• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data primer yang dikumpulkan melalui kuesioner (Lampiran 2 sampai dengan Lampiran 6) dilakukan tabulasi berdasarkan tujuan penelitian, yaitu analisis kinerja Gapoktan, evaluasi penumbuhan LKMA pada Gapoktan PUAP, kajian kinerja LKMA, dan perumusan strategi pengembangan LKMA. Setiap tujuan penelitian terdiri dari beberapa paramater sebagaimana telah dijelaskan dalam metode penelitian. Data yang telah ditabulasi berdasarkan parameter pada setiap tujuan penelitian, lalu dicarikan reratanya untuk dijadikan bahan pembahasan dalam penelitian ini (Lampiran 7 sampai dengan Lampiran 9).

Karakteristik Responden

Petani sampel –selanjutnya disebut petani –yang menjadi pengurusdan anggota Gapoktan didominasi laki-laki, yaitu 93.75 persen, sedangkan pengurus dan anggota Gapoktan perempuan hanya 6.25 persen. Begitu juga dengan petani yang menjadi pengurus dan anggota LKMA didominasi laki-laki, yaitu 72.92 persen, sedangkan pengurus dan anggota LKMA perempuan 27.08 persen (Gambar 6). Khusus LKMA Sinar Cempaka, petani yang menjadi pengurus dan anggota semuanya perempuan. Hal itu mungkin disebabkan karena ketua Gapoktan dan LKMA Sinar Cempaka adalah perempuan.

Gambar 6 Jenis kelamin petani pengurus dan anggota Gapoktan dan LKMA Usia petani anggota dan pengurus Gapoktan sebagian besar berada pada kelompok usia produktif antara 25 sampai 64 tahun, yaitu 97.92 persen, sedangkan yang berada pada kelompok usia non produktif hanya 2.08 persen (Gambar 7). Sedangkan usia petani anggota dan pengurus LKMA seluruhnya berada pada kelompok usia produktif antara 15 sampai 64 tahun (Gambar 8).

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Gapoktan LKMA Laki-laki Perempuan 93.75% 6.25% 72.92% 27.08%

Gambar 7Kelompok usiapetanianggota dan pengurus Gapoktan Kabupaten Pandeglang

Gambar 8 Kelompok usiapetanianggota dan pengurus LKMA Kabupaten Pandeglang

Tingkat pendidikan petanianggota dan pengurus Gapoktan (Gambar 9) adalah SD (27.08%), SMP (29.17%), SMA (37.50%), diploma (4.17%), dan sarjana (2.08%).Secara khusus, tingkat pendidikan pengurus Gapoktan (ketua, sekretaris, bendahara) sebagian besar SMA (58.33%).

0 2 4 6 8 10 12 14 16 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 -64 65+ 0 2 4 6 8 10 12 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 -54 55 - 59 60 - 64 65+ 4.17% 4.17% 16.67% 25.00% 31.25% 6.25% 6.25% 4.17% 2.08% 2.08% 2.08% 2.08% 6.25% 14.58% 18.75% 18.75% 20.83% 10.42% 4.17%

Gambar9Tingkat pendidikan petanianggota dan pengurus Gapoktan Kabupaten Pandeglang

Tingkat pendidikan petani anggota dan pengurus LKMA (Gambar 10) adalah, SD (14.58%), SMP (33.33%), SMA (39.58%), diploma (2.08%), dan sarjana (10.42%).Secara khusus, tingkat pendidikan pengelola LKMA (ketua, sekretaris, bendahara) sebagian besar SMA (66.67%). Bahkan ketua LKMA Curug Barang Indah, Mitra Ta’awun, dan Desa Cikeusik berpendidikan sarjana.

Gambar 10Tingkat pendidikan petanianggota dan pengurus LKMA Kabupaten Pandeglang.

Analisis Kinerja Gapoktan

Penilaian kinerja Gapoktan penerima dana PUAP harus berdasarkan tujuan digulirkannya program PUAP. Dalam Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian (2013),

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

SD SMP SMA Diploma Sarjana

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

SD SMP SMA Diploma Sarjana

27.08% 29.17% 37.50% 2.08% 4.17% 14.58% 33.33% 39.58% 2.08% 10.42%

program PUAP bertujuan untuk; (a) mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai dengan potensi wilayah; (b) meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, pengurus Gapoktan, Penyuluh Pendamping, dan PMT; (c) memberdayakan kelembagaan petani dan ekonomi perdesaan untuk pengembangan kegiatan usaha agribisnis; dan (d) meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses ke permodalan.

