• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan Pembahasan

Dalam dokumen i (Halaman 107-115)

PESISIR KABUPATEN ACEH UTARA DALAM MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN

C. Hasil dan Pembahasan

95 Kearifan lokal masyarakat Kabupaten Aceh Utara dalam mendukung kedaulatan pangan dalam melaut dengan mentaati panduan Hukum Adat Laot. Kehidupan masyarakat Aceh Utara yang sebagian hidup di pesisir utara pantai timur pulau Sumatera di Provinsi Aceh, adalah sebagai nelayan. Dalam kehidupan masyarakat Aceh mengenal Hukum Adat Laot yang harus ditaati oleh masyarakat termasuk nelayan yang melaut. Hukum Adat Laot dipimpin oleh Panglima Laot yang merupakan salah satu Lembaga Adat di Aceh.

Secara admnistrasi wilayah Kabupaten Aceh Utara meliputi 27 kecamatan dan 852 gampong dengan dengan luas wilayah keseluruhan ± 3.296,86 km². Dan 8 kecamatan di Kabupaten Aceh Utara yang berada dipesisir pantai yaitu Kecamatan Muara Batu, Kecamatan Dewantara, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kecamatan Samudera, Kecamatan Tanah Pasir, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Kecamatan Seunudon dan Kecamatan Lapang.

Kedelapan kecamatan disebelah pesisir Kabupaten Aceh Utara pada umumnya menggunakan laut dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kegiatan penggunaan laut dalam masyarakat di Kabupaten Aceh Utara diberlakukan Hukum Adat Laot yang dipimpin oleh Panglima Laot Lhok.51

51 Lhok adalah suatu wilayah pesisir pantai dan terdapat nelayan yang berdomisili serta melakukan usaha penangkapan ikan. Wilayah tersebut dapat berorientasi untuk satu gampong (desa) pantai, beberapa gampong (desa), kecamatan atau satu kepulauan. Nelayan yang berdomisili di Wilayah Lhok dipimpin oleh Panglima Laot yang dinamakan Panglima Laot Lhok.

Sementara itu, untuk Hukum Adat Laot pada tingkat Kabupaten Aceh Utara dipimpin oleh Panglima Laot Kabupaten.

Panglima Laot di Kabupaten Aceh Utara telah banyak memberi kontribusi dalam penerapan Hukum Adat Laot yang sangat mendukung dalam ketahanan pangan khususnya makanan laut. Panglima Laot selaku pengontrol dari Hukum Adat Laot, maka tidak terlepas dari larangan mencari ikan dengan meledakkan bom atau racun. Larangan penebangan pohon di tepi laut, menetapkan hari pantang melaut atau hari-hari yang di larang untuk turun ke laut. Panglima Laot mengatur tradisi penangkapan ikan yang disebut Meupayang dengan sejumlah larangan-larangan yang diciptakan untuk menjaga kelestarian ekosistem yang berada di laut, sehingga kedaulatan pangan dapat dicapai (Panglima Laot Kabupaten Aceh Utara Hamdani, 2020). Akan tetapi, dalam melaksanakan tugasnya, Panglima Laot juga menghadapi kendala-kendala yaitu: tidak ada dana kontribusi nelayan terhadap Lembaga Panglima yang masih minim. operasional dan

Panglima Laot telah membantu membangun sistem koordinasi radio antar nelayan sehingga setiap nelayan dapat dilacak keberadaannya juga menjaga untuk meminimalisir pergerakan nelayan nakal agar keseimbangan laut tetap terjaga. Panglima Laot juga meminimalisir pelanggaran pada sistem penangkapan ikan seperti bom ikan, racun, pukat

97 harimau. Dalam hal ini, Panglima Laot menjadi mitra pemerintah Aceh dalam menjaga sistem kelautan yang tersebar diseluruh pesisir Aceh Utara.

