sumber Pendapatan Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Anak 1 7.1 4 25.0 5 16.7
Cucu 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Sendiri 0 0.0 1 6.3 1 3.3
Pensiunan 13 92.9 9 56.3 22 73.3
Bantuan Sosial (Paguyuban lansia, Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) dari Depsos)
0 0.0 0 0.0 0 0.0
Lainnya 0 0.0 2 12.5 2 6.7
Total 14 100 16 100 30 100
Besar Keluarga
Menurut Hurlock (1999) berdasarkan jumlah atau besar anggota keluarga, keluarga dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (>7 orang). Besarnya keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Menurut Sumawarman (2004) besar keluarga akan mempengaruhi kesehatan, pola konsumsi dan konsumsi zat gizi seseorang. Rumah tangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak akan membeli dan mengonsumsi beras, daging, sayuran dan buah-buahan yang lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki anggota lebih sedikit.
Tabel 11 Sebaran lansia berdasarkan besar keluarga
Besar Keluarga Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
≤ 4 orang 11 78.6 10 62.5 21 70,0
5-6 orang 3 21.4 5 31.3 8 26,7
≥ 7 orang 0 0.0 1 6.0 1 3.3
Total 14 100 16 100 30 100
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia termasuk dalam kategori keluarga kecil (≤ 4 orang) dengan persentase 70.0%. Lansia lainnya termasuk dalam kategori keluarga sedang 26.7% dan keluarga besar 3.3%. Berdasarkan wawancara, lansia yang termasuk dalam keluarga kecil hanya tinggal sendiri atau berdua dengan suami karena anak-anak mereka sudah memiliki keluarga sendiri sehingga tinggal terpisah.
Status Pernikahan
Berdasarkan Tabel 12, sebagian besar lansia berstatus menikah. Persentase lansia berstatus menikah pada laki-laki (92.9%) lebih tinggi daripada perempuan (68.8%). Sedangkan lansia lainnya berstatus cerai hidup (3.0%) dan cerai mati (16.7%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan terhadap 100 orang lansia di tiga kelurahan di kota Bogor oleh Ruslianti dan Kusharto (2006),
tidak seperti lansia laki-laki yang cenderung berada dalam status kawin hingga mereka sangat tua dan meninggal, namun lansia wanita cenderung tetap mempertahankan status janda atau cerai.
Tabel 12 Sebaran lansia berdasarkan status pernikahan
Status Pernikahan Laki-laki Perempuan Total
n % n % n % Tidak menikah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Menikah 13 92.9 11 68.8 24 80.0 Cerai hidup 0 0.0 1 6.0 1 3.0 Cerai mati 1 7.1 4 25.0 5 16.7 Total 14 100 16 100 30 100 Living Arrangement
Living arrangement adalah keberadaan seseorang yang tinggal bersama lansia dalam satu rumah. McKenzie et al. (2008) menyebutkan bahwa living arrangement pada populasi lansia merupakan hal yang penting. Hal ini berhubungan erat dengan pendapatan, status kesehatan, dan keberadaan pendamping (caregiver). Living arrangement dikelompokkan menjadi dua, yaitu tinggal sendiri dan tinggal bersama (suami, anak, cucu, ataupun keluarga lain).
Tabel 13 Sebaran lansia berdasarkan living arrangement
Living Arrangement Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Tinggal sendiri 0 0.0 2 12.5 2 7.0
Tinggal bersama 14 100 14 87.5 28 93.0
Total 14 100 16 100 30 100
Tabel 13 menunjukkan bahwa sebagian besar lansia (93.0%) baik laki- laki maupun perempuan berstatus tinggal bersama. Berdasarkan hasil wawancara, lansia lebih banyak tinggal bersama suami jika masih berstatus menikah. Akan tetapi ada pula lansia yang tinggal bersama dengan anak beserta cucu dan suami dalam satu rumah. Sebagian kecil lansia (7.0%) berstatus tinggal sendiri. Hasil wawancara menyebutkan kecenderungan lansia tinggal sendiri dikarenakan anak-anak yang sudah memiliki keluarga baru sehingga memilih untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Adapun lansia yang tinggal sendiri beralasan tidak ingin membebani anak jika diajak tinggal bersama.
