• Tidak ada hasil yang ditemukan

problem seperti menyelaras karakter subjek dengan suaminya, akibat pola pikir yang masih egois. Lambat laun subjek mengalami tekanan dari orang terdekat untuk segera memiliki buah hati. Tidak mudah bagi subjek untuk menghadapi tekanan tersebut, namun suaminya selalu membuat tenang dalam keadaan apapun.

keputusannya karena mengalami hamil di luar nikah. Contoh

implikasi ini yang terjadi pada Ola.

Lampiran 3 :

DATA TRANSKRIP OBSERVASI (LIFE HISTORY) 1. Winda (22 tahun)

Subjek pertama bernama Winda berusia 22 tahun seorang remaja yang telah menikah dini di Desa Pojok Kecamatan Dampit. Winda merupakan anak kedua dari dua bersaudara, saudara perempuannya juga telah menikah dini. Keluarga Winda tergolong menengah kebawah, Ayahnya seorang pembuat lanjaran bambu sayuran dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Sejak kecil Winda tumbuh di keluarga harmonis dan lingkungan perkampungan baru padat penduduk. Keluarga Winda menerapkan ajaran tatakrama dalam kesehariannya, meskipun dari bapak ibunya bukan orang yang mampu. Begitu pesan kedua orangtua kepada Winda dan kakak perempuannya.

Kehidupan Winda semasa anak-anak, normal dan biasa saja sewajarnya anak-anak pada umumnya. Lingkungan teman sebaya di Sekolah Dasar juga sangat baik dan kondusif. Menginjak masa remaja awal dan Sekolah Menengah Pertama yaitu usia 16-17 tahun, Winda mulai ada perasaan suka dengan lawan jenis di sekolahnya, dan mulai mengenal pacaran atau “cinta monyet” istilah kekiniannya.

Winda tergolong gadis yang pendiam jadi sangat wajar “gugup” ketika pertama kali naksir dengan laki-laki.

Semasa duduk dibangku sekolah menengah pertama (SMP), Winda tergolong gadis lugu yang mulai tumbuh perasaan kepada laki-laki. Uniknya Winda lebih suka berpacaran dengan laki-laki yang usia diatasnya atau lebih dewasa. Ia tidak terlalu menaksir teman laki-laki sebayanya, karena Winda beralasan kalau teman sebaya emosinya seperti dia dan tidak dewasa. Pacaran pertama kali ketika kelas 2 SMP dengan laki-laki yang berusia diatas Winda, pacarnya masih usia sekolah tetapi sudah berkerja. Pacar kedua, Winda kelas 3 SMP pacarnya berusia 24 tahun sudah berkerja juga, putus dikarenakan subjek tidak terlalu suka pacaran jika ditanyain kejelasan tidak ada. Padahal Winda hanya mengajak pacarnya main ke rumahnya tidak harus melamar. Pacar subjek menolak karena takut berdasarkan hal tersebut Winda menyimpulkan sama saja tanpa keseriusan. Pacar ketiga juga dengan orang berusia diatas Winda, pada akhrinya kandas, orangtua subjek kurang menyetujui karena orangnya keja di orkesan (hiburan music desa), perilakunya minim dengan perangai telinga ditindik, suka minum-minuman keras. Winda mengikuti keputusan orangtuanya karena pacarnya tersebut kedepannya juga belum pasti.

Setelah menamatkan sekolah menengah pertama (SMP) di tahun 2013.

Winda tidak ada keinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya.

pendidikannya dikarenakan teman-teman Winda mayoritas langsung bekerja dan beberapa telah menikah. Akhirnya, Winda mengikuti jejak temannya untuk berkerja. Pada awal-awal setelah kelulusan SMP, Winda bekerja di sebuah toko kue sekaligus merawat anak juragannya di daerah Blimbing Malang.

Terdapat pertanyaan penting yang perlu diungkapkan di sini yaitu apa yang melatarbelakangi Winda dalam memutuskan menikah? Kehidupan asmara subjek tipikal pemilih seseorang yang usianya lebih tua atau lebih dewasa. Karena Winda sendiri merasa dirinya adalah sosok yang egois, manja dan tidak suka dipermainkan oleh laki-laki yang tidak serius dalam menjalin hubungan. Subjek menceritakan bahwa ia pernah menjalani pacaran beberapa kali. Akan tetapi, hubungan subjek dengan para lelaki selalu kandas di tengah jalan. Putus hubungan dengan pacar-pacar sebelumnya karena hanya cinta monyet semata, padahal subjek mengharapkan hubungan lebih serius.

