• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Keberhasilan Pembuatan Model Diabetes

Hasil pemberian streptozotocin (STZ) dengan dosis tunggal sebanyak 40 mg/kg BB secara intraperitoneal pada tikus menunjukkan bahwa STZ mampu meningkatkan kadar gula darah. Hasil pengukuran gula darah pada hari ke-7 setelah pemberian STZ menunjukkan peningkatan yang sangat bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol. Semua tikus yang diinduksi dengan STZ mengalami peningkatan kadar gula darah hingga di atas 250 mg/dl (Tabel 5). Tikus dinyatakan hiperglikemia dengan kadar gula darah > 250 mg/dL (Doxey et al. 1995). Data ini mengindikasikan bahwa pembuatan hewan model diabetes dengan menggunakan STZ yang memiliki efek diabetogenik telah berhasil membuat tikus mengalami hiperglikemia.

Pemberian STZ dapat merusak sel beta pankreas (Gordon 1991), sehingga menghambat sekresi insulin dalam pembuluh darah (Cooperstein 1981). Melalui aktivitas alkalisasi DNA pankreas, STZ akan merusak DNA yang mengakibatkan penurunan fungsi ATP (adenosin trifosfat) sebagai energi sel. STZ akan menghambat siklus Krebs yang dapat mengurangi konsumsi oksigen dan membatasi produksi ATP dalam mitokondria yang menyebabkan deplesi nukleotida dalam sel beta pankreas. Kerusakan tersebut akan menghambat biosintesis dan sekresi insulin (Elsner 2000). Kekurangan insulin akan menurunkan glukoneogenesis (Murray et al 2000) dan menyebabkan keadaan hiperglikemia.

Tabel 5 Tingkat keberhasilan pembuatan model diabetes Kelompok

perlakuan

Jumlah tikus yang diinduksi STZ

7 hari pasca induksi STZ (mg/dL) peningkatan gula darah (%) K1 - 126.5 - K2 3 557.67 77.32 T1 3 281.5 55.51 T2 3 469.5 73.06

2 Kadar Gula Darah

Pengukuran kadar gula darah dilakukan pada hari ke-7 dan 21 pasca induksi STZ. Hasil pengukuran gula darah secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah (Tabel 6).

Tabel 6 Rataan kadar gula darah pada kelompok tikus (Pratidina 2009) Kelompok

perlakuan

7 hari pasca induksi STZ (mg/dL)

21 hari pasca induksi STZ (mg/dL)

Penurunan gula darah (%)

K1 126.5 143.33a -

K2 557.67 489.33b 12.25

T1 281.5 161.5a 42.63

T2 469.5 250ab 46.75

Huruf superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 5% dengan uji BNJ (Tukey test).

Hasil pengukuran kadar gula darah disajikan pada Gambar 3. Pada awal pengukuran kadar gula darah terdapat perbedaan tingkat hiperglikemia dari masing-masing kelompok perlakuan. Pengukuran kadar gula darah pada hari ke-7 pasca induksi STZ, diperoleh rataan kadar gula darah pada K2, T1 dan T2 seperti yang terlihat pada Gambar 3 yakni 557.67 mg/dL, 281.5 mg/dL dan 469.5 mg/dL, nilai tersebut menunjukkan kelompok tikus dalam keadaan hiperglikemia. Sedangkan rataan kadar gula darah pada K1 yang digunakan sebagai kontrol nondiabetes menunjukkan nilai yang normal yakni 126.5 mg/dL. Kadar gula darah normal pada tikus antara 50-135 mg/dL (Malole 1989).

126.50 143.33a 557.67 489.33b 281.50 161.50a 469.50 250.00ab 0 100 200 300 400 500 600

Kadar gula darah (mg/dL)

K1 K2 T1 T2

Kelompok Perlakuan Hari ke-7

Hari ke-21

Gambar 3 Rataan kadar gula darah pada hari ke 7 dan 21 pasca induksi STZ. Keterangan : K1 (kontrol negatif)= tidak diinduksi STZ dan tidak diberi tempe, K2 (kontrol

positif)= diinduksi STZ dan tidak diberi tempe, T1= diinduksi STZ dan diberi tempe mengandung arginin 1.4%, T2= diinduksi STZ dan diberi tempe mengandung arginin 1.6%.

