• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kabupaten Bogor termasuk salah satu wilayah Provinsi Jawa Barat yang memiliki luas ± 2.301,95 km2. Luas wilayah Kabupaten Bogor ini sekitar 5,19 persen dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat. Secara geografis Kabupaten Bogor terletak di antara 6º18′0′′- 6º47′10′′ Lintang Selatan dan 106º23′45′′- 107º13′30′′ Bujur Timur. Secara administratif Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan dan 430 desa. Dari 430 desa tersebut 413 berstatus desa dan 17 berstatus kelurahan. Jika dilihat dari klasifikasinya desa terdapat 353 desa swakarya dan 77 desa swasembada. Pusat pemerintahan Kabupaten Bogor terletak di Cibinong, dengan jumlah pemerintahan terendah berdasarkan satuan lingkungan terdiri dari 3.653 RW dan 14.205 RT. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebanyak 5.077.210 orang pada tahun 2012 yang terdiri dari 2.604.873 orang laki-laki dan 2.472.337 orang perempuan. Jumlah ini meningkat sebanyak 110.589 jiwa atau sekitar 2,2 persen dibandingkan pada tahun 2011. Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor merupakan yang terbesar di antara Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Barat yaitu sekitar 11,03 persen dari total jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat (BPS 2013).

Kondisi morfologi Kabupaten Bogor yang didominasi oleh daerah perbukitan dan bergelombang serta klimatogi yang termasuk dalam iklim tropis sangat basah di bagian selatan sampai iklim tropis basah di bagian utara dapat mendukung permbangunan dalam bidang pertanian. Hal ini terlihat banyaknya hasil pertanian yang berasal dari Kabupaten Bogor diantara mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan serta kehutanan.

Tanaman pangan seperti padi sawah dan padi ladang telah menyebar di wilayah tengah dan utara, yang sudah tersedia irigasi dan penggunaannya telah mencapai 81,10 persen. Luas lahan sawah di Kabupaten Bogor sebesar 47.930 ha dengan jumlah produksi yang mengalami peningkatan sebesar 4,25 persen dari tahun 2012-2013. Tanaman pangan lainnya seperti jagung, produksinya mencapai 2.213 ton dengan luas panen 512 ha, produksi ubi kayu sebanyak 159.670 ton dengan luas panen 7.792 ha, sedangkan ubi jalar sebanyak 56.255 ton dengan luas panen 3.764 ha, dan produksi talas sebanyak 3.094,28 ton dengan luas panen 616 ha (BPS 2013).

Tanaman hortikultura terbesar adalah jamur sayuran sebanyak 912.203 kuintal. Perkebunan rakyat di Kabupaten Bogor tidak banyak mengalami perubahan. Produksi perkebunan yang paling dominan adalah kelapa sebanyak 16.208,40 ton dan karet sebanyak 3.883,77 ton. Selain perkebunan juga terdapat peternakan sapi dan kerbau dengan populasi mencapai 63.385 ekor. Kabupaten Bogor juga memiliki kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Luas kawasan hutan Kabupaten Bogor adalah 84.047,02 ha atau sebesar 28,12 persen dari luas seluruh wilayah Kabupaten Bogor (BPS 2013).

Sektor pertanian masih menjadi mata pencaharian penduduk di Kabupaten Bogor. Sebanyak 19,06 persen penduduk yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2009, namun jumlah proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian mengalami penurunan sebesar 3,6 persen menjadi 15,46 persen penduduk pada

tahun 2010. Hal ini menggambarkan bahwa sektor pertanian bukanlah mata pencaharian yang diminati oleh penduduk Kabupaten Bogor.

