• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fermentasi pati resistan oleh Clostridium butyricum akan menghasilkan metabolit berupa asam lemak rantai pendek seperti asam asetat, propionat, dan butirat. Asam lemak tersebut terbukti bermanfaat bagi kesehatan. Secara umum produksi asam lemak hasil fermentasi di dalam kolon dapat diestimasi menggunakan teknik fermentasi in vitro. Teknik ini juga berguna untuk mengetahui tingkat fermentasi suatu komponen bahan pangan secara individual.

Beberapa penelitian membuktikan profil asam lemak rantai pendek (SCFA) bergantung pada fisikokimia substrat (Khan dan Edwards, 2005). Pati resistan bersifat butirigenik, artinya mampu menginduksi produksi asam butirat dibandingkan dengan substrat karbohidrat lain (Wang et al. 1999). Pada penelitian ini, SCFA yang dianalisis adalah asam asetat dan asam butirat. Berdasarkan literatur sebelumnya, jalur anabolisme kedua asam lemak tersebut pada fermentasi glukosa secara anaerob berkorelasi satu sama lain (Amans et al. 2001), artinya konsentrasi yang dihasilkan salah satu asam lemak akan mempengaruhi produksi asam lemak lainnya melalui jalur yang saling terhubung.

Pada penelitian ini analisa asam asetat dan butirat menggunakan kromatografi gas dengan spesifikasi dan kondisi yang dijelaskan pada Lampiran 7. Hasil kromatogram pada Gambar 10 menunjukkan keberadaan asetat dan butirat pada substrat Hi maize jam ke-30 fermentasi, sementara kromatogram substrat RS beras dan RS beras dilampirkan pada Lampiran 10. Berdasarkan kromatogram tersebut, puncak asetat dan butirat muncul pada menit ke-10.3 dan 13.7. Puncak asetat akan muncul terlebih dahulu karena titik didihnya yang lebih rendah dibandingkan butirat. Asam asetat akan volatil pada suhu 108.10C, sedangkan asam butirat pada 163.50C. Penentuan puncak tersebut diklarifikasi dengan membandingkan kromatogram sampel dengan kromatogram standar asetat dan butirat pada Gambar 11. Pada beberapa kromatogram sampel terdapat puncak yang muncul pada menit ke-4.6, diperkirakan puncak tersebut berasal dari senyawa volatil yang lebih kecil dari

asetat. Senyawa tersebut tidak dapat diidentifikasi karena tidak adanya standar senyawa tersebut.

Gambar 10. Kromatogram asetat dan butirat pada substrat Hi maize jam ke-30.

Gambar 11. Kromatogram standar asam asetat dan asam butirat.

Profil asetat dan butirat hasil fermentasi pada substrat uji disajikan pada Gambar 12. Hasil analisa profil SCFA menunjukkan fermentasi pati Hi maize dan RS beras menghasilkan kadar SCFA yang dapat dideteksi oleh

Asetat

kromatografi gas. Sementara pada RS sagu, baik asetat maupun butirat yang dihasilkan kadarnya sangat rendah sehingga tidak masuk range limit deteksi alat. Hal ini disimpulkan dari kromatogram yang terbentuk pada RS sagu (Lampiran 10). Pada kromatogram tersebut dilaporkan bahwa puncak asetat dan butirat pada RS sagu terbentuk, namun luas area tersebut tidak terintegrasi oleh alat. Diketahui bahwa limit deteksi alat kromatografi yang digunakan untuk analisa ini adalah 10 mM, sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar asetat dan butirat yang diproduksi pada substrat RS sagu adalah kurang dari 10 mM, sehingga tidak dapat terintegrasi oleh alat.

Gambar 12. Profil asam asetat dan butirat pada Hi maize dan RS beras pada fermentasi jam-30 dan 48.

Berdasarkan diagram pada Gambar 12 asam lemak rantai pendek, baik asetat maupun butirat pada fermentasi Hi maize diproduksi dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan RS beras. Sementara itu pada kedua substrat, asetat di produksi dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan butirat, kecuali pada fermentasi Hi maize jam ke-30. Produksi butirat pada substrat Hi maize lebih besar dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh RS beras, baik pada jam

ke-30 maupun jam ke-48. Hasil profil asetat dan butirat ini membuktikan bahwa fermentasi dengan sumber pati yang berbeda akan menghasilkan rasio dan total SCFA yang berbeda selama fermentasi (McBurney dan Thompson, 1987).

Gambar 13. Jalur alternatif pembentukan butirat selama fermentasi anaerob. 1a) Butyrate kinase; 1b) Butyryl-CoA : Asetat Co-A Transferase (Louis et al. 2007).

Gambar 13 menunjukkan jalur pembentukan asam lemak rantai pendek dari proses fermentasi glukosa secara anaerob. Pertama-tama glukosa dimetabolisme melalui jalur glikolisis. Hasil glikolisis berupa piruvat berperan sebagai substrat pada proses enzimatik berikutnya. Berdasarkan Gambar 13 terdapat dua alternatif pembentukan butirat. Jalur pertama (1a) berasal dari butyril Co-A yang berubah menjadi butyril-phospat akibat aktivitas enzim phospotransbutyrilase dan butyrate kinase. Pada gambar 13 aktivitas butirat Butirat kinase Co-A transferase Asetat kinase

kinase ditunjukkan oleh tanda panah biru. Jalur kedua (1b) terjadi akibat aktivitas enzim CoA-transferase yang mengubah butyril Co-A dan asetat menjadi butirat dan Acetyl co-A. Aktivitas enzim ini ditunjukkan oleh tanda panah merah.

Jalur pertama (1a) umumnya ditemukan pada bakteri spesies Clostridium seperti Clostridium acetobutylicum, Clostridium tetani, Clostridium perfringens dan Clostridium difficile. Pada jalur ini, gen penyandi butirat kinase ditemukan pada Clostridium sp. yang diisolasi dari tanah dan air. Sementara jalur kedua (1b)ditemukan pada bakteri yang diisolasi dari rumen dan pencernaan manusia, sehingga jalur inilah yang paling dominan terjadi di dalam kolon manusia. Louis et al. (2004) juga menyatakan bahwa pada kolon manusia jalur metabolisme yang dengan aktivitas enzim butyril Co-A : Acetate Co-A Transferase merupakan yang paling dominan ditemukan untuk membentuk butirat dibandingkan dengan aktivitas butirat kinase.

Chen dan Blaschek (1999) menyebutkan bahwa aktivitas enzim Co-A transferase, asetat kinase, phospotransbutirilase dan butirat kinase sangat berpengaruh terhadap metabolisme asam selama fermentasi. Berdasarkan jalur metabolisme pada Gambar 13, kadar butirat dapat ditingkatkan dengan cara sebagai berikut: 1) meningkatkan aktivitas enzim phospotransbutirilase dan butirat kinase 2) menghambat aktivitas enzim phospotransasetilase dan asetat kinase, 3) meningkatkan rasio butyril Co-A: Co-A bebas dan 4) meningkatkan aktivitas enzim butyril Co-A : Asetat Co-A transferase.

Beberapa penelitian menunjukkan aktivitas enzim-enzim diatas dipengaruhi oleh komposisi substrat, pH, dan kadar produk akhir. Berdasarkan penelitian Chen dan Blaschek (1999) penambahan sodium asetat pada medium dapat meningkatkan aktivitas enzim Co-A transferase, asetat kinase, butirat kinase, dan phospotransasetilase dibandingkan dengan medium tanpa penambahan sodium asetat. Semakin tinggi kadar asetat yang ditambahkan, semakin tinggi pula kadar butirat yang dihasilkan. Namun produksi butirat hanya meningkat hingga pada titik jam fermentasi tertentu, setelah itu kadar butirat akan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa asetat yang ditambahkan menyebabkan kadar asetat pada medium berlebih, sehingga aktivitas enzim

asetat kinase dihambat dan produksi asetat dihentikan oleh bakteri. Pada jalur ini asetat digunakan sebagai co-substrat bagi enzim Co-a transferase untuk membentuk butirat.

pH medium juga mempengaruhi pembentukan asetat dan butirat selama fermentasi. pH dibawah 4.8 akan menimbulkan asidifikasi yang menyebabkan metabolisme pembentukan produk asam dihentikan, lalu bakteri mulai memproduksi produk netral seperti aseton dan butanol. Zhu dan Yang (2004) menunjukkan bahwa pada pH dibawah 5.7 produk fermentasi dominan yang dihasilkan adalah asetat dan laktat. Hal ini karena pada pH 5 aktivitas enzim phospotransacetylase dan lactate dehydrogenase optimum. Sementara pada pH 5.5 sampai 7 enzim Co-a transferase bekerja optimal. Dengan demikian untuk menghasilkan produk asam, pH medium sebaiknya dijaga dalam rentang 5.5 sampai 7.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biosintesis enzim asetat kinase diregulasi oleh produk akhirnya yakni asetat. Aktivitas maksimum enzim ini ditemukan pada saat awal fermentasi dan menurun seiring meningkatnya konsentrasi produk yang dihasilkan. Ini artinya aktivitas asetat kinase dihambat oleh produknya sendiri (product inhibitor). Sedangkan biosintasis enzim butirat kinase tidak diregulasi oleh produk akhirnya, sehingga aktivitas enzim ini selama fermentasi adalah konstan (Ballongue et al. 1986). Penambahan asetat juga mempengaruhi aktivitas enzim phospotransbutirilase dan butirat kinase sehingga aktivitas kedua enzim tersebut dapat ditemukan pada awal fase dan pertengahan pertumbuhan bakteri.

Produksi asetat dan butirat pada penelitian ini memiliki kemungkinan bahwa jalur pembentukan keduanya berkorelasi satu sama lain, yakni melalui jalur kedua (1b). Hal ini dikarenakan kultur Clostridium butyricum BCC B2571 yang digunakan berasal dari rumen, sehingga kemungkinan besar jalur 1b) yang dominan terjadi. Diagram pada Gambar 12 menunjukkan bahwa pada fermentasi Hi Maize terjadi peningkatan kadar asetat pada jam ke-48 yang diikuti dengan penurunan kadar butirat. Sementara itu, hal sebaliknya terjadi pada RS beras.

Pada jam ke-30 fermentasi Hi maize, kadar butirat yang dihasilkan lebih besar dibandingkan asetat. Butirat yang terbentuk pada jam ini dapat berasal dari jalur pembentukan butirat 1b) pada Gambar 13. Pada jalur ini, asetat berperan sebagai co-substrat bagi enzim Co-A transferase, sehingga sebagian asetat yang sudah terbentuk digunakan untuk memproduksi butirat. Pada jam ke-48 fermentasi Hi maize kadar asetat meningkat dari 83.17 mM menjadi 118.18 mM, sedangkan butirat menurun dari 95.19 mM menjadi 40.24 mM. Hal ini menunjukkan rendahnya rasio butyril Co-A : Co-A bebas yang tersedia, sehingga metabolisme mengarah ke pembentukan asetat. Selain itu, Louis et al. (2007) menunjukkan bahwa kondisi sumber karbon yang terbatas pada medium akan mendorong metabolisme untuk lebih mengarah ke pembentukan asetat. Hal ini dikarenakan pembentukan asetat akan menghasilkan ATP yang lebih besar dibandingkan dengan pembentukan butirat, sehingga bakteri akan mengoptimalkan sumber karbon yang terbatas untuk menghasilkan energi yang maksimum. Alasan inilah yang mengakibatkan jumlah butirat menurun pada jam ke-48, sementara kadar asetat meningkat.

Pada jam ke-30 fermentasi RS beras, butirat belum terbentuk, sementara asetat diproduksi dalam jumlah yang tinggi. Berdasarkan Gambar 13, jika piruvat digunakan untuk membentuk metabolit lain seperti propionat dan laktat, sementara acetyl Co-A yang terbentuk digunakan untuk pembentukan asetat maka substrat yang tersedia untuk pembentukan butirat akan berkurang. Dengan demikian pembentukan butirat akan terhambat.

Pada jam ke-48 fermentasi RS beras, butirat mulai terbentuk dengan konsentrasi 16.29 mM, sementara kadar asetat mengalami penurunan dari 95.68 mM menjadi 27.85 mM. Hal ini dapat dijelaskan melalui mekanisme regulator yang menyebabkan Co-A transferase mengubah butyril Co-A dan asetat menjadi butirat dan acetyl Co-a. Di lain pihak, penurunan kadar asetat yang signifikan pada RS beras tidak diikuti dengan peningkatan butirat secara drastis menunjukkan telah terjadi metabolisme melalui jalur lain yang menghasilkan produk selain butirat. Jalur metabolisme pada Gambar 2 menunjukkan acetyl Co-A dapat diubah menjadi etanol, butirat dan asetat melalui jalur yang berbeda. Konversi acetyl Co-a menjadi asetaldehid

kemudian etanol mengakibatkan ketersediaan acetyl Co-A sebagai susbtrat bagi enzim phopotransasetilase dan phospotransbutirilase berkurang, akibatnya rasio butiryl Co-A : Co-A bebas rendah. Dengan demikian produk butirat dan asetat yang dihasilkan sedikit.

Penelitian lain secara in vitro menyebutkan bahwa konsentrasi asetat dan butirat dipengaruhi oleh keberadaan Co-AS, butyril Co-a, dan acetyl Co-A (Wiesenborn et al. 1989). Sementara itu, Amans et al. (2001) menyatakan pembentukan butirat pada Clostridium butyricum terjadi akibat tingginya rasio butyril Co-A/Co-A bebas. Sementara penelitian lain secara in vitro menunjukkan produksi butirat dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan konsentrasi substrat dan memperpanjang waktu fermentasi (Zhao dan Lin, 2009). Peningkatan konsentrasi substrat berakibat pada meningkatnya rasio butyril Co-A/Co-A bebas, sehingga butirat akan dibentuk.

Pada penelitian ini terdapat kemungkinan untuk meningkatkan kadar butirat dengan cara memperpanjang waktu fermentasi, terutama pada substrat RS beras dan RS sagu. Hal ini berdasarkan pola pertumbuhan bakteri pada kedua substrat tersebut yang masih belum mencapai penurunan drastis pada jam ke-48, sehingga kemungkinan masih terjadi pertumbuhan bakteri pada kedua substrat setelah 48 jam inkubasi. Memperpanjang waktu fermentasi memungkinkan bakteri untuk menggunakan substrat lebih optimal untuk metabolismenya. Selain itu, penambahan konsentrasi substrat pada medium juga dapat meningkatkan kadar butirat. Penelitian Zhao dan Lin (2009) menunjukkan kadar butirat akan meningkat dengan penambahan RS pada medium hingga pada level tertentu. Dengan demikian kadar butirat pada RS sagu dan RS beras masih dapat ditingkatkan dengan menambah kadar RS pada medium dan memperpanjang waktu fermentasi.

Beberapa penelitian mengenai fermentasi in vitro oleh konsorsium bakteri fecal menunjukkan adanya metabolisme cross feeding. Beberapa bakteri yang berperan adalah Eubacterium halii dan Anaerostipes caccae yang mampu mengubah laktat dan asetat menjadi butirat (Duncan et al. 2004). Dengan demikian, pada kondisi tubuh manusia yang sehat tidak akan terdapat akumulasi laktat di kolon. Fermentasi dengan populasi mikrobiota pada kolon

tersebut membuktikan adanya kompleksitas pada ekosistem mikroflora dalam saluran pencernaan manusia.

Hasil penelitian ini memang masih belum dapat menjawab kompleksitas jalur produksi butirat yang terjadi pada ekosistem kolon manusia. Namun penelitian ini dapat memberi informasi bahwa fermentasi RS tipe 3 substrat uji oleh Clostridium butyricum BCC B2571 mampu menghasilkan butirat. Karena butirat mampu mengurangi resiko kanker kolon dengan cara apoptosis, differensiasi sel kanker dan menghambat invasi sel kanker, fermentasi RS 3 dari sumber pati beras Cisokan memiliki peluang prospektif untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional, walaupun produksi butirat yang dihasilkan masih lebih rendah dibandingkan dengan pati komersial (Hi maize).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait