• Tidak ada hasil yang ditemukan

Areal pengembangan jagung di Indonesia memiliki variasi lingkungan makro geofisik sangat besar yang memberikan lingkungan tumbuh bagi tanaman yang sangat besar pula variasinya. Kondisi tersebut memberikan petunjuk adanya variasi ciri-ciri dan potensi-potensi khusus dari suatu wilayah yang perlu dimanfaatkan secara baik. Adanya variasi lingkungan tumbuh makro tersebut tidak akan menjamin suatu genotip/varietas tanaman akan tumbuh baik dan memberikan hasil panen tinggi di semua wilayah dalam kisaran spatial yang luas, atau sebaliknya. Hal tersebut terkait dengan kemungkinan ada atau tidak adanya interaksi antara genotip dengan kisaran variasi lingkungan spatial yang luas.

Peran jagung akan semakin strategis dalam pemenuhan karbohidrat dan protein baik sebagai bahan pangan, pakan maupun industri. Jagung sebagai bahan pangan umumnya berwarna biji putih kecuali di Jawa Timur dan NTT, dimana jagung biji kuning juga digunakan sebagai bahan pangan. Salah satu strategi peningkatan produksi dan pemenuhan permintaan akan jagung dilakukan dengan perakitan varietas hibrida potensi hasil tinggi. Program perakitan varietas hibrida yang berpotensi hasil tinggi sangat membutuhkan pasangan populasi yang memiliki kelompok heterotik yang berbeda. Oleh karena itu, dalam pembentukan varietas hibrida, pemilihan tetua perlu perhatian khusus karena untuk mendapatkan peluang munculnya heterosis pada generasi turunanya (F1) diperlukan tetua penyusun varietas hibrida yang memiliki jarak genetik jauh. Pemanfaatan marka genetik untuk memprediksi penampilan hibrida dan menentukan perbedaan diantara pasangan-pasangan inbrida telah disarankan sebagai alat bantu solusi pemecahan masalah, yang memungkinkan dapat membantu memprediksikan penampilan hibrida silang tunggal.

Marka mikrosatelit atau biasa juga disebut markaSimple Sequence Repeats

(SSRs) dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menverifikasi suatu varietas tanaman (Vosmanet al. 2001; Nunomeet al. 2003). Selain itu, digunakan dalam mencari metode cepat untuk mengetahui kualitas dan kemurnian varietas yang bersegregasi.

-126-Analisis keragaman genetik dan pengelompokan berdasarkan kemiripan genetik dalam penelitian ini dapat membantu memprediksi keragaman genetik galur jagung pulut (waxy corn) sebagai kandidat tetua hibrida yang kemungkinan menghasilkan heterosis tinggi. Marka SSRs yang digunakan mampu mengelompokkan genotipe berdasarkan kemiripannya, dan dendrogram 39 galur jagung pulut menggunakan 20 marka SSRs, dikelompokkan dalam tiga klaster dan dapat dibedakan. Klaster yang sama dicirikan oleh galur dengan kode pedigree

hampir sama. Klaster I merupakan kelompok kedua terbesar, terdiri dari 16 galur dan didominasi oleh galur dengan inisial pedigree MSP2. Klaster II merupakan kelompok terbesar, terdiri dari 18 galur dan didominasi oleh galur dengan inisial

pedigreePTBC4. Klaster III merupakan kelompok terkecil, terdiri dari lima galur dan didominasi oleh galur dengan inisial pedigree PTBC4, diduga kelima galur tersebut memisah dengan klaster II karena dibentuk dari populasi backcross, dimana pada saat dilakukan persilangan memiliki komposisi gen yang berbeda dengan lainnya. Nilai matriks jarak genetik cukup tinggi, mengindikasikan bahwa materi genetik berasal dari materi populasi dasar dengan variasi genetik cukup luas dan memberikan peluang besar untuk mendapatkan pasangan tetua hibrida superior.

