• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setelah proses kondensasi, selanjutnya data disajikan dalam dalam bentuk tabel untuk dua pokok pertanyaan penelitian. Tabel memuat deskripsi tekstural (deskripsi tentang apa yang dialami) dan deskripsi structural (konteks yang mempengaruhi bagaimana para subjek mengalami peristiwa yang diungkap oleh informan). Kata atau kalimat yang dicetak normal adalah deskripsi structural sedangkan kata yang dicetak miring adalah deskripsi tekstural. Data disajikan dalam table di bawah ini.

Tabel 1. Makna Pernikahan Dini

Winda

Tabel 2. Implikasi Pernikahan Dini Subjek

temen

Pernikahan Dini dalam Perspektif Fenomenologi

Pernikahan dini pada aspek sosio-historis subjek Winda, Ola, Vina, Evy, Ila, dan Nur dengan kata lain kesejarahan subjek dalam menentukan struktur pola kehidupan para subjek sampai pada pengambilan keputusan menikah dini. Melalui metode fenomenologis peneliti berupaya memahami arti dan makna dari sebuah peristiwa pernikahan dini berkaitan dengan karakteristik milenial.

Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia denga realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Heideger, yang juga seorang fenomenolog mengatakan “sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada benda yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.

Untuk itu terlebih dahulu peneliti menjabarkan beberapa fakta yang kemudian ditraik menjadi fenomena pembentukan kesadaran subjek dengan mengidentifikasi waktu dan kejadian yang spesifik, dengan asumsi bahwa latar belakang pembentukan kesadaran ini difungsikan sebagai basis subjek menyadari dengan sepenuhnya diri dan posisinya dalam masyarakat.

Latar belakang dan pembentukan kesadaran subjek (Temporal-Spasial)

Dalam wawancara yang dilakukan penulis terhadap subjek pelaku pernikahan dini dengan intensitas waktu dan bertemu sangat ketat, peneliti memperoleh beberapa keterangan yang menyebutkan bahwa keenam subjek diantaranya Winda, Ola, Vina, Evy, Ila , dan Nur lahir dan besar dalam lingkungan pedesaan. Desa Pojok tertetak di kecamatan Dampit secara garis besar mata pencaharian masyarakatnya dalam bidang pertanian, beberapa sebagai karyawan pabrik, dan beberapa profesi lainnya.

Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka, terkait dengan etika dan kebudayaan masyarakat desa bahkan sampai sekarang masih banyak ditemui, walaupun juga tidak sedikit yang mengalami evolusi dengan munculnya arus informasi yang semakin canggih, setidaknya karakter umum ini masih tampak walaupun bisa diduga hanya menyangkut dan dipertahankan oleh penduduk golongan tua.

Generasi milenial hadir dengan segala keunikannya seperti penguasaan

tinggal, mereka mempunyai kesempatan yang sama baik karakteristik komunikasi yang terbuka, penggunaan media sosial yang fanatic. Sehingga mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi disekelilingnya.

Konteks situasi milenial pedesaan yang masih terikat dengan desa, menjadi penting untuk memahami konstruksi sosial sebagai dasar pijakan persepsi dan interpretasi sekaligus bagaimana pemahaman diri “subjek” menemukan penyadara setelah mendapatkan objetivikasi yang berujung pada pemahaman diri “objek” sebagai representasi objektivikasi kebanyakan masyarakat pedesaan menjadi sangat khas.

Roucek dan Warren, dalam Jefta (1995) karakter secara umum masyarakat pedesaan memiliki sifat homogeny dalam hal nilai-nilai budaya, sikap dan tingkah laku. Peran keluarga juga sebagai pengambil keputusan yang final dalam memecahkan persoalan.

Karakteristik yang tersebut yang membentuk persepsi masyarakat pedesaan, termasuk subjek Winda, Ola, Vina, Evy, Ila, dan Nur, untuk menanggalkan pendidikan yang seharusnya dicapai dengan baik.