Penurunan proporsi penduduk yang bekerja disektor pertanian juga terlihat dari penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian yaitu sebesar 20,07 persen, dari 255.774 rumah tangga petani pada tahun 2003 menjadi 204.437 rumah tangga petani pada tahun 2013. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin petani utama, terlihat bahwa jumlah petani utama laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini juga terlihat dari kelompok umur bahwa umur petani utama laki-laki paling banyak berumur 45-54 tahun, sedangkan petani utama perempuan paling banyak berumur 55-64 tahun (BPS 2013). Hal ini mengindikasikan bahwa regenerasi penduduk pada usaha pertanian terus mengalami penurunan.

Kondisi Kekinian Fungsi Pekarangan Di Kabupaten Bogor

Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor secara umum terdiri dari lahan terbangun dan lahan terbuka. Lahan terbangun merupakan lahan sebagai tempat pemukiman penduduk seperti rumah, sarana ibadah, sarana pendidikan, perkantoran, dan fasilitas umum lainya. Lahan terbuka merupakan lahan yang digunakan untuk kegiatan produktif dalam bidang pertanian yaitu sawah, ladang dan pemakaman.

Penduduk yang memiliki rumah dengan luas lahan pekarangan yang luas jarang ditemui di Kabupaten Bogor. Hal ini terjadi karena banyaknya alih fungsi lahan pada rumah penduduk. Pada awalnya adalah lahan pekarangan yang luas dan sekarang sudah dibangun rumah untuk anggota keluarga mereka. Kondisi rumah penduduk di Kabupaten Bogor juga berdekatan dengan jalan utama di perdesaan dan juga kondisi di belakang rumah penduduk yang berdekatan dengan jurang, sehingga pekarangan rumah menjadi sempit.

Secara umum pekarangan di Indonesia dikelompokkan ke dalam 4 ukuran, yaitu : (1) pekarangan sempit <120 m2; (2) pekarangan sedang antara 120-140 m2; (3) pekarangan besar antara 400-100 m2; (4) pekarangan sangat besar > 1000 m2 (Arifin et al. 2009). Berdasarkan pengamatan dan hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan pekarangan di Kabupaten Bogor tergolong sempit sampai sedang. Luas pekarangan yang sempit disebabkan oleh bangunan rumah, menyebabkan posisi pekarangan pada umumnya berada dibagian depan, dan samping rumah.

Jenis tanaman di pekarangan dapat dibedakan menjadi tanaman hias, tanaman pangan, dan tanaman obat. Berdasarkan pengamatan bahwa tanaman yang paling banyak ditanam di pekarangan adalah tanaman hias, sedangkan tanaman pangan seperti sayuran, buah-buahan, dan tanaman umbi-umbian terlihat pada rumah tangga petani yang sudah mendapatkan pengetahuan tentang manfaat tanaman pangan di pekarangan atau rumah tangga anggota kelompok wanita tani yang mendapatkan program P2KP. Tanaman obat yang ditanam diantaranya adalah kunyit, kencur, binahong, dan sirih.

Fungsi dari tanaman pekarangan adalah untuk estetika, fungsi ini terlihat dari adanya tanaman yang berwarna-warni, sehingga menghasilkan keindahan bagi rumah. Tanaman pekarangan juga memiliki fungsi produksi artinya hasil tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, dan apabila hasilnya berlebih dapat dijual. Tanaman pekarangan juga berfungsi sosial,

hal ini terlihat dari adanya tetangga dan kerabat meminta hasil tanaman pekarangan tanpa adanya bayaran.

Karakteristik Internal dan Eksternal Wanita Tani

Karakteristik individu merupakan perbedaan antara individu yang satu dengan individu lainnya. Memahami karakteristik individu sangat penting, mengingat bahwa setiap individu saling berinteraksi dalam tatanan sosial yang ada di lingkungan masyarakat. Dalam ilmu penyuluhan pembangunan, karakteristik individu merupakan bagian dari perilaku yang dapat membawa individu tersebut ke dalam suatu kehidupan kelompok.

