• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merujuk pada pengumpulan data dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi kepada subjek penelitian. Selanjutnya penulis telah menyusun laporan data penelitian. Pada penyajian data untuk setiap subjek, pemaparan penulisan dalam bentuk “profile singkat”.

Winda (22 tahun)

Subjek pertama bernama Winda, usia 22 tahun seorang remaja yang telah menikah dini di Desa Pojok Kecamatan Dampit. Pendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menikah dini sejak tahun 2015 dan kini menginjak ke lima tahun pernikahan, memiliki 2 putra. Berasal dari keluarga menengah kebawah, ayahnya seorang pembuat lanjaran bambu sayuran dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Winda anak kedua dari dua bersaudara, sama seperti dirinya kakak perempuannya sudah menikah dini terlebih dahulu. Sejak kecil Winda tumbuh di keluarga harmonis dan lingkungan perkambungan baru padat penduduk.

Ola (23 tahun)

Menggunakan teknik purposive sampling berdasarkan pertimbangan kriteria yang telah ditentukan pada bab sebelumnya. Subjek kedua adalah teman dekat dari subjek pertama dan juga melakukan pernikahan dini. Bernama Ola, usia 23 tahun.

Pendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menikah dini di tahun 2015, disebabkan married by accident. Usia pernikahan Ola kini menginjak 5 tahun dan mempunyai satu putra, putri.

Vina (30 tahun)

Subjek ketiga bernama Vina berusia 30 tahun, merupakan kakak kandung subjek pertama yakni Winda. Vina menikah setelah menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Melasungkan pernikahan di tahun 2008, kini usia pernikahannya memasuki ke 12 tahun dan dikarunia seorang putri.

Evy (23 tahun)

Subjek keempat bernama Evi, usia 23 tahun. Diantara tiga subjek sebelumnya, hanya Evy sesudah lulus SMP melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) walaupun harus putus sekolah ketika masuk di kelas sebelas. Orang tua Evy tidak mempersalahkan ketika tidak menyelseikan pendidikannya. Setelah ia dilamar oleh pacarnya, orang tua Evy sangat bersyukur. Lebih cepat menikah lebih baik, daripada menjadi omongan tetangga.

Ila (22 tahun)

Subjek selanjutnya bernama Ila, usia 22 tahun. Ila menamatkan pendidikan hanya sampai sekolah menengah pertama (SMP). Kemudian melakukan pernikahan secara siri ditahun 2015, kurang lebih tiga bulan kemudian menikah sah di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Telah lima tahun subjek menjalani hidup berumah tangga dan memiliki seorang buah hati.

Nur (31 tahun)

Subjek terakhir bernama Nur berusia 31 tahun, untuk bertemu dengan subjek ini tetap menggunakan purposive sampling. Seperti beberapa subjek sebelumnya Nur telah menamatkan SMP, lalu lanjut bekerja. Nur menikah dini melalui proses siri dan setelah usia memenuhi syarat dilanjutkan pernikahan di KUA. Kini masa pernikahan Nur memasuki tahun ke duabelas.

Paparan Data

Kondensasi data pengalaman pernikahan dini

Data utama penelitian adalah hasil wawancara tidak terstruktur dengan cara mendatangi langsung ke rumah subjek. Sebelum kegiatan wawancara dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti melakukan observasi lapangan sekaligus membuat kesepakatan pertemuan. Wawancara di luar jadwal kunjungan dilakukan apabila ada kesepakatan dengan subjek. Kegiatan pengambilan data dilakukan selama empat bulan, yaitu sejak September 2019 sampai September 2020.

Hasil wawancara direkam dan disalin seluruhnya dalam bentuk transkrip (lihat lampiran), namun khusus transkrip data yang berhubungan dengan tujuan penelitian telah disajikan pada paparan berikut .

Pertanyaan 1 : Apa makna pernikahan dini bagi generasi milenial perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit?

Berikut kutipan-kutipan jawaban subjek.

“Aku nikah bulan 9 (September) umur 16 tahun, bulan Desember masuk 17 tahun. Udah cocok sama pasangan, karena dari dulu pacaran hanya minta kejelasan gak ada-ada. Aku takut dipermainkan, takut kalau orangtuaku meninggal aku belum nikah. Terus ketemu cocok sama aku, sama keluargaku.

Aku menikah siri karena habis lamaran, mertuaku laki meninggal, terus jeda satu bulan baru menikah sah. Karena adat orang jawa gak boleh. Orang tuaku yang ke KUA karena usia masih di bawah umur. Buatku menikah adalah kebahagiaan, apalagi setelah satu tahun menikah punya anak.” (Winda, 2020)

“Meskipun pas awal-awal kalau aku keluar (jalan) dibilang adeknya bukan istrinya. Sampai tetangga ada yang bilang kalau Winda memperoleh guna-guna. Suamiku menikah lambat, karena mendapatkan amanah sekaligus anak pertama dari orangtuanya untuk bertanggung jawab dengan 13 saudara kandungnya. Sejak menikah dengan dia gak pernah ngopi keluar, katanya ada yang membuatkan kopi dirumah.” (Winda, 2020)

“Awalnya ya begitu sudah kerja mau ngapain lagi. Respon orantua waktu itu ya marah, malu sama tetangga ibuk sok semakin kesini ya enggak. Ibuk waktu saya mau menikah gak siap apa-apa karena mendadak. Pas waktu itu biasa aja santai, kata ayahnya wes tak bilangkan ibuk (mertua) kalau aku hamil dan mereka bilang terserah yang penting kami siap. Suami bertanggung jawab, Alhamdulillah. Rasanya hamil pas pacaran seneng karena kita jalaninnya bareng, si ayah enjoy, selalu di bawa ke mall, karena didasari pondasi cinta.”