Keyakinan inilah yang membawa subjek menemukan pendamping hidupnya sampai sekarang. Kakak ipar subjek yang mengenalkan kepadanya. Laki-laki pendamping hidup Winda sekarang adalah pencarian terakhir dalam kehidupan percintaan subjek. Laki-laki ini berusia 41 tahun dan usia subjek 17 tahun saat itu.

Cukup jauh memang perbedaan usia subjek dengan laki-laki tersebut. Mereka selama pacaran jarang bertemu hanya berkomunikasi lewat handphone. Sesekali keluar berkencan ketika ada acara hiburan jaranan (kuda lumping) dan orkes (dangdut campursari). Berikut alasan Winda:

“Suami ini pacar kelima yang terakhir intinya, cuman sebentar aku pacaran dan gak pernah ketemu hanya kenalan lewat HP. Aku dan suami dikenalin sama kakakku. Berawal kenal lewat HP, aku nyaman. Aku jarang bertemu dia, karena setelah lulus SMP kerja di malang sekitar tahun 2013-2015.

Bener ditawari ibuk lanjut sekolah, tapi ibuk gak iso nyekolahno seng sekolah apik. Nggeh kulo pikir-pikir tawaran ibuk, terus ada konco yang ngajak nyambut gawe. Kulo pilih nyacak nyambut gawe, kebetulan masa libur lebaran 3 bulan, ternyata enak rasane duit, males sekolah wes”.

“Suami ini pacar kelima yang terakhir intinya, cuman sebentar aku pacaran dan gak pernah ketemu hanya kenalan lewat HP. Aku dan suami dikenalin sama kakakku. Berawal kenal lewat HP, aku nyaman. Aku jarang bertemu dia, karena setelah lulus SMP kerja di malang sekitar tahun 2013-2015.

Betul ditawari ibuk lanjut sekolah, tapi ibuk tidak bisa menyekolahkan di sekolah bagus. Ya, saya pikir-pikir tawaran dari ibuk, terus ada temen yang mengajak bekerja. Saya pilih mencoba bekerja, kebetulan masa libur lebaran 3 bulan, ternyata enak rasanya uang, akhirnya malas melanjutkan sekolah”.

Sambil menggendong anak bungsunya subjek bercerita kepada peneliti dengan penuh kebahagiaan hal ini terlihat dari pancaran mata Winda. Kemudian subjek melanjutkan kisah proses perizinan kepada masing-masing orangtua.

Dengan figur dewasa pacar subjek memberanikan diri untuk meminta winda menjadi istrinya. Pertama kali ibu saya kurang yakin ketika laki-laki ini datang kerumah, karena penampilan fisiknya cukup berantakan, rambut gondrong dan bertato. Ibu sempat marah dan memberikat nasehat ketika bertemu pacar saya ungkap subjek. Winda meyakinkan kepada ibunya bahwa pacarnya kali ini memiliki kepribadian yang baik, dibuktikan dengan menuruti semua nasihat ibu subjek. Secara detail Winda menceritakan sebagai berikut :

“Pas ketemuan lek jareku penampilannya jelek tetapi perilaku baik dan dewasa. Aku gak mau pacaran bertahun-tahun, dibawa kesana kemarin, ketemu orang tua tapi gak dinikahin. Aku sukanya sama dia dari ketulusan hatinya, perhatiannya. Ini yang memantapkan aku dibanding yang sebelum-sebelumnya. Soale sebelum menaklukkan aku, dia meyakinkan keluargaku.

Pertama kesini (rumah Winda) rambutnya gondrong, dia dimarahin ibuk, terus kesini lagi rambutnya sudah dipotong.”

“Ketika ketemuan menurutku penampilannya jelek tetapi perilaku baik dan dewasa. Aku gak mau pacaran bertahun-tahun, dibawa kesana kemarin, ketemu orang tua tapi gak dinikahin. Aku sukanya sama dia dari ketulusan hatinya, perhatiannya. Ini yang memantapkan aku dibanding yang sebelum-sebelumnya. Karena sebelum menaklukkan aku, dia meyakinkan keluargaku. Pertama kesini (rumah Winda) rambutnya gondrong, dia dimarahin ibuk, terus kesini lagi rambutnya sudah dipotong.”

