• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Perkecambahan

PENGARUH PENAMBAHAN Glomus aggregatum PADA ENKAPSULASI BENIH SENGON ( Paraserianthes falcataria )

3 HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Perkecambahan

Daya perkecambahan adalah jumlah kecambah yang dihasilkan di dalam kurun waktu tertentu sedangkan laju perkecambahan adalah jumlah hari yang dibutuhkan untuk mencapai persen perkecambahan [9]. Benih yang dienkapsulasi tidak memerlukan proses pelunakan kulit biji (stratifikasi) terlebih dahulu karena akan mengalami imbibisi sehingga merusak dinding kapsul dan akan langsung berkecambah. Di samping itu proses perkecambahan tidak dapat dilakukan di dalam growth chamber karena benih tidak akan berkecambah meskipun kapsulnya telah pecah. Gejala ini menunjukkan bahwa benih yang telah dienkapsulasi tidak dapat dianggap sebagai suatu benih utuh sehingga memerlukan penanganan yang berbeda dari benih yang tidak dienkapsulasi [4].

Daya perkecambahan benih sengon tertinggi (39%) diperoleh dari benih sengon yang dienkapsulasi menggunakan bahan yang mengandung 10% G. aggregatum, sedangkan daya perkecambahan tanpa G. aggregatum adalah 32%. Daya perkecambahan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan benih mangium yang dienkapsulasi yaitu 86.7% [10]. Daya perkecambahan benih sengon yang dienkapsulasi menggunakan bahan yang mengandung 15% G. aggregatum lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, sehingga dengan demikian kepadatan G. aggregatum yang optimal untuk enkapsulasi benih sengon adalah 10%. Penampilan benih sengon yang dienkapsulasi diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1 A. Benih sengon yang dienkapsulasi, B. Kecambah sengon muncul dari kapsulnya, C. Perkecambahan pada baki plasik dan D. Benih setelah dipindah ke media pembesaran

Prosiding Seminar Nasional Sains IV; Bogor, 12 November 2011

86

Kurva perkecambahan benih sengon yang dienkapsulasi dengan bahan yang mengandung spora G. aggregatum dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Pola perkecambahan benih sengon (P. falcataria) yang dienkapsulasi menggunakan bahan yang menandung spora G. aggregatum selama 21 hari pada media pasir steril

Kurva perkecambahan tersebut menunjukkan bahwa benih sengon berenkapsulasi mulai berkecambah (kecambah awal) pada hari ketiga pada semua perlakuan kemudian meningkat hingga mencapai daya perkecambahan tertinggi yaitu hari-9 pada kontrol, hari-14 pada perlakuan 5%, hari-15 pada 10% dan hari-14 pada 15% G. aggregatum. Nilai yang penting pada kurva perkecambahan adalah titik dimana laju perkecambahan mulai melambat dan persentase akhir perkecambahan karena dua faktor tersebut dapat menentukan fase cepat dan fase lambat dari suatu proses perkecambahan [9].

Penelitian yang menggunakan benih sengon yang dienkapsulasi tanpa FMA menghasilkan daya perkecambahan 24,7% [4], sedangkan pada penelitian ini adalah 32%. Hal tersebut menunjukkan bahwa teknik enkapsulasi juga dapat dikembangkan lebih jauh untuk penyimpanan benih sengon.

Tinggi tanaman

Berbedadengandaya perkecambahan, tinggi tanaman terbaik (5,4 cm) diperoleh dari

benih sengon yang dienkapsulasi menggunakan bahan yang mengandung 15% G. aggregatum dan berbeda nyata (taraf 5%) dengan perlakuan lainnya.

Prosiding Seminar Nasional Sains IV; Bogor, 12 November 2011

87

Tabel 1 Pertumbuhan benih sengon yang dienkapsulasi dengan G. aggregatum selama 30 hari pada polibag pembesaran

Kepadatan G. aggregatum

(%)

Tinggi tanaman

(cm) Jumlah daun majemuk Jumlah akar 0 4.5 b 5.8 a 17.8 a 5 4.5 b 5.9 a 10.7 a 10 4.7 b 6.0 a 10.5 a 15 5.4 a 5.9 a 9.9 a Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf berbeda dalam suatu kolom

menunjukkan perbedaan nyata (5%) menurut DMRT

Jumlah daun majemuk

Meskipun jumlah nilai rataan daun terbanyak (6,0) diperoleh dari perlakuan 10% G. aggregatum tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Gambar 3 memperlihatkan penampilan pertumbuhan daun sengon dari benih yang dienkapsulasi menggunakan G. aggregatum selama 30 hari pada polibag pembesaran

Gambar 3 Pertumbuhan daun sengon yang dienkapsulasi dengan G. aggregatum selama 30 hari pada polibag pembesaran

Jumlah akar

Penambahan G. aggregatum pada bahan enkapsulasi tampaknya menghambat pembentukan akar karena jumlah akar terbanyak (17,8) diperoleh dari benih sengon yang dienkapsulasi dengan bahan tanpa G. aggregatum (kontrol) meskipun tidak nyata secara statistik. Pada akar telah terlihat adanya bintil yang menandakan bahwa G. aggregatum telah menginfeksi akar sengon (Gambar 4).