Huruf superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 5% dengan uji BNJ (Tukey test).

Pengukuran kadar gula darah pada hari ke-21 pascainduksi STZ (hari ke-14 pascapemberian diet tempe) terjadi penurunan kadar gula darah yang sangat besar yaitu menjadi 161.5 mg/dL pada T1 dan 250 mg/dL pada T2 dengan persentase penurunan kadar gula darah sebesar 43% untuk T1 dan 47% untuk T2.

Uji Tukey menunjukkan bahwa nilai kadar gula darah pada T1 dan T2 tidak berbeda nyata dengan K1. Perbedaan yang nyata terjadi pada T1 terhadap K2, sedangkan T2 tidak berbeda nyata dengan K2 tetapi persentase penurunan kadar gula darah pada T2 lebih besar daripada K2. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian diet tempe pada kelompok tikus yang diinduksi STZ berpengaruh terhadap penurunan kadar gula darah pada penderita hiperglikemia. Penurunan kadar gula darah ini antara lain terjadi karena pengaruh kandungan isoflavon dalam tempe.

Efek isoflavon dapat merangsang sekresi insulin oleh sel beta, mengontrol metabolisme gula dan insulin serta sebagai antioksidan (Lu-MP et al. 2008). Isoflavon genestein dan daidzein berperan dalam pengaturan gula darah (Jonas 1995).

Lu et al. (2007) menyatakan bahwa pemberian diet tinggi isoflavon protein kedelai (genestein equivalen 0.222 g/100 g diet) secara signifikan menurunkan kadar gula serum, meningkatkan kadar serum insulin pada tikus diabetes. Kandungan asam amino bebas tempe lebih tinggi 24 kali lipat. Nilai serat, vitamin B kompleks, efisiensi protein, dan nilai asam lemak bebasnya juga lebih baik sehingga dapat membantu mencegah terjadinya diabetes dengan cara meningkatkan kerja hormon insulin dalam mengatur gula darah di dalam tubuh. Kandungan tinggi seratnya berfungsi mengendalikan kadar gula darah. Hal ini yang menyebabkan tempe berperan sebagai sumber protein sempurna bagi penderita diabetes (Alexis 2007).

✂✄3 Pengamatan Organ Pankreas dengan Pewarnaan Hematoksilin Eosin

Hasil pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) pada potongan jaringan pankreas semua kelompok diamati terhadap morfologi sel-sel jaringan pankreas. Pada pewarnaan HE bagian endokrin (pulau Langerhans) mengambil warna lebih muda (merah muda) daripada bagian eksokrin dan di dalamnya ditemukan pembuluh-pembuluh darah kapier (Wheater 1979). Pengamatan histopatologi pankreas dilakukan dengan mengamati bentuk morfologi struktur jaringan pankreas tikus yang diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE).

Hasil pengamaan histopatologis disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa pada K1 terlihat adanya keteraturan susunan sel endokrin yang menyebar di pulau Langerhans dengan bentuk sel yang seragam dan ukuran sitoplasma terlihat proporsional terhadap besar inti serta tidak mengalami perubahan (normal), sedangkan pada K2 menunjukkan adanya lesio pada jaringan pankreas berupa degenerasi sel endokrin yang menuju nekrosa sel, degenerasi protein dan lemak.

Gambaran histopatologi memperlihatkan bahwa pada K1 tidak mengalami perubahan struktur morfologi pankreas. Dengan tehnik pewarnaan HE dapat terlihat inti sel endokrin berwarna biru dengan bentuk lebih bulat dan nukleolus tampak jelas, serta sitoplasma berwarna merah muda.

Gambar 4 Gambaran histopatologi pankreas.