Tak lama jangka waktu dari perkenalan subjek dengan suami memutuskan hubungan serius yaitu menikah. Menikah di usia dini adalah salah satu mimpi subjek, ia takut dipermainkan laki-laki, takut orangtua meninggal di saat dia belum menikah. Di tambah lagi keluarga juga mendukung Winda, supaya segera menikah tidak ada paksaan dari siapapun murni impian subjek. Pada tahun 2015 subjek dan suami menikah secara siri, karena usia Winda saat itu belum genap 17 tahun. Selain faktor usia, pada saat sebelum lamaran calon mertua subjek meninggal semua, duka cita mendalam dalam perjalanan pernikahan. Dalam adat Jawa jika salah satu orangtua mempelai meninggal maka harus menunda pernikahan sampai hari ke-40 dan solusi mereka menikah secara siri terlebih dahulu.

Pada 15 September 2015, setelah 5 bulan masa pernikahan siri. Winda dan Suami menikah secara sah di kantor urusan agama (KUA). Hari-hari pasca pernikahan suami dan subjek tinggal di rumah oramg tua Winda. Kedewasaan

Keduanya di karuniai dua buah hati berjenis kelamin laki-laki, anak pertama usia 4 tahun dan anak kedua berusia 6 bulan. Rasa dilemma subjek muncul ketika anak kedua lahir, dia harus berhenti bekerja di toko kue karena menyusui serta merawat buah hatinya. Winda sangat menyayangkan hal ini walaupun juragan membolehkan dia membawa anak ketika bekerja. Namun, tidak diizinkan oleh orangtua subjek.

“Aku nikah bulan 9 (September) umur 16 tahun, bulan Desember masuk 17 tahun. Udah srek cocok sama pasangan, soale dari dulu pacaran cumak minta kejelasan gak ada-ada. Aku takut dipermainkan, takut lek orangtuaku meninggal aku belum nikah. Terus ketemu cocok sama aku, sama keluargaku. Aku menikah siri karena habis lamaran, mertuaku laki meninggal, terus gang satu bulan baru menikah sah. Karena adat orang jawa gak boleh. Orang tuaku yang ke KUA karena usia masih di bawah umur. Buatku menikah adalah kebahagiaan, apalagi setelah satu tahun menikah punya anak”.

“Aku nikah bulan 9 (September) umur 16 tahun, bulan Desember masuk 17 tahun. Udah cocok sama pasangan, karena dari dulu pacaran hanya minta kejelasan gak ada-ada. Aku takut dipermainkan, takut kalau orangtuaku meninggal aku belum nikah. Terus ketemu cocok sama aku, sama keluargaku. Aku menikah siri karena habis lamaran, mertuaku laki meninggal, terus jeda satu bulan baru menikah sah. Karena adat orang jawa gak boleh. Orang tuaku yang ke KUA karena usia masih di bawah umur.

Buatku menikah adalah kebahagiaan, apalagi setelah satu tahun menikah punya anak”.

“Ada rasa bosen, tapi tergantung kitanya masing-masing. Kemudian kalau liat temen masih bisa bermain saya tidak, temen-temen kinyis-kinyis saya sudah begini. Ribet pas pekerjaan banyak, apalagi pas anak rewel. Tapi tak buat happy saja, karena sudah waktunya. Senengnya misalkan nanti saya sudah punya cucu, saya masih muda, bisa merawat anak cucu. Jan untung saya menikah dengan dia. Meskipun pas awal-awal kalau aku keluar (jalan) dibilang adek.ne bukan istrinya. Sampai tonggo (tetangga) ono seng ngomong kalau Winda oleh guna-guna. Suamiku menikah lambat, karena mendapatkan amanah sekaligus anak pertama dari orangtuanya untuk bertanggung jawab dengan 13 saudara kandungnya. Sejak menikah dengan dia gak pernah ngopi keluar, katanya ada yang membuatkan kopi dirumah”.