Prosiding Seminar Nasional Sains IV; Bogor, 12 November 2011

88

Gambar 4 Bintil pada akar tanaman sengon yang dienkapsulasi menggunakan 15% G. aggregatum

4 KESIMPULAN DAN SARAN

Penambahan 10% G. aggregatum pada bahan enkapsulasi benih sengon dapat meningkatkan daya perkecambahan, sedangkan penambahan 15% G. aggregatum dapat meningkatkan tinggi tanaman tetapi tidak dapat meningkatkan jumlah daun majemuk dan akar secara nyata., Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan jenis dan kepadatan FMA yang lain untuk memperoleh pertumbuhan yang optimal. Teknik enkapsulasi selain digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan viabilitas juga dapat digunakan untuk penyimpanan benih sengon. Benih berenkapsulasi lebih praktis untuk diaplikasikan di lapangan karena kapsulnya yang bersumber dari pupuk organik maupun pupuk bio dapat berfungsi dan memfasilitasi tersedianya hara untuk pertumbuhan tanaman.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini didanai melalui program insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP Ristek-Dikti ) tahun 2011. Terima kasih disampaikan pula kepada Yani Cahyani, SP yang telah membantu pelaksanaan penelitian di rumah kaca.

DAFTAR PUSTAKA

[1] N. Gunadi dan Subhan, 2007. Respon tanaman tomat terhadap penggunaan jamur mikoriza di lahan marginal. J. Hort. (2007) 17(2): 138-149.

Prosiding Seminar Nasional Sains IV; Bogor, 12 November 2011

89

[2] S.A. Siradz dan S. Kabirun, 2007. Pengembangan lahan marginal pesisir pantai dengan bioteknologi masukan rendah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan (2007) 7(2): 83-92. [3] N.W. Yuwono, 2009. Membangun kesuburan tanah di lahan marginal. Jurnal Ilmu

Tanah dan Lingkungan (2009) 9(2): 137-141.

[4] D. Priadi, 2010. Aplikasi teknik enkapsulasi pada benih sengon (Paraserianthes falcataria). Teknologi Indonesia (2010) 33(2): 92-99.

[5] T. Mala, S. Chotchuangmaneerat, W. Phuengsaeng and J. Phumphet. 2010. Efficiency of Glomus aggregatum, Azotobacter, Azospirillum and Chemical Fertilizer on Growth and Yield of Single Cross Hybrid 4452 Maize. Kasetsart J. (Nat. Sci.) (2010) 44 : 789

– 799.

[6] N. Masripatin, A. Rimbawanto, A. YPBC Widyatmoko, D. Purwito, M. Susanto, N. Khomsah, Yuliah, T. Setiadi and L. Hakim. (2003). A Country Report on the Status of Forest Genetic Resources Conservation and Management in Indonesia. Yogyakarta: Center for Forest Biotechnology and Tree Improvement Research and Development 2003.

[7] F.D. Husna, Tuheteru dan Mahfudz. 2007. Aplikasi mikoriza untuk memacu pertumbuhan jati di muna (Mycorrhiza Application to support growth of teak in Muna). Info Teknis Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (2007) 5(1): 1-4.

[8] U. Maliyana, E. Martin dan E.A. Waluyo. 2006. Pemanfaatan Mikoriza dalam Meningkatkan Kualitas Bibit Jenis Prioritas Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan (2006) Halaman 69-76.

[9] H.T. Hartmann, D.E. Kester and F.T. Davies JR. (1990). Plant Propagation, Principles and Practices 5th ed. New Jersey: Prentice Hall International.

[10] D. Priadi, 2011. Pengaruh jenis dan kadar bahan enkapsulasi terhadap viabilitas benih mangium (Acacia mangium Willd). Prosiding Seminar “Konsevasi Tumbuhan Tropika: Kondisi Terkini dan Tantangan ke Depan”. Halaman: 71-75.

Prosiding Seminar Nasional Sains IV; Bogor, 12 November 2011

90

ANALISIS VEGETASI POHON PADA BERBAGAI TIPE VEGETASI