Untuk mencapai tujuan tersebut Kementerian Pertanian membuat indikator keberhasilan pengelolaan dana PUAP, yaitu (1) indikator keberhasilan output, antara lain; (a) tersalurkannya dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PUAP kepada petani, buruh tani dan rumah tangga tani miskin anggota Gapoktan sebagai modal untuk melakukan usaha produktif pertanian; terlaksananya fasilitasi penguatan kapasitas dan kemampuan sumberdaya manusia pengelola Gapoktan, Penyuluh Pendamping, dan Penyelia Mitra Tani; (2) indikator keberhasilan outcome, antara lain; (a) meningkatnya kemampuan Gapoktan dalam memfasilitasi dan mengelola bantuan modal usaha untuk petani anggota baik pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani; (b) meningkatnya jumlah petani, buruh tani dan rumah tangga tani yang mendapatkan bantuan modal usaha; (c) meningkatnya aktivitas kegiatan usaha agribisnis (hulu, budidaya dan hilir) di perdesaan; dan (d) meningkatnya pendapatan petani (pemilik dan atau penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani dalam berusaha tani sesuai denagn potensi daerah; (3) indikator benefit dan impact, antara lain; (a) berkembangnya usaha agribisnis dan usaha ekonomi rumah tangga tani di lokasi desa PUAP; (b) berfungsinya Gapoktan sebagai lembaga ekonomi petani di perdesaan yang dimiliki dan dikelola oleh petani; dan (c) berkurangnya jumlah petani miskin dan pengangguran di perdesaan.

Untuk mempermudah pelaksanaan evaluasi kinerja Gapoktan dalam mengelola dana PUAP, Penulis melakukan identifikasi dan penyederhanaan terhadap tujuan program PUAP dan indikator keberhasilan pengelolaan dana PUAP oleh Gapoktan. Indikator kinerja Gapoktan PUAP dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu kelembagaan dan organisasi; penyaluran dana PUAP; pengembangan dana PUAP; dan kerjasama Gapoktan dengan lembaga lain dalam pengelolaan dana PUAP.

Penilaian terhadap indikator kinerja kelembagaan dan organisasi menggunakan 7 parameter, yaitu; (1) memiliki struktur organisasi; (2) memiliki uraian tugas; (3) memiliki rencana usaha bersama (RUB); (4) menyelenggarakan rapat pengurus; (5) peran Penyuluh Pendamping; (6) peran Penyelia Mitra Tani (PMT); dan (7) peran pembina tingkat kabupaten dan pusat.Penilaian terhadap indikator kinerja penyaluran dana PUAP menggunakan 6 parameter, yaitu; (1) sosialisasi program PUAP kepada anggota; (2) seleksi calon penerima dana PUAP; (3) peran pengurus Gapoktan dalam menyusun rencana usaha anggota; (4) penyaluran dana PUAP sesuai rencana anggota; (5) kemudahan persyaratan penerimaan dana PUAP; dan (6) memiliki unit LKMA.

Penilaian terhadap indikator kinerja pengembangan dana PUAP menggunakan 5 parameter, yaitu; (1) peningkatan jumlah anggota penerima dana PUAP; (2) peningkatan unit usaha tani; (3) peningkatan akumulasi dana PUAP;

(4) tingkat pengembalian pinjaman dana PUAP oleh anggota; dan (5) pengurangan jumlah petani miskin.

Penilaian terhadap indikator kerjasama Gapoktan dengan lembaga lain menggunakan 4 parameter, yaitu; (1) kerjasama dengan perusahaan dalam pemanfaatan dana CSR; (2) kerjasama pembiayaan; (3) kerjasama produksi; dan (4) kerjasama pemasaran hasil usaha anggota.Pembobotan nilaiterhadap keempat indikator kinerja tersebut menggunakan skala Likert (sangat baik = 5, baik = 4, cukup baik = 3, kurang baik = 2, dan buruk = 1). Responden yang diminta mengisi kuesioner sebanyak 7 orang, yaitu PMT, ketua, sekretaris, dan bendahara Gapoktan, serta 3orang anggota Gapoktan yang bersangkutan. Berdasarkan data yang dikumpulkan, hasil evaluasi kinerja 8Gapoktan di Kabupaten Pandeglang adalah sebagai berikut:

1. Secara umum, kinerja 8 Gapoktan di Kabupaten Pandeglang yang menjadi sampel penelitian memiliki kinerja cukup baik. Hal itu dapat dilihat dari nilai rata-rata total yang mencapai angka 3.32.