Keterangan: K1 (kontrol negatif)= tidak diinduksi STZ dan tidak diberi tempe, K2 (kontrol positif)= diinduksi STZ dan tidak diberi tempe, ( ) menunjukkan distribusi sel beta menyebar di sentral pulau Langerhans dengan ukuran sel yang sama besar, ( ) menunjukkan perubahan bentuk inti sel beta akibat degenerasi sel beta. (Pewarnaan HE, Perbesaran objektif 40x)

Perubahan terlihat pada K2 yang diinduksi dengan STZ yaitu adanya degenerasi sel endokrin. Degenerasi sel endokrin terlihat pada intinya yang berubah bentuk menjadi polimorf (tidak seragam). Perubahan yang terjadi digambarkan dalam bentuk perubahan inti sel endokrin menjadi lebih kecil (piknosis) bahkan mulai menghilang hanya terlihat sitoplasma yang kosong berisi deposit glikogen dan membesar tanpa inti serta bentuk sitoplasma yang mengalami hiperkromatik. Selain itu juga terlihat adanya sitoplasma yang menggumpal menunjukkan adanya denaturasi protein. Hal ini menjelaskan bahwa pemberian STZ dapat merusak sel endokrin pankreas khususnya sel beta sehingga sekresi insulin ke dalam pembuluh darah menurun.

Pada diabetes muda, umumnya beberapa sel beta menunjukkan degranulasi lengkap dan sitoplasma yang kosong (Cooperstein 1981). Diantara sitoplasma sel-sel beta yang kosong ditemukan adanya vakuola yang berisi deposit glikogen. Perubahan vakuolar dalam sel beta dapat berasal dari deposit glikogen dalam sitoplasma atau lesio degeneratif sebenarnya (ballooning degeneration) (Goren et a.l 1988). Menurut Ressang (1963) perubahan-perubahan pada sel-sel yang ditimbulkan oleh zat-zat yang mempunyai efek sitotoksik yakni pengecilan pulau-pulau pankreas, pengurangan jumlah sel beta dan degranulasi, vakuolisasi daripada sel-sel tersebut.

`

Gambar 5 Gambaran histopatologi pankreas.

Keterangan: T1= diinduksi STZ dan diberi tempe mengandung arginin 1.4%, T2= diinduksi STZ dan diberi tempe mengandung arginin 1.6%, ( ) menunjukkan distribusi sel beta mulai menyebar di sentral pulau Langerhans dengan ukuran sel hampir sama besar, ( ) menunjukkan perubahan bentuk inti sel beta akibat degenerasi sel beta masih terjadi. (Pewarnaan HE, Perbesaran objektif 40x)

Pengamatan dengan teknik pewarnaan HE pada T1 dapat menunjukkan adanya perubahan pada sel-sel pankreasnya (Gambar 5). Perubahan-perubahan tersebut meliputi sel endokrin yang mulai melakukan regenerasi menuju bentuk normal, walaupun masih ditemukan beberapa sel endokrin yang mengalami degenerasi tetapi jumlahnya tidak lebih banyak dari T2. Gambar 5 menunjukkan bahwa pada T2 memperlihatkan adanya proses regenerasi dari sejumlah sel endokrin tetapi jumlahnya tidak lebih banyak dari T1. Sejumlah besar sel endokrin pada T2 masih mengalami degenerasi yang hampir mendekati K2.

Gambaran histopatologi menunjukkan perubahan struktur morfologi pankreas pada T1 yang tidak berbeda nyata dengan K1. Perbedaan yang nyata terjadi pada T1 terhadap K2 dan T2 terhadap K1, tetapi T2 tidak berbeda nyata terhadap K2. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian diet tempe mampu memperbaiki lesio sel endokrin akibat induksi STZ sehingga sekresi insulin dapat ditingkatkan. Tempe merupakan sumber protein kedelai dan isoflavon (genestain dan daidzein), sehingga peran isoflavon genestain dan daidzein dalam pengaturan gula darah antara lain dengan meningkatkan sekresi insulin oleh pulau Langerhans pankreas (Jonas 1995).

Tabel 7 Pengamatan hematoksilin-eosin (HE) dan imunohistokimia Kelompok Hematoksilin-eosin Imunohistokimia

K1 (Kontrol)

Persentase distribusi sel endokrin yang menyebar memenuhi pulau Langerhans sebesar 90-100%.

