• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA PERNIKAHAN DINI BAGI GENERASI MILENIAL (Studi Fenomenologi dikalangan Perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit) TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MAKNA PERNIKAHAN DINI BAGI GENERASI MILENIAL (Studi Fenomenologi dikalangan Perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit) TESIS"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA PERNIKAHAN DINI BAGI GENERASI MILENIAL

(Studi Fenomenologi dikalangan Perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Gelar S-2 Program Studi Magister Sosiologi

Disusun oleh : Ony Eka Rahayu NIM :201810270211012

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER SOSIOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FEBRUARI 2021

(2)
(3)

T E S I S

Dipersiapkan dan disusun oleh :

ONY EKA RAHAYU

201810270211012

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada hari/tanggal, Jum’at/ 5 Februari 2021 dan dinyatakan memenuhi syarat sebagai kelengkapan memperoleh gelar Magister/Profesi di Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Malang

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Ketua : Assc. Prof. Dr. Budi Suprato.

Sekretaris : Assc. Prof. Dr. Tri Sulistyaningsih.

Penguji I : Prof. Dr. Ishomuddin, M. Si Penguji II : Dr. Fauzik Lendriyono, M. Si

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan Tesis dengan judul “Makna Pernikahan Dini Bagi Generasi Milenial (Studi Fenomenologi dikalangan Perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit”. Tesis ini ditulis dalam rangka memenui sebagian pesyaratan akademik guna mencapai gelar Magister Sosiologi pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan pada junjungan kita Nabi Besar Rasullullah Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut yang setia.

Sejalan dengan terselesainya Tesis ini, penulis tak lupa mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril maupun spiritual. Selanjutnya, dengan segalam kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Assc. Prof. Dr. Budi Suprapto dan Assc. Prof. Dr. Tri Sulistyaningsih selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan dan bimbingan yang begitu berharga sehingga terselesaikan penyusunan tesis ini.

2. Prof. Dr. Ishomuddin, M.Si dan Dr. Fauzik Lendriyono, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan yang berharga dalam proses pemyusunan tesis.

3. Direktur dan Wadir, beserta para staff TU Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang atas segala bantuan yang diberikan.

4. Bapak dan Ibu Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis.

5. Kedua Orangtua penulis dan anggota keluarga yang tak henti-hentinya memberi dukungan dan memfasilitasi penulis.

6. Serta semua yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir Tesis ini. Atas jasa-jasanya, penyusun hanya bisa mendoakan semoga amal kebaikannya mendapat balasan dari Allah SWT.

(6)

Tiada kata penyusun ucapkan selain kata terima kasih banyak. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan balasan kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu hingga terseleseikannya Tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan tesis, masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, namun penulis terus berusaha untuk membuat yang terbaik.

Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca Tesis ini. Akhirnya dengan harapan mudah-mudahan penyusunan Tesis yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Malang, 5 Februari 2021

ONY EKA RAHAYU

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR TABEL ... ix

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Penelitian Terdahulu ... 5

Teori Fenomenologi ... 6

Teori Pola Komunikasi Keluarga ... 7

Pengertian Pernikahan dan Pernikahan Dini ... 7

Makna Pernikahan ... 8

Implikasi Perkawinan Dini ... 9

Generasi Milenial dan Pemaknaan Terhadap Fenomena Sosial ... 10

Generasi Milenial dan Pemaknaan Perkawinan Dini ... 10

Perkawinan Sirri ... 11

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 12

Profil Subjek Penelitian ... 12

Paparan Data ... 13

PENYAJIAN DATA ... 17

Pernikahan Dini dalam Perspektif Fenomenologi ... 20

Makna Pernikahan Dini Bagi Generasi Milenial Perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit ... 24

Implikasi Pernikahan Dini Bagi Generasi Milineal Perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit ... 28

Pengaruh Keluarga Terhadap Praktik Pernikahan Dini ... 30

PENUTUP DAN KESIMPULAN ... 32

(8)

Kesimpulan ... 32 Saran-Saran ... 33 DAFTAR PUSTAKA ... 35 LAMPIRAN

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Makna Pernikahan Dini ... 16 Tabel 2. Implikasi Pernikahan Dini ... 18

(10)

MAKNA PERNIKAHAN DINI BAGI GENERASI MILENIAL

(Studi Fenomenologi dikalangan Perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit) Ony Eka Rahayu

(onyovinzy@gmail.com / NIM :201810270211012) Assc. Prof. Dr. Budi Suprapto

(budisuprapo@umm.ac.id / NIDN: 0725056101) Assc. Prof. Dr. Tri Sulistyaningsh

(sulistyaningsih@umm.ac.id / NIDN: 0022066401) Program Studi Magister Sosiologi

Universitas Muhammadiyah Malang ABSTRAK

Fenomena pernikahan dini masih menjadi isu mencolok dalam gelombang hidup masyarakat. Bahkan pada era millennium yang identik dengan generasi milenial.

Pada dasarnya generasi milenial memiliki karakter unik seperti minat lebih besar untuk menempuh pendidikan dan penguasaan terhadap teknologi, yang seharusnya memberikan dampak positif dalam kehidupan para anak-anak perempuan milenial.

Mayoritas anak-anak ini lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP), serta beberapa dari mereka belum tamat SMA. Terutama anak-anak tinggal di perdesaan yang pada dasarnya mereka kurang mumpuni akses teknologi. Penelitian ini di lakukan di Desa Pojok Kecamatan Dampit. Karena pada wilayah ini pernikahan anak marak dilakukan.

Penelitian ini menggunakan paradigma definisi sosial, pendekatan fenomenologi deskriptif. Lokasi penelitian di Desa Pojok Kecamatan Dampit.

Pengambilan data-data primer dengan penetapan purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian, memakai teknik analisis data fenomenologi oleh Moustakas dan pengecekan keabsahan temuan menggunakan credibility, confirmability, triangulasi.

Hasil penelitian menemukan substansi mengenai makna pernikahan dini bagi generasi milenial perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit, menjadi tiga pemaknaan : Pertama, pernikahan dini dipengaruhi persepsi terhadap pasangan, persepsi mengenai tingkat kedewasaan disini adalah orang yang berusia diatas subjek dan mencari rasa aman. Kedua, pernikahan dini disebabkan Married by Accident, walaupun ada rasa keterpaksaan di awal, karena harus segera menikah dan pertanggung jawaban dari pacar sehingga membuat subjek merasa bahagia. Terakhir, pernikahan dini karena tekanan judgemental, kebanyakan para orangtua subjek mengizinkan anak-anaknya untuk melakukan pernikahan dini. Dengan menikah menjadi jalan terbaik dalam menghindari omongan kurang baik dari tetangga

(11)

THE MEANING OF EARLY MARRIAGE OF MILLENIAL GENERATION (Study Phenomenology of Women in Dampit Sub-District)

Ony Eka Rahayu

(onyovinzy@gmail.com / NIM :201810270211012) Assc. Prof. Dr. Budi Suprapto

(budisuprapo@umm.ac.id / NIDN: 0725056101) Assc. Prof. Dr. Tri Sulistyaningsih

(sulistyaningsih@umm.ac.id / NIDN: 0022066401) Program Studi Magister Sosiologi

Universitas Muhammadiyah Malang ABSTRACT

The phenomenon of early marriage is still a striking issue in the wave of people's lives. Even in the millennial era, which is identical to the millennial generation. Basically, the millennial generation has unique characteristics such as a greater interest in education and mastery of technology, which should have a positive impact on the lives of millennial girls.The majority of these children have graduated from junior high school (SMP), and some of them have not graduated from high school. Especially children living in rural areas where basically they lack adequate access to technology. This research was conducted in Pojok Village, Dampit Sub- District. Because in this area child marriage is rife.

This study uses a social definition paradigm, a descriptive phenomenology approach. The research location is in Pojok Village, Dampit District. Primary data were collected by using purposive sampling. Data collection techniques using observation, interviews, and documentation. Then, using the phenomenological data analysis technique by Moustakas and checking the validity of the findings using credibility, confirmability, triangulation.

The results of the study found the substance of the meaning of early marriage for the millennial generation of women in Pojok Village, Dampit District, into three meanings: First, Early marriage is influenced by the perception of the couple, the perception of the maturity level here is that people are above the age of the subject and are looking for a sense of security. Second, early marriage caused by Married by Accident, although there was a sense of compulsion at the beginning, because they had to get married immediately and the accountability of the boyfriend so that it made the subject feel happy. Finally, because of early marriage due to judgmental pressure, most of the parents of the subjects allowed their children to have early marriages. Getting married is the best way to avoid bad talk from neighbor.

Keyword: millenial generation, early marriage

(12)

PENDAHULUAN

Fenomena pernikahan dini masih menjadi isu mencolok dalam gelombang hidup masyarakat. Bahkan pada era millennium yang identik dengan generasi milenial.

