• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kearifan lokal masyarakat

Dalam dokumen i (Halaman 89-95)

PESISIR KABUPATEN ACEH UTARA DALAM MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN

1. Kearifan lokal masyarakat

Kearifan lokal merupakan gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Kearifan lokal dipengaruhi oleh kebudayaan dari masing-masing daerah. Ia terlahir dari nilai-nilai dan perilaku dalam tatanan kehidupan masyarakat dalam proses yang tidak singkat dan keberlangsungannya secara turun temurun (Nana Noviana, 2018, 29-34). Sehingga kearifan lokal berfungsi sebagai konservasi dan pelestarian sumberdaya alam, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan kebudayaan dan ilmu

77 pengetahuan, sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan, bermakna sosial, bermakna etika dan moral dan bermakna politik (Sartini, 2004).

Dengan demikian, kearifan lokal merupakan milik masyarakat setempat yang sikap dan kepribadiannya matang untuk mampu mengembangkan potensi dan sumber lokal dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.Kearifan lokal adalah nilai budaya yang positif.Kearifan lokal merupakan milik manusia yang bersumber dari nilai budayanya sendiri dengan menggunakan segenap akal, budi, pikiran, hati dan pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosialnya (Sibarani, 2012:127). Apabila kemampuan lokal genius ini mampu bersinergi dengan kearifan lokal, maka keduanya dapat dijadikan tameng untuk menangkis serangan globalisasi yang mulai megikis budaya lokal. Oleh karena itu, jati diri bangsa sebagai nilai identitas masyarakat harus dibangun secara kokoh dengan cara menanamkan nilai-nilai kearifan lokal sejak dini kepada generasi muda (Fitriyani, 2013).

Kearifan lokal yang ada dalam masyarakat Aceh masih tetap eksis sampai saat ini, dan telah mengalami revitalisasi melalui legaligas perundang-undangan (Chaerol Riezal Hermanu, Joebagio, Susanto, 2018: 227-244). Kearifan lokal merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan keseharian masyarakat Aceh. Kearifan lokal dalam masyarakat

Aceh sangat kaya dan meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti budaya, politik dan pemerintahan, ekonomi dan mata pencaharian, social dan kemasyarakatan, ibadah dan muamalah, pendidikan, konservasi alam dan lingkungan dan lain-lain. Oleh karena itu, kearifan lokal dalam masyarakat Aceh mencakup segenap gerak kehidupan masyarakat Aceh yang sangat luas (Nurdin, A.R., 2015). Kearifan lokal tersebut termasuk lingkungan dapat diwujudkan dalam nilai sosial, norma adat, etika, sistem kepercayaan, pola penataan ruang tradisional, serta peralatan dan teknologi sederhana ramah lingkungan. Sumber daya sosial yang diwarisi secara turun temurun tersebut, pada kenyataannya terbukti efektif menjaga kelestarian lingkungan, serta menjamin kelestarian lingkungan social (M. Puspita, 2008: 1-15).

2. Hukum Adat dan Hukum Adat Aceh

Istilah “Hukum Adat” dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Pemerintah Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mempergunakan istilah hukum adat secara resmi pada akhir tahun 1929 dalam peraturan perundang-undangan Belanda. Hukum tidak tertulis di dalam

79 peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hokum (Soepomo, 1996: 5-6). Dan itu merupakan suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hokum/sanksi (Suriyaman Mustari Pide, 2014).

Dengan demikian, Hukum Adat diartikan juga sebagai keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan pihak lain tidak dikodifikasikan. Hukum non-statutair adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (un-statutory Law). Ia menjadi hukum yang hidup dan menjelma sebagai perasaan hukum yang nyata dari masyarakat (Iman Sudiyat, 1978).