Motivasi Mengkuti Senam
Senam lansia adalah olahraga ringan dan mudah dilakukan, tidak memberatkan yang diterapkan pada lansia. Aktivitas olahraga ini akan membantu tubuh agar tetap bugar dan tetap segar karena melatih tulang tetap kuat, mendorong jantung bekerja optimal dan membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran di dalam tubuh (Kurniadi 2010). Menurut Handoko (2002)
motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri manusia, yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Sebaran motivasi lansia untuk mengikuti senam disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Motivasi lansia mengikuti senam
Motivasi mengikuti senam n %
Kesehatan 28 71.8
Menjalin silahturahmi sesama lansia 8 20.5
Mencari kegiatan 2 5.1
Senang melakukan senam 1 2.6
Selain dilakukan wawancara mengenai data karakteristik lansia, diajukan pula pertanyaan mengenai motivasi lansia untuk mengikuti senam yang diadakan setiap minggu. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebagian besar lansia mengikuti senam dengan alasan kesehatan (71.8%). Menyadari kondisi fisik yang semakin menurun ketika usia lanjut, para lansia melakukan tindak pencegahan dengan melakukan olahraga, salah satunya senam untuk menjaga tubuh tetap sehat. Selain alasan kesehatan, lansia mengikuti senam dengan alasan menjalin tali silahturahmi sesama lansia (20.5%), mencari kegiatan (5.1%) dan senang melakukan senam (2.6%).
Kebiasaan Sarapan Frekuensi Sarapan
Sarapan (makan pagi) adalah suatu kegiatan yang penting sebelum melakukan aktivitas fisik pada pagi hari, dengan melakukan sarapan dapat menyumbangkan 25% dari kebutuhan total energi harian. Sebagai bagian dari pola makan, sarapan dapat disesuaikan dengan ritme dimulainya aktivitas pagi. (Khomsan 2005). Tabel 15 menyajikan sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan. Sebagian besar lansia (66.7%) selalu melakukan kegiatan sarapan pagi. Persentase kegiatan sarapan pada lansia perempuan (68.8%) lebih besar daripada laki-laki (64.3%).
Tabel 15 Sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan
Kebiasaan Sarapan Laki-laki Perempuan Total
n % n % n % Tidak pernah 0 0.0 1 6.3 1 3.3 Jarang (< 4 kali/minggu) 3 21.4 0 0.0 3 10.0 Sering (≥ 4-6 kali/minggu) 2 14.3 4 25.0 6 20.0 Selalu (7 kali/minggu) 9 64.3 11 68.8 20 66.7 Total 14 100 16 100 30 100
Sebagian besar lansia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki persentase kebiasaan sarapan yang cukup baik yang dinyatakan dengan hasil
frekuensi selalu sarapan secara menyeluruh lebih dari 50% sehingga bersifat homogen atau tidak beragam. Herlina (2001) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pada lansia di perkotaan sebanyak 86.6% melakukan sarapan pagi karena faktor kebiasaan dan menjaga kesehatan. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa kesadaran lansia di perkotaan akan pentingnya melakukan sarapan pagi tinggi.
Lansia pada penelitian ini dibedakan menjadi dua kelompok usia yaitu usia lanjut (60-74 tahun) dan usia tua (75-90 tahun). Berikut adalah sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan dan usia yang disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Sebaran lansia berdasarkan frekuensi sarapan dan usia.
Frekuensi sarapan baik pada kelompok usia lanjut (60-74 tahun) dan usia tua (75-90 tahun) adalah selalu sarapan dengan frekuensi 7 kali/minggu. Hasil ini sesuai dengan Sharkey et al. (2002) yang menyebutkan bahwa frekuensi sarapan meningkat seiring dengan usia (p<0.01) terutama pada kelompok lansia (60-74 tahun, 75-84 tahun dan ≥85 tahun). Namun masih ada pula lansia yang tidak pernah sarapan setiap hari, sebanyak 4.0% pada kelompok usia 60-74 tahun. Alasan lansia tidak melakukan sarapan pagi adalah karena tidak terbiasa.
Khomsan (2005) mengemukakan bahwa ada dua manfaat yang bisa diambil jika seseorang melakukan sarapan pagi. Pertama, sarapan pagi menyumbang karbohidrat untuk meningkatkan kadar gula darah sehingga gairah dan konsentrasi kerja jadi lebih baik. Kedua, memberikan kontribusi penting beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin dan mineral. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi sarapan pada lansia laki-laki dan perempuan (p>0.05).
Waktu Sarapan
Sarapan dapat dilakukan antara pukul 06.00-08.00 namun waktu ini bukan acuan keharusan (Khomsan 2005). Waktu sarapan dibedakan menjadi empat kategori waktu meliputi pukul 07.00-08.00, pukul 08.00-09.00, pukul 09.00-10.00, dan lainnya. Berikut data waktu sarapan lansia disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan
Waktu Sarapan Laki-laki Perempuan Total
n % n % n % 07.00 - 08.00 11 78.6 11 68.8 22 73.3 08.00 - 09.00 0 0.0 1 6.0 1 3.0 09.00 - 10.00 2 14.3 1 6.0 3 10.0 Lainnya 1 7.1 3 18.8 4 13.3 Total 14 100 16 100 30 100
Sebagian besar lansia (73.3%) lebih banyak melakukan sarapan pada pukul 07.00-08.00 WIB. Dengan lansia laki-laki (78.6%) dan lansia perempuan (68.8%). Sebagian kecil lansia (13.3%) melakukan sarapan pada pukul 05.00- 06.00 WIB yang dilakukan sebelum melakukan aktivitas di pagi hari.