Generasi ini kurun kelahirannya tahun 1982 sampai 2004-an. Tidak sedikit anak-anak usia di bawah 17 tahun yang melakukan pernikahan dini (Statistik, 2018b). Mayoritas anak-anak ini lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP), serta beberapa dari mereka belum tamat SMP. Terutama anak-anak tinggal di perdesaan yang pada dasarnya mereka kurang mumpuni akses teknologi. Penelitian ini di lakukan di Desa Pojok Kecamatan Dampit. Karena pada wilayah ini pernikahan anak marak dilakukan.

Era milenium tidak sedikit milenial usia awal yang memutuskan menikah di usia anak, adapun terjadi di Kecamatan Dampit Desa Pojok. Karakteristik milenial pada wilayah perdesaan cenderung tidak terlalu terobsesi dengan isu-isu di media sosial. Penggunakan teknologi seperti handphone juga hanya sekadarnya bukan pemanfaatan secara penuh. Hal ini dikarenakan beberapa dari mereka disibukkan membantu perekonomian keluarga dengan bekerja, meskipun pekerjaan serabutan.

Berbeda dengan karakteristik milineal yang hidup daerah perkotaan, rata-rata mereka sangat percaya diri, berani mengemukakan pendapat. Kemudian, individu-individu yang cakap berinteraksi terutama dalam komunitas yang mereka ikuti, interaktif media sosial serta internet (Statistik, 2018b).

Mengacu pada pernyataan BPS (2018) diatas meskipun anak-anak perdesaan ini hidup di era milenial, tidak berarti semua aspek karakteristik milenial bisa disamakan. Hal ini terlihat dari cara pandang milineal perdesaan terhadap sifat-sifat milineal pada umumnya. Para milenial ini memang melek penggunakan teknologi terutama handphone, tetapi dari sisi pola pikir milineal perdesaan kurang terbuka sehingga melahirkan pemikiran yang pragmatis. Meiadayati (2015), menyebutkan bahwa rendahnya pendidikan remaja di Desa Cipacing Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang menjadi penyebab terjadinya pernikahan dini (Meiandayati &

et al., 2015). Hal ini sesuai dengan penyataan bahwa seseorang yang memiliki pendidikan lebih tinggi secara tidak langsung memiliki pengetahuan lebih baik

(13)

dibandingkan seseorang memiliki pendidikan yang lebih rendah (Cahyaningrum &

Siwi, 2018).

Penelitian sejenis menurut Rahman (2015) menjelaskan pernikahan dini terjadi karena adat budaya daerah yang menjadi kebiasaan. Selain itu, tingkat pendidikan dan faktor ekonomi keluarga yang memengaruhi remaja melakukan pernikahan dini (Rahman & et al., 2015). Mencermati bebrapa penelitian sebelumnya bisa terlihat karakteristik milineal tidak dapat digeneralisasikan sepenuhnya, terutama dalam pola pikir dan cara pandang setiap individu. Milenial daerah perdesaan memang melek teknologi (Astuti & Nurmalita, 2014), tetapi jarang dari mereka yang berpikiran terbuka pada perubahan zaman (Widhyharto, 2014).

Fenomena yang terjadi di Desa Pojok Kecamatan Dampit, mengacu pada hasil observasi lapangan, 2020 , menunjukkan bahwa rata-rata usia anak-anak ini masih di bawah usia 17 tahun dan tentunya belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pada prosesnya mereka menempuh pernikahan secara siri terlebih dahulu. Ketika sudah memasuki usia 17 tahun dan memperoleh KTP, bisa mengajukan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA). Berdasarkan hasil observasi, terdapat fenomena adanya pernikahan dini yang dilakukan di Desa Pojok. Meliputi dua prosedur yaitu pertama, melakukan pernikahan siri dan ketika bersangkutan telah berusia 17 tahun selanjutnya dilakukan pernikahan resmi di KUA. Prosedur kedua, yakni mereka memperoleh kompensasi dari KUA untuk melakukan pernikahan secara resmi.

Pada realitasnya dalam Ali (2015), menjelaskan masalah fenomena social perkawinan usia muda di Indonesia merupakan salah satu fenomena krusial di berbagai wilayah tanah air, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Hal ini menunjukkan kesederhanaan pola pikir masyarakat, sehingga fenomena sosial (pernikahan usia dini) masih terus berulang. Fenomena perkawinan usia muda akan berdampak pada kehidupan keluarga dan kualitas sumberdaya manusia Indonesia (Ali, 2015).

Generasi milenial menurut Budiarti, dkk (2018) menjelaskan dalam beberapa tahun terakhir istilah ini cukup familiar. Umumnya istilah generasi milenial disingkat Gen Y atau Generasi Y. Tepatnya di awal tahun 1990-an dari sejarawan Amerika William Strauss dan Neil Howe, mulai mempublikasikan istilah milenial. Teori yang dikemukakan oleh Strauss dan Howe ini menjelaskan mengenai batasan generasi

(14)

berdasarkan tahun kelahiran seseorang. Adapun batasan dari generasi milenial ini adalah satu generasi yang terlahir dalam rentang waktu 1982 hingga kelahiran 2004.

Jadi, dengan kata lain generas milenial saat ini berusia 13 hingga 35 tahun. Bisa disimpulkan bahwa rentang usia-anak berdasarkan undang-undang No.23 Tahun 2008 telah memasuki generasi milenial pada usia awal (Statistik, 2018b).

Sementara itu karakteristik milenial menurut Alvara Research Center (2015) ialah generasi yang memiliki ciri khas unik dan berbeda dengan generasi sebelumnya.

Penyebabnya milenial dipengaruhi oleh munculnya smartphone, dibarengi tersebarnya koneksi internet dan hadirnya jejaring sosial (social media). Dari penyebab tersebut sehingga mempengaruhi pola pikir, nilai-nilai dan perilaku yang diyakini(Purwandi &

Ali, 2020).

Bersumber pada kajian oleh Pew Research, mengungkapkan bahwa generasi milenial sangat berambisi dengan pendidikan, karir, bisnis, dan aktivitas lain yang mengarah pada kesuksesan. Generasi lebih menyukai untuk mengekspresikan aktualisasi diri di lingkungan sosialnya. Dengan demikian, banyak yang menyebut jika generasi milenial sebagai orang berpendidikan serta anggapan pernikahan bukan satu- satunya tujuan utama. Sebagian besar generasi ini berasumsi menikah akan membagi waktu mereka dengan keluarga, kemudian untuk mencapai kesuksesan membutuhkan waktu dan tenaga yang ekstra dalam memperolehnya. Opini lain, dengan hidup masih melajang saja milenial disibukkan pekerjaan, ditambah aktivitas penunjang lainnya.

Apalagi jika suatu saat menikah sudah otomatis perhatian mereka terbagi dan sukar untuk mencapai aktualisasi diri. Oleh karena itu, menikah dijadikan tujuan lain setelah tercapainya kesuksesan yang diharapkan generasi milenial (Silalahi, 2011).

Terdapat sebuah paradoks berdasarkan dari hasil survei statistik tentang penggunakan akses informasi teknologi, tidak membuat seorang individu merubah pola pikir progresif pada masa depan dirinya. Konteks bidang pendidikan misalnya, seharusnya generasi milenial bisa menumbuhkan minatnya karena pengaruh penggunaan teknologi. Sebagian dari mereka sadar akan memprioritaskan pendidikan. Jika kondisi seperti ini bisa diterapkan dan ditumbuhkan pada setiap individu milenial, optimisme Indonesia terhadap potensi yang dimiliki generasi ini.

(15)

Serta penyelarasan dalam bidang teknologi, pasti akan melahirkan kesempatan dan berinovasi (Statistik, 2018b).

Pakar sosiolog Horton dan Hunt (1999) menyatakan kepribadian manusia baik di perkotaan maupun pedesaan tidak jauh berbeda, tidak nampak perbedaan menyolok diantara wilayah ini. Kemajuan teknologi dan media telah berdampak pada masyarakat pedesaan. Oleh karena itu pengaruh media terhadap kepribadian para milenial pedesaan tidak jauh dengan gambaran kepribadian perkotaan (Surbakti, n.d.).

Pernyataan serupa dari lembaga Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2017 rentang umur 7 sampai 17 tahun, angka putus sekolah wilayah perdesaan lebih tinggi 1.43 % ketimbang perkotaan hanya 0.92 %. Hal ini didapati beberapa faktor seorang anak berhenti sekolah, diantaranya kemampuan perekonomian orang tua, letak geografis yang susah dijangkau seperti daerah perbukitan atau pedalaman, dan terakhir faktor sosial budaya, karena persepsi bahwa tidak penting perempuan sekolah tinggi-tinggi menjadikan motivasi anak menurun (Statistik, 2018b). Di tunjang alasan menikah dan mengurus rumah tangga di wilayah perdesaan perempuan mencapai angka 14,65 % dan ,54 % (Statistik, 2018a).