Karakter masyarakat yang demikian tersebut juga ikut menempa dan terinternalisasi oleh para subjek beserta orangtuanya, dalam kesempatan wawancara subjek mengatakan :

…..Bener ditawari ibuk lanjut sekolah, tapi ibuk gak iso nyekolahno seng sekolah apik. Nggeh kulo pikir-pikir tawaran ibuk, terus ada konco yang ngajak nyambut gawe. Kulo pilih nyacak nyambut gawe, kebetulan masa libur lebaran 3 bulan, ternyata enak rasane duit, males sekolah wes. (Winda, 2020)

Awalnya yawes gitu mbak, lulus SMP gak melanjutkan sekolah. Capek pengen kerja aja…. (Ola,2020)

….Setelah lulus SMP langsung menikah jeda 2 minggu ditanyakan ke rumah, nda ada basa basi, aku bilang iya (Vina, 2020)

….saya masih kelas 2. Aku sempet lanjut SMA terus putus sekolah, gara-gara melok suami kerja (Evy, 2020)

…Aku kenal suami pas SMP satu kelas pas kelas 1, terus kita pdkt dan mulai pacaran kelas 2 SMP. Akhir.re pas lulus SMP suami ngajak nikah (Ila, 2020)

…lek SMP gorong wani, pas SMA mulai pacaran. .... pas lulus SMP belajar kerjo njogo koperasi siswa (Nur, 2020)

Fakta pendidikan bukan menjadi prioritas utama, karena kurangnya dukungan dari orangtua dan menyusutnya keinginan bersekolah. Lebih memilih bekerja, karena mendapatkan kepuasaan menghasilkan uang sendiri. Tinjauan fenomenologis yang nampak dari keterangan subjek jelas menguatkan pandangan bahwa pentingnya dorongan orangtua dalam proses pendidikan anak.

Pada tahap ini, perkembangan kesadaran subjek banyak mengalami perubahan, pada sisi lain penegasan dari pemilihan untuk bekerja. Pilihan bekerja menjadi lumrah terjadi daripada berdiam diri di rumah sementara orangtua mereka bekerja. Sikap memahami keadaan pilihan yang diambil (bekerja) didapat dari pengaruh teman sebaya dan lingkungan sosial.

Dorongan lain yang berasal dari lingkungan sosial secara tersirat, mengenai status jika perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi apalagi sudah bekerja.

Keputusan pribadi serta persetujuan orangtua, keluarga membuat yakin para subjek lebih baik segera menikah. Kesadaran ini semakin tampak saat setiap subjek mengatakan :

“Aku nikah bulan 9 (September) umur 16 tahun, bulan Desember masuk 17 tahun. Udah cocok sama pasangan, karena dari dulu pacaran hanya minta kejelasan gak ada-ada. Aku takut dipermainkan, takut kalau orangtuaku meninggal aku belum nikah. Terus ketemu cocok sama aku, sama keluargaku”

(Winda, 2020)

“Respon orantua waktu itu ya marah, malu sama tetangga ibuk sok semakin kesini ya enggak. Ibuk waktu saya mau menikah gak siap apa-apa karena mendadak. Pas waktu itu biasa aja santai, kata ayahnya wes tak bilangkan ibuk (mertua) kalau aku hamil dan mereka bilang terserah yang penting kami siap”

(Ola, 2020)

“….oleh karena itu saya nggak mau menjadi bahan omongan orang, tanpa tekanan dari siapapun mau menikah muda”. (Vina, 2020)

“…karena suami ngajak nikah. Suami ngalamar ke rumah sama orangtuanya, orangtuaku malah seneng. Karena gak enak di omongin orang kampung”. (Evi, 2020)

“…Dia (suami) juga sering main ke rumah, karena ini ibukku segan sama tetangga sebelah. Ibuk khawatir menjadi omongan, fitnah dari tetangga.

Akhirnya pas lulus SMP suami ngajak nikah.” (Ila, 2020)

“terus temenku dari dulu kebanyakan laki-laki semua. Menyebabkan aku diomongkan sama tetangga kampung, katanya pacarku ganti-ganti sampai ada yang bilang begini “oh anaknya janda pantes sering ganti laki-laki”. (Nur, 2020)

