• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. METODE ANALISIS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh karakteristik kimiawi pati resistan terhadap kemampuan fermentasinya sebagai substrat bagi pertumbuhan bakteri kolon, yakni Clostridium butyricum BCC B2571. Karakteristik kimiawi yang memiliki pengaruh terhadap sifat fermentatif pati dan kadar pati resistan adalah rasio amilosa : amilopektin. Kadar amilosa pati native beras dan sagu disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Kadar amilosa Hi Maize, pati beras, sagu, standar pati beras Lusi dan Ciherang (CHR).

Hasil pengujian kadar amilosa menunjukkan Hi maize sebagai kontrol mengandung amilosa tertinggi yakni 63.36%, sementara pati native sagu mengandung amilosa lebih tinggi dibandingkan pati native beras. Kadar amilosa pati sagu 45.3%, sedangkan pati beras 38.93%. Hasil uji duncan menunjukkan ketiga jenis pati uji memiliki kadar amilosa yang berbeda nyata pada taraf 5% (Lampiran 3).

Pengukuran amilosa pada penelitian ini juga menggunakan standar beras beramilosa rendah dan sedang, yakni Lusi dan Ciherang (CHR). Standar beras tersebut digunakan sebagai pembanding untuk menentukan klasifikasi beras sampel berdasarkan kadar amilosanya. Berdasarkan klasifikasi beras oleh Winarno (1997) dapat disimpulkan bahwa pati beras Cisokan yang digunakan sebagai substrat termasuk dalam klasifikasi beras beramilosa tinggi yakni dengan kadar amilosa 38.93%.

Pengujian amilosa juga dilakukan terhadap pati beras dan sagu yang telah diproses menjadi RS tipe 3. Hasil pengujian menunjukkan kadar amilosa beras dalam bentuk pati resistan bernilai lebih rendah dibandingkan pati native-nya. Kadar amilosa RS beras adalah 31.83% (Lampiran 3). Hal ini dapat dijelaskan sebagai akibat aktivitas pemotongan rantai polisakarida oleh enzim pullulanase yang diaplikasikan pada saat pembuatan pati resistan. Enzim pullulanase merupakan debranching enzim yang mampu memotong ikatan α-1.6 glikosidik pada pullulan, amilopektin dan polisakarida lain. Pemotongan rantai pati oleh pullulanase akan menghasilkan rantai linier dan komponen berbobot rendah (Pongjanta et al. 2009).

Salah satu komponen pati yakni amilopektin dapat diklasifikasikan berdasarkan distribusi panjang rantainya, yakni amilopektin berantai panjang (long-chain) dan rantai pendek (short chain). Keduanya berbeda dalam hal derajat polimerisasi (DP). Sasaki et al (2009) mengklasifikasikan amilopektin dengan DP ≤ 13 ke dalam rantai pendek, sedangkan DP ≥ 13 termasuk rantai panjang. Dengan demikian, rendahnya kadar amilosa pada pati resistan beras yang terukur kemungkinan disebabkan oleh distribusi rantai amilopektin yang pendek pada pati native-nya, sehingga proses hidrolisis enzim pullulanase menghasilkan rantai-rantai polisakarida pendek yang tidak mampu menjerat iodine pada saat pengukuran amilosa.

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, rasio amilosa-amilopektin berpengaruh terhadap kadar pati resistan yang diproses dengan gelatinisasi- retrogradasi. Pati resistan yang terbentuk akibat gelanitinisasi-retrogradasi diklasifikasikan sebagai pati resistan tipe 3. Sajilata et al. (2005) menyebutkan pembentukan pati resistan tipe 3 akan lebih optimal jika menggunakan bahan

yang mengandung amilosa tinggi. Hal ini dikarenakan komponen amilosa akan membentuk kristal pada saat retrogradasi, sehingga bersifat resistan. Secara komersial, pati resistan tipe 3 dibuat dari pati tergelatinisasi yang mengandung lebih dari 40% amilosa.

Berdasarkan hasil uji amilosa, maka dapat disimpulkan bahwa bahan baku pembuatan pati resistan pada penelitian ini termasuk kategori pati beramilosa tinggi. Dengan demikian diharapkan proses retrogradasi saat pembuatan RS tipe 3 akan menghasilkan pati resistan berkadar tinggi. Hasil pengukuran pati resistan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Kadar pati resistan Hi maize, RS beras dan RS sagu.

Pengujian statistik pada taraf signifikansi 5% menunjukkan kadar pati resistan Hi maize tidak berbeda nyata dengan RS sagu, namun berbeda nyata dengan RS beras (Lampiran 4). RS sagu memiliki kadar pati resistan 31.65%, sedangkan RS beras hanya 25.23%. Hasil pengujian menunjukkan adanya kecenderungan yang sama antara kadar amilosa pati native dengan kadar pati resistan yang dihasilkan. Pati native sagu memiliki kadar pati amilosa lebih tinggi dibandingkan dengan pati native beras, sehingga pati resistan yang terbentuk pada RS sagu bernilai lebih besar dibandingkan RS beras. Pati resistan yang terbentuk merupakan hasil proses retrogradasi amilosa.