Peneliti dalam menganalisa pemaknaan pernikahan dini tersebut menggunaakan teori fenomenologi Edmund Husserl (Bertens, 2014). Bahwasannya mempelajari apa yang tampak atau yang menampakkan diri dari fenomena. Hakikat fenomena menurut Husserl biarlah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau pembatas yang memisahkan kita dari realitas. Membebaskan realitas itu sendiri yang menampakkan kepada subyek (Bertens, 2019).

Fenomena yang terjadi di Desa Pojok Kecamatan Dampit mendorong penulis untuk meneliti lebih jauh tentang makna pernikahan dini. Dimana di Desa Pojok Kecamatan Dampit pernikahan dini kerap terjadi, padahal dari pelaku pernikahan sendiri masih rentang usia anak-anak dan kategori milineal awal. Pada dasarnya generasi milenial memiliki karakteristik unik dalam menentukan hidupnya yang dipengaruhi dari pendidikan, pola pikir, dan akses terhadap teknologi.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu

Peneliti memperoleh beberapa acuan penelitian terdahulu, sebagai patokan, petunjuk serta menjadi referensi bagi peneliti baru untuk melanjutkan dalam menghasilkan penelitian yang lebih akurat. Berikut ini peneliti paparkan hasil penelitian terdahulu yang mengkaji tentang Makna Pernikahan Dini Bagi Generasi Milenial (Studi Fenomenologi Terhadap Generasi Milenial di Desa Pojok Kecamatan Dampit).

Pertama, Singgih Susilo berjudul Makna Pernikahan Dini Bagi Orang Tua Pada Masyarakat Pengemis Di Dusun Pelanggaran, Brata Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan Madura, 2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna bagi orang tua untuk menghindari sangkal dan pengurangan beban ekonomi keluarga (Susilo, 2017).

Kedua, Afriani & Anita berjudul Studi Fenomenologi Persepsi Masyarakat Terhadap Pernikahan Usia Dini Di Lingkungan Gernas Kelurahan Madatte, 2016.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dini di lingkungan gernas ialah faktor sosial budaya, dimana masih didapatkan praktik-praktik perjodohan anak dan adanya pandangan terdahulu tentang pernikahan seperti budaya penutup malu (passampo siri) (Anita, 2016).

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Sumiati Ali, Fungsional Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2015. Berjudul Perkawinan Usia Muda di Indonesia dalam Perspektif Negara dan Agama Serta Permasalahannya. Hasil Temuan : Ditinjau dari sudut anak, maka anak sebagai generasi muda penerus dan pelanjut sejarah, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, karena anak modal dalam pembangunan yang akan mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada (Ali, 2015).

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Rini Meiandayati, Sefita Aryuti Nirmala, Didah, Ari Indra Susanti. Program Studi Kebidanan Fakultas Kedokteran, Departemen Ilmu Epidemiologi dan Biostatistik Fakultas Kedokteran, Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat , Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Berjudul

(17)

Cipacing Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang tahun 2014. Hasil penelitian pernikahan usia dini terbanyak terjadi pada usia 19−20 tahun, rata-rata tamat pendidikan SMP (Meiandayati & et al., 2015).

Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Fauzie Rahman, Meitira Syahadatina, Rakhmy Aprillisya, Heppy Dwiyana Afika. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran. Berjudul Kajian Budaya Remaja Pelaku Pernikahan Dini Di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan, 2015. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa pernikahan dini terjadi karena adat budaya daerah yang menjadi kebiasaan (Rahman & et al., 2015).

Teori Fenomenologi

Fenomenologi secara etimologis berasal dari kata logos “ilmu pengetahuan”

dan phainomenon “apa yang tampak”. Jadi fenomenologi mempelajari apa yang tampak dari fenomena. Istilah fenomenologi sudah digunakan oleh para pendahulunya seperti Immanuel Kant seorang empirisme Inggris. Kant mengatakan bahwa manusia hanya mengenal fenomena bukan numenon. Bertolak dari pemikiran Kant tentang konsep numenon, Husserl mulai mengembangkan fenomenologinya (Bertens, 2019).

Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan tentang apa yang tampak (phainomenon) atau yang menampakkan diri atau fenomena. Fenomenologi merupakan bentuk dari idealisme tertarik pada struktur-struktur dan cara-cara bekerjanya kesadaran manusia serta yang mendasarinya. Dunia, dalam pandangan fenomenologi mrupakan ciptaan dari kesadaran yang ada di dalam pikiran masing- masing individu. Proses bagaimana manusia membentuk pemahaman tentang dunianya sendiri merupakan tahapan pemaknaan yang berasal dari pengalaman.

Dengan kata lain, Husserl mencari realitas atau fenomena dari filososfinya (Hamzah, 2020).

Fungsi fenomenologi menurut Husserl ialah menempatkan peran individu sebagai pemberi makna yang menghasilkan tindakan didasari oleh pengalaman sehari- hari dan bersifat intensional. Individu kemudian memilh sesuatu yang dilakukan berdasarkan makna tentang sesuatu dan mempertimbangkan makna objektif (masyarakat) tentang sesuatu tersebut. Sebuah fenomena hanya dapat diamati melalui orang yang mengalami fenomena (Crotty, 1996 dan Spiegelberg, 1978). Sebaliknya

(18)

tujuan dari fenomenologi menekankan mempelajari fenomena manusia tanpa mempertanyakan penyebabnya, realitas sebenarnya, dan penampilannya. Dunia kehidupan sebagai dasar makna yang dilupakan oleh ilmu pengetahuan (Hamzah, 2020).

Teori Pola Komunikasi Keluarga

Teori pola komunikasi keluarga mengambil pandangan tentang jalinan hubungan dan interaksi untuk kesepakatan (agreement) antara orang tua dengan anak.

Dua pendekatan untuk mencapai kesepakatan menurut McLeod dan Chaffee dalam Fitzpatrick dan Koener (2006) yakni pertama, memperhatikan penilaian anggota keluarga menghadapi suatu isu, kemudian mengadaptasi penilaian tersebut sebagai (socio-orientation). Kedua, proses diskusi atau evaluasi sebuah isu bersama-sama (concept-orientation) (Anindita, 2019).

Fitzpatrick dan Koener (2006) mengembangkan teori tersebut dengan perubahan penyebutan socio-orientatiom menjadi conformity orientation sedangkan concept-orientation menjadi conversation orientation. Confromity orientation memfokuskan pada bagaimana anggota keluarga menerapkan nilai-nilai ideologis, sikap, dan pandangan sesuai dari yang mereka yakini. Biasanya keluarga yang menanamkan nilai tradisional, menjunjung tinggi hierarki keluarga. Orang tua mengharapkan kesamaan sikap, nilai, dan perilaku dari tiap anggota keluarga.

Kadangkala orang tua cenderung memilihkan keputusan bagi setiap anggota keluarga (Koerner, 2006).

Pengertian Pernikahan dan Pernikahan Dini

Dasar hukum perkawinan Bab 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 memuat pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhana Yang Maha Esa. Mengenai syarat-syarat perkawinan pada Pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Jika terdapat penyimpangan pada ayat pertama, dapat memnita dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua

(19)

Faktor pendorong pernikahan dini menurut Mathur (2010) dalam Bannet (2010) yakni : ketidaksetaraan gender. Ditemukan indikasi perbedaan serta minimnya peluang yang diberikan kepada remaja perempuan, seperti: peluang dalam memperoleh pendidikan, rekreatif, dan dalam pekerjaan. Faktor kedua, nilai virginitas yaitu ketakutan para orang tua tentang aktivitas seksual pranikah. Terkait dengan faktor kedua, hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa pernikahan dini terjadi sebagai solusi remaja yang mengalami insiden hamil diluar nikah (premarital pregnant) (Parapat, 2016).

Makna Pernikahan

Menurut Mawardi (2002;202) perkawinan di bawah umur menimbulkan nilai positif maupun negatif. Nilai positif perkawinan usia muda dari aspek agama terhindar dari perzinaan, dari aspek ekonomi dapat membantu keuangan keluarga (orangtua).

Aspek sosial dari perkawinan dini bagi keluarga akan terangkat derajatnya dan bagi laki-laki yang kaya menikah dengan perempuan berusia muda meningkatkan prestis dan memperoleh kepuasan seks (psychological effect). Nilai negatif bagi pasangan muda yang menikah di bawah umur sulit untuk menyesuaikan diri sehingga tidak dapat mencapai tujuan perkawinan atau keluarga sakinah. Secara ekonomi belum siap, sehingga memunculkan masalah baru yang mengakibatkan tekanan dalam rumah tangga. Secara sosial bisa terjadi eksploitasi dan secara psikologis belum siap mental dan bagi perempuan dari aspek kedokteran belum siap untuk reproduksi (Mawardi, 2012).