2. Lima dari delapan Gapoktan (62.5 %) memiliki kinerja cukup baik, hal itu ditandai dengan nilai rata-rata Gapoktan tersebut > 3.

3. Satu Gapoktan (12.5 %) memiliki kinerja baik(nilai rata-rata > 4), yaitu Gapoktan Sinar Cempaka;

4. Dan dua Gapoktan (25 %) memiliki kinerja kurang baik (nilai rata-rata < 3), yaitu Karang Sari dan Mitra Ta’awun.

Kinerja Gapoktan dalam pengelolaan dana PUAP selengkapnya disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10Kinerja Gapoktan dalam pengelolaan dana PUAP di Kabupaten Pandeglang tahun PUAP 2008 – 2010

No. Nama Gapoktan Tahun PUAP Kinerja Kelem- bagaan dan Organis asi Penya- luran Dana PUAP Pengem bangan Dana PUAP Kerja- sama dengan Lemba- ga lain Rata- rata 1 Sinar Cempaka 2008 4.45 4.33 3.77 3.64 4.05 2 Mitra Ta’awun 2009 3.37 3.60 2.46 2.32 2.94 3 Desa Cikeusik 2009 4.51 4.72 4.03 2.57 3.96 4 Juhut Mandiri 2009 3.47 3.36 3.17 3.29 3.32 5 Karang Sari 2009 2.84 2.57 1.57 2.00 2.25 6 Sinar Wangi 2010 3.65 4.52 3.34 2.71 3.56 7 Pelita 2010 3.37 3.17 2.91 2.54 3.00 8 Curug Barang Indah 2010 3.51 3.83 3.34 3.19 3.47 Rata-rata Total 3.65 3.76 3.07 2.78 3.32 Sumber: Data Primer, 2013 (diolah).

Keterangan nilai: 5 = sangat baik, 4 = baik, 3 = cukup baik, 2 = kurang baik, 1 = buruk.

Berdasarkan data di atas, Gapoktan Sinar Cempaka dan Gapoktan Desa Cikeusik memiliki bobot nilai tertinggi dibandingkan Gapoktan lainnya. Menurut Nur Saidah (PMT), secara umum diakui Gapoktan Sinar Cempaka memiliki kinerja cukup baik, meski belum dapat dikatakan berhasil. Baiknya kinerja Gapoktan Sinar Cempaka tidak terlepas dari peran ketuanya yang memiliki relasi cukup baik dengan stakeholders di Kabupaten Pandeglang. Hal tersebut sangat membantu dirinya dalam melaksanakan dan mengembangkan program PUAP. Bahkan pada tahun 2013 lalu, Gapoktan Sinar Cempaka memperoleh penghargaan dari Presiden sebagai Gapoktan terbaik tingkat Nasional mewakili Provinsi Banten.

Sementara itu, baiknya kinerja Gapoktan Desa Cikeusik, menurut Asep Sujana (PMT), disebabkan karena sejak awal pengurus dan anggota Gapoktan memiliki niat dan tekad yang serius untuk mengembangkan dana PUAP. Keseriusan pengurus dan anggota Gapoktan sangat memudahkan PMT dalam melakukan pendampingan.

Dalam buku Pedoman Umum PUAP 2012 Kementerian Pertanian memang tidak ditegaskan langkah yang harus diambil terhadap Gapoktan yang memiliki kinerja kurang baik atau buruk. Namun, dalam pandangan Penulis, seharusnya Gapoktan yang memiliki kinerja kurang baik apalagi buruk, tidak memiliki syarat yang cukup untuk membentuk dan menumbuhkan LKMA.