Pada keadaan yang dikatakan para subjek, penjelasan bersifat genetic atau historis banyak memberikan pengalaman di alam bawah sadar para subjek, tentang pilihan untuk menikah dini, meski pilihan tidak mampu dihindari oleh orangtua dan anaknya, lambat laun berpotensi memupuk karakter para subjek. Pada definisi membentuk karakter, faktor genetis atau warisan biologis tidak lantas menjadi hal utama, karena terdapat beberapa faktor seperti fenotipe, dimana budaya yang mendominasi komunitas tertentu, pengalaman berkelompok individu yang bersangkutan sekaligus pengalaman unik yang dialami oleh setiap individu yang berproses pembentukan karakter. Amatan fenomenologis pada situasi yang telah dipaparkan oleh para subjek, semakin menguatkan cara melihat yang menguasai persepsi para subjek adalah pentingnya faktor pembentuk karakter utama yaitu lingkungan (fenotipe) dan faktor genetis yang telah memberi peluang untuk mempersepsi ‘biasa’ dengan pernikahan dini.

Makna Pernikahan Dini Bagi Generasi Milenial Perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit

Pernikahan merupakan istilah hubungan resmi antara laki-laki dan perempuan yang bertujuan bersama membangun rumah tangga. Umumnya pernikahan ini diakui sah dalam pandangan hukum (adat, agama, negara, dan sebagainya). Mereka yang hidup bersama dan oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sebagai suami-istri.

Idealnya pernikahan dapat dilakukan ketika pihak laki-laki dan perempuan telah siap secara fisik, mental, maupun psikis untuk membina ruma tangga (Statistik, 2018a).

Sementara itu, pernikahan dini adalah pernikahan dibawah usia 17 tahun (ketentuan menurut UUD) bagi perempuan dan mereka sudah yakin untuk memutuskan menikah. Faktor yang mendorong menikah dini baik dari keyakinan individu maupun lingkungan keluarga dan sosialnya.

Pernikahan dini melahirkan berbagai kemungkinan baik ke arah positif ataupun negatif. Nilai positif penikahan usia dini ditinjau dari aspek agama seperti terhindar

dari perzinaan, dari segi ekonomi dapat membantu keuangan keluarga (orangtua).

Aspek sosial dari perkawinan dini bagi keluarga akan terangkat derajatnya bagi laki-laki yang kaya menikah dengan perempuan berusia muda meningkatkan prestis.

Sedangkan nilai kurang menguntungkan bagi pasangan muda yang telah menikah di bawah umur, sulit untuk menyesuaikan diri sehungga tidak dapat mencpaia tujuan perkawinan atau keluarga sakinah. Secara ekonomi belum siap, sehingga memunculkan masalah baru yang mengakibatkan tekanan dalam rumah tangga. Secara sosial bisa terjadi eksploitasi dan secara psikologis belum siap mental dan bagi perempuan dari aspek kedokteran belum siap untuk reproduksi (Mawardi, 2012).

Fenomena pernikahan dini di Desa Pojok Kecamatan Dampit, bahkan sampai saat ini banyak anak-anak muda yang masih melakukan pernikahan dini. Pada umumnya pernikahan dini dipengaruhi persepsi terhadap pasangan, pernikahan dini disebabkan married by accident, dan pernikahan dini karena tekanan judgemental.

Pernikahan Dini dipengaruhi Persepsi Terhadap Pasangan

Berdasarkan pernyataan pada tabel 1 dapat disimpulkan bahwa yang membuat Winda memutuskan untuk menikah dengan laki-laki dari segi usia terpaut cukup jauh adalah sikap tulus dari orang ini. Walaupun dari sisi fisik kurang rupawan, orang inilah yang membuat Winda merasa nyaman. Wajah tidak terlalu diperhitungkan baginya, paling penting orang ini jodoh untuk Winda dan sayang dengan keluarganya. Penyebab lain dalam memutuskan menikah ialah kekhawatiran Winda jika orangtuanya sudah meninggal, ia belum mempunyai pendamping hidup. Melalui proses menikah siri terlebih dulu kemudian dilanjutkan menikah secara KUA, Winda telah menjalai enam tahun hidup ber rumah tangga.

Kemudian bagaimana subjek memaknai persepsi orang lain terhadap dirinya.

Perbedaan usia antara Winda dengan suami memang cukup kentara, terpaut 24 tahun.

Saat itu Winda berusia 17 tahun dan suami 41 tahun, perbedaan umur membuat orang sekitar subjek berfikir kalau suaminya mengguna-guna Winda. Subjek tidak terlalu mengambil pusing gosip-gosip orang sekitar, karena ia merasa laki-laki ini adalah yang diimpikan Winda.