Lebih lanjut Mawardi (2002:202) menjelaskan bahwa perkawinan menimbulkan berbagai macam akibat dan melibatkan semua sanak keluarga.

Perkawinan yang terencana dengan matang akan menjadi fondasi yang kuat dalam membina rumah tangga, karena suami maupun istri memiliki peran yang sama dalam mewujudkan sebuah keluarga yang menjadi idaman atau keluarga sakinah. Dalam bahasa agama keluarga ideal adalah keluarga sakinah yaitu keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya yang selaras, serasi, serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai- nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia (Mawardi, 2012).

(20)

Implikasi Perkawinan Dini

Penyebab perkawinan anak menurut Profil Anak Indonesia, BPS (2018) terjadi karena konstruksi terhadap kepercayaan dan budaya setempat menyatakan wanita sudah layak menikah ketika mengalami menstruasi, bekal ilmu agama, pendidikan cenderung rendah, pehaman budaya dan status ekonomi. Walaupun demikian, jika angka penambahan pernikahan dini semakin bertambah, akan menimbulkan dampak positif maupun negatif. Dampak negatif yang mengambil porsi lebih besar dalam fenomena pernikahan dini, karena cukup riskan baik pihak wanita ataupun pria akan berdampak pada aspek kesehatan, psikologi, dan mental. Tak memungkiri terdapat dampak positif, tetapi tidak seimbang akan timbulnya dampak kurang baik. Sebab pernikahan dini sendiri kerap terjadi karena berbagai alasan seperti ketidaksengajaan atau tidak terencana (Statistik, 2018a).

Bersandar pada Pilliang (2012) menyebutkan dampak positif pernikahan dini dikaji dari nilai manfaat. Akan tetapi kembali apakah nilai manfaat tersebut kepada diri sendiri, pasangan maupun keluarganya. Dampak positif yang diperoleh dari pernikahan dini antara lain : menyalurkan seks secara resmi, membuat sehat jasmani dan rohani, cepat dewasa, cepat memperoleh keturunan (Parapat, 2016).

Dampak negatif dari pernikahan dini, antara lain (Statistik, 2018a) : a. Bidang Pendidikan

Stigma negatif terutama bagi anak-anak perempuan yang pernah menikah atau bercerai muda adalah hilangnya kesempatan melanjutkan pendidikan. Mereka cenderung tidak ingin meneruskan sekolahnya karena berbagai alasan antara lain sudah melahirkan dan harus bertanggung jawab merawat anak atau beberapa dari mereka ada yang malu karena status penikahannya.

b. Dampak dalam Konteks Permasalahan Sosial

Kasus pernikahan dini tidak hanya berdampak pada perempuan atau laki- laki yang menikah dini, namun berdampak juga pada masyarakat seperti masalah sosial, ketidaksetaraan gender. Pernikahan dini juga menjadi penyebab panjangnya rantai kemiskinan, peningkatan buta huruf, putusnya pendidikan, kesehatan yang kurang mencukupi, dan merampas produktivitas masyarakat yang lebih luas baik

(21)

Generasi Milenial dan Pemaknaan Terhadap Fenomena Sosial

Penggambaran karakteristik pola pikir milenial tidak dapat memberikan acuan dasar. Karena kondisi lingkungan, sosial-ekonomi yang menentukan pola pikir generasi milenial. Menurut Manullang & Gitting (1993) karakter milenial perkotaan cenderung terbuka pada perubahan, lebih cerdas disebabkan bergaul dengan teman- teman yang rata-rata tingkat intelektualnya cukup tinggi, berbeda halnya pada milenial daerah pedesaan yang terbiasa bergaul dengan teman sepermainan dengan tingkat intelektual yang rata-rata atau cukup sehingga sulit menerima perubahan yang terjadi (Priambodo, 2016).

Walaupun demikian dimanapun generasi milenial bertempat tinggal, mereka mempunyai kesempatan yang sama dari baik karakteristik komunikasi yang terbuka, pengguna media sosial yang fanatik, kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi, serta lebih terbuka dengan pandangan politik dan ekonomi.

Sehingga, mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi disekelilingnya (Statistik, 2018b).

Generasi Milenial dan Pemaknaan Perkawinan Dini

Bersumber pada kajian oleh Pew Research, mengungkapkan bahwa generasi milenial sangat berambisi dengan pendidikan, karir, bisnis, dan aktivitas lain yang mengarah pada kesuksesan. Generasi lebih menyukai untuk mengekspresikan aktualisasi diri di lingkungan sosialnya. Dengan demikian, banyak yang menyebut jika generasi milenial sebagai orang berpendidikan serta anggapan pernikahan bukan satu- satunya tujuan utama. Sebagian besar generasi ini berasumsi menikah akan membagi waktu mereka dengan keluarga, kemudian untuk mencapai kesuksesan membutuhkan waktu dan tenaga yang ekstra dalam memperolehnya (Silalahi, 2011).

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Susilo (2017) tentang Makna Pernikahan Dini Bagi Orang tua Pada Masyarakat Pengemis di Dusun Pelanggaran, Brata Tinggi Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan Madura, menyatakan gambaran pola pemaknaan terhadap pernikahan dini, diantaranya (Susilo, 2017) : a. Pernikahan dini sebagai upaya menghindari sangkal

Pemaknaan pernikahan pada usia dini sebagai usaha supaya putra-putrinya segera memiliki jodoh. Hal ini dipengaruhi pendidikan dan pemahaman yang

(22)

rendah, secara tidak langsung menyebabkan cara pandang mereka terhadap pernikahan masih sempit dan hanya berdasarkan pengalaman setempat saja.

b. Pernikahan dini sebagai keterbatsan ekonomi

Pemaknaan pernikahan dini oleh orang tua karena adanya keterbatsan ekonomi keluarga. Pada umumnya setelah lulus SMP tidak melanjutkan ke tingkat pendidikan selanjutnya karena keterbatasan biaya. Di sisi lain anak-anak kurangnya minat pada menempuh sekolah, maka akan memunculkan pikiran segera menikah.

Perkawinan Sirri

Perkawinan sirri kerap terjadi Indonesia karena menjadi jalan pintas untuk melakukan praktek pernikahan dini. Mayoritas anak-anak perempuan yang belum berusia 18 tahun dan tidak memiliki KTP, pernikahan sirri pada akhirnya menjadi solusi untuk mengesahkan pernikahannya di mata agama. Secara etimologi asal kata

“sirri” dari bahasa Arab “sirrun” yang berarti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi. Kata sirri kemudian digabung dengan kata nikah sehinggan menjadi nikah sirri untuk menyebutkan menika yang dilakukan secara diam-diam atau tersembunyi. Maksud diam-diam dan tersembunyi ini memunculkan dua pemahaman, yaitu pernikahan yang diam-diam tidak diumumkan kepada khalayak atau pernikahan yang tidak diketahui atau tercatat di lembaga negara.(Islami, n.d.)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan paradigma definisi sosial. Dengan pendekatan fenomenologi deskriptif. Lokasi penelitian di Desa Pojok Kecamatan Dampit.

Pengambilan data-data primer dengan penetapan purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian, memakai teknik analisis data fenomenologi milik Moustakas dan pengecekan keabsahan temuan menggunakan credibility, confirmability, triangulasi.

(23)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Profil Subjek Penelitian

Merujuk pada pengumpulan data dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi kepada subjek penelitian. Selanjutnya penulis telah menyusun laporan data penelitian. Pada penyajian data untuk setiap subjek, pemaparan penulisan dalam bentuk “profile singkat”.

Winda (22 tahun)

Subjek pertama bernama Winda, usia 22 tahun seorang remaja yang telah menikah dini di Desa Pojok Kecamatan Dampit. Pendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menikah dini sejak tahun 2015 dan kini menginjak ke lima tahun pernikahan, memiliki 2 putra. Berasal dari keluarga menengah kebawah, ayahnya seorang pembuat lanjaran bambu sayuran dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Winda anak kedua dari dua bersaudara, sama seperti dirinya kakak perempuannya sudah menikah dini terlebih dahulu. Sejak kecil Winda tumbuh di keluarga harmonis dan lingkungan perkambungan baru padat penduduk.

Ola (23 tahun)

Menggunakan teknik purposive sampling berdasarkan pertimbangan kriteria yang telah ditentukan pada bab sebelumnya. Subjek kedua adalah teman dekat dari subjek pertama dan juga melakukan pernikahan dini. Bernama Ola, usia 23 tahun.

Pendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menikah dini di tahun 2015, disebabkan married by accident. Usia pernikahan Ola kini menginjak 5 tahun dan mempunyai satu putra, putri.

Vina (30 tahun)

Subjek ketiga bernama Vina berusia 30 tahun, merupakan kakak kandung subjek pertama yakni Winda. Vina menikah setelah menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Melasungkan pernikahan di tahun 2008, kini usia pernikahannya memasuki ke 12 tahun dan dikarunia seorang putri.

Evy (23 tahun)

(24)

Subjek keempat bernama Evi, usia 23 tahun. Diantara tiga subjek sebelumnya, hanya Evy sesudah lulus SMP melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) walaupun harus putus sekolah ketika masuk di kelas sebelas. Orang tua Evy tidak mempersalahkan ketika tidak menyelseikan pendidikannya. Setelah ia dilamar oleh pacarnya, orang tua Evy sangat bersyukur. Lebih cepat menikah lebih baik, daripada menjadi omongan tetangga.

Ila (22 tahun)

Subjek selanjutnya bernama Ila, usia 22 tahun. Ila menamatkan pendidikan hanya sampai sekolah menengah pertama (SMP). Kemudian melakukan pernikahan secara siri ditahun 2015, kurang lebih tiga bulan kemudian menikah sah di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Telah lima tahun subjek menjalani hidup berumah tangga dan memiliki seorang buah hati.

Nur (31 tahun)

Subjek terakhir bernama Nur berusia 31 tahun, untuk bertemu dengan subjek ini tetap menggunakan purposive sampling. Seperti beberapa subjek sebelumnya Nur telah menamatkan SMP, lalu lanjut bekerja. Nur menikah dini melalui proses siri dan setelah usia memenuhi syarat dilanjutkan pernikahan di KUA. Kini masa pernikahan Nur memasuki tahun ke duabelas.

Paparan Data

Kondensasi data pengalaman pernikahan dini

Data utama penelitian adalah hasil wawancara tidak terstruktur dengan cara mendatangi langsung ke rumah subjek. Sebelum kegiatan wawancara dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti melakukan observasi lapangan sekaligus membuat kesepakatan pertemuan. Wawancara di luar jadwal kunjungan dilakukan apabila ada kesepakatan dengan subjek. Kegiatan pengambilan data dilakukan selama empat bulan, yaitu sejak September 2019 sampai September 2020.

(25)

Hasil wawancara direkam dan disalin seluruhnya dalam bentuk transkrip (lihat lampiran), namun khusus transkrip data yang berhubungan dengan tujuan penelitian telah disajikan pada paparan berikut .

Pertanyaan 1 : Apa makna pernikahan dini bagi generasi milenial perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit?

Berikut kutipan-kutipan jawaban subjek.

“Aku nikah bulan 9 (September) umur 16 tahun, bulan Desember masuk 17 tahun. Udah cocok sama pasangan, karena dari dulu pacaran hanya minta kejelasan gak ada-ada. Aku takut dipermainkan, takut kalau orangtuaku meninggal aku belum nikah. Terus ketemu cocok sama aku, sama keluargaku.

Aku menikah siri karena habis lamaran, mertuaku laki meninggal, terus jeda satu bulan baru menikah sah. Karena adat orang jawa gak boleh. Orang tuaku yang ke KUA karena usia masih di bawah umur. Buatku menikah adalah kebahagiaan, apalagi setelah satu tahun menikah punya anak.” (Winda, 2020)

“Meskipun pas awal-awal kalau aku keluar (jalan) dibilang adeknya bukan istrinya. Sampai tetangga ada yang bilang kalau Winda memperoleh guna- guna. Suamiku menikah lambat, karena mendapatkan amanah sekaligus anak pertama dari orangtuanya untuk bertanggung jawab dengan 13 saudara kandungnya. Sejak menikah dengan dia gak pernah ngopi keluar, katanya ada yang membuatkan kopi dirumah.” (Winda, 2020)

“Awalnya ya begitu sudah kerja mau ngapain lagi. Respon orantua waktu itu ya marah, malu sama tetangga ibuk sok semakin kesini ya enggak. Ibuk waktu saya mau menikah gak siap apa-apa karena mendadak. Pas waktu itu biasa aja santai, kata ayahnya wes tak bilangkan ibuk (mertua) kalau aku hamil dan mereka bilang terserah yang penting kami siap. Suami bertanggung jawab, Alhamdulillah. Rasanya hamil pas pacaran seneng karena kita jalaninnya bareng, si ayah enjoy, selalu di bawa ke mall, karena didasari pondasi cinta.”

(Ola, 2020)

“Awalnya yawes gitu wes kerja mau ngapain lagi. Respon orantua waktu itu ya marah, malu sama tetangga ibuk sok semakin kesini ya enggak.” Ola, 2020)

“Aku PDKT dari kelas 2 SMP. Karena waktu itu suami kerja di belakang rumah, suami suka modus, suka digodain. Setelah lulus SMP langsung menikah jeda 2 minggu ditanyakan ke rumah, tidak ada basa basi, aku bilang iya. Karena, saya berpikir ada adek kelas hampir putus sekolah karena di lamar tapi gak direstui orang tuanya, oleh karena itu saya nggak mau menjadi bahan omongan orang, tanpa tekanan dari siapapun mau menikah muda”. (Vina, 2020)

(26)

“Aku menikah dirumah memanggil penghulu nikah sah ambek KUA, langsung jadi surat nikahnya meskipun usiaku dibawah tahun. Ibarat masih kecil sifat manja, masih kangen ibu diajak kerumah suami nangis”. (Vina, 2020)

“Dulu sering mengajukan ego masing-masing, sekarang lebih saling menerima. Karena ketika mengajukan ego masing-masing kasihan anak.

Dibanding menikah pas usia dini, merasa happy sekarang. Maksudnya ketika anak masih kecil mengajukan ego nya masing-masing. Apalagi meneh suami kerja di Surabaya jarak jauh, mulih.e satu bulan sekali. Aku di ruma jualan di kantin SD. Kalau pulang, seakan pacaran setelah nikah. Memanfaatkan waktu berdua”. (Vina, 2020)

“Ada tetangga yg tidak senang sentlingan, ibarat saya buat tidak mendengar.

Aku sama suami sepakat gak usah mendengarkan tetangga, yang penting keluarga”. (Vina, 2020)

“Sebelum-sebelumnya aku punya banyak mantan, gaya pacaranku lugu tidak tau apa-apa. Suami lulus SMP, saya masih kelas 2. Aku sempet lanjut SMA terus putus sekolah, karena ikut suami kerja. Karena suami pas sekolah kerja sampingan jadi supir, sering antar jemput aku. Berusaha meneruskan tapi gak kuat akhirnya putus sekolah, karena suami ngajak nikah. Suami ngalamar ke rumah sama orangtuanya, orangtuaku malah seneng. Karena gak enak di omongin orang kampung”. (Evi, 2020)

“Sekarang ayahnya (suami) kerja di ternak ayam, jika pagi tiba mengambil kulit kopi. Punya anak satu dulu waktu hamil juga takut tapi senengnya suami support. Aku ibu rumah tangga, ngemong anak, saiki usia anakku sudah 3,5 tahun. Seneng punya suami dan keluarga, alhamdulilah hidup mandiri dengan suami”. (Ila, 2020)

“Sempat menahan anak saya untuk tidak menikah dulu, menyarankan anakku buat belajar bekerja, akhirnya bekerja dulu di toko baju. Ternyata dengan ditunda, malah tekanan dari tetangga membuat semakin besar. Karena anak saya sering pulang pergi di jemput kekasihnya. Untuk mencegah prasangkan buruk dari tetangga dengan berat hati menikahkan anakku, melalui nikah siri karena belum punya KTP”. (Ila, 2020)

“Aku ini arti nikah sebenernya gak ngerti, orang aku masih kecil. Aku iki anaknya manja mbak, terus temenku dari dulu kebanyakan laki-laki semua.

Menyebabkan aku diomongkan sama tetangga kampung, katanya pacarku ganti-ganti sampai ada yang bilang begini “oh anaknya janda ganti-ganti laki- laki” padahal mereka hanya temanku. Padal kalau pacar asliku, kalau pacaran gak pernah ketemuan di rumah. Sebelum menikah akuaku sering pacaran, pas SMP belum berani, baru ketika SMA mulai pacaran”. (Nur, 2020)

(27)

“Kalau dari perjalanan waktu itu, mungkin karena masih kecil, ya bertengkar dalam rumah tangga kan sudah biasa, kan kecil itukan masih egois-egoisnya, lah masih usia 17 tahun aku menikah, masih lebih mementingkan egonya sendiri. Pertama menikah sampai sekarang sifatku sama suamiku begini saja, tetap santai begitu. Biasanya, kalau pernikahan orang di tahun pertama adalah masa romantic-romantisnya. Lha aku ya tetep dari dulu seperti ini. Suamiku gak romantic sama sekali, orangnya gak cemburuan, santai gitu. Misal, kadang-kadang sama orang-orang aku diajak keluar ya diizini disuruh berangkat. Mungkin gara-gara itu mbak, aku belum memiliki anak sampai sekarang, mungkin kita santai bisa bertahan sampai 12 tahun”. (Nur, 2020) Pertanyaan 2: Apa Implikasi pernikahan dini bagi generasi milenial perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit?

“Ada rasa bosen, tapi tergantung kitanya masing-masing. Kemudian kalau liat temen masih bisa bermain saya tidak, temen-temen necis-necis saya sudah begini. Ribet pas pekerjaan banyak, apalagi pas anak rewel. Tapi di buat seneng saja, karena sudah waktunya. Senengnya misalkan nanti saya sudah punya cucu, saya masih muda, bisa merawat anak cucu. Sungguh beruntung saya menikah dengan dia. Meskipun pas awal-awal kalau aku keluar (jalan) dibilang adeknya bukan istrinya. Sampai tetangga ada yang bilang kalau Winda oleh guna-guna. Suamiku menikah lambat, karena mendapatkan amanah sekaligus anak pertama dari orangtuanya untuk bertanggung jawab dengan 13 saudara kandungnya. Sejak menikah dengan dia gak pernah ngopi keluar, katanya ada yang membuatkan kopi dirumah”. (Winda,2020)

“Gak ada penyesalan udah pilihan, bukan karena keterpaksaan. Ya mungkin, ketika lihat temen keliling jalan-jalan, kita keliling dirumah. Kadang, susah ketika tidak punya pampers dan punya uang, susah seneng rumah tangga sama kayak yang lain. Menikah karena ini (married by accident), kalau gak ini mungkin belum menikah. Sampai sekarang saya masih suka gitu jalan hangout, sama si ayah loss terserah”. (Ola, 2020)

“Gak ada penyesalan setelah menikah, waktu habis nikah pasti ada kendala ekonomi, tapi di buat pengalaman.Inti terutama aku, suami, anak. Ada tetangga yg tidak senang sentlingan, ibarat saya buat tidak mendengar. Aku sama suami sepakat gak usah mendengarkan tetangga, yang penting keluarga. Suami lebih meredam ketika ada masalah, karena saya bersifat nelangsa. Ketika pertama kali di tinggal ke Surabaya saya merasa gila nangis, ketika suami chat nelangsa, jauh dari suami. Dengan pondasi kuat menikah muda bisa awet dan tergantung personlity masing-masing. Usiaku sekarang 30 tahun, usia pernikahan 12 tahun punya anak satu, lebih bisa menerima keadaan, bersyukur. Dengan keadaan mengatur keuangan misalnya, saya tidak meminta suami berlebih, meskipun berapapun di terima, bisa membagi”. (Vina, 2020)

(28)

“Ada rasa bosen, tapi tergantung kitanya masing-masing. Sebenernya pengen kerja, tapi gak boleh sama suami di suruh menjaga anak. Karena suami gak ada dirumah pulangnya 4-5 hari sekali, kerja nyupir Mojokerto-Jombang.

Hubunganku gak romantic sperti orang pacaran, biasanya kalau bahan bakar habis dijemput sekarang enggak, tapi tetep ada perasaan cinta. Tapi tambah punya anak malah tergantung pada anak. sudah tidak mengurusi hal yang aneh- aneh, yang penting anak kenyang, kembali lagi apa-apa untuk anak. Aku misal keluar-keluar anak-anak tak bawa saja pikiran jadi tenang”. (Evi, 2020)

“Tidak menyesal karena sudah menikah, kadang dukanya jika anak rewel.

Khawatirku waktu itu semisalkan tetep menikah siri kasian anakku kedepannya, karena kita berstatus siri, akhirnya diusahan punya surat nikah untuk mengurusi akte anak”. (Ila,2020)

“Selain itu, yang menyebabkan beban jika berkunjung ke rumah metua, gegara aku sering di sindir, meskipun tidak secara langsung. Dituntut disindir untuk punya anak, pernah juga sampai di suruh mengadopsi anak orang, aku gak mau.

Aku bilang begini ke ibu mertuaku “gak papa kalau ibuk gelem mengasuh, tapi aku gak mau mengasuh, aku mau membiyayai”, aku kalau di bilangi seperti itu malah gak nyaman. Aku masih kepingin berusaha sendiri kecuali kalau sudah mendtok, putus asa baru aku mau adopsi anak. Aku sering berbicara masalah ke suamiku kalau berkunjung ke rumah mertua males kayak ada beban, ini aja udah seminggi aku belum kesitu mbak. Gara-gara juga sering ditawari merawat anaknya mbak ipar, kalau pun suatu saat terpaksa aku mending mengadopsi anak orang lain bukan anak kakak ipar. Yasudahlah aku di cemooh tidak masalah gak pernah ambil pusing. Tapi kalau disindir masalah satu ini (hamil) aku selalu sebel banget”. (Nur,2020)

PENYAJIAN DATA

Setelah proses kondensasi, selanjutnya data disajikan dalam dalam bentuk tabel untuk dua pokok pertanyaan penelitian. Tabel memuat deskripsi tekstural (deskripsi tentang apa yang dialami) dan deskripsi structural (konteks yang mempengaruhi bagaimana para subjek mengalami peristiwa yang diungkap oleh informan). Kata atau kalimat yang dicetak normal adalah deskripsi structural sedangkan kata yang dicetak miring adalah deskripsi tekstural. Data disajikan dalam table di bawah ini.

(29)

Tabel 1. Makna Pernikahan Dini Subjek

Winda Ola Vina Evy Ila Nur

Udah cocok sama

pasangan, karena dari dulu

pacaran hanya minta kejelasan gak ada- ada, Aku takut dipermaink an, takut kalau orangtuaku meninggal aku belum nikah.

Buatku menikah adalah kebahagiaa n, apalagi setelah satu tahun

menikah punya anak.

Meskipun pas awal- awal kalau aku keluar (jalan) dibilang adeknya bukan istrinya.

Sampai tetangga ada yang bilang kalau

Pas waktu itu biasa aja santai, kata ayahnya wes tak bilangkan ibuk (mertua) kalau aku hamil dan mereka bilang terserah yang penting kami siap.

Suami bertanggu ng jawab, Alhamdulill ah.

Rasanya hamil pas pacaran seneng karena kita jalaninnya bareng, si ayah enjoy, selalu di bawa ke mall, karena didasari pondasi cinta.

Respon orantua waktu itu

Saya berpikir ada adek kelas hampir leren sekolah karena di lamar tapi gak direstui orang tuanya, oleh karena itu saya nggak mau menjadi bahan omongan orang, tanpa tekanan dari siapapun mau menikah muda.

Ibarat masih kecil sifat

manja, masih kangen ibu diajak kerumah suami nangis

Dulu sering mengajuka n ego

Berusaha menerusk an tapi gak kuat akhirnya putus sekolah, karena suami ngajak nikah.

Suami ngalamar ke rumah sama orangtuan ya,

orangtuak u malah seneng.

Karena gak enak di omongin orang kampung

Punya anak satu, dulu waktu hamil juga takut tapi senengnya suami support.

Aku ibu rumah tangga, ngemong anak, saiki usia anakku sudah 3,5 tahun.

Seneng punya suami dan keluarga, alhamduli lah hidup mandiri dengan suami

Aku ini arti nikah sebenerny a gak ngerti, orang aku masih kecil.

Terus temenku dari dulu kebanyaka n laki-laki semua.

Menyebabk an aku diomongka n sama tetangga kampung, katanya pacarku ganti-ganti sampai ada yang bilang begini “oh anaknya janda ganti-ganti laki-laki”

padahal mereka hanya temanku.

Kalau dari perjalanan waktu itu, mungkin karena

(30)

Winda memperoleh guna-guna.

ya marah, malu sama tetangga ibuk sok semakin kesini ya enggak.

masing- masing, sekarang lebih saling menerima.

Dibanding menikah pas usia dini, merasa happy sekarang.

Ada tetangga yg tidak senang sentlingan, ibarat saya buat tidak mendengar . Aku sama suami sepakat gak usah

mendengar kan

tetangga, yang penting keluarga

masih kecil, ya bertengkar dalam rumah tangga kan sudah biasa, kan kecil itukan masih egois- egoisnya, lah masih usia 17 tahun aku menikah, masih lebih mementing kan egonya sendiri.

Tabel 2. Implikasi Pernikahan Dini Subjek

Winda Ola Vina Evy Ila Nur

Ada rasa bosen, tapi tergantun g kitanya masing- masing.