Hasil wawancara langsung dengan PMT di Kabupaten Pandeglang dan staf di BPTP Provinsi Banten yang menangani PUAP dan LKMA dijelaskan bahwa keputusan pembentukan dan penumbuhan LKMA pada Gapoktan penerima dana PUAP pertama-tama diusulkan oleh PMT kepada BPTP yang selanjutnya diajukan ke Direktorat Pembiayaan Pertanian, Kementerian Pertanian. Menurut pengakuan PMT, peran Dinas Pertanian Kabupaten Pandeglang dalam proses pembentukan dan penumbuhan LKMA kurang maksimal. Di antara penyebabnya adalah sering terjadinya pergantian pejabat di Dinas Kabupaten Pandeglang yang menangani PUAP, sementara pejabat yang baru kurang memahami tentang PUAP dan LKMA.

Evaluasi Penumbuhan LKMA

Urgensi kehadiran Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di perdesaan salah satunya ditandai dari hasil Microcredit Summit tahun 2002 di New York tanggal 10-13 November 2002 yang memutuskan untuk menjadikan keuangan mikro (microfinance) sebagai paradigma baru dalam pengentasan kemiskinan. Tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran LKM di tengah masyarakat miskin seolah menjadi dewa penolong bagi para pelaku ekonomi di perdesaan. Maka tak heran bila ada yang berpendapat bahwa tidak mungkin dapat mengentaskan kemiskinan tanpa melibatkan LKM. Pendapat tersebut dapat dimengerti bukan saja karena keandalan LKM telah terbukti mampu menjadi mitra sejati para pengusaha kecil, tetapi juga karena solusi yang ditawarkan LKM adalah mekanisme pembiayaan yang mudah, sehat, dan professional (Al Jufri, 2011).

Penumbuhan LKMA pada Gapoktan penerima dana PUAP merupakan suatu kebutuhan dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi rakyat di perdesaan dan mempercepat upaya pengentasan kemiskinan melalui penumbuhan usaha

agribisnis. Pemberdayaan dan pembinaan kepada Gapoktan penerima dana PUAP untuk mengembangkan LKMA sebagai salah satu unit usahanya dimaksudkan untuk dapat terkolanya asset dana PUAP dan dana keswadayaan yang dikumpulkan oleh Gapoktan dalam rangka memberikan bentuk pelayanan keuangan mikro sesuai dengan yang dibutuhkan keluarga miskin dan pengusaha mikro pertanian di perdesaan secara berkelanjutan. Penumbuhan LKMA pada Gapoktan penerima dana PUAP dilakukan pada tahun ke-3 terhitung sejak pertama kali Gapoktan menerima dana PUAP (Kementerian Pertanian, 2012).

Evaluasi penumbuhan LKMA dari Gapoktan penerima dana PUAP dilakukan dengan cara mengidentifikasi tahapan-tahapan penumbuhan LKMA sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pertanian (2012), yaitu: a. Identifikasi, meliputi pengukuran aspek organisasi, tatalaksana dan

pembukuan Gapoktan, serta kinerja Gapoktan sebagai embrio LKMA.

b. Validasi,yaitu validasi profil Gapoktan melalui verifikasi dengan kunjungan ke lapangan.

c. Seleksi,yaitu menganalisis kelayakan Gapoktan yang mempunyai potensi untuk ditumbuhkan menjadi LKMA. Seleksi dilakukan dengan simulasi untuk melihat keinginan dan tekad anggota dan pengurus Gapoktan untuk membentuk LKMA.

d. Transformasi,yaitu penumbuhan Gapoktan menjadi LKMA dengan cara sosialisasi tentang LKMA dan musyawarah/rapat anggota.

e. Implementasi, yaitu operasionalisasi dan pengembangan LKMA melalui pendampingan, magang, penguatan dan peningkatan likuiditas, serta monitoring dan evaluasi.

Untuk mempermudah pelaksanaan evaluasi penumbuhan LKMA, Penulis melakukan inventarisasi terhadap tahapan-tahapan penumbuhan LKMA tersebut, lalu dituangkan dalam bentuk tabel kuesioner yang diisi oleh responden. Tahapan- tahapan tersebut adalah; (1) pemeringkatan Gapoktan menuju LKMA; (2) hambatan pengembangan LKMA; (3) upaya solusi terhadap hambatan pengembangan LKMA; (4) tahap persiapan pembentukan LKMA; (5) pemenuhan persyaratan administrasi kelembagaan LKMA; (6) tahap pelaksanaan LKMA; dan (7) tahap pengembangan usaha oleh LKMA.