Selanjutnya, yang menjadi penyebab pernikahan dini di Desa Pojok adalah kehamilan di luar pernikahan. Salah satunya yang menimpa Ola, kisahnya dimulai ketika tidak melanjutkan sekolah karena capek berfikir pelajaran, lebih baik saat itu Ola memilih bekerja. Sebelum lulus sekolah subjek sudah mulai berpacaran yang kini menjadi suaminya. Dalam perjalanan menjalin pacaran, ia mengalami kehamilan diluar nikah karena accident.

Mau tidak mau setelah kecelakaan tersebut ia harus segera menikah, karena orangtuanya malu dan marah terhadap Ola. Meskipun begitu, orangtua Ola tetap merestui pernikahannya. Pacar Ola siap menikahi dan bertanggung jawab sampai saat ini. Hal ini membuat Ola sangat senang, ia dan suami menjalani rumah tangga atas dasar cinta.

Berdasarkan ungkapan Ola tentang mendapati tanggapan dari oranglain tentang perilakunya. Bisa cermati bahwa subjek sangat santai menghadapi masalahnya, karena sang pacar meyakinkan akan segera menikahi. Meski respon orang tua Ola merasa malu atas perbuatannya, mau tidak mau harus menghadapi dan menyelseikan permasalahan putrinya tersebut.

Pernikahan dini karena tekanan judgemental

Pada sisi lainnya, yang mendorong terjadinya pernikahan dini di desa Pojok adalah judgemental terutama dari lingkungan sosial para subjek. Hal ini terjadi pada Evy, Ila, Vina, dan Nur. Tetangga mereka menganggap tidak pantas jika perempuan sering keluar dengan laki-laki tanpa ikatan, demi mencegah gossip-gosip yang semakin melebar, para orangtua subjek menyegerakan putri-putri mereka untuk menikah.

Kebanyakan para orangtua subjek mengizinkan anak-anaknya untuk melakukan pernikahan dini, mereka pikir dengan menikah menjadi jalan terbaik dalam menghindari omongan kurang baik dari tetangga. Tekanan judgemental menimpa pada subjek Vina, Evy, Ila, dan Nur. Walaupun ketiga subjek menututurkan bahwa keinginan pribadi menjadi faktor utama dalam melakukan pernikahan dini. Ada tekanan lain seperti perkataan dari orang-orang lingkungan sekitar yang mengakibatkan keputusan lebih baik segera menikah.

Vina adalah sosok sensitive apalagi yang melibatkan dirinya secara langsung.

Keputusan menikah dini bisa menjadi jalan tengah, di sisi lain Vina merasa siap dan tetap menjaga nama baik keluarganya. Pada perjalanan setelah menikah, terdengar ungkapan kurang menyenangkan dari tetangga. Awal-awal ungkapan tersebut sangat menganggu, menimbulkan keresahan. Lama kelamaan Vina dan suaminya lelah menanggapi hal-hal yang tidak terlalu penting, akhirnya bersepakat tidak usah mendengarkan omongan tetangga yang utama adalah keluarga.

Pada subjek selanjutnya, yakni Evi. Subjek ini dalam proses memaknai pendapat orang lain kepada dirinya di katakan pada pernyataan diatas. Bukan suatu hal yang menyenangkan menjadi bahan gossip para tetangga, dengan dilamarnya Evi oleh pacara justru merasa senang. Karena bisa terbebas dari pembincangan tetangga yang selama ini merundungnya.

Pemaknaan persepsi dari orang luar terhadap Ila, mirip dengan subjek sebelumnya. Sebenarnya perasaan Ila tidak terlalu peduli dengan omongan para tetangga. Namun, orangtua Ila terlalu khawatir jika tidak segera menikah akan menjadi fitnah dari tetangga. Lebih baik segera dinikahkan untuk menghindari zina.

Sama halnya dengan subjek bernama Nur, Faktor lingkungan sosial Nur juga mendorong untuk segera menikah, dia sering menjadi pembicaraan tetangga kampungnya. Dengan kata-kata yang tidak pantas “memang anaknya janda, ya pantes ganti-ganti pasangan”. Padahal ketika itu Nur hampir tidak pernah berteman dengan perempuan, karena dia tomboy jadi sering bermain dengan teman laki-laki.