“Ada rasa bosen, tapi tergantung kitanya masing-masing. Kemudian kalau liat temen masih bisa bermain saya tidak, temen-temen necis-necis saya sudah begini. Ribet pas pekerjaan banyak, apalagi pas anak rewel. Tapi di

buat seneng saja, karena sudah waktunya. Senengnya misalkan nanti saya sudah punya cucu, saya masih muda, bisa merawat anak cucu. Sungguh beruntung saya menikah dengan dia. Meskipun pas awal-awal kalau aku keluar (jalan) dibilang adeknya bukan istrinya. Sampai tetangga ada yang bilang kalau Winda oleh guna-guna. Suamiku menikah lambat, karena mendapatkan amanah sekaligus anak pertama dari orangtuanya untuk bertanggung jawab dengan 13 saudara kandungnya. Sejak menikah dengan dia gak pernah ngopi keluar, katanya ada yang membuatkan kopi dirumah”.

Kehidupan subjek saat ini hanya fokus membesarkan kedua buah hatinya dan berjualan cilok di rumahnya. Terkadang di hati kecil subjek terbesit keinginan bermain sesama para teman sebaya. Subjek juga mengatakan kalau teman-teman saya masih cantik-cantik, merawat tubuhnya dengan baik. Sedangkan subjek tidak sempat lagi melakukan hal itu semua, badan sudah melar. Ada rasa kecewa tapi dibuat senang saja begitu keluh kesah subjek. Di sisi lain subjek sangat bahagia dengan pernikahannya karena usia masih muda saya sudah memiliki anak, kelak dia akan merawat anak cucunya.

2. Ola (23 tahun)

Metode memperoleh subjek dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling. Bahwasannya pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan kriteria yang telah ditentukan pada bab sebelumnya. Subjek kedua adalah teman dekat dari subjek pertama juga melakukan pernikahan dini. Ola nama panggilannya, sebelum menikah subjek sempat lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) di tahun 2013 satu sekolah dengan subjek pertama.

Kondisi keluarga Ola, sejak lama ia ditinggal merantau ayahnya kerja di Jakarta. Sebelum menikah Ola tinggal bersama adek perempuannya, beruntung lokasi tempat tinggal subjek tergolong perkampungan padat. Sehingga Ola tidak terlalu khawatir, karena para tetangga sudah seperti saudara sendiri.

Ola mulai berpacaran sejak kelas dua SMP, langsung bekerja. Subjek tidak melanjutkan Sekolah Menengah Awal (SMA) karena capek, males. Dalam perjalanan subjek dengan pacarnya, mereka mengalami indsiden kehamilan (married by accident). Pada tahun 2014 pacar Ola bertemu dengan ayah subjek dan di tahun 2015 diberlangsungkan pernikahan mereka.

Sebuah keberanian besar bagi Ola ketika memutuskan pernikahan. Waktu itu keluarga Ola sangat marah malu dengan kelakuan anaknya. Ibu subjek kaget dengan kejadian yang menimpa putrinya. Dengan terpaksa pernikahan mereka harus disegerakan. Persiapan menikah disetujui oleh orangtua Ola. Beda pendapat dari orangtua pihak pacar subjek yang dari awal merestui pernikahan dadakan

“Awalnya yawes gitu wes kerja mau ngapain lagi. Respon orantua waktu itu ya marah, malu sama tetangga ibuk sok semakin kesini ya enggak. Ibuk waktu saya mau menikah gak siap apa-apa karena dadakan. Pas waktu itu biasa aja santai, kata ayahnya wes tak kandakno ibuk (mertua) lek samean meteng dan mereka bilang terserah yang penting siap. Suami bertanggung jawab, Alhamdulillah. Rasanya hamil pas pacaran seneng karena kita jalaninnya bareng, si ayah enjoy, selalu di bawa ke mall, karena didasari pondasi cinta”.

“Awalnya ya begitu sudah kerja mau ngapain lagi. Respon orantua waktu itu ya marah, malu sama tetangga ibuk sok semakin kesini ya enggak. Ibuk waktu saya mau menikah gak siap apa-apa karena mendadak. Pas waktu itu biasa aja santai, kata ayahnya wes tak bilangkan ibuk (mertua) kalau aku hamil dan mereka bilang terserah yang penting kami siap. Suami bertanggung jawab, Alhamdulillah. Rasanya hamil pas pacaran seneng karena kita jalaninnya bareng, si ayah enjoy, selalu di bawa ke mall, karena didasari pondasi cinta”.