Perilaku mengarah kepada pemenuhan kebutuhan, mengembangkan kemampuan, kepercayaan diri, serta mencapai penghargaan. Karakteristik individu yang mencakup dalam penelitian ini adalah aspek sosio-demografis. Karakteristik sosio demografis merupakan ciri yang melekat pada individu dan dapat menggambarkan perbedaan antar individu tersebut. Berikut adalah deskripsi dari karaktekteristik sosio demografis responden yang terdiri dari karaktersitik internal dan eksternal.

Karakteristik Internal

Karakteristik internal adalah ciri yang yang ada dalam diri responden. karakteristik internal terdiri dari umur, pendidikan formal, pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, curahan waktu memanfaatkan pekarangan, kekosmopolitan, motivasi dan luas lahan pekarangan. adapun deskripsi dari masing-masing karakteristik internal dijelaskan sebagai berikut.

Umur

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak memanfaatkan kekuatan fisik baik dalam berpikir maupun bekerja untuk mengolah lahan pertanian. Fisik yang sehat dan kuat juga berkaitan dengan umur. Hal ini bearti bahwa umur yang masih muda memiliki fisik yang kuat dibandingkan umur tua. Umur juga berkaitan dengan pembangunan pertanian salah satunya dalam mengadopsi suatu inovasi pertanian. Hasil penelitian Zulvera (2014) menunjukkan bahwa semakin tua umur petani maka terdapat kecendrungan rendahnya tingkat adopsi terhadap sistem pertanian sayuran organik.

Tabel 2 menunjukkan bahwa lebih dari 40% responden termasuk pada kelompok umur tua. Umur responden bila digolongkan berdasarkan batasan usia kerja menurut Badan Pusat Statistik berada pada golongan umur produktif (15-64 tahun). Berdasarkan kelompok umur tersebut, maka responden memiliki kemampuan untuk bekerja, menghasilkan sesuatu serta mampu mengembangkan keahlian dalam mengelola sumber daya yang dimiliki.

Kegiatan produktif yang dilakukan oleh responden di antaranya adalah membantu suami bekerja di sawah/kebun, menjaga warung, membuat berbagai macam kue. Kondisi umur responden yang berada pada usia produktif juga menjadi salah satu faktor yang mendukung pemanfaatan lahan pekarangan yang berkelanjutan. Kegiatan produktif yang dilakukan dalam pemanfaatan lahan pekarangan adalah dengan melakukan penyemaian, penanaman, pemeliharaan,

panen, sampai pada pengolahan hasil pekarangan menjadi makanan yang sehat, bergizi, seimbang dan aman bagi anggota keluarga.

Tabel 2 Karakteristik internal responden

Karakteristik internal Kategori Jumlah

(Orang)

Persentase (%) Umur (Tahun) Muda (20-37)

Dewasa (38-42) Tua (45-64) 22 18 35 29,3 24,0 46,7 Tingkat Pendidikan Rendah (Tidak Tamat SD-Tamat SD)

Sedang(SLTP-SLTA) Tinggi (PT) 39 34 2 52,0 45,3 2,7 Tingkat Pendapatan (Rp/Bulan) Rendah (Rp 500.000- Rp 1.000.000) Sedang (Rp 1.100.000–Rp 1.700.000) Tinggi (Rp 1.750.000–Rp 6.000.000) 26 29 20 34,7 38,7 26,6 Jumlah anggota keluarga

(Orang) Kecil (2-3) Sedang (4-5) Besar (6-9) 18 41 16 24,0 54,7 21,3 Curahan waktu memanfaatkan pekarangan (Jam/hari) Sedikit (0-0,5) Sedang (1-2) Banyak (4-6) 18 55 2 24,0 73,3 2,7 Kekosmopolitan Rendah Sedang Tinggi 50 21 4 64,1 26,9 5,0 Motivasi Rendah Sedang Tinggi 13 25 37 17,3 33,3 49,4 Luas Pekarangan (m2) Sedikit (1-5)

Sedang (6-10) Luas (12- 300) 20 28 27 26,7 37,3 36,0 Keterangan : n = 75 Pendidikan formal

Pendidikan merupakan modal dasar demi tercapainya tujuan pemberdayaan bagi petani sebagaimana tertuang pada Undang-Undang No 19 Tahun 2013 yaitu mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik. Kualitas pendidikan merupakan suatu ukuran dalam mengembangkan pola pikir menuju kearah kemajuan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan bagi anggota kelompok wanita tani.