September 2020, usia Nur menginjak ke 31 tahun dan usia pernikahan pun juga sudah bisa di bilang cukup lama. Bukan hal yang mudah baginya belum beri anugrah buah hati oleh Tuhan. Mengatasi tekanan kanan kiri, Nur dan suami berusaha menananggapi dengan kepala dingin. Subjek memiliki prinsip hidup sederhana namun bermakna yaitu orang hidup hanya sekali kok dibikin sumpek-sumpek, nanti kalau sudah meninggal gak bisa menikmati kesenangan.

Implikasi Pernikahan Dini Bagi Generasi Milineal Perempuan di Desa Pojok Kecamatan Dampit

Memahami implikasi pernikahan dini bagi generasi milineal perempuan memiliki perbedaan namun intisarinya hampir sama satu dengan lainnya. Secara personal setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) Winda ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Keinginan tersebut terhenti disaat Winda mendapat tawaran pekerjaan bersama temannya, dengan niat awal-awal hanya mencoba ternyata membuat ia senang menghasilkan penghasilan sendiri. Di periode tersebut Winda juga melangsungkan pernikahan dengan seseorang yang usianya terpaut 24 tahun darinya.

Dalam masa keenam tahun pernikahan dan usia Winda memasuki 25 tahun, memiliki 2 putra masing-masing berusia 3 dan 2 tahun. Ia mengungkapkan ada momen-momen rasa bosen melanda tapi bukan penyesalan. Muncul rasa iri kalau melihat teman sebaya masih bisa bermain sesukanya, teman-teman necis-necis dirinya sudah tak sempat merawat tubuhnya seperti dulu ketika perawan. Buat Winda rasa tersebut di buat bahagia saja, karena sudah takdirnya. Dia berharap jika suatu saat nanti sudah punya cucu, Winda bisa melihat dan merawatnya. Winda tidak pernah menyesal karena menikah dini, justru dia amat sangat bersykur bisa bertemu dengan laki-laki yang tempat. Ia juga tidak merasa malu kalau suaminya lebih tua, Winda sangat bangga karena faktor tersebut. Meskipun tetangga sering bergumam Winda mendapat guna-guna dari suaminya, namun dia selalu menunjukkan rasa sayang terhadap suami dan anak-anaknya.

Berbeda dengan Ola, ia menikah dini disebabkan married by accident. Menurut penuturan subjek, orangtuanya malu, kaget, dan marah atas perbuatan dirinya. Dalam benak Ola belum ada keinginan untuk menikah ketika itu, ia masih senang-senangnya berpacaran dan bekerja. Karena Ola setelah lulus SMP tidak mau melanjutkan ke SMA, sudah males berpikir yang behubungan pelajaran sekolah. Walau ada sedikit penyesalan, Ola akhirnya tetap menikah dengan suaminya. Penyesalan Ola terjadi disaat melihat teman-temanya jalan-jalan keluar, dia hanya muter-muter dirumah.

Kadang perekonomian yang menjadi masalah di keluarga Ola. Lambat laun Ola berusaha membantu pemasukan dengan berjualan online dari rumah.

Vina, menyatakan bahwa tidak pernak kecewa setelah menikah dini. Di usia pernikahan ke dua belas tahun, Vina menyikapi pernikahannya lebih dewasa. Semua kendala seperti penyesuaian karakter, meredam ego, dan mematangkan finansial, semata-mata untuk memperkuat pondasi keluarganya. Tak dapat di pungkiri Vina mengakui kalau dirinya dulu sangat sentimental terhadap apapun, terutama yang bersangkutan dengan rumah tangganya. Vina dan suaminya bersepakat untuk tidak lagi mendengarkan nyinyiran dari tetangga.

Menurut penuturan Vina, kebanyakan teman-temanya yang juga menikah dini.