Lansia pada penelitian ini dikategorikan menjadi kelompok usia lanjut dan usia tua, sebagian besar lansia melakukan kegiatan sarapan pada pukul 07.00- 08.00. Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan dan usia disajikan pada Gambar 3 berikut.
Gambar 3 Sebaran lansia berdasarkan waktu sarapan dan usia.
Seluruh lansia yang termasuk dalam kelompok usia tua (100%) melakukan sarapan pada pukul 07.00-08.00, sedangkan untuk kelompok usia lanjut (68.0%) melakukan sarapan pada jam yang sama. Hal ini mereka lakukan agar memperoleh energi yang akan digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-
hari. Namun ada pula lansia yang termasuk dalam kategori waktu lainnya, yaitu melakukan kegiatan sarapan sebelum pukul 07.00, berdasarkan hasil wawancara kepada lansia mereka melakukan hal tersebut karena saat bangun pagi sudah terasa lapar dikarenakan tidak makan malam pada hari sebelumnya.
Jenis Makanan Sarapan
Jenis makanan sarapan pada lansia terbagi menjadi 10 jenis makanan sarapan, yaitu roti/kue, gorengan, susu/teh manis, bubur ayam, nasi+lauk pauk, nasi uduk, nasi goreng, bihun goreng, mie goreng dan lainnya seperti havermout
dan sereal. Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan terdapat pada Tabel 17. Persentase jenis makanan yang sering (26.2%) dikonsumsi oleh lansia adalah nasi+lauk pauk. Hasil penelitian ini serupa dengan yang dilakukan oleh Sari (2010) yang menunjukkan bahwa 96.9% lansia pada saat sarapan lebih banyak mengonsumsi makanan pokok (nasi) dan lauk pauk. Selain makanan sarapan tersebut, lansia juga sering mengonsumsi roti/kue (19.7%) yang disertai dengan susu/teh manis (18.0%).
Tabel 17 Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan Jenis Makanan Sarapan Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Roti/kue 5 16.1 7 23.3 12 19.7
Gorengan 3 9.7 2 6.7 5 8.2
Susu atau teh manis 4 12.9 7 23.3 11 18.0
Bubur ayam 1 3.2 3 10.0 4 6.6 Nasi+lauk pauk 11 35.5 5 16.7 16 26.2 Nasi uduk 1 3.2 0 0.0 1 1.6 Nasi goreng 3 9.7 3 10.0 6 9.8 Bihun goreng 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Mie goreng 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Lainnya 3 9.7 3 10.0 6 9.8
Sarapan sebaiknya mengonsumsi makanan lengkap, yakni yang mengandung semua unsur gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan gizi yang seimbang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Sianturi 2002). Hasil penelitian menunjukkan makanan yang dikonsumsi oleh lansia belum mengandung semua unsur gizi seimbang, lansia hanya mengonsumsi salah satu dari unsur gizi, seperti roti manis yang dikombinasikan dengan kopi, teh manis, atau susu.
Sebagian kecil lansia (8.2%) mengonsumsi makanan camilan. Makanan camilan terdiri dari dua jenis yaitu makanan camilan basah seperti pisang goreng dan makanan camilan kering seperti produk ekstruksi (Nuraida et al 2009). Makanan camilan yang sering dikonsumsi oleh lansia adalah pisang goreng, tahu goreng, buras, talas dan singkong. Menurut Khomsan (2005) makanan jajanan
atau camilan seringkali lebih banyak mengandung karbohidrat dan hanya sedikit protein, vitamin, dan mineral. Akibat ketidaklengkapan gizi dalam makanan jajanan sehingga makanan jajanan tidak dapat menggantikan makanan sarapan.
Makanan lain yang sering dikonsumsi adalah nasi+lauk pauk dengan nasi sebagai sumber karbohidrat dan ikan, tempe atau tahu sebagai pangan sumber protein nabati, sumber vitamin dan mineral tidak diperhatikan oleh lansia sehingga dapat mempengaruhi kebutuhan akan sumber tersebut. Khomsan (2005) menyebutkan bahwa konsumsi pangan sumber karbohidrat (nasi) perlu disertai makanan lain sumber vitamin/mineral dari sayur dan buah sehingga mekanisme proses pencernaan menjadi lancar.