Penilian terhadap pemeringkatan Gapoktan menuju LKMA menggunakan 13 parameter, yaitu; (1) kinerja organisasi Gapoktan; (2) kinerja organisasi calon LKMA; (3) kinerja keuangan calon LKMA; (4) penyaluran dana PUAP kepada anggota; (5) pembiayaan usahati petani miskin; (6) pengendalian penyaluran dana PUAP; (7) pencatatan dan pembukuan; (8) kelayakan usaha anggota; (9) pembuatan laporan; (10) pembinaan usaha anggota; (11) pengawasan pembiayaan; (12) mekanisme insentif dan sanksi; dan (13) prasarana dan sarana LKMA.

Penilaian terhadap hambatan pengembangan LKMA menggunakan 11 parameter, yaitu; (1) hambatan konseptual LKMA; (2) hambatan keterbatasan dana; (3) hambatan SDM pengelola; (4) hambatan SDM anggota; (5) hambatan prasarana dan sarana; (6) hambatan produksi; (7) hambatan pemasaran; (8) hambatan teknologi dan informasi; (9) hambatan birokrasi; (10) hambatan penyimpangan dana; dan (11) hambatan kemitraan dengan lembaga lain.

Penilaian terhadap upaya solusi dalam mengatasi hambatan pengembangan LKMA menggunakan 8 parameter, yaitu; (1) komunikasi dan koordinasi dengan

BPTP; (2) komunikasi dan koordinasi dengan dinas kabupaten; (3) komunikasi dan koordinasi dengan Penyuluh Pendamping; (4) komunikasi dan koordinasi dengan PMT; (5) melakukan pelatihan untuk pengurus LKMA; (6) melakukan pelatihan untuk anggota; (7) melakukan kerjasama kemitraan dengan lembaga lain; dan (8) memanfaatkan media cetak/elektronik dan media sosial/internet.

Penilaian terhadap tahap persiapan pembentukan LKMA menggunakan 4 parameter, yaitu; (1) sosialisasi tentang program PUAP; (2) melakukan pembenahan terhadap kelompok tani; (3) pembentukan unit usaha simpan pinjam; dan (4) penentuan usaha produktif yang akan dikembangkan petani.

Penilaian terhadap pemenuhan persyaratan administrasi kelembagaan LKMA menggunakan 4 parameter, yaitu; (1) akte pendirian LKMA dari notaris; (2) Surat Izin Tempat Usaha (SITU); (3) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP); dan (4) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Penilaian terhadap tahap pelaksanaan LKMA menggunakan 4 parameter, yaitu; (1) pengembangan unit usaha Gapoktan; (2) pemupukan modal melalui tabungan anggota; (3) fasilitas pelayanan calon LKMA; dan (4) kerjasama dengan lembaga keuangan lain.

Penilaian terhadap tahap pengembangan usaha oleh calon LKMA menggunakan 6 parameter, yaitu; (1) memiliki usaha sarana produksi pertanian; (2) memiliki usaha Usaha Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA); (3) memiliki perkumpulan petani pengguna air (P3A); (4) memiliki unit pengolahan hasil pertanian; (5) memiliki unit packaging; dan (6) memiliki unit pemasaran.

Untuk tahapan nomor 1 dan 3, pembobotan nilai kuesioner menggunakan skala Likert (sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, dan buruk) dengan bobot nilai masing-masing secara berturut-turut 5, 4, 3, 2, 1. Tahapan nomor 2 juga menggunakan skala Likert (sangat ringan, ringan, cukup berat, berat, sangat berat) dengan bobot nilai yang sama. Sedangkan untuk tahapan nomor 4 – 7 pembobotan nilai kuesioner menggunakan skala Biner, di mana nilai 1 untuk ada atau dilaksanakan, dan 0 untuk tidak/belum ada atau tidak dilaksanakan.

Responden yang mengisi kuesioner pada evaluasi penumbuhan LKMA ialah stakeholders yang memiliki wewenang dalam penumbuhan LKMA di Kabupaten Pandeglang, yaitu Tim Pembina Tingkat Pusat (BPTP Provinsi Banten), Tim Pembina Kabupaten (Dinas Pertanian Kabupaten Pandeglang), dan PMT. Hasil evaluasi penumbuhan LKMA terhadap 8 Gapoktan di Kabupaten Pandeglang tahun PUAP 2008 sampai 2010 disajikan pada Tabel 11.