Tatkala subjek mengetahui kehamilannya, pacar hanya bilang santai saja nanti dibilangkan ibu jelasnya. Saat menikah usia subjek masih 17 tahun dan menikah secara sah di Kantor Urusan Agama (KUA).

Subjek menjelaskan rasanya menikah di usia muda, okelah sudah terlanjur mau bagaimana lagi. Ketika subjek menyesali masa remaja hilang, melihat teman-teman jalan tanpa penghambat dirinya hanya muter jalan di rumah saja. Dalam keseharian setelah menikah dan kehadiran dua buah hati mewarnai kehidupan subjek dengan suami. Putri subjek kini menginjak 4 tahun serta adik laki-laki yang baru 17 bulan. Terkadang subjek mengeluh saat pampers habis dan tidak punya uang untuk membeli.

“Gak ada penyesalan udah pilihan, bukan karena keterpaksaan. Ya mungkin, ketika lihat temen muter-muter jalan, kita muter-muter dirumah.

Kadang, susah ketika tidak punya pampers dan punya uang, susah seneng rumah tangga sama kayak yang lain. Menikah karena ini (married by accident), kalau gak ini mungkin belum menikah. Sampai sekarang saya masih suka gitu jalan hangout, sama si ayah loss terserah”.

“Gak ada penyesalan udah pilihan, bukan karena keterpaksaan. Ya mungkin, ketika lihat temen keliling jalan-jalan, kita keliling dirumah.

Kadang, susah ketika tidak punya pampers dan punya uang, susah seneng rumah tangga sama kayak yang lain. Menikah karena ini (married by accident), kalau gak ini mungkin belum menikah. Sampai sekarang saya masih suka gitu jalan hangout, sama si ayah loss terserah”.

Ola sehari-hari sebagai ibu rumah tangga, merawat kedua buah hatinya dan adik perempuannya yang mengalami autis sejak bayi. Untuk membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga, Ola berjualan baju online. Subjek bersyukur sampai saat ini rumah tangga didasari penuh cinta.

3. Vina (30 tahun)

Penelusuran dalam memahami kehidupan pernikahan dini generasi milineal perempuan terhadap kedua profil subjek, Winda dan Ola tesebut sepertinya sudah cukup untuk memaknakan pernikahan dini bagi milineal perempuan.

Subjek ketiga bernama Vina, yang merupakan sudara kandung dari subjek pertama. Pengalaman hidup kedua subjek tersebut secara esensi mempunyai persamaan di dasari pondasi rasa cinta sehingga kehidupan pernikahan masih baik-baik sampai saat ini hanya berbeda dari faktor penyebab pernikahan.

Oleh karena itu, peneliti mencari subjek lain dengan cara yang sama melalui purposive sampling atas rekomendasi Winda untuk memperoleh subjek ketiga.

Acuan dari Winda tentu tidak meragukan bagi peneliti karena subjek ketiga merupakan kakak kandung Winda sendiri. Telah melakukan pernikahan dini sejak lulus SMP. Dari rekomendasi Winda diperoleh subjek ketiga yaitu perempuan milineal bernama Vina.

Vina adalah perempuan berparas cantik dengan perawakan cukup tinggi dan memiliki rambut lurus sebahu. Dia adalah kakak kandung subjek pertama Winda.

Vina memiliki kepribadian cukup berbeda dengan saudara perempuannya, ia cenderung sensitive dan pemalu. Ketika Vina duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupakan siswa yang aktif mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Dengan perwakan tinggi berparas rupawan Vina pernah bergabung dalam tim ekstra drumband, subjek memegang kendali sebagai mayoret.

Vina memulai hubungan asmara dengan laki-laki saat masih kelas 2 SMP.

Kisah mereka semakin bertumbuh benih-benih cinta dikarenakan kala itu suaminya bekerja di belakang rumah subjek. Dan lokasi sekolah Vina juga dekat dengan rumah sang suami. Hal tersebut yang membuat pacar Vina suka modus, cari-cari perhatian terhadapnya. Tak lama dari peristiwa manis itu, pacar Vina menanyakan dalam rangka melamar Vina menjadi calon istrinya. Subjek beserta kedua orangtua kedua belah pihak merestui hubungan baik mereka.