Belum sampai dua tahun pernikahan sudah cerai atau pisah-pisahan. Belajar dari peristiwa yang menimpa temannya, subjek tidak menginginkan kejadian itu terjadi pada rumah tangganya. Vina sangat percaya dengan pondasi kuat menikah muda bisa langgeng, asalkan semua tergantung personality masing-masing. Sama seperti subjek pertama yakni Winda, yang juga saudara kandung Vina sendiri. Banyak yang tidak percaya kalau Vina sudah menikah dan suaminya terpaut lebih tua. Justru ia merasa sanggat bangga dengan suaminya, untuk menunjukkan perasaannya Vina sampai sekarang sering mengunggah foto-foto kebersamaan bersama suami di media sosial.

Selain itu, di pernikahan yang ke 12 tahun, memiliki putri semata wayang, lebih bisa menerima keadaan dan bersyukur.

Bagi Evy dan Ila, mengungkapkan tidak ada dampak khusus akibat menikah dini. Mereka yakin menikah dini sudah menjadi jalan hidupnya. Tentu saja ada rasa bosen, pada prinsipnya kembali ke pribadi masing-masing. Keduanya sama-sama dilarang kerja oleh suaminya, keseharian mereka merawat anak-anaknya. Evy dan Ila, sangat jarang pergi keluar meluangkan waktu buat diri sendri. Bahkan sama sekali tidak memikirkan kegiatan itu, yang terpenting bersama anak-anak. Tidak pernah mengatur hal aneh-aneh, kemanapun pergi selalu membawa anak mereka, karena membuat pikiran tenang.

Nur menilai, tidak ada penyesalan setelah menikah dini. Beberapa problem seperti menyelaras karakter subjek dengan suaminya, akibat pola pikir yang masih egois. Nur memaklumi sifat egoisnya karena memang masih anak-anak sudah

memiliki buah hati. Tidak mudah bagi subjek untuk menghadapi tekanan tersebut, namun suaminya selalu membuat tenang dalam keadaan apapun.

Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya implikasi pernikahan dini bagi generasi milineal, bukanlah sesuatu yang harus dijadikan beban oleh mereka.

Ada beberapa hal terjadi pada subjek Ola, menikah disebabkan hamil di luar nikah dan mungkin kalau tidak kejadian ia masih berpacaran. Dia tetap menerima apa yang menjadi jalan hidupnya. Menurut Winda, Vina, Evy, dan Ila mengatakan tentu ada rasa iri muncul karena tidak sebebas dulu, namun hal tersebut bukan permasalahan yang berarti bagi para subjek. Mereka fokus mempersiapkan kehidupan kedepan baik untuk diri dan keluarganya. Lain halnya menurut Nur, dengan menikah dini dirinya malah mendapat kebebasan, merasa aman karena sudah bersuami.

Rata-rata pengalaman ke enam subjek yang sudah menikah dini mengatakan tidak pernah menyesali keputusannya. Biarpun usia perempuan-perempuan ini masih dalam rentang umur anak-anak, mereka yakin dengan apa yang di pilih menjadi jalan hidupnya. Merelakan tidak melanjutkan pendidikanya, berhenti bekerja demi mengurus anak-anak, dan mungkin beberapa cita-cita terpendam yang belum terwujudkan. Perasaan kecil hati di saat melihat teman-teman sebaya masih bisa hidup sesuka hatinya, sementara mereka harus di rumah menjaga keluarga yang ia bangun.

Emosional seperti itu, para subjek menganggap sesuatu yang wajar karena juga masih muda. Bagaimanapun pula, menurut subjek sudah waktunya menikah, belajar deawsa dari segi emosional. Kiat utama yang diterapkan pada rumah tangga musti saling menerima, support, kasih sayang, serta fokus mempersiapkan kehidupan kedepannya baik untuk diiri sendiri dan keluarganya.

Pengaruh Keluarga Terhadap Praktik Pernikahan Dini

Landasan teoritik pada penelitian ini menggunakan teori Mc Leod dan Chaffee dalam Koener dan Fitzpatrick (2006), yaitu pola komunikasi keluarga. Berdasarkan pengalaman hidup pernikahan dini para subjek diatas adalah bahwa fenomena yang terjadi pada perempuan milineal ini, terkhusus di daerah perdesaan dan lebih detail lagi mayoritas lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang telah memutuskan menikah dini.

Teori tentang pola komunikasi keluarga (conformity orientation) Koener dan

Teori tentang pola komunikasi keluarga (conformity orientation) Koener dan

Dokumen terkait