Dalam hal kegiatan sehari-hari, masyarakat nelayan memiliki dan mentaati Hukum Adat yang berkaitan dengan kegiatan di laut. Hukum Adat Laot tersebut berlaku secara efektif dan apabila terjadi pelanggaran terdapat mekanisme tersendiri dalam penerapan sanksi adat. Penyelesaian sengketa adat laut oleh Panglima Laot merupakan salah satu mekanisme penerapan sanksi adat dan menjadi alternatif solusi untuk menyelesaikan kasus tentang pengelolaan sumber daya alam laut.

Dalam Hukum Adat Laot juga mengandung

pemeliharaan lingkungan yang berlaku kepada seluruh masyarakat yang berprofesi sebagai pelaut, yaitu:

a. Dilarang melakukan pemboman, peracunan,

pembiusan, pelistrikan, pengambilan terumbu karang, dan bahan-bahan lainnya yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota lainnya.

b. Dilarang menebang/ merusak pohon-pohon kayu di pesisir pantai laut seperti pohon arun/ cemara, pandan, ketapang, bakau, dan pohon lainnya yang hidup di pantai.

c. Dilarang menangkap ikan/ biota laut lainnya yang dilindungi (lumba-lumba, penyu, dan lain sebagainya)

Pengaturan alat tangkap dan wilayah sangat penting. Artinya, karena banyak alat tangkap yang merusak lingkungan. Pembatasan wilayah dimaksudkan karena kehidupan habitat masing-masing pada jarak-jarak tertentu akan didapat jenis-jenis yang berbeda. Dalam konsep ekonomi, sebernanya sudah ada pembatasan ini, khususnya pembagian wilayah penangkapan oleh nelayan yang memakai boat (kapal nelayan) kecil, boat sedang, dan boat besar. Akan tetapi, Hukum Adat Laot tidak boleh melarang terhadap metode penangkapan secara tradisional, karena metode penangkapan tradisional sebagai kearifan lokal sangan menjaga keberlanjutan dan kelestarian lingkungan dan sumber daya alam laut.

Masyarakat nelayan Aceh mengenal beberapa teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan di laut dan teknik ini diatur dalam Hukum Adat Laot, seperti seperti Palong, Pukat Aceh, Peraho (Perahu), Jalo, Jeue/ Jareng (Jaring), Kawe (Pancing), Geunengom, Bubee, Sawok/Sareng (Penyaringan), Jang/ Jeureumai/ Nyap (perangkap dari bambu). Teknik-teknik ini sering digunakan oleh masyarakat nelayan diKabupaten Aceh Utara. Palong adalah alat tangkap sejenis jaring berbentuk persegi panjang yang dibentangkan secara horisontal dengan kayu atau bambu sebagai kerangkanya. Palong dibangun di atas perahu atau didirikan di tengah laut. Pukat dioperasikan di daerah pantai atau sekitar muara. Pukat digunakan dalam dua cara: a. laboh darat yaitu:

99 menggiring dan menarik pukat yang direntangkan di laut ke arah pantai. Pukat ini hanya bisa digunakan pada pantai tak berkarang dan hanya boleh dilakukan di lokasi-lokasi tertentu yang telah ditetapkan oleh Panglima Laot. Dan b. laboh laut yaitu: melabuh pukat di tengah laut atau biasa disebut Mupayang. Penggunaan Pukat hampir disetiap pesisir Kabupaten Aceh Utara mereka menarik pukat pagi dan sore hari. Kegiatan ini seringkali dilakukan pada saat musim ombak besar sehingga sulit melabuh pukat di pantai. Seringkali pula dilakukan pada saat musim ikan pelagis. Perahu pancing menggunakan pancing atau jaring/ jala dan alat ini biasa digunakan di teluk atau laguna (pusong).