Pendidikan formal yang ditempuh oleh responden bervariasi mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen responden menempuh pendidikan formal pada jenjang pendidikan tidak tamat SD-tamat SD (2-6 tahun), sedangkan responden yang berpendidikan SLTP-PT kurang dari 50 persen. Ini bearti bahwa kualitas pendidikan anggota kelompok wanita tani masih rendah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden bahwa alasan yang menguatkan responden untuk tidak melanjutkan pendidikan karena kemampuan ekonomi keluarga responden yang rendah, minimnya pandangan bahwa pendidikan itu penting, sehingga responden cenderung untuk membantu

keluarganya di sektor pertanian. Tingkat pendidikan yang rendah juga dapat mempengaruhi pola pikir responden dalam membentuk keluarga. Responden yang tidak melanjutkan pendidikan memilih untuk berkeluarga, dan menganggap bahwa dengan menikah dapat mengurangi beban orang tua.

Kualitas sumber daya manusia juga sangat penting dalam penyuluhan pembangunan pertanian. Tingkat pendidikan biasanya menunjukkan bahwa invidu tersebut memiliki kemampuan untuk mencari, menerima, dan menyerap inovasi untuk dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan. Julius (2013) menyatakan bahwa wanita tani yang berpendidikan tinggi seharusnya memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mengakses layanan penyuluhan pertanian dari pada wanita tani yang berpendidikan menengah ke bawah.

Pendapatan keluarga

Pendapatan keluarga merupakan suatu ukuran dalam memenuhi kebutuhan keluarga responden. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 38,7 persen responden memperoleh penghasil perbulannya sebanyak Rp 1.100.000–Rp 1.700.000/bulan. Sumber pendapatan responden umumnya berasal dari usaha pertanian diantaranya menjadi buruh pertanian, memiliki dan menggarap lahan sawah, hasil perkebunan (manggis), hasil tanaman hortikultura (sayuran dan buah-buahan), dari usaha peternakan (sapi dan kambing), usaha perikanan air tawar. Sumber pendapatan dari usaha non pertanian adalah usaha dagang (membuka warung dirumah, berdagang dipasar tradisional), serta dari industri rumah tangga (membuat kue, keripik pisang, talas, dodol manggis, keripik melinjo).

Sumber pendapatan yang relatif rendah diperoleh responden dari pekerjaannya sebagai buruh tani baik itu dari suami maupun responden itu sendiri. Pendapatan yang diperoleh dari suami dan responden sebagai buruh tani berkisar Rp 25.000 - Rp 50.000/hari. Berdasarkan batasan garis kemiskinan menurut BPS September 2013 adalah Rp 275.779/kapita/bulan. Bila satu keluarga wanita tani terdiri dari empat orang (suami, istri, dua anak) maka pendapatan yang harus diperoleh keluarga responden adalah Rp 1.103.116/bulan. Batasan ini menunjukkan bahwa keluarga responden sebagian besar masih berada pada kategori miskin.

Pendapatan anggota kelompok wanita tani yang cenderung rendah disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan anggota kelompok wanita tani untuk memperoleh upah yang tinggi, sehingga berdampak pada kemampuan daya beli untuk memenuhi kebutuhan. Rahman (2006) menyatakan bahwa terdapatnya hubungan yang nyata positif antara pendidikan upah/gaji yang diterima oleh pekerja.