Menurut Wasserman et al. (2007) proses pembuatan pati resistan tipe 3 melalui dua tahap, yakni (1) gelatinisasi menyebabkan struktur granula mengembang akibat penyerapan air yang berlebih selama pemanasan, (2) retrogradasi pati yang mengakibatkan rekristalisasi rantai amilosa dan amilopektin. Proses gelatinisasi menyebabkan pati lebih mudah tercerna dibandingkan dalam bentuk mentahnya. Namun gel pati tersebut tidak stabil dan membentuk kristal saat pendinginan. Peristiwa tersebut dinamakan retrogradasi. Retrogradasi pati akan menghasilkan polimer linier berrantai pendek yang tidak larut dan bersifat resistan terhadap enzim pencernaan. Oleh karena itu, sumber pati beramilosa tinggi akan memiliki kadar RS yang tinggi pula. Salah satu syarat pembentukan RS adalah rantai glukosa dengan panjang rantai minimum 30-40 residu, namun adanya kompleksitas rantai tersebut dengan lipid dapat menghambat pembentukan RS (Mangala et al. 1999).

Proses kristalisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kadar amilosa dan panjang rantai, suhu autoclave, waktu penyimpanan dan suhu gelatinisasi (Ozturk et al. 2009). Penelitian Escarpa et al. (1996) membuktikan bahwa proses kristalisasi tidak hanya terjadi pada rantai amilosa, tapi juga pada rantai amilopektin, namun kecepatannya lebih rendah dibandingkan retrogradasi amilosa. Walaupun begitu, proses retrogradasi amilopektin tidak dapat diabaikan karena turut berkontribusi dalam pembentukan pati resistan.

Kadar RS pada bahan pangan juga dipengaruhi oleh proses termal. Oleh karena itu pengaruh autoclaving terhadap pati resistan yang akan digunakan sebagai bagian dari medium tumbuh bakteri pada penelitian ini pun diuji. Autoclaving dilakukan pada 1210C selama 20 menit dengan tujuan sterilisasi.

Hasil pengujian stabilitas RS disajikan pada Gambar 5. Kadar pati resistan pada ketiga sampel setelah autoclave mengalami penurunan. Kadar RS Hi maize menurun dari 16.66 mg/10ml menjadi 15.76 mg/10ml. Sementara pada RS sagu dan RS beras terjadi penurunan kadar RS yang drastis. Kadar RS sagu menurun dari 15.86 mg/10ml menjadi 8.42 mg/10ml, sedangkan RS beras menurun dari 12.74 mg/10ml menjadi 5.02 mg/10ml.

Gambar 5. Kadar pati resistan sebelum dan sesudah autoclave.

Stabilitas panas pati selama proses autoclave terkait dengan suhu leleh komponen pati. Wasserman et al. (2007) menyatakan terdapat kecenderungan bahwa sumber beramilosa tinggi memiliki suhu leleh yang tinggi pula. Suhu leleh amilosa mencapai 1400C, sementara amilopektin dapat meleleh pada suhu 60-700C. Pada saat suhu leleh tersebut struktur kristal amilosa dan amilopektin rusak.

Kadar pati resistan pada ketiga substrat uji memiliki penurunan dengan kecenderungan yang sama seperti kadar pati resistan sebelum autoclave. Walaupun mengalami penurunan, kadar pati resistan Hi maize setelah autoclave masih tertinggi, yakni 15.76 mg/10ml, sedangkan RS sagu 8.42 mg/10ml dan RS beras 5.02 mg/10ml. Penurunan kadar RS setelah autoclave kemungkinan terjadi akibat rusaknya struktur kristalin pati, sehingga pati tidak lagi bersifat resistan.

Penurunan kadar RS pada kontrol Hi Maize tidak terlalu drastis. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh stabilnya struktur granula yang dimiliki, sehingga dapat stabil pada suhu autoclave. Hi maize yang digunakan

merupakan RS tipe 2. Strukturnya yang kompak membatasi akses enzim pencernaan untuk menghidrolisis ikatannya.

Pati resistan tipe 3 dari sampel RS beras dan RS sagu mengalami penurunan kadar RS yang drastis setelah diautoclave. Pada proses pembuatan pati resistan tipe 3 ini (Lampiran 8) pati di autoclave dan disimpan pada suhu 40C. Pada proses ini pati mengalami kristalisasi. Proses kemudian dilanjutkan dengan hidrolisis enzimatik dengan debranching enzim pullulanase. Jika struktur amilopektin yang dimiliki oleh kedua pati adalah amilopektin bercabang banyak dan pendek, maka diperkirakan produk yang terbentuk dari hidrolisis adalah rantai pendek yang bercabang pula. Penyimpanan pati selama beberapa lama akan memberi peluang bagi rantai amilopektin untuk membentuk kristalin.

Retrogradasi pada molekul amilopektin bersifat refersibel bila diberi panas, tetapi tidak demikian dengan retrogradasi amilosa. Karena itulah, berdasarkan data yang diperoleh, kemungkinan pati resistan yang terbentuk pada RS sagu dan RS beras adalah hasil dari retrogradasi amilopektin. Lehman et al. (2002) menyebutkan panjang rantai linier pun mempengaruhi retrogradasi. Untuk pembuatan RS tipe 3 sangat optimal menggunakan α- poliglukan dengan derajat polimerisasi 20.

Dokumen terkait