Ukuran sel endokrin seragam dengan bentuk sitoplasma

proporsional terhadap besar inti sel. Tidak ditemukan adanya perubahan (lesio) pada sel endokrin.

Populasi sel beta pada pulau Langerhans menunjukkan reaksi positif Ag terhadap Ab insulin pada sel beta yang berwarna coklat dengan persentase 90-100%.

Sel beta mensekresikan insulin dalam jumlah banyak.

K2 (kontrol

STZ)

Terjadi degenerasi dan nekrosa sel endokrin sehingga jumlah sel endokrin yang normal adalah 20-30%.

Ditemukan lesio pada sel endokrin yang ditunjukkan pada sel yang berukuran besar dan ukuran sitoplasma yang tidak beraturan.

Populasi sel beta yang menghasilkan insulin sangat sedikit sekitar 20-30%, dengan intensitas warna coklat ringan.

T1 (STZ dan

tempe arginin

1.4 %)

Persentase distribusi sel endokrin pada pulau Langerhans yang normal berkisar 70-80%.

Ditemukan degenerasi sel endokrin dalam jumlah sedikit.

Sel-sel beta yang menunjukkan reaksi positif Ag terhadap Ab insulin sel beta menghasilkan insulin berjumlah 60-70% dari populasi. T2 (STZ dan tempe arginin 1.6%)

Persentase distribusi sel endokrin normal pada pulau Langerhans sebesar 30-40%.

Terjadi degenerasi- nekrosa sel endokrin dalam jumlah yang cukup besar.

Distribusi populasi sel beta pada pulau Langerhans yang

menghasilkan insulin adalah sebesar 30-40%

Proses regenerasi sel endokrin terlihat pada T1 dan T2 yang ditunjukkan dari hasil persentase distribusi sel endokrin. Hasil persentase distribusi sel endokrin disajikan pada Tabel 7, yang menunjukkan bahwa persentase distribusi sel endokrin pada T1 meningkat yaitu 60-70% dan mendekati K1 yaitu 90-100%, sedangkan persentase distribusi sel endokrin pada T2 juga meningkat yaitu 30-40% dan peningkatannya tidak lebih tinggi dari T1 tetapi mendekati K2 yaitu 20-30%.

Perbedaan hasil persentase distribusi sel endokrin pada T1 dan T2 sangat mungkin terkait dengan perbedaan tingkat keparahan hiperglikemia yang dialami kedua kelompok tersebut yang pada awalnya kadar gula darah T2 lebih tinggi daripada T1.

☎ ✆☎ ✆2 Pengamatan Insulin dengan Pewarnaan Imunohistokimia

Pengamatan terhadap potongan jaringan pankreas khususnya pada sel beta yang diwarnai dengan imunohistokimia dilakukan secara deskriptif dengan melihat populasi dan tampilan kadar reaksi Ag dan Ab sel beta yang mengalami perubahan. Pengamatan dengan teknik pewarnaan imunohistokimia dapat terlihat distribusi dari sel beta yang menghasilkan insulin dalam pulau Langerhans yang ditunjukkan dengan sel yang berwarna coklat. Pulau Langerhans didominasi oleh sel beta.

Gambar 6 Gambaran histopatologi pankreas.

Keterangan: K1 (kontrol negatif)= tidak diinduksi STZ dan tidak diberi tempe, K2 (kontrol positif)= diinduksi STZ dan tidak diberi tempe, ( ) menunjukkan reaksi positif Ag terhadap Ab insulin pada sel beta yang berwarna coklat. (Pewarnaan Imunohistokimia, Perbesaran objektif 40x)

Gambaran histopatologi dengan pewarnaan imunohistokimia terlihat pada Gambar 6 yaitu pada K1 menunjukkan bahwa distribusi sel beta lebih mendominasi dibandingkan K2. Pada K2 terlihat distribusi sel beta dalam pulau Langerhans lebih sedikit sehingga jumlah hormon insulin yang dihasilkannya juga lebih sedikit.