Keakuratan pengelompokan cukup tinggi, ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi kofenetik (r) sebesar 0,88 yang tergolong good fit untuk kelompok galur jagung pulut yang ditangani. Nilai tersebut menggambarkan bahwa tingkat akurasi pengelompokan secara genetik dengan jumlah primer yang digunakan sangat akurat atau semua primer polimorfis. Meskipun untuk membedakan hibrida satu dengan yang lain nilai tersebut sudah cukup memadai, tetapi untuk mendapatkan kelompok heterotik yang stabil maka nilai korelasi harus >0,90. Struss dan Plieske (1998) mengemukakan bahwa tingginya tingkat polimorfisme juga dipengaruhi oleh tingkat polimorfisme marka SSRs yang digunakan.

Analisis terhadap 10 genotip terseleksi memiliki jarak genetik jauh. Dendrogram berdasarkan pola pita SSRs dan morfologi menunjukkan genotipe dengan kodepedigree PTBC4dan MSP2 berdasarkan morfologi berada pada satu kelompok, sedang berdasarkan pola pita SSRs mengelompok masing-masing pada

kelompok yang berbeda. Fenomena perbedaan kelompok beberapa genotip antara dendrogram berdasarkan morfologi dan pola pita DNA tersebut kemungkinan terjadi karena persentase genom yang terwakili masih sedikit atau masing-masing penanda mengungkap daerah genom yang berbeda.

Korelasi antara matrik kemiripan berdasarkan pola pita DNA dengan matrik kemiripan berdasarkan morfologi data kualitatif biner adalah 0,071. Berdasarkan kriteria goodness of fit maka nilai korelasi tersebut tergolong sangat lemah. Dalam pengambilan keputusan harus didasarkan pada kedua data morfologi dan pola pita DNA karena masing-masing mengungkapkan posisi karakter pada kromosom yang berbeda.

Pengembangan varietas unggul tanaman ditentukan oleh banyak faktor dan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu program produksi pertanian. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah faktor lingkungan makro tempat tumbuh varietas bersangkutan dan varietas unggul tanaman yang bagaimana yang akan dikembangkan. Pengambilan kebijakan dalam pengembangan varietas unggul tanaman menentukan keberhasilan pembangunan pertanian secara sinambung yang mampu memanfaatkan potensi wilayah tumbuh tanaman setempat.

Penampilan suatu tanaman pada suatu lingkungan tumbuhnya merupakan dampak kerjasama antara faktor genetik dengan lingkungannya. Penampilan suatu genotip pada lingkungan yang berbeda dapat berbeda pula, sehingga sampai seberapa jauh interaksi antara genotip × lingkungannya (G×E) merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diketahui dalam program pemuliaan ataupun dalam rangka pengembangannya. Interaksi (G×E) banyak dikaitkan dengan kemampuan adaptasi yang dimiliki oleh suatu individu atau populasi tanaman pada lingkungan tertentu. Untuk tanaman pertanian, analisis untuk menduga adanya interaksi (G×E) banyak dilakukan pada tanaman semusim (annual) yang ditanam pada beberapa lokasi sebagai variasi lingkungan yang umumnya bersifatspatial.

Lingkungan seleksi menentukan keberhasilan pemulia untuk mendapatkan varietas yang sesuai dengan lingkungan yang menjadi target. Seleksi sering dilakukan pada kondisi tanpa cekaman (lingkungan optimum) karena banyak pendapat yang menyatakan pada kondisi optimum umumnya memiliki heritabilitas bobot biji yang lebih tinggi daripada heritabilitas di lingkungan

-128-cekaman (Ceccarelli 1994). Lebih lanjut Banziger et al. (1997) menyatakan masih terdapat perbedaan pendapat pada lingkungan mana sebaiknya seleksi dilakukan. Sifat yang muncul dari suatu tanaman (fenotipe) merupakan hasil dari interaksi genetik x lingkungan (Halloranet al.1979).

Pengamatan bobot biji per tanaman menunjukkan interaksi antara genotipe x lokasi sangat nyata. Hal ini berarti bahwa diantara hibrida-hibrida yang diuji pada lokasi tersebut terdapat variasi nyata untuk karakter yang diamati. Terdapat interaksi antara genotipe x lingkungan mengakibatkan adanya perbedaan penampilan karakter bobot biji per tanaman baik pada kondisi lingkungan tanpa cekaman maupun kondisi lingkungan cekaman kekeringan. Interaksi genotipe x lingkungan dapat digunakan untuk mengembangkan varietas unggul baru yang spesifik lingkungan atau varietas yang beradaptasi luas. Jika interaksi genotipe x lingkungan tinggi, maka diperlukan pengembangan suatu varietas yang spesifik lokasi, sebaliknya bila interaksi genotipe x lingkungan kecil, maka dapat dikembangkan varietas beradaptasi luas. Berdasarkan data yang diperoleh nilai interaksi sangat nyata mengindikasikan terdapat genotipe yang spesifik lokasi.

Analisis gabungan untuk karakter Anthesis Silking Interval (ASI) memperlihatkan pengaruh lokasi dan interaksi antara genotipe x lokasi berpengaruh sangat nyata tetapi interaksi antara genotipe x lingkungan berpengaruh tidak nyata. Terdapat dua tipe lingkungan tanaman yakni lingkungan makro dan lingkungan mikro. Lingkungan mikro adalah keragaman lingkungan di sekitar individu tanaman, yang tidak dikontrol dan biasanya dimasukkan ke dalam galat percobaan. Sementara itu, lingkungan makro mengacu pada agroklimat di sekitar tanaman (seperti panjang hari, suhu, kelembaban) termasuk juga kesuburan, irigasi dan jarak tanaman (Roy 2000).

Analisis persilangan diallel merupakan salah satu rancangan persilangan yang banyak digunakan dalam penelitian pemuliaan tanaman, terutama dalam hal pendugaan daya gabung umum dan daya gabung khusus dari suatu program persilangan. Tujuan dari persilangan diallel adalah untuk mengevaluasi dan menyeleksi tetua yang menghasilkan turunan terbaik. Genotipe tersebut bisa berupa individu, klon atau galur homozigot.

Menurut Jhosi (2004) analisis daya gabung merupakan suatu alat biometrika yang tepat digunakan dalam program pemuliaan. DGU yang tinggi menunjukkan adanya efek gen aditif, atau efek interaksi aditif × aditif. Dalam hal ini nilai DGU yang baik dapat dimanfaatkan pemulia dalam pembentukan hibrida dengan daya hasil yang diinginkan.

Hasil analisis diallel sepuluh galur jagung pulut untuk karakter ketahanan terhadap cekaman kekeringan menunjukkan daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) bermakna pada  1%. Pada karakter bobot biji per tanaman nilai kuadrat tengah DGU yang lebih besar dibandingkan DGK menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh gen aditif dalam menentukan ekspresi toleransi terhadap cekaman kekeringan. Untuk karakter ASI nilai kuadrat tengah DGU lebih besar dibandingkan DGK pada kondisi lingkungan tanpa cekaman sedangkan pada lingkungan cekaman kekeringan hal sebaliknya terjadi. Fenomena ini mengindikasikan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh gen yang berbeda, sedangkan efek resiprokal berbeda tidak nyata berarti tidak adanya pengaruh tetua betina (maternal effect). Kenyataan tersebut memberikan indikasi bahwa pada tanaman jagung efek tetua betina tidak berpengaruh terhadap pewarisan karakter yang diamati baik pada kondisi lingkungan tanpa cekaman maupun lingkungan cekaman kekeringan dengan kata lain karakter yang diamati dikendalikan oleh gen di dalam inti.

Galur-galur bernilai DGU tinggi diharapkan memiliki kemampuan berdaya gabung umum baik untuk menghasilkan genotip toleran lingkungan cekaman kekeringan. Berdasarkan nilai duga efek DGU, terdapat beberapa genotip yang memiliki nilai DGU cukup tinggi pada kondisi lingkungan tanpa cekaman tetapi pada lingkungan cekaman kekeringan menjadi menurun. Begitu juga hal sebaliknya terjadi. Diduga terdapat perbedaan gen yang aktif pada saat kondisi lingkungan tanpa cekaman dengan kondisi lingkungan cekaman kekeringan sehingga terdapat genotip yang hanya adaptif pada kondisi lingkungan tanpa cekaman tetapi pada kondisi lingkungan tercekam kekeringan menjadi tidak adaptif diduga terdapat genotipe yang merupakan genotipe spesifik lokasi.

Genotipe PTBC4-17-1-B (P3) dengan nilai jarak genetik 0,6 memiliki daya gabung umum yang baik pada karakter bobot biji per tanaman dan ASI pada

-130-kondisi lingkungan tanpa cekaman dan lingkungan cekaman kekeringan. Beberapa persilangan diantaranya P1/P8, P2/P4, P3/P8, P4/P10, dan P5/P8 dengan nilai jarak genetik berturut-turut 0.7, 0.6, 0.8, 0.7, dan 0,8 memiliki nilai efek DGK tinggi untuk karakter bobot biji per tanaman pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan kondisi lingkungan cekaman kekeringan di dua lokasi pengujian. Persilangan P2/P8, P2/P10, P3/P7, P4/P6, P4/P7, P5/P10, dan P8/P9 dengan nilai jarak genetik berturut-turut 0.7, 0.8, 0.6, 0.6, 0.7, 0.8, dan 0.5 memiliki nilai efek DGK yang baik untuk karakter ASI pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan lingkungan cekaman kekeringan di dua lokasi pengujian.

Jika daya gabung khususnya yang akan diketahui maka galur tersebut disilangkan dengan tetua penguji yang komposisi genetiknya homosigot (galur), jika daya gabung umumnya yang akan diketahui maka disilangkan dengan tetua penguji yang komposisi genetiknya heterosigot. Menurut Hallauer dan Miranda (1985) pengujian daya gabung khusus dapat dilakukan dengan cara menyilangkan galur murni dengan populasi jagung yang mempunyai keragaman genetik yang sempit atau dengan galur murni lainnya.

Efek DGK untuk karakter ASI di lokasi Muneng dan Maros terdapat kecenderungan mengalami peningkatan interval waktu keluarnya bunga jantan dan betina pada kondisi lingkungan cekaman kekeringan, namun terdapat pula beberapa genotipe yang memiliki kecenderungan mengalami penurunan dan bahkan nol, hal tersebut menunjukkan bahwa penampilan suatu gen akan memberikan respon yang berbeda pada saat tanaman mengalami suatu gangguan atau kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan dalam rangka mempertahankan diri sebagai suatu mekanisme toleransi.

Kecenderungan hubungan antara nilai daya gabung khusus, heterosis, dan jarak genetik berdasarkan DNA memperlihatkan pengaruh yang signifikan. Genotipe-genotipe yang memiliki nilai jarak genetik jauh menunjukkan nilai efek DGK dan heterosis yang cukup tinggi baik pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan kondisi lingkungan cekaman kekeringan.

Nilai efek daya gabung khusus bernilai positif terhadap ASI menunjukkan bahwa hibrida yang terbentuk akan memiliki umur berbunga betina dan jantan yang relatif lebih dalam dibandingkan dengan genotip lainnya. Kekeringan dapat

mempengaruhi kecepatan fotosintesis, dimana dapat menurunkan persediaan aliran asimilat. Aliran asimilat untuk pertumbuhan organ-organ menurun, sejak perkembangan rambut (silk) selama seminggu sebagai sink. Pertumbuhan rambut (silk) akan tertunda, ASI meningkat, sehingga mempengaruhi polinasi. Struktur organ reproduktif betina lebih peka dari pada malai, malai lebih awal rusak apabila suhu tanaman mencapai 38oC. Aborsi tongkol dan aborsi biji meningkat sehingga tongkol tanaman menjadi hampa. Tanaman yang hampa berakibat terjadi penurunan bobot biji secara nyata (Zaidiet al. 2002). Cekaman kekeringan pada saat pembungaan juga dapat menurunkan kapasitas pengembangan biji untuk menggunakan asimilat yang tersedia, sebab fungsi enzym acid invertase rusak (Westgate dan Boyer 1986).

Penurunan hasil dapat disebabkan karena adanya cekaman kekeringan pada fase fegetatif sampai fase generatif, dimana tanaman jagung yang mengalami cekaman kekeringan sebelum mekar bunga jantan akan menyebabkan tongkol menjadi tidak berisi tetapi jika tanaman mengalami cekaman kekeringan saat bunga jantan telah mekar akan menyebabkan biji yang terbentuk akan menjadi kecil, hal ini sejalan dengan penurunan bobot biji tanaman jagung sebagai akibat menurunnya laju fotosintesis. Poehlman dan Sleeper (1990) mengemukakan bahwa kekeringan yang terjadi pada fase generatif akan memperlambat waktu panen dan kualitas biji menjadi rendah.

Passioura (1994) menyatakan bahwa pengisian biji sebagian bergantung hasil fotosintesis yang berlangsung saat itu, dan sebagian lagi dari transfer asimilat yang diakumulasi pada pembungaan. Diperkirakan laju fotosintesis setelah pembungaan tergantung pada efisiensi tanaman dalam menggunakan air yang terbatas selama pengisisan biji. Tanaman yang sangat sensitif terhadap cekaman kekeringan biasanya memberikan respons dengan penggulungan daun, karena stomata segera menutup sebagai tanggapan tanaman untuk mereduksi beban radiasi yang diterima dengan mereduksi penggunaan air, akibat peningkatan temperatur pada kanopi daun.

Variasi penampilan sejumlah kombinasi persilangan yang ditanam pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan kondisi lingkungan cekaman kekeringan memiliki variasi yang cukup besar, hal tersebut memperlihatkan terdapat interaksi

-132-antara genotipe dengan lingkungan dan menunjukkan bentuk interaksinya adalah kualitatif. Dimana penampilan relatif kombinasi persilangan berbeda dan ada perubahan ranking antara genotipe yang memiliki potensi hasil tinggi dengan genotipe yang memiliki toleransi terhadap cekaman kekeringan. Fenomena tersebut memberikan gambaran bahwa metode seleksi yang dapat diterapkan pada populasi yang demikian adalah menggunakan metode seleksi direct breeding

(seleksi langsung). Seleksi potensi hasil dan uji daya hasil dilakukan pada tingkat cekaman kekeringan yang berbeda dapat diperoleh genotipe dengan tingkat toleransi berbeda.

Hasil evaluasi yang dilakukan beberapa genotipe yang toleran terhadap cekaman kekeringan di lokasi Muneng adalah persilangan P2/P9, P2/P10, P5/P9, P7/P9, P8/P2, P8/P4, P9/P1, P9/P5, P9/P6, dan P10/P5 sedangkan di lokasi Maros adalah persilangan P1/P4, P1/P9, P3/P4, P3/P8, P4/P6, P4/P10, P5/P1, P5/P4, P5/P9, P7/P6, P8/P4, P10/P5, dan P10/P6.

Menurut Singh dan Chaudhary (1979) salah satu metode yang dapat dipergunakan dalam menduga adaptabilitas dan stabilitas fenotipik seperti hasil adalah dengan cara melakukan pengujian berulang pada berbagai lingkungan tumbuh yang bervariasi.

Jagung pulut merupakan jagung lokal yang mempunyai potensi hasil rendah karena ukuran tongkol kecil dan sangat peka penyakit bulai (Peronosclerospora sp), suatu cendawan pathogen utama dalam budidaya jagung. Strategi yang digunakan dalam memperbaiki potensi hasil jagung pulut ialah dengan mentransfer gen wx ke dalam jagung bukan pulut (jagung biasa). Salah satu varietas unggul jagung bukan pulut yang mempunyai potensi hasil tinggi, toleran penyakit bulai dan toleran terhadap cekaman kekeringan adalah varietas Anoman. Pemanfaatan prosedur pemuliaan silang balik karakter pada tetua pengulang (Anoman) dapat dikembalikan dengan penambahan satu karakter dari tetua donor (pulut lokal) sehingga diperoleh varietas yang mengandung genwx.

Metode persilangan secara konvensional untuk mengintrogresikan gen homosigot resesif opaque-2 ke galur-galur jagung pulut (waxy corn) sulit dilakukan karena ekspresi genopaque-2dalam kondisi heterosigot sulit dibedakan dengan ekspresi gen dalam kondisi homosigot dominan. Oleh karena itu untuk

mendetekasi keberadaan gen resesif opaque-2 pada tiap generasi persilangan, diperlukan uji keturunan.

Berdasarkan hal tersebut, pada kegiatan percobaan ketiga dilakukan metode pendekatan pemanfaatan marka SSRs sebagai alat bantu seleksi. Pemanfaatan marka SSRs tidak berarti menghilangkan kegiatan pemuliaan dengan metode persilangan secara konvensional, tetapi hanya membantu mempercepat kegiatan seleksi. Marka yang digunakan sebagai alat bantu seleksi adalah marka SSR spesifikphi057untuk progeni CML141 x PTBC4-7-5-BB dan CML142 x PTBC4 -10-1-BB.

Pemilihan marka tersebut didasarkan pada hasil percobaan pendahuluan yang dilakukan sebelum kegiatan percobaan disertasi ini dilakukan. Dari hasil percobaan pendahuluan tersebut diperoleh informasi bahwa marka SSRs spesifik

phi057 bersifat polimorfis untuk galur inbrida CML141 dan CML142. Hasil percobaan ketiga menunjukkan bahwa marka SSRs spesifik phi057 secara berturut-turut terbukti efektif dan efisien digunakan sebagai alat bantu seleksi galur-galur yang memiliki gen homosigot resesifopaque-2 (oo). Jumlah genotipe yang diperoleh dari kegiatan seleksi dengan bantuan marka SSRs phi057, secara berturut-turut diperoleh masing-masing 57 galur MrP-7-5BBo2dan galur MrP-10-1BBo2.

Evaluasi potensi bobot biji per tanaman galur-galur yang memiliki gen homosigot resesif opaque-2 (oo) hasil persilangan puncak menunjukkan hasil analisis sidik ragam interaksi genotipe x tester parent berpengaruh nyata. Hal tersebut memperlihatkan bahwa terdapat genotipe yang sesuai untuk tester CML154 tetapi tidak cocok untuk tester CML156 demikian sebaliknya.

Berdasarkan hasil uji keturunan yang dilakukan, diperoleh genotipe uji yang memiliki nilai daya gabung khusus cukup baik terhadap salah satu tester baik dengan CML154 maupun dengan CML156 untuk karakter bobot biji per tanaman. Penampilan karakter bobot biji pertanaman dari 57 genotipe hasil persilangan puncak dengan dua tester sangat beragam, pengaruh faktor lingkungan lebih dominan dari faktor genetik pada persilangan dengan CML154 dan pengaruh faktor genetik lebih dominan dari faktor lingkungan pada persilangan dengan CML156. Diantara galur yang dievaluasi diperoleh galur inbrida MrP-7-20BBo2

-134-memiliki daya gabung khusus dengan CML154 berpotensi sebagai kandidat tetua dalam program mendapatkan hibrida potensi hasil tinggi. Sedangkan galur inbrida MrP-10-1-13BBo2 memiliki daya gabung khusus dengan CML154 dan CML156 berpotensi sebagai kandidat tetua dalam program mendapatkan hibrida potensi hasil tinggi.

Tujuan akhir yang ingin dicapai pada percobaan ini adalah untuk mendapatkan hibrida yang memiliki kandungan amilopektin, lisin dan triptofan tinggi, toleran terhadap lingkungan cekaman kekeringan dan berdaya hasil tinggi. Dengan berdasar pada tujuan akhir percobaan tersebut dapat direkomendasikan genotipe PTBC4-17-1-B (P3) memiliki daya gabung umum yang baik pada karakter bobot biji per tanaman dan anthesis silking interval pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan lingkungan cekaman kekeringan. Persilangan P1/P8, P2/P4, P3/P8, P4/P10, dan P5/P8 memiliki nilai efek DGK tinggi untuk karakter bobot biji per tanaman pada kondisi lingkungan tanpa cekaman dan kondisi lingkungan cekaman kekeringan di dua lokasi pengujian.

Dokumen terkait