Dari segi penangkapan ikan, di dalam Hukum Adat Laot juga mengenal adanya perizinan penangkapan ikan baik yang diberikan oleh Panglima Laot Lhok, maupun yang cukup diberikan oleh orang yang mempunyai hak menurut Hukum Adat Laot untuk menangkap ikan terlebih dahulu di wilayah adat laot tersebut. Perizinan bagi orang atau masyarakat yang ingin melakukan penangkapan ikan yang berlainan wilayahnya diberikan oleh Panglima Laot Lhok secara lisan seperti sekedar pemberitahuan, juga disertai pembagian di dalam pemanfaatannya. Prosesnya yaitu Panglima Laot Lhok terlebih dahulu musyawarahkan dengan Pawang Pukat dan Geuchik yang bertujuan agar izin yang diberikan tidak merugikan masyarakat nelayan di dalam wilayah Lhok tersebut. Pada saat pemberian izin penangkapan ikan,

Pawang Pukat beserta Panglima Laot Lhok sudah memastikan banyaknya ikan yang berada dalam wilayah kekuasaan Panglima Laot Lhok tersebut, bila mana ikan tersebut tidak ditangkap oleh nelayan, maka ikan tersebut akan berpindah ke tempat lain.

Hukum Adat Laot sesungguhnya juga mengenal prinsip perlindungan diri untuk menjaga keselamatan. Pemberian izin tangkap tersebut tidak terlepas dari ketentuan pembayaran, pembayaran yang dimaksud disini hanya dengan kewajiban untuk membagi sepertiga dari hasil tangkapan kepada Panglima Laot diwilayah tersebut. Izin yang diberikan juga terikat batas waktu, yaitu baik dalam jangka waktu tertentu atau satu musim saja. Pemberian perizinan disini diberikan pada perseorangan ataupun kelompok, izin diberlakukan pada tiap pukat yang dilabuhkan. Bagi yang melanggar ketentuan dari perizinan Hukum Adat Laot akan dikenakan sanksi, apalagi jenis alat tangkap yang digunakan tidak ramah lingkungan seperti menggunakan alat tangkap pukat harimau (trawl) maka alat tangkap tersebut akan di potong-potong dan dibakar kemudian boat pun akan disita oleh Panglima Laot Lhok. Apabila boat dikemudian hari dilepas maka tidak boleh lagi melakukan penangkapan ikan di wilayah Panglima Laot Lhok tersebut dan apabila izin penangkapan ikan tersebut masih berlaku maka akan dilakukan pembatalkan. Kemudian, sanksi terhadap pelanggar Hukum Adat Laot, ditahan untuk tidak

101 melaut selama 7 (tujuh) hari. Jika nelayan berhasil menangkap ikan saat hari ‘pantang melaut’, hasil tangkapannya akan disita. Itu menjadi pembelajaran bagi semua nelayan, agar para nelayan sama-sama mentaati Hukum Adat Laot demi kelestarian sumber kehidupan dari laut (Hamdani, Panglima Laot Kabupaten Aceh Utara, 2020).

Konsep pembangunan disamping ingin memenuhi kebutuhan kesejahteraan masyarakat, juga turut memperhitungkan ketersedian dan berkelanjutan. Disinilah nilai lebih dari adat laot, terutama dalam pembangunan komunitas sebagai masyarakat pesisir. Pembangunan tersebut dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan kesejahteraan, juga ditekankan pentingnya memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan keberlanjutan sumber daya kelautan dan terjaganya lingkungan untuk masa depan. Lingkungan ternyata bukan sebagai warisan, tetapi merupakan tititpan untuk anak cucu manusia yang belum lahir. Keberadaan Hukum Adat Laot ingin menegaskan keberadaan alam beserta isinya, sama sekali adalah warisan nenek moyang kita yang harus dijaga keberlanjutan dan kelestariannya untuk anak cucu. Masyarakat nelayan menyadari bahwa, di samping mereka harus memenuhi kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan mereka, juga mereka memperhitungkan sumber daya masa depan dengan senantiasa menggunakan alat-alat yang ramah

lingkungan dan menjamin keberlangsungan ekosistem dan habitat ikan.

D. Penutup

Dalam dokumen i (Halaman 107-115)