Kekurangan insulin pada anjing disebabkan oleh kekurangan pulau-pulau Langerhans atau oleh struktur anormal daripada pulau ini (atrofi, degenerasi hidropik, hialinisasi dan fibrosis pulau) (Ressang 1963). Hampir seluruh kasus penderita diabetes melitus disebabkan oleh berkurangnya kecepatan sekresi insulin oleh sel-sel beta pulau Langerhans (Guyton 1994).

Gambar 7 Gambaran histopatologi pankreas.

Keterangan : T1= diinduksi STZ dan diberi tempe mengandung arginin 1.4%, T2= diinduksi STZ dan diberi tempe mengandung arginin 1.6%, ( ) menunjukkan reaksi positif Ag terhadap Ab insulin pada sel beta yang berwarna coklat. (Pewarnaan Imunohistokimia, Perbesaran objektif 40x)

Gambaran histopatologi dengan teknik pewarnaan imunohistokimia pada T1 dan T2 disajikan pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan bahwa pada T1 dan T2 mulai mengalami pertambahan distribusi jumlah sel beta yang ditampilkan pada sel yang berwarna coklat. Pertambahan jumlah sel beta pada T1 sangat signifikan jika dibandingkan dengan T2.

Tampilan kadar reaksi positif Ag terhadap Ab insulin pada sel beta diindikasikan pada sel yang berwarna coklat. Kadar reaksi positif dapat ditunjukkan melalui nilai persentase distribusi populasi sel beta pada pulau Langerhans. Nilai persentase distribusi populasi sel beta pada pulau Langerhans disajikan pada Tabel 7. Distribusi sel beta pada K2 lebih sedikit jika dibandingkan dengan K1. Hal ini disebabkan oleh pemberian STZ pada kelompok diabetes yang dapat merusak sel beta sehingga menurunkan sekresi insulin ke dalam pembuluh darah.

Persentase distribusi sel beta pada T1 meningkat yaitu 60-70% mendekati nilai K1 yaitu 90-100%, sedangkan persentase distribusi pada T2 meningkat sedikit yaitu 30-40% tetapi masih mendekati nilai K2 yaitu 20-30%. Nilai distribusi sel beta akan berdampak pada sekresi insulin yang dihasilkan oleh sel beta. Sekresi insulin pada T1 meningkat mendekati K1, sedangkan pada T2 meningkat mendekati K2. Peningkatan sekresi insulin mengindikasikan bahwa pemberian diet tempe dapat memperbaiki distribusi sel beta penghasil insulin pada pulau Langerhans.

Hasil pengamatan hematoksilin-eosin (HE) dan imunohistokimia menunjukkan bahwa pemberian diet tempe dapat memperbaiki gambaran distribusi sel endokrin dan sel beta penghasil insulin pankreas pulau Langerhans pada tikus model diabetes melitus. Kelompok T1 merupakan kelompok tikus diabetes yang diberi diet tempe dengan kandungan arginin 1.4% menunjukkan hasil yang lebih bagus jika dibandingkan dengan T2 yaitu kelompok tikus diabetes yang diberi diet tempe dengan kandungan arginin 1.6%.

Perbedaan hasil ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya perbedaan tingkat keparahan hiperglikemia yang dialami kedua kelompok tersebut yang pada awalnya kadar gula darah T2 lebih tinggi daripada T1, kemudian adanya hukum Hormesis dimana dalam obat herbal (dalam hal ini tempe) dengan pemberian dosis yang ditingkatkan belum tentu menghasilkan hasil yang lebih baik. Terkadang dengan dosis yang lebih sedikit dapat memberikan dampak yang lebih baik.

Penggunaan dosis arginin 1.4% dan 1.6% dalam diet tempe belum merupakan dosis yang optimum karena masih ada kemungkinan dosis yang lebih kecil atau lebih besar dari 1.4% yang dapat memberikan hasil yang lebih baik. Sehingga perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk menentukan dosis kadar asam amino arginin optimum yang dapat menurunkan kadar gula darah dan dapat meningkatkan distribusi sel beta penghasil insulin pada penderita diabetes melitus.

Dokumen terkait