Jumlah Anggota Keluarga

Besarnya jumlah anggota rumah tangga secara ekonomis akan berdampak pada upaya pemenuhan kebutuhan. Apabila jumlah anggota rumah tangga tidak diimbangani dengan pendapatan keluarga yang cukup maka alokasi pendapatan hanya dapat memenuhi kebutuhan konsumtif, tanpa dapat memenuhi kebutuhan lainnya seperti investasi (tabungan).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden memiliki anggota keluarga yang tergolong sedang (4-5 orang/rumah tangga). Semakin

banyak anggota keluarga maka semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi oleh keluarga anggota kelompok wanita tani. Sebagian besar anggota keluarga responden terdiri dari suami (kepala keluarga), anak-anak, orang tua dari responden maupun suami responden, menantu, dan cucu. Anak-anak responden pada umumnya masih berada pada usia sekolah.

Jumlah anggota keluarga yang cukup banyak dapat membantu responden untuk melakukan pekerjaan domestik dan produktif yaitu membersihkan rumah, membantu di kebun/sawah, membantu membuat kue. Selain itu dalam kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan anggota keluarga juga ikut terlibat seperti mengambil pupuk kandang, menanam tanaman, menyiram tanaman, sampai pada pengolahan hasil tanaman untuk dikonsumsi.

Curahan waktu memanfaatkan pekarangan

Hampir semua responden memberikan curahan waktu untuk melaksanakan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan berada pada kategori sedang yaitu 1-2 jam/hari. Curahan waktu yang cukup ini disebabkan oleh wanita tani yang memiliki peran produktif dan domestik. Peran produktif yang dilakukan oleh wanita tani adalah membantu suami dalam bekerja sebagai petani atau menjadi buruh tani, pedagang (warung/kios), guru, usaha industri rumah tangga berupa membuat keripik talas, keripik pisang, pembuatan besek, aneka makanan tradisional. Peran domestik yang dilakukan adalah pekerjaan sehari-hari yang dalam rumah tangga yaitu menyediakan makanan bagi keluarga, menjaga anak, dan membersihkan rumah,

Curahan waktu yang digunakan oleh wanita tani dalam kegiatan pemanfataan lahan pekarangan sehari-hari adalah memelihara tanaman seperti menyiram tanaman, memberikan tambahan pupuk, dan membersihkan gulma. Curahan waktu responden lebih banyak diberikan ketika proses penyemaian dan penanaman, karena wanita tani harus mempersiapkan perlengkapan seperti media tanam (tanah, pupuk kompos/kandang, arang, sekam). Curahan waktu yang diberikan oleh wanita tani pada proses ini sekitar 2-4 jam/hari.

Kekosmopolitan

Kekosmopolitan dari sebagian besar responden berada pada kategori rendah. Usaha anggota kelompok wanita tani untuk mengunjungi sumber informasi di luar daerahnya, memanfaatkan media massa dengan tujuan mencari informasi tentang pemanfaatan lahan pekarangan masih sangat kurang. Kekosmopolitan yang rendah disebabkan kurangnya akses anggota kelompok wanita tani terhadap informasi dari luar dan kurangnya kemampuan bepergian ke luar daerah untuk memperoleh informasi yang disebabkan faktor ekonomi. Petani/wanita tani yang kurang aktif dalam mencari informasi cenderung untuk kurang inovatif (Putra et al.2006).

Frekuensi responden yang melakukan kunjungan keluar daerahnya dalam tiga bulan terakhir saat penelitian dilakukan berkisar satu sampai tiga kali sekitar sebanyak 11 orang (14.7%) dan responden ini termasuk pada kategori dengan sifat kekosmopolitan yang sedang sampai tinggi. Kegiatan berpergian keluar daerah yang dilakukan biasanya adalah mengikuti kegiatan penyuluhan, studi banding ke kelompok wanita lain, mengikuti pameran/pasar tani di ibukota Kabupaten Bogor (Cibinong).

