• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan tiga (3) subjek dan sumber lain dalam penelitian, diperoleh hasil tentang kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani tugas studi. Berdasarkan analisis atas data yang diperoleh dalam penelitian tersebut, maka berikut ini akan dipaparkan hasil penelitian dan pembahasaannya.

Mengingat hasil wawancara yang menjadi inti masukan penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan lebih dari satu halaman (5 halaman), maka untuk alasan praktis peneliti meletakkan hasil wawancara pada lampiran 2 dan hasil penelitian tersebut pada lampiran 3, sedangkan pembahasannya diuraikan pada halaman selanjutnya.

Ketiga subjek dalam penelitian ini menunjukkan adanya ciri-ciri kematangan emosi, sebagai berikut: terbuka dan jujur, mereka mampu berbicara secara terbuka, jujur, mengakui dan menerima peristiwa yang terjadi dalam dirinya serta mau belajar dari yang lain. Begitupun dengan sikap peka, berinisiatif, dan kreatif dalam berbagi pengalaman hal ini juga bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari baik di komunitas maupun di kampus. Dalam pergaulan dan dalam berelasi dengan sesama menunjukkan sikap sopan, ramah dan rendah hati serta dapat memahami, mengerti terhadap sesama terlebih mereka yang sedang menghadapi masalah. Hal tersebut di atas dapat mereka jalani berkat keterbukaan

35

mereka dalam berelasi dengan Tuhan lewat doa, refleksi dan meditasi. Meskipun demikian mereka menyadari masih perlunya bimbingan dan dukungan untuk lebih dapat meningkatkan nilai-nilai positif dalam diri mereka sehingga hidup ini semakin bermakna.

36 B. Pembahasan

Berikut ini dipaparkan pembahasan atas hasil penelitian ditinjau dari lima aspek.

a. Pemahaman diri

Pemahaman diri yang difokuskan pada emosi yang dialami oleh ketiga subjek hampir serupa satu dengan yang lain, yaitu mereka menyadari pentingnya mengolah emosi yang ada dalam diri, sadar, merefleksikan, “eling” dan peka karena hal tersebut merupakan bagian integral dari diri. Mereka mengenali emosi sebagai perasaan yang muncul karena ada sesuatu yang terjadi. Mereka bisa membedakan emosi yang muncul berdasarkan stimulusnya, salah satunya yaitu perasaan terharu/ tersentuh. Disadari pula bahwa emosi merupakan sinyal rasa aman dalam diri yang harus disadari dan dipahami asal-usulnya sehingga tahu bagaimana menyikapinya, tidak langsung diikuti melainkan undur diri, bertanya dalam diri “kenapa reaksiku seperti itu?” Masing-masing subjek menyadari bahwa mereka butuh waktu untuk berproses.

Dalam memahami emosi yang muncul dalam diri ketiga subjek nampak sudah cukup memiliki kemampuan yang memadai. Hal ini mungkin disebabkan karena mereka telah terbiasa untuk meneliti diri, bermeditasi, dan lain-lain di komunitasnya.

Meskipun demikian, hal yang perlu mendapat perhatian di sini adalah semakin meningkatkan kesadaran pentingnya mengolah emosi dan memberi

37 b. Kemampuan mengolah emosi

Dalam menyikapi emosi yang muncul atas berbagai peristiwa, ketiga subjek mencoba untuk diam, undur diri, ”menikmati”/merasakan, dan mencari penyebab kemunculan emosi tersebut. Mereka juga mencoba mengontrol dan men-sharing-kan perasaannya kepada orang lain. Terhadap emosi spontan yang muncul, salah satu subjek merasa perlu untuk diam mendengarkan. Ia pada mulanya merasa terkejut dan takut jika berada di dekat pimpinan, karena adanya pengalaman trauma masa lalu, namun ia sekarang sudah mulai berubah, sehingga perasaan tersebut mulai berkurang. Satu subjek yang lain ketika berhadapan dengan pimpinan, baru dapat meng-komunikasikan isi hatinya secara terbuka setelah menenangkan diri. Subjek yang lain diam mendengarkan orang lain berbicara sampai selesai, sesudah itu baru mengklarifikasikan dalam suasana hati yang tenang.

Mereka juga mampu menemukan penyebab emosi yang muncul ketika ada suatu aturan baru yang harus ditaati, walaupun pada mulanya menggerutu, jengkel, tetapi setelah hening dan berefleksi, akhirnya muncul perasaan bebas untuk mengungkapkan apa yang perlu disampaikan tanpa disertai emosi yang negatif. Masing-masing subjek mencoba mengolah emosi secara teratur dengan melakukan latihan yang bervariasi sesuai dengan gaya masing-masing, misalnya: mengambil waktu untuk berdiam diri sendirian, melakukan introspeksi dan refleksi, menulis jurnal, berwawan hati dengan Tuhan yang memberi kekuatan, melakukan doa pribadi, berdialog dengan diri sendiri, dan berinisiatif untuk meminta klarifikasi kepada pihak yang terkait dengan segala resiko yang harus