Jenis makanan sarapan lansia cukup bervariasi dan umumnya jenis makanan sarapan tersebut dikonsumsi secara bergantian setiap hari. Makanan dengan menu nasi+lauk pauk lebih banyak dikonsumsi oleh lansia (60-74 tahun), sedangkan untuk usia tua (75-95 tahun) memilih menu lainnya seperti havermout
dan sereal. Sebaran lansia berdasarkan jenis makanan sarapan dan usia disajikan pada Gambar 4.
Asupan dan Kontribusi Makanan Sarapan
Zat gizi yang dihitung adalah energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A dan vitamin C. Rata-rata sumbangan energi dan zat gizi makanan sarapan terhadap asupan dan kecukupan lansia terdapat pada Tabel 18.
Tabel 18 Rata-rata sumbangan energi dan zat gizi makanan sarapan terhadap asupan dan kecukupan lansia
Zat Gizi Laki-laki Perempuan P
Energi
Asupan energi makanan sarapan (kkal/hari) 600 431
0.072 Kontribusi terhadap asupan total (%) 30.1 29.5
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%) 28.1 26.0 Protein
Asupan protein makanan sarapan (g) 18.1 10.2
0.006 Kontribusi terhadap asupan total (%) 27.8 24.6
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%) 30.1 21.7 Kalsium
Asupan Kalsium makanan sarapan (mg) 1109.9 1330.0
0.830 Kontribusi terhadap asupan total (%) 84.9 98.2
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%) 2.1 3.9 Fosfor
Asupan Fosfor makanan sarapan (mg) 303.3 282.9
0.882 Kontribusi terhadap asupan total (%) 37.7 38.3
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%) 43.9 35.7 Vitamin A
Asupan vitamin A makanan sarapan (RE) 410.8 256.6
0.161 Kontribusi terhadap asupan total (%) 17.2 16.4
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%) 50.5 56.6 Vitamin C
Asupan vitamin C makanan sarapan (mg) 1.8 0.8
0.178 Kontribusi terhadap asupan total (%) 2.6 1.5
Kontribusi terhadap kecukupan gizi (%) 4564.8 342.2
Makanan sarapan pada lansia laki-laki dapat memberikan kontribusi energi (30.1%), protein (27.8%), kalsium (84.9%), fosfor (37.7%), vitamin A (17,2%) dan vitamin C (2.6%) terhadap asupan total. Sedangkan pada lansia perempuan makanan sarapan menyumbangkan kontribusi energi (29.5%), protein (24.6%), kalsium (98.2%), fosfor (38.3%), vitamin A (16.4%) dan vitamin C (1.5%). Rata-rata kontribusi energi, protein, vitamin A dan vitamin C pada lansia laki-laki lebih tinggi daripada lansia perempuan. Untuk kontribusi kalsium dan fosfor pada lansia perempuan lebih tinggi. Makanan sarapan yang dikonsumsi oleh lansia cukup banyak mengandung energi seperti roti, nasi uduk,
nasi goreng, ketupat tahu, bubur ayam, havermout dan sereal gandum. Sumber protein makanan sarapan pada lansia berasal dari ayam goreng, ikan, telur ayam, daging sapi, tempe dan tahu. Sumber vitamin A dan C diperoleh dari makanan seperti hati, kuning telur, minyak, bayam, wortel, kacang panjang, jagung, tomat, jeruk, pepaya, semangka dan melon. Kontribusi kalsium dan fosfor yang lebih tinggi pada lansia wanita diduga karena pada lansia wanita, konsumsi sumber kalsium seperti susu pada sarapan pagi lebih sering daripada laki-laki yang biasanya mengonsumsi teh atau kopi pada pagi hari. Almatsier et al
(2011) menyebutkan bahwa makanan kaya kalsium adalah susu dan hasil olahannya seperti keju dan yogurt, ikan teri dan ikan yang dimakan dengan tulangnya misalnya ikan duri lunak.
Kontribusi terhadap kecukupan gizi diperoleh dari rata-rata konsumsi sarapan selama 7 hari kemudian dibandingkan dengan rata-rata tingkat kecukupan gizi lansia berdasarkan usia dan jenis kelamin. Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui kontribusi energi dari zat gizi terhadap kecukupan gizi makanan sarapan pada lansia laki-laki yaitu energi (28.1%), protein (30.1%), kalsium (2.1%), fosfor (43.9%), vitamin A (50.5%) dan vitamin C (4564.8%) dan pada lansia perempuan makanan sarapan memberikan kontribusi energi (26.0%), protein (21.7%), kalsium (3.9%), fosfor (35.7%), vitamin A (56.5%), vitamin C (342.2%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsumsi makanan sarapan lansia baik laki-laki maupun perempuan telah memenuhi kebutuhan energi, protein, vitamin A dan vitamin C sekitar 20-30% yang dibutuhkan dari makanan sarapan. Uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan protein makanan sarapan pada lansia laki-laki dan perempuan (p<0.05).
Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh