• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis keragaman ini merupakan studi untuk menduga keragaman genetik galur jagung pulut (waxy corn) sebagai kandidat tetua hibrida yang kemungkinan menghasilkan heterosis tinggi. Fuzatto et al. (2002) menyatakan bahwa heterosis dan kemampuan daya gabung khusus dari dua populasi persilangan tergantung pada keberadaan gen dengan aksi dominan yang mengontrol karakter, dan keragaman di antara populasi. Pada saat tetua diseleksi pada sejumlah populasi, preferensi harus diberikan pada tetua-tetua yang berbeda dan sudah beradaptasi.

Profil marka mikrosatelit. Kegiatan ini merupakan studi untuk memprediksi galur jagung pulut (waxy corn) yang kemungkinan menghasilkan heterosis tinggi. Gambar 3 adalah salah satu lokus SSRs yang memperlihatkan variasi genetik dari inbrida yang dikarakterisasi. Untuk menghasilkan data dengan validasi tinggi maka primer yang menghasilkan missing data >10% dikeluarkan. Hal yang sama juga dilakukan terhadap galur-galur yang menghasilkan tingkat heterosigositas >20% dikeluarkan. Pada kegiatan ini tidak terdapat primer yang menghasilkan missing data >10%. Terdapat satu galur dalam kondisi heterosigous >20% yaitu MSP2(10)-105-1-B sehingga galur tersebut tidak diikutkan dalam analisis lebih lanjut.

Gambar 3 Visualisasi pola pita DNA menggunakan marka SSRs phi109188 melalui elektroforesis vertikal 4,5% PAGE (Polyacrylamide Gel Electrophoresis). No. 1, 2, 3, …39 adalah galur yang dikarakterisasi dengan kisaran 200-151 bp.

Profil data 20 marka mikrosatelit untuk galur jagung pulut menunjukkan tingkat polimorfisme dari 0,18–0,99 dengan rata-rata 0,62. Total alel yang diperoleh sebanyak 64 berkisar dari 2 - 5 dengan nilai rata-rata 3.20 alel/lokus. Koefisien korelasi kofenetik (r) sebesar 0,87 tergolong cukup baik (good fit) terhadap matriks kemiripan genetik. Kisaran basa berkisar dari 103,7 sampai 307,3 bp (Tabel 7). Menunjukkan keragaman

phi109188

genetik yang tinggi berdasarkan kode pedigree terhadap Koleksi galur yang dikarakterisasi.

Tabel 7 Profil data marka mikrosatelit hasil karakterisasi pada galur jagung pulut menggunakan 20 marka SSRs No. Primer/Lokus SSRs No Kromosom Tingkat polimorfisme Jumlah alel/lokus Kisaran ukuran 1. phi109275 1,00 0,65 5 121,9 - 138,1 2. phi96100 2,00 0,74 4 276,8 - 304,6 3. phi109642 2,00 0,52 3 136,5 - 146,8 4. phi101049 2,09 0,43 3 236,7 - 249 5. phi374118 3,03 0,65 3 223 - 237,4 6. phi102228 3,05 0,33 3 125,1 - 132,8 7. phi072 4,00 0,53 2 151 - 158 8. phi093 4,08 0,57 2 289,1 - 300 9. phi109188 5,00 0,71 4 164,1 - 173,9 10. umc1153 5,03 0,62 3 112,1-118 11. phi432796 6,02 0,99 3 128,4 - 135,4 12. phi299852 6,08 0,94 5 111,1 - 124,4 13. phi114 7,02 0,68 3 137,6 - 170,4 14. phi328175 7,04 0,73 4 103,7 - 134 15. phi420701 8,00 0,59 2 300 - 307,3 16. phi233376 8,03 0,60 4 142,1 - 159,2 17. phi065 9,03 0,56 2 132,7 - 151 18. phi448880 9,05 0,59 3 187,7 - 200 19. phi96342 10,06 0,18 2 252,3 - 255,5 20. umc1196 10,07 0,70 4 149,8 - 168,4 Total 12,31 64 Rata-rata 0,62 3,20 Kisaran 0,18 - 0,99 2 - 5 103,7 - 307,3

Struss dan Plieske (1998) mengemukakan bahwa tingginya tingkat polimorfisme juga dipengaruhi oleh tingkat polimorfisme marka SSRs yang digunakan. Oleh karena itu pemilihan marka polimorfisme yang tinggi mempunyai kontribusi terhadap nilai

Polimorphism Information Content (PIC). Penggunaan primer yang lebih banyak dengan tingkat plimorfisme tinggi diharapkan dapat memberikan pengelompokan yang lebih konprehensif. Chen et al. (2000) menyatakan bahwa data molekuler sangat tergantung pada pemilihan primer yang digunakan.

Hasil analisis menggunakan program NTSYS 2.1 berdasarkan UPGMA menghasilkan dendrogram seperti pada Gambar 4. yang menunjukkan terdapat tiga klaster yang dicirikan oleh galur dengan kode pedigree hampir sama. Setiap klaster memperlihatkan bahwa inbrida tersebut dibentuk dari populasi yang sama sehingga

tingkat kekerabatannya sangat dekat. Dominasi inisial inbrida yang sama membentuk klaster besar dan dapat dikatakan bahwa terdapat kesesuaian antara data molekuler dengan kode pedigree.

Gambar 4 Dendogram 39 galur jagung pulut menggunakan 20 marka SSRs dan dikonstruksi berdasarkan koefisien kemiripan Jaccard

Analisis keragaman genetik berguna untuk mengetahui pola pengelompokan populasi genotipe yang dimiliki dan untuk mengetahui karakter penciri setiap kelompok genotipe yang terbentuk sehingga dapat digunakan dalam kegiatan seleksi tetua untuk perakitan varietas unggul baru. Tingkat keakuratan pengelompokan dalam penelitian ini cukup tinggi, ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi kofenetik (r) sebesar 0,88

NIlaiKemiripan 0.30 0.44 0.59 0.73 0.88 MSP2(10)-103-1 PTBC4-7-5 PTBC4-7-11 PTBC4-17-1 PTBC4-9-3 PTBC4-9-5 PTBC4-10-1 PTBC4-10-7 PTBC4-13-6 PTBC4-11-6 PTBC4-11-8 PTBC4-12-3 PTBC4-12-12 PTBC4-14-7 PTBC4-14-12 PTBC4-15-4 PTBC4-16-2 PTBC4-16-8 PTBC4-18-43 PTBC4-15-1 PTBC4-20-1 PTBC4-21-2 PTBC4-21-4 PTBC4-22-2 MSP2(10)-82-1 MSP2(10)-90-1 MSP2(10)-96-1 MSP2(10)-95-1 MSP2(10)-113-1 MSP2(10)-120-1 MSP2(10)-145-1 MSP2(10)-149-1 MSP2(10)-163-1 MSP2(10)-169-1 MSP2(10)-182-1 MSP2(10)-187-1 MSP2(10)-192-1 MSP2(10)-103-1 MSP2(10)-125-2 MSP2(10)-122-1 III II I 63,0 48,1 51,8 52,5 30,6 47,2 45,4 70,1 37,5 48,0 49,8 59,3

yang tergolong good fit untuk kelompok galur jagung pulut yang ditangani. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat akurasi pengelompokan secara genetik dengan jumlah primer yang digunakan sangat akurat atau semua primer polimorfis. Pejic et al. (1998) mengemukakan bahwa nilai r menggambarkan akurasi pengelompokan secara genotipeik, yang dapat dihasilkan berdasarkan pendugaan kemiripan genetik di antara galur yang dikarakterisasi dengan jumlah primer yang digunakan. Vaz Patto et al. (2004) menyatakan bahwa indeks yang ideal untuk korelasi kofenetik yang menggambarkan keakuratan kelompok heterotik adalah >0,56.

Semakin tinggi tingkat kepercayaan pengelompokan berarti semakin kuat kemiripan genetik dari galur dalam kelompok tersebut. Dengan demikian peluang inbreeding akan semakin tinggi jika dilakukan persilangan satu dengan yang lain dalam kelompok. Oleh karena itu sebaiknya tidak dilakukan persilangan dalam kelompok yang sama tersebut. Menurut Warburton et al. (2005) galur-galur tidak terklaster berdasarkan fenotipe, adaptasi lingkungan, tipe atau warna biji, umur panen, atau respon heterotik, tapi galur-galur yang berkerabat secara pedigree biasanya berada pada klaster yang sama.

Dendrogram 39 galur jagung pulut menggunakan 20 marka SSRs, menghasilkan tiga klaster. Klaster yang sama dicirikan oleh galur dengan kodepedigreehampir sama. Hal tersebut memperlihatkan bahwa galur tersebut dibentuk dari populasi yang sama sehingga tingkat kekerabatannya lebih dekat. Klaster I merupakan kelompok kedua terbesar, terdiri dari 16 galur dan didominasi oleh galur dengan inisial pedigree MSP2. Klaster II merupakan kelompok terbesar, terdiri dari 18 galur dan didominasi oleh galur dengan inisial pedigree PTBC4. Klaster III merupakan kelompok terkecil, terdiri dari 5 galur dan didominasi oleh galur dengan inisial pedigree PTBC4. Nilai matriks jarak genetik cukup tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa materi genetik berasal dari materi populasi dasar dengan variasi genetik cukup luas dan memberikan peluang besar untuk mendapatkan pasangan tetua hibrida potensial.

Posisi Relatif Galur Jagung Pulut

Posisi relatif dari masing-masing galur yang dianalisis pada ruang dua dimensi (Gambar 5) memperkecil peluang untuk memasangkan galur satu dengan lainnya dimana galur yang menggerombol bersama dihindari untuk dipasangkan.

Gambar 5 Posisi relatif 39 galur jagung pulut (waxy corn) menggunakan 20 marka SSRs berdasarkan hasil analisis PCoA dua dimensi

Pengelompokan berdasarkan analisis Principal Coordinate Analysis (PCA) menghasilkan tiga kelompok sesuai dengan pengelompokan pada dendogram. Kelompok-kelompok yang terbentuk disebut kelompok heterotik artinya galur yang berada dalam satu kelompok jika disilangkan dengan galur di luar kelompoknya akan memunculkan heterosis.

Dalam proses mencari pasangan tetua hibrida potensial dengan bantuan informasi marka molekuler, pasangan-pasangan tidak potensial dihindari lebih awal untuk efisiensi waktu, tenaga dan dana. Pengujian pasangan-pasangan heterotik di lapangan lebih difokuskan pada potensi genetik dari galur yang terpilih. Analisis gerombol juga digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan genotipe-genotipe yang diuji (Sumertajayaet al. 2003). Analisis biplot digunakan untuk mengetahui peubah penciri setiap gerombol genotipe. Sumertajaya et al. 2003 juga menyebutkan bahwa analisis biplot dapat digunakan untuk mengetahui kemiripan atau kedekatan relatif antar obyek pengujian (gerombol genotipe) dan keragaman setiap peubah.

Untuk melihat keselarasan antara data karakter morfologi dengan pola pita SSRs, dilakukan pengujiangoodness of fitdengan menggunakan analisis korelasi antara matrik

C1 -0.30 -0.16 -0.03 0.10 0.24 C2 -0.26 -0.12 0.03 0.17 0.32 PTBC4-7-5 PTBC4-7-11 PTBC4-17-1 PTBC4-9-3 PTBC4-9-5 PTBC4-10-1 PTBC4-10-7 PTBC4-11-6 PTBC4-11-8 PTBC4-12-3 PTBC4-12-12 PTBC4-13-6 PTBC4-14-7 PTBC4-14-12 PTBC4-15-1 PTBC4-15-4 PTBC4-16-2 PTBC4-16-8 PTBC4-18-43 PTBC4-20-1 PTBC4-21-2 PTBC4-21-4 PTBC4-22-2 MSP2(10)-82-1 MSP2(10)-90-1 MSP2(10)-95-1 MSP2(10)-96-1 MSP2(10)-103-1 MSP2(10)-113-1 MSP2(10)-120-1 MSP2(10)-122-1 MSP2(10)-125-2 MSP2(10)-145-1 MSP2(10)-149-1 MSP2(10)-163-1 MSP2(10)-169-1MSP2(10)-182-1 MSP2(10)-187-1MSP2(10)-192-1

jarak morfologi dengan matrik tingkat kemiripan genetik. Analisis dilakukan pada 10 genotipe. Dengan membandingkan antara dendrogram berdasarkan pola pita SSRs (Gambar 6) dengan dendogram berdasarkan morfologi (Gambar 7) terhadap 10 genotipe dengan hasil pengelompokan yang tidak konsisten. Genotipe dengan kode pedigree

yang sama berdasarkan morfologi tidak berada pada satu kelompok, sedang berdasarkan pola pita SSRs masing-masing mengelompok sendiri sesuai dengan kodepedigree.

Coefficient 0.54 0.59 0.65 0.71 0.77 MSP2(10)-113-1 PTBC4-7-5 PTBC4-17-1 PTBC4-9-3 PTBC4-22-2 PTBC4-10-1 PTBC4-15-1 PTBC4-20-1 MSP2(10)-82-1 MSP2(10)-113-1 MSP2(10)-125-2

Gambar 6 Dendrogram 10 galur jagung pulut (waxy corn) hasil analisis klaster berdasarkan pola pita DNA dengan metode UPGMA menggunakan 20 praimer SSRs.

Perbedaan kelompok beberapa genotipe antara dendrogram berdasarkan morfologi dan pola pita DNA tersebut kemungkinan terjadi karena persentase genom yang terwakili masih sedikit atau masing-masing penanda mengungkap daerah genom yang berbeda. Apabila kedua matrik jarak taksonomi dikorelasikan dengan matrik tingkat kemiripan berdasarkan pola pita DNA (Tabel 8) dan diuji dengan statistik Z Mantel

dihasilkan korelasi (r) yang digunakan untuk melihat kesesuaian atau keselarasan dua dendrogram. Korelasi antara matrik kemiripan berdasarkan pola pita DNA dengan matrik kemiripan berdasarkan morfologi data kualitatif biner adalah 0,071. Berdasarkan kriteriagoodness of fitmaka nilai korelasi tersebut tergolong sangat lemah.

Nilai Kemiripan 0.42 0.71 1.00 1.29 1.58 MSP2(10)-113-1 PTBC4-7-5 PTBC4-9-3 MSP2(10)-113-1 PTBC4-17-1 PTBC4-10-1 PTBC4-20-1 PTBC4-22-2 MSP2(10)-82-1 MSP2(10)-125-2 PTBC4-15-1

Gambar 7 Dendrogam 10 genotipe jagung pulut (waxy corn) hasil analisis klaster berdasarkan penampilan morfologi dengan metode UPGMA pada 7 karakter Nilai korelasi sangat lemah diperoleh karena membandingkan antara tingkat kemiripan dengan jarak. Kemiripan genetik menurut Nei (1987) dikutip Suskandari (2002) adalah merupakan kebalikan dari jarak genetik yang secara luas menunjukkan kemiripan sifat dari dua aksesi tanaman.

Menurut Beer et al. (1993) dikutip Suskandari (2002) rendahnya nilai korelasi menunjukkan bahwa hubungan antara dua peubah lemah dan tidak linier. Beberapa peneliti telah menguji keselarasan pengelompokan antara penanda morfologi dengan penanda molekuler dalam mengevaluasi aksesi plasma nutfah. Secara umum sebagian besar gagal memperoleh pengelompokan yang selaras. Sebagai contoh nilai korelasi yang rendah diperoleh antara pengelompokan berdasarkan penanda morfologi dengan penanda molekuler pada tanaman gandum yaitu 0.47, p < 0.01 (Autrique et al. 1996), tanaman Oat (Avena sterilis)–0.35, p≤ 0.005 (Beer et al. 1993), dan tanaman buncis (Phaseolus vulgaris L.) 0.386, p < 0.001 (Johnset al. 1997).

Tabel 8 Matrik rata-rata jarak taksonomi diantara genotipe jagung pulut berdasarkan penampilan morfologi (di bawah diagonal) dan matrik tingkat kemiripan genetik berdasarkan pola pita DNA (di atas diagonal).

Genotipe 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 PTBC4-7-5BB 0,57 0,85 0,38 0,42 0,42 0,09 0,75 0,22 0,61 PTBC4-9-3BB 1,24 0,09 0,85 0,85 0,42 0,38 0,25 0,74 0,90 PTBC4-17-1BB 1,58 1,39 0,85 0,38 0,14 0,61 0,75 0,22 0,66 PTBC4-10-1BB 1,66 1,22 0,41 0,61 0,38 0,90 0,00 0,98 0,14 PTBC4-15-1BB 1,40 1,61 1,10 1,35 0,38 0,61 0,50 0,22 0,42 PTBC4-20-1BB 1,25 1,06 0,90 0,74 1,48 0,61 0,25 0,22 0,66 PTBC4-22-2BB 2,09 1,59 1,02 0,80 1,54 1,12 0,00 0,71 0,14 MSP2(10)-82-1BB 2,30 1,79 1,05 1,08 1,65 1,71 1,56 0,10 0,00 MSP2(10)-113-1BB 1,59 1,34 1,21 1,24 1,74 1,52 1,98 1,28 0,67 MSP2(10)125-2BB 1,98 1,64 0,81 0,93 1,12 1,39 1,26 0,75 1,54 Keterangan: (1) PTBC4-7-5BB, (2) PTBC4-9-3BB, (3) PTBC4-17-1BB, (4) PTBC4-10-1BB, (5) PTBC4 -15-1BB, (6) PTBC4-20-1BB, (7) PTBC4-22-2BB, (8) 82-1BB, (9) MSP2(10)-113-1BB, dan (10) MSP2(10)125-2BB

Menurut Tatineniet al. (1996)dikutipSuskandari (2002) nilai korelasi yang tinggi diperoleh jika penanda morfologi yang digunakan merupakan karakter yang mempunyai daya waris yang tinggi dan stabil. Selain itu genom yang terwakili oleh masing-masing penanda dalam mengungkap polimorfisme diperoleh hasil yang sebagian besar sama. Namun demikian, walaupun morfologi yang diamati memiliki nilai heritabilitas yang tinggi dan stabil, apabila genom yang terungkap diperoleh polimorfisme yang berbeda, tidak akan diperoleh pengelompokan yang selaras. Selain itu menurut Ladizinsky (1992) studi taksonomi dilakukan berdasarkan pada morfologi, namun afinitas diantara taksa tidak selalu berkorelasi dengan kemiripan morfologi karena adanya suatu fenomena bahwa dua spesies yang secara genetis berbeda, dapat memiliki morfologi yang sama atau dua spesies yang memiliki morfologi yang sama dapat dimiliki oleh dua spesies yang secara genetis berbeda. Lebih lanjut Birchler et al. (2003) menyatakan bahwa yang menjadi tantangan dalam pengembangan model molekuler untuk heterosis adalah membuat korelasi yang benar antara karakter morfologi dan karakter genotipeik pada galur. Berdasarkan hasil pengujian goodness of fit diperoleh nilai korelasi antara matrik jarak morfologi dengan matrik tingkat kemiripan genetik sangat lemah maka pengambilan keputusan harus memperhatikan kedua karakter tersebut.

KESIMPULAN

1. Rata-rata tingkat polimorfisme dari 20 marka SSRs yang digunakan adalah 0,62 dan diperoleh total alel 64 dengan rata-rata 3,20 alel/lokus serta nilai koefisien korelasi kofenitik (r) 0,87 yang tergolong good fit (kelompok galur jagung pulut yang ditangani).

2. Pengelompokan galur berdasarkan marka SSRs memperoleh tiga klaster atau kelompok heterotik. Satu kelompok memiliki kode pedigree sama mengelompok tersendiri, galur lain dengan kode pedigree yang mirip terbagi menjadi dua kelompok.

3. Pengelompokan galur berdasarkan marka SSRs dan pengelompokan berdasarkan kemiripan morfologi memiliki nilai korelasi sangat lemah.

4. Galur yang dapat direkomendasikan untuk dipasangkan dengan galur lainnya adalah galur pada posisi klaster yang berbeda.

BAB. IV

Daya Gabung Karakter Hasil dan Komponen Hasil Galur-galur Jagung Pulut

(waxy corn) pada Kondisi Lingkungan Tanpa Cekaman dan Lingkungan

Tercekam Kekeringan ABSTRAK

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi potensi hibrida nilai daya gabung, nilai heterosis galur jagung pulut, toleran terhadap lingkungan tercekam kekeringan sebagai kandidat tetua pembetukan varietas hibrida. Materi genetik yang digunakan adalah satu set hibrida terdiri dari 100 hibrida hasil silang diallel di evaluasi pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan lingkungan tercekam kekeringan, menggunakan rancangan diallel metode 1 model 1 dari Griffing, diulang tiga kali, setiap genotipe ditanam dalam dua baris dengan panjang 5 m dan jarak tanam 0,75 m x 0,20 m. Percobaan pertama dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikeumeuh Bogor, mulai bulan Februari hingga Mei 2008 dan Percobaan kedua dilaksanakan di Kebun Percobaan Balitsereal Maros Sulawesi Selatan, dan Kebun Percobaan Muneng Jawa Timur, mulai bulan Juli hingga November 2008. Hasil percobaan menunjukkan bahwa terdapat beberapa genotipe memiliki daya gabung baik untuk karakter bobot biji pertanaman dan anthesis silking interval pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan, karakter bobot biji pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan menunjukkan perilaku daya gabung yang sama, sedangkan karakter anthesis silking interval pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan cekaman kekeringan menunjukkan perilaku daya gabung yang berbeda, genotipe yang toleran terhadap cekaman kekeringan di lokasi Muneng adalah persilangan P2/P9, P2/P10, P5/P9, P7/P9, P8/P2, P8/P4, P9/P1, P9/P5, P9/P6, dan P10/P5 sedangkan di lokasi Maros adalah persilangan P1/P4, P1/P9, P3/P4, P3/P8, P4/P6, P4/P10, P5/P1, P5/P4, P5/P9, P7/P6, P8/P4, P10/P5, dan P10/P6.

Kata kunci: jagung pulut, komponen hasil, daya gabung umum, daya gabung khusus,

Combining Ability Analysis of Yield Characters and Components of Waxy Corn Lines Under Normal and Stress Environment Conditions

ABSTRACT

The objectives of this research were to obtain the information of combining ability value, heterosis value of waxy corn lines, and tolerance to drought of several promising corn parental materials. The genetic materials included one set of hybrid consists of 100 diallel cross hybrids and evaluated at normal and drought conditions. Diallel design 1 model 1 method of Griffing was followed, with three replications. Each genotype was planted in two rows of 5 meters long and 0.75 m x 0.20 m planting distance The experiment was conducted at the ICERI experimental station Maros South Sulawesi, and Muneng experimental station East Java, from July until November 2008. The results showed that there were several genotypes possess good combining ability for grain weight character and interval silking anthesis on normal and drought stress. The grain weight character on normal and drought stress indicated similar combining ability behavior, while silking anthesis character on both conditions showed different combining ability behavior. The drought tolerant genotypes in Muneng were cross of P2/P9, P2/P10, P5/P9, P7/P9, P8/P2, P8/P4, P9/P1, P9/P5, P9/P6, and P10/P5, while the ones in Maros were cross of P1/P4, P1/P9, P3/P4, P3/P8, P4/P6, P4/P10, P5/P1, P5/P4, P5/P9, P7/P6, P8/P4, P10/P5, and P10/P6.

Keyword: waxy corn, yield components, general combining ability, spesific combining

PENDAHULUAN

Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu galur atau tetua, yang bila disilangkan dengan galur lain akan menghasilkan hibrida dengan penampilan superior. Konsep daya gabung sangat penting dalam pemuliaan, berkaitan dengan prosedur pengujian galur-galur berdasarkan penampilan kombinasi keturunannya. Nilai masing-masing galur terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan keturunan unggul bila dikombinasikan dengan galur-galur lain (Allard 1960).

Daya gabung ada dua macam yakni daya gabung umum (general combining ability) dan daya gabung khusus (specific combining ability). Daya gabung umum (DGU) adalah nilai rata-rata dari galur-galur dalam seluruh kombinasi persilangan bila disilangkan dengan galur-galur lain. Daya gabung umum yang baik adalah nilai rata-rata kombinasi persilangan mendekati nilai rata-rata-rata-rata keseluruhan persilangan. Daya gabung khusus (DGK) adalah penampilan kombinasi pasangan persilangan tertentu. Bila nilai pasangan persilangan tertentu lebih baik daripada nilai rata-rata keseluruhan persilangan yang terlibat, dikatakan daya gabung khususnya baik (Poehlman dan Sleeper 1995).

Daya gabung umum merupakan simpangan dari nilai rata-rata seluruh persilangan, sehingga nilai daya gabung umum dapat positif atau negatif. Dengan demikian jumlahnya sama dengan nol. Jadi nilai daya gabung umum merupakan angka yang relatif terhadap nilai daya gabung umum yang lain. DGU yang besar menunjukkan tetua/galur yang bersangkutan mempunyai kemampuan bergabung dengan baik, sedangkan nilai DGU yang rendah menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai kemampuan bergabung yang lebih rendah daripada tetua yang lain. Nilai positif atau negatif dari DGU tergantung pada karakter yang diamati dan bagaimana cara menilainya. Daya gabung yang diperoleh dari suatu persilangan antar kedua tetua, dapat memberikan informasi tentang kombinasi-kombinasi yang dapat memberikan turunan yang berpotensi hasil tinggi. Hasil tinggi dapat diperoleh apabila kombinasi tersebut memiliki nilai heterosis dan daya gabung khusus yang besar. Galur yang mempunyai efek daya gabung umum yang tinggi tidak selalu memberikan efek daya gabung khusus yang tinggi pula (Silitongaet al. 1993).

Daya gabung umum dan daya gabung khusus yang bermakna untuk karakter yang dievaluasi berindikasi bahwa keragaman karakter disebabkan oleh efek gen aditif dan

non aditif. Nilai DGU dan DGK dari semua karakter dari suatu galur dapat diketahui, diantaranya karakter hasil, tinggi tanaman, bobot biji, ketahanan terhadap hama penyakit dan lain-lain. Menurut Setiyono dan Subandi (1996) hasil pipilan suatu hibrida F1 akan tinggi apabila kedua tetua komponen pembentuk hibrida tersebut memiliki efek DGU dan DGK yang tinggi. Untuk umur masak, efek DGU dan DGK yang negatif sangat bermanfaat untuk merakit varietas yang berumur genjah.

Beberapa varietas jagung bersaribebas yang telah dirilis oleh pemulia tanaman Badan Litbang Pertanian. Varietas Bisma yang dirilis tahun 1995 dan varietas Lamuru 2000 telah populer karena keunggulannya dalam beberapa pengujian di lahan kering (Subandi et al. 1998). Perakitan suatu varietas toleran terhadap lingkungan spesifik dengan menyeleksi materi pemuliaan pada lingkungan target sebagai suatu populasi yang akan diperbaiki sifat toleransinya terhadap lingkungan cekaman kekeringan, perlu dilakukan untuk mengetahui kemajuan genetik yang diperoleh akibat seleksi pada lingkungan target.

Pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperbaiki karakter tanaman sesuai dengan kebutuhan manusia dengan memanfaatkan potensi genetik dan interaksi genotipe x lingkungan. Lingkungan seleksi menentukan keberhasilan pemuliaan untuk mendapatkan varietas yang sesuai dengan lingkungan yang menjadi target. Seleksi pada lingkungan yang mirip dengan lingkungan target akan menghasilkan kemajuan seleksi yang lebih besar daripada seleksi tak langsung atau seleksi pada lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan target (Banziger et al. 1997). Lebih lanjut Banzigeret al. (1997) menyatakan masih terdapat perbedaan pendapat pada lingkungan mana sebaiknya seleksi dilakukan. Oleh karena itu pada lingkungan cekaman kekeringan yang mana seleksi selayaknya dilakukan agar mendapatkan varietas toleran lingkungan tercekam kekeringan.

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi nilai daya gabung dan nilai heterosis galur-galur jagung pulut (waxy corn) yang memiliki kandungan amilopektin tinggi, toleran terhadap lingkungan tercekam kekeringan sebagai kandidat tetua pembetukan hibrida.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan. Percobaan pertama dilaksanakan di KP. Cikeumeuh, Balai Besar Penelitian Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik (BB-Biogen) Bogor dari Februari hingga Mei 2008. Percobaan kedua dilaksanakan di KP. Muneng Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang dan di KP. Maros Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) Maros dari bulan Juli hingga November 2008.

Dokumen terkait