Penggunaan media oleh responden seperti perilaku menonton televisi menunjukkan bahwa mayoritas responden menggunakan televisi berkisar 30 menit sampai lima jam dalam sehari. Urutan acara yang ditonton oleh responden adalah hiburan, dan berita, sedangkan program yang berisi tentang pertanian cenderung jarang ada di stasiun televisi nasional. Ini sejalan dengan penelitian Saleh (2006) menyatakan bahwa mayoritas pemanfaatan media massa televisi oleh anggota kelompok peternak adalah untuk hiburan dan berita, sedangkan informasi teknis tentang peternakan hanya mengandalkan jaringan komunikasi.

Kurangnya kemampuan responden dalam mengakses informasi juga disebabkan oleh rendahnya penggunaan media cetak seperti membaca koran, majalah, brosul, buku tentang pertanian. Terdapatnya tujuh responden (9,3 persen) yang membaca koran dalam tiga bulan terakhir pada saat penelitian. Adapun koran yang dibaca adalah Radar Bogor, Kompas, Pos Kota. Selain itu, frekuensi wanita tani untuk mendapatkan brosur, leaflet, buku panduan budidaya tanaman, serta informasi dengan menggunakan internet dan handphone juga rendah. Hanya terdapat delapan orang responden (10,6 persen) yang sudah pernah mendapatkan dan memanfaatkan media brosur,leaflet, buku panduan, dan hanya ada satu orang yang sudah menggunakan handphone untuk mencari informasi, yang berupa layanan Short Message Service (SMS) dengan menjadi anggota Layanan Informasi Petani (LISA). LISA merupakan sebuah aplikasi yang menghubungkan petani dengan pakar pertanian dengan menggunakan SMS. Aplikasi ini adalah salah bentuk kerjasama antara perusahaan 8Village dengan Kementerian Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), danMercyCorps

Motivasi

Motivasi merupakan dorongan yang kuat dari responden dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan pekarangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir 50 persen responden berada pada kategori motivasi tinggi. Motivasi wanita tani yang tinggi merupakan modal untuk tetap terus berusaha meningkatkan produktivitas pemanfaatan lahan pekarangan. Motivasi intrinsik responden berasal dari keinginan diri sendiri diantaranya untuk menyalurkan hobi menanam, memanfaatkan waktu luang, meningkatkan interaksi dan komunikasi dengan keluarga, mengisi lahan yang kosong, menambah gizi keluarga, keindahan dan kenyamanan bagi keluarga rumah. Kiesling dan Manning (2010) dorongan yang dimiliki oleh seseorang untuk memiliki taman (pekarangan) adalah untuk menciptakan keindahan, untuk produksi pangan, menyalurkan hobi yang menyenangkan, dan untuk melatih keterampilan menanam.

Motivasi ekstrinsik responden berasal dari adanya dukungan keluarga untuk memanfaatkan lahan pekarangan yang terlihat dari saling tolong-menolongnya anggota keluarga dalam memelihara tanaman pekarangan. Anggota kelompok wanita tani juga memberikan dukungan dalam bentuk memberikan semangat, saling memberikan sarana produksi, serta saling bertukar informasi. Dukungan dari penyuluh pertanian juga membangkitkan motivasi anggota kelompok wanita tani dalam memanfaatkan pekarangan.

Banyak masalah yang dihadapi oleh responden dalam memanfaatkan lahan pekarangan seperti hama, iklim, sarana produksi yang tidak dapat menghasilkan produk yang bagus, namun kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan masih tetap dilaksanakan. Motivasi yang kuat dalam memanfaatkan pekarangan merupakan

perilaku dari responden untuk memberikan semangat pada dirinya yang terarah dan dapat bertahan lama. Keinginan yang kuat dalam diri responden merupakan bagian dari tindakannya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna baik bagi dirinya sendiri, keluarga maupun orang lain.

Luas Lahan Pekarangan

Luas lahan pekarangan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan. Lahan yang luas memungkinkan untuk melaksanakan kegiatan usahatani dan mendapatkan hasil yang lebih banyak. Kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan akan lebih efisien dilaksanakan pada lahan yang luas. Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (73 persen) memiliki luas lahan pekarangan berada pada kategori sedang (6-10 m2), dan tinggi (12-300 m2)

Jika dilihat luas lahan pekarangan responden masih sedikit/sempit, namun lahan pekarangan yang sempit bukanlah menjadi suatu hambatan dalam pemanfataan pekarangan. Secara teknis pekarangan yang sempit tidak memungkinkan untuk menanam secara langsung ketanah tanpa menggunakan media, karena produksi yang diperoleh akan sedikit. Kondisi ini dapat diupayakan dengan cara menggunakan media yang ada di sekitar lingkungan seperti pot, polibek, talang, botol plastik, dan bambu. Media tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan menggunakan teknik vertikultur yaitu menyusun media tersebut secara vertikal. Dengan demikian jenis tanaman yang ditanami lebih bervariasi dan produksinya dapat lebih banyak lagi. Hal ini sejalan dengan penelitian Mardiharini (2011) yaitu penataan dan pemanfaatan pekarangan dapat dilakukan dengan cara penanaman dipolibeg, pot, vertikultur, bedengan, pagar, kolam, dan kandang.

Karakteristik Eksternal

Proporsi dari responden berdasarkan distribusi karakteristik eksternal yang melaksanakan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan yang berkelanjutan di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik eksternal responden

Karakteristik eksternal Kategori Jumlah (Orang) Persentase (%) Intensitas penyuluhan Rendah

Sedang Tinggi 10 42 23 13,3 56,0 30,7 Ketersediaan sarana produksi Rendah Sedang Tinggi 13 41 21 17,3 54,7 28,0

Suasana Kelompok Rendah

Sedang Tinggi 8 57 10 10,7 76,0 13,3 Keterangan : n = 75 Intensitas Penyuluhan

Salah satu aspek penting dalam kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan adalah kegiatan penyuluhan pertanian yang diikuti oleh anggota kelompok wanita

tani. Penyuluhan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan serta kesejahteraan wanita tani. Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa intensitas penyuluhan oleh sebagian anggota kelompok wanita tani berada pada kategori sedang. Kegiatan penyuluhan yang diikuti oleh anggota kelompok adalah kegiatan penyuluhan dilaksanakan di kelompok. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan berkisar satu–dua kali dalam sebulan.

Kegiatan penyuluhan memberikan dampak yang positif bagi responden, karena penyuluhan merupakan sumber informasi utama yang diterima oleh responden dari penyuluh. Informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan materi mudah dipahami oleh responden cenderung lebih cepat diterima oleh responden, oleh sebab itu responden tidak merasa bosan bila mengikuti kegiatan penyuluhan di kelompok. Waktu dibutuhkan selama pelaksanaan kegiatan penyuluhan sekitar dua sampai empat jam dalam satu kali pertemuan. Jika waktu tersebut digunakan untuk bekerja sebagai buruh tani, maka wanita tani dapat memperoleh penghasilan sekitar Rp. 20.000/hari. Walaupun demikian, anggota kelompok wanita berpendapat bahwa kegiatan penyuluhan memberikan manfaat dan bukan kegiatan yang membuang waktu.

Ketersediaan Sarana Produksi

Sarana produksi merupakan modal utama dalam melaksanakaan kegiatan pemanfaatan pekarangan. Ketersediaan sarana produksi yang cukup akan mempermudah responden dalam menerapkan teknologi yang ada dalam pemanfaatan perkarangan. Lebih dari 50 persen responden menyatakan bahwa ketersediaan sarana produksi dalam pemanfaatan lahan pekarangan mudah untuk memperolehnya. Kemudahan dalam memperoleh sarana produksi seperti bibit/benih, pupuk, obat-obatan, pot, polibek, dan bambu diperoleh dengan cara

Dokumen terkait