Berdasarkan data yang dikumpulkan, hasil evaluasi penumbuhan LKMA terhadap 8Gapoktan penerima PUAP di Kabupaten Pandeglang adalah sebagai berikut:

a. Pada tahap pemeringkatan hingga tahap persiapan pembentukan LKMA, secara umum berjalan cukup baik. Hal itu dapat dilihat dari nilaiindikator penumbuhan ke-1 sampai dengan ke-3 yang memiliki nilai rata-rata di atas 3, dan nilai indikator ke-4 yang hampir mendekati angka 1. Artinya, beberapa aktivitas yang harus dilakukan dan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Gapoktan untuk membentuk LKMA, dilaksanakan dengan cukup baik. Khusus LKMA Mitra Ta’awun, LKMA Karang Sari, dan LKMA Curug Barang Indah, nilai rata-rata evaluasi penumbuhan LKMA dari tahap ke-1 sampai dengan tahap ke-3 kurang dari 3, artinya proses penumbuhan ketiga LKMA tersebut dapat dikategorikan “buruk”. Hasil ini memperkuattemuan

sebelumnya, yaitu hasil analisis kinerja Gapoktan yang menyimpulkan bahwa dua Gapoktan memiliki kinerja kurang baik, yaitu Mitra Ta’awun (2.95) dan Karang Sari (2.25).

Tabel 11 Hasil evaluasi penumbuhan LKMAterhadap Gapoktan di Kabupaten Pandeglang tahun PUAP 2008 – 2010

No Nama

Gapoktan

Tahun PUAP

Nilai Terhadap Proses Penumbuhan LKMA

1 2 3 4 5 6 7 1 Sinar Cempaka 2008 3.33 3.73 3.29 0.93 0.67 0.62 0.52 2 Mitra Ta’awun 2009 2.64 2.97 2.96 0.93 0.13 0.24 0.81 3 Desa Cikeusik 2009 3.64 3.21 3.33 0.93 0.33 0.43 0.48 4 Juhut Mandiri 2009 3.08 3.06 3.71 1.00 0.00 0.86 0.62 5 Karang Sari 2009 2.72 2.85 3.21 0.93 0.20 0.43 0.62 6 Sinar Wangi 2010 3.74 2.94 3.13 0.93 0.27 0.43 0.52 7 Pelita 2010 3.54 3.30 3.29 0.93 0.20 0.67 0.86 8 Curug Barang Indah 2010 2.82 3.12 2.88 0.93 0.13 0.38 0.76 Rata-rata Total 3.19 3.15 3.23 0.94 0.24 0.51 0.65 Sumber: Data Primer, 2013 (diolah).

Keterangan: 1 = Pemeringkatan Gapoktan menuju LKMA 2 = Hambatan pengembangan LKMA

3 = Upaya solusi terhadap hambatan pengembangan LKMA 4 = Tahap persiapan pembentukanLKMA

5 = Persyaratan administrasi LKMA 6 = Tahap pelaksanaan LKMA

7 = Tahap pengembangan usaha LKMA

Nomor 1 sampai 3; bobot nilai menggunakanskala Likert (5 = sangat baik, 4 = baik, 3 = cukup baik, 2 = kurang baik, 1 = buruk). Nomor 4 sampai 7; bobot nilai menggunakan skala Biner (1 = ada/dilaksanakan, 0 = tidak ada/belum dilaksanakan).

b. Namun, ketika memasuki tahap pelaksanaan yang diwakili oleh indikator ke-5 sampai dengan ke-7, sebagian besar Gapoktan tidak mampu memenuhi persyaratan yang harus diselesaikan. Hal itu dapat dilihat dari rendahnya nilai rata-rata pemenuhan persyaratan administrasi LKMA (0.24); nilai rata-rata pelaksanaan atau operasional LKMA (0.51); dan nilai rata-rata tahap pengembangan usaha LKMA (0.65). Itu berarti, pengelola LKMA hanya memiliki semangat dan keseriusan ketika hendak pembentukan LKMA saja, tetapi ketika pada fase pelaksanaan dan pengembangan LKMA, semangat dan keseriusan mereka menurun.

Kajian Kinerja LKMA

Non Performing Loan (NPL) adalah kredit yang masuk ke dalam kategori kredit kurang lancar, diragukan, dan macet berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Status NPL pada prinsipnya didasarkan pada

ketepatan waktu bagi nasabah untuk membayarkan kewajiban, baik berupa pembayaran bunga maupun pengembalian pokok pinjaman. Proses pemberian dan pengelolaan kredit yang baik diharapkan dapat menekan NPL sekecil mungkin. Dengan kata lain, tingginya NPL sangat dipengaruhi oleh kemampuan Lembaga KeuanganMikro (LKM) dalam menjalankan proses pemberian kredit dengan baik maupun dalam hal pengelolaan kredit, termasuk tindakan pemantauan (monitoring) setelah kredit disalurkan dan tindakan pengendalian bila terdapat indikasi penyimpangan kredit maupun indikasi gagal bayar.

Faktor-faktor utama penyebab NPL dapat dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu; faktor internal LKM, faktor kondisi debitur (termasuk calon debitur), dan faktor eksternal. Faktor internal LKM adalah hal-hal berkaitan dengan kondisi Sumberdaya manusia (SDM) LKM itu sendiri, kualitas proses bisnis LKM, dan keterlibatan pihak lain dalam bisnis. Kondisi SDM menyangkut seberapa jauh integritas, kelalaian, kesengajaan, dan kemungkinan melakukan moral hazard dari komisaris, direksi, dan karyawan untuk memenuhi kebutuhan LKM dalam menjalankan bisnisnya. Kualitas proses bisnis LKM berkaitan dengan strategi pemasaran yang diterapkan, kualitas proses persetujuan kredit, syarat pemberian kredit, kualitas proses penagihan, dan proses pengawasan dan pengendalian. Sedangkan keterlibatan pihak lain dalam bisnis LKM terutama terkait dengan penerapan linkage programdalam pengembangan usaha LKM melalui kerjasama dengan pihak lain seperti bank umum.

Dalam Peraturan Bank IndonesiaNomor 15/2/Pbi/2013Tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut PengawasanBank Umum Konvensional Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa Bank Indonesia menetapkan Bank dalam pengawasan intensif jikadinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya. Kemudian pada ayat (2) huruf d disebutkan bahwa Bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya jika rasio kredit bermasalah (non performing loan) secara neto lebih dari 5% (lima persen) dari total kredit. Ketetapan ini tentunya berlaku bagi lembaga keuangan lainnya, termasuk LKM. Karena dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan dijelaskan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannyakepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hiduprakyat banyak.

Berdasarkan review terhadap data NPL diketahui bahwa kredit dengan skala usaha mikro memiliki rasio NPL tertinggi dibandingkan skala usaha kecil dan menengah, dan apabila dirinci lebih lanjut rasio NPL terbesar disumbangkan oleh kredit mikro dengan plafon di bawah Rp5 juta (Djohanputro danKountur, 2007).

Data kinerja keuangan LKMA di Kabupaten Pandeglang yang berhasil dihimpun oleh Penulis dari lapangan hanya menggambarkan tentang; (a) jumlah anggota LKMA pada awal penerimaan PUAP oleh Gapoktan; (b) jumlah anggota LKMA pada tahun 2012; (c) jumlah saldo yang dimiliki LKMA pada tahun 2012; dan (d) jumlah kredit macet. Data kinerja keuangan LKMA di Kabupaten Pandeglang disajikan pada Tabel 12 dan Tabel 13.

Berdasarkan data pada Tabel 12, secara umum jumlah anggota LKMA yang dilayani oleh LKMA di Kabupaten Pandeglang bertambah dari 697 orang pada awal pelaksanaan LKMA menjadi 1534 pada tahun 2012. Satu-satunya LKMA yang tidak mengalami pertambahan anggota adalah Mitra Ta’awun.

Tabel 12 Pertambahan jumlah anggota LKMA di Kabupaten Pandeglang tahun PUAP 2008 – 2010

No. Nama LKMA Tahun

PUAP

Jumlah Anggota (orang) Awal Tahun 2012 Pertam- bahan 1 Sinar Cempaka 2008 70 81 11 2 Mitra Ta’awun 2009 75 75 0 3 Desa Cikeusik 2009 200 471 271 4 Juhut Mandiri 2009 75 120 45 5 Karang Sari 2009 60 116 56 6 Sinar Wangi 2010 96 171 75 7 Pelita 2010 30 300 270

8 Curug Barang Indah 2010 91 200 109

Jumlah 697 1534 837

Sumber: Direktorat Pembiayaan, Kementan (2013).

Berdasarkan data Direktorat Pembiayaan Pertanian pada Direktorat Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian, aset dana LKMA mengalami pertumbuhan. Selama periode 2008 sampai 2012, dana PUAP 8 Gapoktan sampel yang pada awalnya berjumlah Rp800 juta meningkat menjadi Rp934 738 010.Namun demikian, persentase kredit macet (NPL) dari LKMA di Kabupaten Pandeglang rata-rata 62.03 persen. Angka ini jauh di atas batas maksimal NPL yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yaitu sebesar 5 persen. Tabel 13 Jumlah dan persentase kredit macet pada LKMA di Kabupaten

Pandeglang tahun PUAP 2008 – 2010

No. Nama LKMA

Kredit Macet Dana Awal (Rp juta) Saldo Tahun 2012 (Rp juta) Pertam- bahan (Rp juta) Kredit Macet (Rp juta) % Kredit Macet 1 Sinar Cempaka 100.00 100.92 0.92 15.14 15.00 2 Mitra Ta’awun 100.00 105.00 5.00 105.0 0 100.00 3 Desa Cikeusik 100.00 140.65 40.65 70.32 50.00 4 Juhut Mandiri 100.00 128.09 28.09 102.47 80.00 5 Karang Sari 100.00 133.42 33.42 70.00 52.47 6 Sinar Wangi 100.00 107.81 7.81 43.12 40.00 7 Pelita 100.00 112.85 12.85 67.71 60.00 8 Curug Barang Indah 100.00 106.05 6.05 106.05 100.00 Jumlah 800.00 934.74 134.74 579.78 62.03 Sumber: Data Primer, 2013 (diolah).

Dengan demikian, jika berdasarkan kinerja keuangan, 8LKMA di Kabupaten Pandeglang dapat dikategorikan “buruk” sehingga perlu diawasi dan

didampingi secara intensif. Kinerja keuangan tersebut merupakan gambaran umum kinerja LKM pada umumnya. Dua LKMA, yaitu Curug Barang Indah dan Mitra Ta’awun kredit macetnya bahkan mencapai 100 persen, artinya saat ini LKMA sudah tidak dapat melayani pinjaman untuk pembiayaan usaha kepada anggota. LKMA yang memiliki persentase kredit macet paling rendah adalah LKMA Sinar Cempaka, yaitu sebesar 15 persen.

Peningkatan nilai aset Gapoktan/LKMA sebagaimana dilaporkan oleh PMT melalui e-form(Lampiran 1) secara langsung tidak dapat dijadikan alat untuk menyimpulkan bahwa kinerja Gapoktan/LKMA tersebut dikategorikan “baik”. Pada kenyataannya beberapa Gapoktan/LKMA yang ditemui di lapangan tidak mampu menunjukkan bukti yang meyakinkan, misalkan menunjukkan bukti dalam bentuk rekening Gapoktan/LKMA.

Meski kinerja keuangan LKMA dikategorikan “buruk”, tetapi keberadaan LKMA di Kabupaten Pandeglang diakui manfaatnya oleh petani (Tabel 14). Hal ini dapat dilihat dari data yang berhasil dihimpun dari lapangan yang menyimpulkan bahwa dana PUAP dirasakan dapat meningkatkan kesejahteraan anggota (4.19); adanya skema pinjaman dana yang mudah dan ringan (4.13); membebaskan anggota dari jerat rentenir (4.13); dan dapat meningkatkan pendapatan anggota (4.10). Meskipun tujuan keuangan (financial objective) LKMA belum tercapai secara baik, namun tujuan sosial (social objective) LKMA dapat dicapai dengan baik. Sarah Guntz (2011), menyebut kedua misi LKMA di atas dengan istilah “double bottom line”. Tujuan finansial disebut dengan

“economic bottom line”, sedangkan tujuan sosial disebut dengan istilah “social

bottom line”.

Tabel 14 Manfaat dana PUAP bagi petani di Kabupaten Pandeglang

No. Manfaat Nilai

1 Meningkatkan kesejahteraan anggota 4.19

2 Adanya skema pinjaman dana yang mudah dan ringan 4.13 3 Membebaskan anggota dari jerat rentenir 4.13

4 Meningkatkan pendapatan anggota 4.10

Sumber: Data Primer, 2013 (diolah).

Keterangan: 5=sangat baik, 4=baik, 3 = cukup baik, 2 = kurang baik, 1 = buruk

Dokumen terkait