Adat bagi masyarakat Aceh identik dengan agama, maka ia merupakan hal yang sangat signifikan dan fundamental. Ajaran Islam dan adat dalam pandangan masyarakat Aceh merupakan dua mata uang yang sama sekali tidak dapat dipisahkan. Filosofi pemahaman seperti ini dapat ditemukan dalam ungkapan kearifan yang sangat populer

dalam kehidupan masyarakat Aceh yaitu: “Hukom Ngon Adat Hanjeut Cree, Lagee Zat Ngon Sifeut,” Artinya adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan (sudah menyatu) seperti zat dengan sifatnya, sehingga kaidah Islam sudah merupakan bagian dari pada adat (Nana Noviana, 2018: 29-34). Ungkapan tersebut ditamsilkan pada perspektif terma teologis Ahl al-Sunnah dalam makna “Hukum Islam dan adat bagaikan Zat Allah dan Sifat-Nya yang tidak dapat dipisahkan”. Hal ini dimaksudkan adalah semua ketentuan ajaran Islam atau Hukum Islam telah melekat dengan nilai-nilai adat yang terdapat dalam masyarakat Aceh. Dalam pandangan masyarakat Aceh, adat mendapat kedudukan yang terhormat dan diakui sebagai penguat hukum (syari’at). Hukum syariat dan adat adalah satu kesatuan yang utuh, Artinya bila adat berdasarkan hukum syari’at maka hukum Islam sudah pasti bersumber dari AlQur’an dan Sunnah maka adat Aceh otomatis bagian dari hukum Islam. Oleh karena itu, bila ada hukum adat yang bertentangan dengan hukum syari’at maka adat tersebut dianggap sebagai urf fasid (adat yang rusak). Jadi, semua bentuk dan praktek adat yang bertentangan dengan syari’at Islam tidak diakui sebagai adat Aceh.

Kepercayaan masyarakat Aceh yang amat berakar kepada tradisi hidup sehingga mampu mengendalikan perilaku dalam ruang lingkup Hokum Adat yang ada (Yulia, 2016). Selain itu juga secara material dan formal, Hukum Adat

81 berasal dari masyarakat itu sendiri, atau merupakan kehendak kelompok. Oleh karena itu, kepatuhan hukum itu akan tetap ada selama kehendak kelompok diakui dan dijunjung tinggi bersama, karena keinginan kelompok inilah yang menyebabkan timbul dan terpeliharanya kewajiban moral bagi masyarakat. Terkadang masyarakat Aceh memandang sanksi adat yang dijatuhkan kepada individu yang melanggar ketentuan adat istiadat lebih berat terbebani secara psikologis dari pada sanksi dalam hokum nasional itu sendiri (Adam Sani: 2018, 27-35).

Selain keberlakuan syariat Islam, Aceh juga terkenal dengan adat istiadatnya yang diatur berdasarkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat (Qanun Adat Istiadat), di dalamnya mengatur juga keberlakuan Hukum Adat di Aceh. Hukum adat diartikan sebagai seperangkat ketentuan tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, yang memiliki sanksi apabila dilanggar dan penerapannya tetap memperhatikan nilai-nilai Islami.

Kehidupan adat dan adat istiadat dibina dan dikembangkan oleh Majelis Adat Aceh dan lembaga-lembaga adat Aceh, termasuk juga pemberian gelar kehormatan dan upacara-upacara adat Aceh, semuanya dilaksanakan di bawah pengawasan Lembaga Wali Nanggroe. Lembaga Wali Nanggroe sendiri dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang

bersifat personal dan independen (Badruzzaman Ismail, 2007).

Lembaga-lembaga adat Aceh diatur dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat (Qanun Lembaga Adat). Lembaga-lembaga adat Aceh terbentuk dari masyarakat hukum adat, tempat pemangku adat memiliki jabatan di dalamnya. Lembaga-lembaga adat Aceh menegakkan Hukum Adat dan berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat.

Sistem hukum di Aceh, ternyata terdapat 3 (tiga) sistem hukum di Aceh, yaitu syariat Islam, Hukum Adat Aceh, dan hukum nasional (hukum positif) Indonesia secara umum. Antara syariat Islam dan hukum nasional Indonesia telah diberikan kriteria keberlakuan masing-masing hukum. Mekanisme pemilihan sistem hukum apabila terdapat persinggungan antara Hukum Adat Aceh dengan syariat Islam dan hukum nasional Indonesia belum tersedia. Akan tetapi dalam jenis-jenis sengketa yang dapat ditangani, dapat diselesaikan secara adat, syariat Islam, ataupun hukum nasional (Syahrizal, 2004).

Dalam dokumen i (Halaman 89-95)