(Ola, 2020)

“Awalnya yawes gitu wes kerja mau ngapain lagi. Respon orantua waktu itu ya marah, malu sama tetangga ibuk sok semakin kesini ya enggak.” Ola, 2020)

“Aku PDKT dari kelas 2 SMP. Karena waktu itu suami kerja di belakang rumah, suami suka modus, suka digodain. Setelah lulus SMP langsung menikah jeda 2 minggu ditanyakan ke rumah, tidak ada basa basi, aku bilang iya. Karena, saya berpikir ada adek kelas hampir putus sekolah karena di lamar tapi gak direstui orang tuanya, oleh karena itu saya nggak mau menjadi bahan omongan orang, tanpa tekanan dari siapapun mau menikah muda”. (Vina, 2020)

“Aku menikah dirumah memanggil penghulu nikah sah ambek KUA, langsung jadi surat nikahnya meskipun usiaku dibawah tahun. Ibarat masih kecil sifat manja, masih kangen ibu diajak kerumah suami nangis”. (Vina, 2020)

“Dulu sering mengajukan ego masing-masing, sekarang lebih saling menerima. Karena ketika mengajukan ego masing-masing kasihan anak.

Dibanding menikah pas usia dini, merasa happy sekarang. Maksudnya ketika anak masih kecil mengajukan ego nya masing-masing. Apalagi meneh suami kerja di Surabaya jarak jauh, mulih.e satu bulan sekali. Aku di ruma jualan di kantin SD. Kalau pulang, seakan pacaran setelah nikah. Memanfaatkan waktu berdua”. (Vina, 2020)

“Ada tetangga yg tidak senang sentlingan, ibarat saya buat tidak mendengar.

Aku sama suami sepakat gak usah mendengarkan tetangga, yang penting keluarga”. (Vina, 2020)

“Sebelum-sebelumnya aku punya banyak mantan, gaya pacaranku lugu tidak tau apa-apa. Suami lulus SMP, saya masih kelas 2. Aku sempet lanjut SMA terus putus sekolah, karena ikut suami kerja. Karena suami pas sekolah kerja sampingan jadi supir, sering antar jemput aku. Berusaha meneruskan tapi gak kuat akhirnya putus sekolah, karena suami ngajak nikah. Suami ngalamar ke rumah sama orangtuanya, orangtuaku malah seneng. Karena gak enak di omongin orang kampung”. (Evi, 2020)

“Sekarang ayahnya (suami) kerja di ternak ayam, jika pagi tiba mengambil kulit kopi. Punya anak satu dulu waktu hamil juga takut tapi senengnya suami support. Aku ibu rumah tangga, ngemong anak, saiki usia anakku sudah 3,5 tahun. Seneng punya suami dan keluarga, alhamdulilah hidup mandiri dengan suami”. (Ila, 2020)

“Sempat menahan anak saya untuk tidak menikah dulu, menyarankan anakku buat belajar bekerja, akhirnya bekerja dulu di toko baju. Ternyata dengan ditunda, malah tekanan dari tetangga membuat semakin besar. Karena anak saya sering pulang pergi di jemput kekasihnya. Untuk mencegah prasangkan buruk dari tetangga dengan berat hati menikahkan anakku, melalui nikah siri karena belum punya KTP”. (Ila, 2020)

“Aku ini arti nikah sebenernya gak ngerti, orang aku masih kecil. Aku iki anaknya manja mbak, terus temenku dari dulu kebanyakan laki-laki semua.

Menyebabkan aku diomongkan sama tetangga kampung, katanya pacarku ganti-ganti sampai ada yang bilang begini “oh anaknya janda ganti-ganti laki-laki” padahal mereka hanya temanku. Padal kalau pacar asliku, kalau pacaran gak pernah ketemuan di rumah. Sebelum menikah akuaku sering pacaran, pas SMP belum berani, baru ketika SMA mulai pacaran”. (Nur, 2020)

“Kalau dari perjalanan waktu itu, mungkin karena masih kecil, ya bertengkar dalam rumah tangga kan sudah biasa, kan kecil itukan masih egois-egoisnya, lah masih usia 17 tahun aku menikah, masih lebih mementingkan egonya sendiri. Pertama menikah sampai sekarang sifatku sama suamiku begini saja, tetap santai begitu. Biasanya, kalau pernikahan orang di tahun pertama adalah masa romantic-romantisnya. Lha aku ya tetep dari dulu seperti ini. Suamiku gak romantic sama sekali, orangnya gak cemburuan, santai gitu. Misal, kadang-kadang sama orang-orang aku diajak keluar ya diizini disuruh berangkat. Mungkin gara-gara itu mbak, aku belum memiliki anak sampai sekarang, mungkin kita santai bisa bertahan sampai 12 tahun”. (Nur, 2020) Pertanyaan 2: Apa Implikasi pernikahan dini bagi generasi milenial perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit?