Secara sadar Vina akan menjalani kehidupan pernikahan saat masih usia 16 tahun, Subjek beralasan, karena ia mengingat kejadian adek kelas hampir putus sekolah akibat di lamar orang namun orang tua tidak merestui. Maka dari itu subjek tidak mau menjadi bahan omongan orang, keadaan waktu itu sudah dilamar. Tanpa

“Aku PDKT dari kelas 2 SMP. Karena waktu itu suami kerja di belakang rumah, suami suka modus, gojlok gojlok.kan. Setelah lulus SMP langsung menikah jeda 2 minggu ditanyakan ke rumah, nda ada basa basi, aku bilang iya. Karena, saya berpikir ada adek kelas hampir leren sekolah karena di lamar tapi gak direstui orang tuanya, oleh karena itu saya nggak mau menjadi bahan omongan orang, tanpa tekanan dari siapapun mau menikah muda”.

“Aku PDKT dari kelas 2 SMP. Karena waktu itu suami kerja di belakang rumah, suami suka modus, suka digodain. Setelah lulus SMP langsung menikah jeda 2 minggu ditanyakan ke rumah, tidak ada basa basi, aku bilang iya. Karena, saya berpikir ada adek kelas hampir putus sekolah karena di lamar tapi gak direstui orang tuanya, oleh karena itu saya nggak mau menjadi bahan omongan orang, tanpa tekanan dari siapapun mau menikah muda”.

Proses pernikahan Vina dengan pacarnya berjalan lancer. Mereka menikah di rumah disahkan oleh penghulu, menikah secara sah oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Dampit. Surat nikah lansgung jadi walaupun usia Vina di bawah ketentuan perundang-undangan.

Awal-awal pernikahan subjek mengalami masa-masa cukup berat.

Terutama bagi Vina sendiri, seiring memasuki bahtera rumah tangga mereka.

Seringkali mencuat omongan dari tetarangga tentang kesenjagan usia Vina dan suami. Lama kelamaan Vina dengan suami sepakat tidak terlalu mendengarkan omongan tetangga, yang penting keluarga mereka tetap baik-baik saja. Suami subjek lebih dewasa ketika terjadi masalah, bisa meredam emosi dan menenangkan Vina, karena perasaan Vina sensitive mudah nelangsa tatkala itu.

“Aku menikah dirumah memanggil penghulu nikah sah ambek KUA, langsung jadi surat nikahnya meskipun usiaku dibawah tahun. Ibarat masih kecil sifat mbok-mbok.en, masih kangen ibu diajak kerumah suami nangis”.

“Aku menikah dirumah memanggil penghulu nikah sah ambek KUA, langsung jadi surat nikahnya meskipun usiaku dibawah tahun. Ibarat masih kecil sifat manja, masih kangen ibu diajak kerumah suami nangis”.

Momen kehamilan tentu memberikan pengalaman luar biasa bagi Vina. Di usia yang masih muda subjek melahirkan buah hati berjenis kelamin perempuan.

Subjek merasa tidak memiliki konflik batin ketika anaknya terlahir. Mertua, orang tua subjek berperan besar dalam mengurus bayi dan suami selalu memberikan ketenangan,

“Ketika hamil biasa aja. Ketika melahirkan menangis. Setelah anak 7 bulan, kembali ke rumah suami dengan berusaha krasan. Gak ada konflik hamil, gara-gara setelah melahirkan tinggal dirumah ibukku sendiri, di bantu ibu mengurus bayi”.

Menurutnya keputusan dan mempertahankan pernikahan tergantung personality masing-masing. Adaptasi musti dilakukan setiap hari, agar pondasi rumah tangga semakin kuat. Kurun 12 tahun pernikahan, ia merasa lebih bisa mengontrol ego diantara mereka, kasihan anaknya jika kami egois.

Menurutnya keputusan dan mempertahankan pernikahan tergantung personality masing-masing. Adaptasi musti dilakukan setiap hari, agar pondasi rumah tangga semakin kuat. Kurun 12 tahun pernikahan, ia merasa lebih bisa mengontrol ego diantara mereka, kasihan anaknya jika kami egois.

Dokumen terkait