Kemudian

Gak ada penyesalan udah pilihan, bukan karena keterpaksaa n. Ya

Gak ada penyesalan setelah menikah, waktu habis nikah pasti ada kendala

Ada rasa bosen, tapi tergantung kitanya masing- masing.

Sebenerny a pengen

Tidak menyesal karena sudah menikah, kadang dukanya jika anak

Yang menyebabka n beban jika berkunjung ke rumah metua, gegara aku sering di

(31)

temen masih bisa bermain saya tidak, temen- temen necis-necis saya sudah begini.

Ribet pas pekerjaan banyak, apalagi pas anak rewel.

Tapi di buat seneng saja, karena sudah waktunya.

Senengny a

misalkan nanti saya sudah punya cucu, saya masih muda, bisa merawat anak cucu.

ketika lihat temen keliling jalan-jalan, kita keliling dirumah.

Kadang, susah ketika tidak punya pampers dan punya uang, susah seneng rumah tangga sama kayak yang lain.

Menikah karena ini (married by accident), kalau gak ini mungkin belum menikah.

Sampai sekarang saya masih suka gitu jalan hangout, sama si ayah loss terserah

tapi di buat pengalama n.

Dengan pondasi kuat menikah muda bisa awet dan tergantung personlity masing- masing.

gak boleh sama suami di suruh menjaga anak.

Tapi tambah punya anak malah tergantung pada anak.

sudah tidak mengurusi hal yang aneh-aneh, yang penting anak kenyang, kembali lagi apa- apa untuk anak. Aku misal keluar- keluar anak-anak tak bawa saja pikiran jadi tenang

Khawatirku waktu itu semisalkan tetep menikah siri kasian anakku kedepanny a, karena kita berstatus siri, akhirnya diusahan punya surat nikah untuk mengurusi akte anak

meskipun tidak secara langsung.

Dituntut disindir untuk punya anak, pernah juga sampai di suruh mengadopsi anak orang, aku gak mau.

Pernikahan Dini dalam Perspektif Fenomenologi

Pernikahan dini pada aspek sosio-historis subjek Winda, Ola, Vina, Evy, Ila, dan Nur dengan kata lain kesejarahan subjek dalam menentukan struktur pola kehidupan para subjek sampai pada pengambilan keputusan menikah dini. Melalui metode fenomenologis peneliti berupaya memahami arti dan makna dari sebuah peristiwa pernikahan dini berkaitan dengan karakteristik milenial.

(32)

Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia denga realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Heideger, yang juga seorang fenomenolog mengatakan “sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada benda yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.

Untuk itu terlebih dahulu peneliti menjabarkan beberapa fakta yang kemudian ditraik menjadi fenomena pembentukan kesadaran subjek dengan mengidentifikasi waktu dan kejadian yang spesifik, dengan asumsi bahwa latar belakang pembentukan kesadaran ini difungsikan sebagai basis subjek menyadari dengan sepenuhnya diri dan posisinya dalam masyarakat.

Latar belakang dan pembentukan kesadaran subjek (Temporal-Spasial)

Dalam wawancara yang dilakukan penulis terhadap subjek pelaku pernikahan dini dengan intensitas waktu dan bertemu sangat ketat, peneliti memperoleh beberapa keterangan yang menyebutkan bahwa keenam subjek diantaranya Winda, Ola, Vina, Evy, Ila , dan Nur lahir dan besar dalam lingkungan pedesaan. Desa Pojok tertetak di kecamatan Dampit secara garis besar mata pencaharian masyarakatnya dalam bidang pertanian, beberapa sebagai karyawan pabrik, dan beberapa profesi lainnya.

Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka, terkait dengan etika dan kebudayaan masyarakat desa bahkan sampai sekarang masih banyak ditemui, walaupun juga tidak sedikit yang mengalami evolusi dengan munculnya arus informasi yang semakin canggih, setidaknya karakter umum ini masih tampak walaupun bisa diduga hanya menyangkut dan dipertahankan oleh penduduk golongan tua.

Generasi milenial hadir dengan segala keunikannya seperti penguasaan

(33)

tinggal, mereka mempunyai kesempatan yang sama baik karakteristik komunikasi yang terbuka, penggunaan media sosial yang fanatic. Sehingga mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi disekelilingnya.

Konteks situasi milenial pedesaan yang masih terikat dengan desa, menjadi penting untuk memahami konstruksi sosial sebagai dasar pijakan persepsi dan interpretasi sekaligus bagaimana pemahaman diri “subjek” menemukan penyadara setelah mendapatkan objetivikasi yang berujung pada pemahaman diri “objek” sebagai representasi objektivikasi kebanyakan masyarakat pedesaan menjadi sangat khas.

Roucek dan Warren, dalam Jefta (1995) karakter secara umum masyarakat pedesaan memiliki sifat homogeny dalam hal nilai-nilai budaya, sikap dan tingkah laku. Peran keluarga juga sebagai pengambil keputusan yang final dalam memecahkan persoalan.

Karakteristik yang tersebut yang membentuk persepsi masyarakat pedesaan, termasuk subjek Winda, Ola, Vina, Evy, Ila, dan Nur, untuk menanggalkan pendidikan yang seharusnya dicapai dengan baik.

Karakter masyarakat yang demikian tersebut juga ikut menempa dan terinternalisasi oleh para subjek beserta orangtuanya, dalam kesempatan wawancara subjek mengatakan :

…..Bener ditawari ibuk lanjut sekolah, tapi ibuk gak iso nyekolahno seng sekolah apik. Nggeh kulo pikir-pikir tawaran ibuk, terus ada konco yang ngajak nyambut gawe. Kulo pilih nyacak nyambut gawe, kebetulan masa libur lebaran 3 bulan, ternyata enak rasane duit, males sekolah wes. (Winda, 2020)

Awalnya yawes gitu mbak, lulus SMP gak melanjutkan sekolah. Capek pengen kerja aja…. (Ola,2020)

….Setelah lulus SMP langsung menikah jeda 2 minggu ditanyakan ke rumah, nda ada basa basi, aku bilang iya (Vina, 2020)

….saya masih kelas 2. Aku sempet lanjut SMA terus putus sekolah, gara-gara melok suami kerja (Evy, 2020)

…Aku kenal suami pas SMP satu kelas pas kelas 1, terus kita pdkt dan mulai pacaran kelas 2 SMP. Akhir.re pas lulus SMP suami ngajak nikah (Ila, 2020)

…lek SMP gorong wani, pas SMA mulai pacaran. .... pas lulus SMP belajar kerjo njogo koperasi siswa (Nur, 2020)

(34)

Fakta pendidikan bukan menjadi prioritas utama, karena kurangnya dukungan dari orangtua dan menyusutnya keinginan bersekolah. Lebih memilih bekerja, karena mendapatkan kepuasaan menghasilkan uang sendiri. Tinjauan fenomenologis yang nampak dari keterangan subjek jelas menguatkan pandangan bahwa pentingnya dorongan orangtua dalam proses pendidikan anak.

Pada tahap ini, perkembangan kesadaran subjek banyak mengalami perubahan, pada sisi lain penegasan dari pemilihan untuk bekerja. Pilihan bekerja menjadi lumrah terjadi daripada berdiam diri di rumah sementara orangtua mereka bekerja. Sikap memahami keadaan pilihan yang diambil (bekerja) didapat dari pengaruh teman sebaya dan lingkungan sosial.

Dorongan lain yang berasal dari lingkungan sosial secara tersirat, mengenai status jika perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi apalagi sudah bekerja.

Keputusan pribadi serta persetujuan orangtua, keluarga membuat yakin para subjek lebih baik segera menikah. Kesadaran ini semakin tampak saat setiap subjek mengatakan :

“Aku nikah bulan 9 (September) umur 16 tahun, bulan Desember masuk 17 tahun. Udah cocok sama pasangan, karena dari dulu pacaran hanya minta kejelasan gak ada-ada. Aku takut dipermainkan, takut kalau orangtuaku meninggal aku belum nikah. Terus ketemu cocok sama aku, sama keluargaku”

(Winda, 2020)

“Respon orantua waktu itu ya marah, malu sama tetangga ibuk sok semakin kesini ya enggak. Ibuk waktu saya mau menikah gak siap apa-apa karena mendadak. Pas waktu itu biasa aja santai, kata ayahnya wes tak bilangkan ibuk (mertua) kalau aku hamil dan mereka bilang terserah yang penting kami siap”

(Ola, 2020)

“….oleh karena itu saya nggak mau menjadi bahan omongan orang, tanpa tekanan dari siapapun mau menikah muda”. (Vina, 2020)

“…karena suami ngajak nikah. Suami ngalamar ke rumah sama orangtuanya, orangtuaku malah seneng. Karena gak enak di omongin orang kampung”. (Evi, 2020)

“…Dia (suami) juga sering main ke rumah, karena ini ibukku segan sama tetangga sebelah. Ibuk khawatir menjadi omongan, fitnah dari tetangga.

Akhirnya pas lulus SMP suami ngajak nikah.” (Ila, 2020)

(35)

“terus temenku dari dulu kebanyakan laki-laki semua. Menyebabkan aku diomongkan sama tetangga kampung, katanya pacarku ganti-ganti sampai ada yang bilang begini “oh anaknya janda pantes sering ganti laki-laki”. (Nur, 2020)

Pada keadaan yang dikatakan para subjek, penjelasan bersifat genetic atau historis banyak memberikan pengalaman di alam bawah sadar para subjek, tentang pilihan untuk menikah dini, meski pilihan tidak mampu dihindari oleh orangtua dan anaknya, lambat laun berpotensi memupuk karakter para subjek. Pada definisi membentuk karakter, faktor genetis atau warisan biologis tidak lantas menjadi hal utama, karena terdapat beberapa faktor seperti fenotipe, dimana budaya yang mendominasi komunitas tertentu, pengalaman berkelompok individu yang bersangkutan sekaligus pengalaman unik yang dialami oleh setiap individu yang berproses pembentukan karakter. Amatan fenomenologis pada situasi yang telah dipaparkan oleh para subjek, semakin menguatkan cara melihat yang menguasai persepsi para subjek adalah pentingnya faktor pembentuk karakter utama yaitu lingkungan (fenotipe) dan faktor genetis yang telah memberi peluang untuk mempersepsi ‘biasa’ dengan pernikahan dini.

Makna Pernikahan Dini Bagi Generasi Milenial Perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit

Pernikahan merupakan istilah hubungan resmi antara laki-laki dan perempuan yang bertujuan bersama membangun rumah tangga. Umumnya pernikahan ini diakui sah dalam pandangan hukum (adat, agama, negara, dan sebagainya). Mereka yang hidup bersama dan oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sebagai suami-istri.

Idealnya pernikahan dapat dilakukan ketika pihak laki-laki dan perempuan telah siap secara fisik, mental, maupun psikis untuk membina ruma tangga (Statistik, 2018a).

Sementara itu, pernikahan dini adalah pernikahan dibawah usia 17 tahun (ketentuan menurut UUD) bagi perempuan dan mereka sudah yakin untuk memutuskan menikah. Faktor yang mendorong menikah dini baik dari keyakinan individu maupun lingkungan keluarga dan sosialnya.

Pernikahan dini melahirkan berbagai kemungkinan baik ke arah positif ataupun negatif. Nilai positif penikahan usia dini ditinjau dari aspek agama seperti terhindar

(36)

dari perzinaan, dari segi ekonomi dapat membantu keuangan keluarga (orangtua).

Aspek sosial dari perkawinan dini bagi keluarga akan terangkat derajatnya bagi laki- laki yang kaya menikah dengan perempuan berusia muda meningkatkan prestis.

Sedangkan nilai kurang menguntungkan bagi pasangan muda yang telah menikah di bawah umur, sulit untuk menyesuaikan diri sehungga tidak dapat mencpaia tujuan perkawinan atau keluarga sakinah. Secara ekonomi belum siap, sehingga memunculkan masalah baru yang mengakibatkan tekanan dalam rumah tangga. Secara sosial bisa terjadi eksploitasi dan secara psikologis belum siap mental dan bagi perempuan dari aspek kedokteran belum siap untuk reproduksi (Mawardi, 2012).

Fenomena pernikahan dini di Desa Pojok Kecamatan Dampit, bahkan sampai saat ini banyak anak-anak muda yang masih melakukan pernikahan dini. Pada umumnya pernikahan dini dipengaruhi persepsi terhadap pasangan, pernikahan dini disebabkan married by accident, dan pernikahan dini karena tekanan judgemental.

Pernikahan Dini dipengaruhi Persepsi Terhadap Pasangan

Berdasarkan pernyataan pada tabel 1 dapat disimpulkan bahwa yang membuat Winda memutuskan untuk menikah dengan laki-laki dari segi usia terpaut cukup jauh adalah sikap tulus dari orang ini. Walaupun dari sisi fisik kurang rupawan, orang inilah yang membuat Winda merasa nyaman. Wajah tidak terlalu diperhitungkan baginya, paling penting orang ini jodoh untuk Winda dan sayang dengan keluarganya. Penyebab lain dalam memutuskan menikah ialah kekhawatiran Winda jika orangtuanya sudah meninggal, ia belum mempunyai pendamping hidup. Melalui proses menikah siri terlebih dulu kemudian dilanjutkan menikah secara KUA, Winda telah menjalai enam tahun hidup ber rumah tangga.

Kemudian bagaimana subjek memaknai persepsi orang lain terhadap dirinya.

Perbedaan usia antara Winda dengan suami memang cukup kentara, terpaut 24 tahun.

Saat itu Winda berusia 17 tahun dan suami 41 tahun, perbedaan umur membuat orang sekitar subjek berfikir kalau suaminya mengguna-guna Winda. Subjek tidak terlalu mengambil pusing gosip-gosip orang sekitar, karena ia merasa laki-laki ini adalah yang diimpikan Winda.

(37)

Selanjutnya, yang menjadi penyebab pernikahan dini di Desa Pojok adalah kehamilan di luar pernikahan. Salah satunya yang menimpa Ola, kisahnya dimulai ketika tidak melanjutkan sekolah karena capek berfikir pelajaran, lebih baik saat itu Ola memilih bekerja. Sebelum lulus sekolah subjek sudah mulai berpacaran yang kini menjadi suaminya. Dalam perjalanan menjalin pacaran, ia mengalami kehamilan diluar nikah karena accident.

Mau tidak mau setelah kecelakaan tersebut ia harus segera menikah, karena orangtuanya malu dan marah terhadap Ola. Meskipun begitu, orangtua Ola tetap merestui pernikahannya. Pacar Ola siap menikahi dan bertanggung jawab sampai saat ini. Hal ini membuat Ola sangat senang, ia dan suami menjalani rumah tangga atas dasar cinta.

Berdasarkan ungkapan Ola tentang mendapati tanggapan dari oranglain tentang perilakunya. Bisa cermati bahwa subjek sangat santai menghadapi masalahnya, karena sang pacar meyakinkan akan segera menikahi. Meski respon orang tua Ola merasa malu atas perbuatannya, mau tidak mau harus menghadapi dan menyelseikan permasalahan putrinya tersebut.

Pernikahan dini karena tekanan judgemental

Pada sisi lainnya, yang mendorong terjadinya pernikahan dini di desa Pojok adalah judgemental terutama dari lingkungan sosial para subjek. Hal ini terjadi pada Evy, Ila, Vina, dan Nur. Tetangga mereka menganggap tidak pantas jika perempuan sering keluar dengan laki-laki tanpa ikatan, demi mencegah gossip-gosip yang semakin melebar, para orangtua subjek menyegerakan putri-putri mereka untuk menikah.

Kebanyakan para orangtua subjek mengizinkan anak-anaknya untuk melakukan pernikahan dini, mereka pikir dengan menikah menjadi jalan terbaik dalam menghindari omongan kurang baik dari tetangga. Tekanan judgemental menimpa pada subjek Vina, Evy, Ila, dan Nur. Walaupun ketiga subjek menututurkan bahwa keinginan pribadi menjadi faktor utama dalam melakukan pernikahan dini. Ada tekanan lain seperti perkataan dari orang-orang lingkungan sekitar yang mengakibatkan keputusan lebih baik segera menikah.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis metil eugenol yang efektif untuk menangkap Bactrocera dorsalis terdapat pada perlakuan C (1,5 ml), dengan jumlah tangkapan sebanyak

1). Memperjelas tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang jelas dapat membuat siswa paham kearah mana ia ingin dibawa. Meningkatkan motivasi siswa akan terdorong untuk

Fenomena tersebut menjadi kemungkinan perusahaan dalam membiayai investasi dana yang bersumber dari internal perusahaan dan diperoleh dari keuntungan yang tidak dibagikan,

Pemilik Proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Bina Marga. Balai Besar Pelaksanaan Jalan

Pengendalian proyek konstruksi dilakukan agar pelaksanaan proyek dapat sesuai dengan waktu dan biaya yang telah direncan kan sebelum proyek dilaksanakan,

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.arya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber... 1 BAB I PENDAHULUAN

Volume telur larva ikan patin siam yang diberi perlakuan hormon tiroksin dan hormon rGH dapat menurun dengan cepat, akan tetapi pada perlakuan perendaman menggunakan rGH

Berdasarkan hasil wawancara dengan pembudidaya, diketahui bahwa ikan nilem hijau dari daerah Bogor dan Kuningan berasal dari sumber induk yang sama yaitu daerah Tasikmalaya,