“Ada rasa bosen, tapi tergantung kitanya masing-masing. Kemudian kalau liat temen masih bisa bermain saya tidak, temen-temen necis-necis saya sudah begini. Ribet pas pekerjaan banyak, apalagi pas anak rewel. Tapi di buat seneng saja, karena sudah waktunya. Senengnya misalkan nanti saya sudah punya cucu, saya masih muda, bisa merawat anak cucu. Sungguh beruntung saya menikah dengan dia. Meskipun pas awal-awal kalau aku keluar (jalan) dibilang adeknya bukan istrinya. Sampai tetangga ada yang bilang kalau Winda oleh guna-guna. Suamiku menikah lambat, karena mendapatkan amanah sekaligus anak pertama dari orangtuanya untuk bertanggung jawab dengan 13 saudara kandungnya. Sejak menikah dengan dia gak pernah ngopi keluar, katanya ada yang membuatkan kopi dirumah”. (Winda,2020)

“Gak ada penyesalan udah pilihan, bukan karena keterpaksaan. Ya mungkin, ketika lihat temen keliling jalan-jalan, kita keliling dirumah. Kadang, susah ketika tidak punya pampers dan punya uang, susah seneng rumah tangga sama kayak yang lain. Menikah karena ini (married by accident), kalau gak ini mungkin belum menikah. Sampai sekarang saya masih suka gitu jalan hangout, sama si ayah loss terserah”. (Ola, 2020)

“Gak ada penyesalan setelah menikah, waktu habis nikah pasti ada kendala ekonomi, tapi di buat pengalaman.Inti terutama aku, suami, anak. Ada tetangga yg tidak senang sentlingan, ibarat saya buat tidak mendengar. Aku sama suami sepakat gak usah mendengarkan tetangga, yang penting keluarga. Suami lebih meredam ketika ada masalah, karena saya bersifat nelangsa. Ketika pertama kali di tinggal ke Surabaya saya merasa gila nangis, ketika suami chat nelangsa, jauh dari suami. Dengan pondasi kuat menikah muda bisa awet dan tergantung personlity masing-masing. Usiaku sekarang 30 tahun, usia pernikahan 12 tahun punya anak satu, lebih bisa menerima keadaan, bersyukur. Dengan keadaan mengatur keuangan misalnya, saya tidak meminta suami berlebih, meskipun berapapun di terima, bisa membagi”. (Vina, 2020)

“Ada rasa bosen, tapi tergantung kitanya masing-masing. Sebenernya pengen kerja, tapi gak boleh sama suami di suruh menjaga anak. Karena suami gak ada dirumah pulangnya 4-5 hari sekali, kerja nyupir Mojokerto-Jombang.

Hubunganku gak romantic sperti orang pacaran, biasanya kalau bahan bakar habis dijemput sekarang enggak, tapi tetep ada perasaan cinta. Tapi tambah punya anak malah tergantung pada anak. sudah tidak mengurusi hal yang aneh-aneh, yang penting anak kenyang, kembali lagi apa-apa untuk anak. Aku misal keluar-keluar anak-anak tak bawa saja pikiran jadi tenang”. (Evi, 2020)

“Tidak menyesal karena sudah menikah, kadang dukanya jika anak rewel.

Khawatirku waktu itu semisalkan tetep menikah siri kasian anakku kedepannya, karena kita berstatus siri, akhirnya diusahan punya surat nikah untuk mengurusi akte anak”. (Ila,2020)

“Selain itu, yang menyebabkan beban jika berkunjung ke rumah metua, gegara aku sering di sindir, meskipun tidak secara langsung. Dituntut disindir untuk punya anak, pernah juga sampai di suruh mengadopsi anak orang, aku gak mau.

Aku bilang begini ke ibu mertuaku “gak papa kalau ibuk gelem mengasuh, tapi aku gak mau mengasuh, aku mau membiyayai”, aku kalau di bilangi seperti itu malah gak nyaman. Aku masih kepingin berusaha sendiri kecuali kalau sudah mendtok, putus asa baru aku mau adopsi anak. Aku sering berbicara masalah ke suamiku kalau berkunjung ke rumah mertua males kayak ada beban, ini aja udah seminggi aku belum kesitu mbak. Gara-gara juga sering ditawari merawat anaknya mbak ipar, kalau pun suatu saat terpaksa aku mending mengadopsi anak orang lain bukan anak kakak ipar. Yasudahlah aku di cemooh tidak masalah gak pernah ambil pusing. Tapi kalau disindir masalah satu ini (hamil) aku selalu sebel banget”. (Nur,2020)

Dokumen terkait