38

diterima. Mereka sadar bahwa masing-masing orang itu unik, merasa bebas dan merasa semakin berharga, ada niat kuat untuk terus berefleksi dan berproses untuk lebih melihat ke dalam diri sendiri daripada melihat orang lain. Untuk dapat mengecek logis tidaknya reaksi emosi yang muncul mereka mengundurkan diri untuk melihat persoalan secara lebih jernih, mengambil jarak terhadap perasaan yang muncul supaya bisa memberikan tanggapan secara objektif, melakukan dialog antara pikiran dan perasaan sehingga tidak mudah tersinggung lagi. Ketika dalam menjalani studi muncul rasa jenuh, capek, dan jengkel, salah satu subjek mengalami dan merasakan hal tersebut disebabkan oleh kurangnya kemampuan untuk memotivasi diri, walaupun ia memiliki kemauan dan komitmen untuk tekun dalam menjalankan tugas studi yang dipercayakan kepadanya. Salah satu subjek yang lain merasa terganggu oleh pembicaraan teman-teman di kampus tentang suster-suster lain yang kurang menunjukkan sikap serius dalam menjalani studi, maka ia berusaha untuk menetralkan perasaannya dengan cara berwawan hati dengan Tuhan lalu mensyeringkan dengan pembimbing. Selain itu, ia mengalihkan emosinya dengan bermain gitar atau organ. Satu subjek yang lain lagi, tidak merasa bosan dan tidak malas dalam menjalani studi karena ada rasa ingin tahu yang tinggi akan pengetahuan yang baru, sehingga ia tetap bersemangat dalam belajar. Ia selalu berusaha kembali melihat motivasi awal dan mau meluangkan waktu untuk duduk diam dan berefleksi.

Dalam perjalanan hidup selanjutnya, mereka juga berusaha membangun sikap bebas dengan menumbuhkan keberanian mengambil jarak untuk berefleksi, berani menerima realitas diri dan sesama. Setiap pribadi berbeda dan dinamis,

39

dengan demikian mereka mampu menyesuaikan diri dan fleksibel. Mereka dapat mengambil peran sebagai pengendali emosi yang bijaksana dengan penuh kesadaran, refleksi, dialog dan berusaha untuk tidak menuruti emosi sesaat dan menjadi pribadi yang netral.

Dalam hal pengolahan emosi ketiga subjek telah menunjukkan kemampuan atau kematangan yang cukup tinggi karena telah mampu mengolah emosi yang muncul, tidak langsung mengikutinya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ketiga subjek telah terbiasa untuk melakukan refleksi atas pengalaman-pengalaman yang mereka alami.

Akan tetapi mereka masih perlu terus-menerus mengupayakan cara yang

lebih baik untuk dapat mengolah dengan lebih serius dan tekun.

c. Kemampuan menentukan pilihan sikap

Ketiga subjek pada awalnya masih cenderung menuruti emosi yang sedang bergejolak, sehingga mereka kadangkala merasa terluka, menyesal, gelisah, tertekan, badan terasa sangat lelah/sakit dan kepala pusing. Oleh karena itu mereka memandang penting untuk melakukan refleksi agar dapat menemukan hal-hal positif, dan berani terbuka untuk mengkomunikasikan peristiwa yang terjadi dengan orang yang bersangkutan demi pembebasan batin. Mereka merasa lega sesudah mengungkapkan sesuatu yang mengganjal dalam diri mereka. Hal ini mereka pandang penting sekali untuk diri sendiri dan hidup bersama dalam komunitas. Kesibukan di kampus sering menimbulkan kesadaran akan pentingnya kebersamaan dalam komunitas. Mereka juga merasakan adanya persaudaraan dan

40

saling memahami di dalam komunitas sehingga ketika mendapat kritikan dari sesama, mereka bisa menerima dengan tenang. Subjek juga menyadari bahwa penentuan pilihan sikap merupakan suatu hal yang penting karena menyangkut orang lain dan demi orang lain. Untuk itu mereka merasa butuh suatu keberanian keluar dari diri sendiri dan terbuka terhadap masukan-masukan orang lain guna menambah wawasan, mengembangkan kualitas kepribadian dan kesetiaan menjalin relasi dengan Tuhan yang adalah sumber kekuatannya.

Dalam menentukan pilihan sikap/tindakan, ketiga subjek telah menunjukkan kemampuan yang cukup memadai karena mereka bisa mengambil keputusan tanpa dipengaruhi oleh emosi yang muncul. Hal ini dapat dimengerti, karena mereka selama menjadi suster telah dilatih untuk mengambil jarak terhadap emosi, pikiran, atau keinginan yang muncul secara spontan, dan lebih mengikuti dorongan nurani yang jernih.

Meskipun mereka sudah matang, namun mereka masih perlu untuk terus-menerus belajar dengan rendah hati dan terbuka, sehingga semakin peka terhadap suara hati untuk menentukan pilihan sikap dalam hidup berkomnitas.

d. Pemahaman terhadap orang lain

Ketika sedang mengalami emosi yang tinggi, salah satu subjek berusaha untuk dapat memahami dan mengerti serta peka terhadap bahasa non verbal orang lain. Subjek yang lain dapat menempatkan diri pada posisi orang lain, berefleksi dan bersikap empati. Mereka juga tidak mudah hanyut dalam perasaan orang lain yang sedang mencurahkan isi hatinya. Meskipun muncul rasa iba, prihatin ia

41

berusaha untuk mendengarkan dengan hati dan memberi semangat pada teman. Mereka menunjukkan sikap empati terhadap orang lain dengan sapaan, senyuman, anggukan, memberi perhatian dan semangat, mendekati secara pribadi dengan ramah dan berbagi pengalaman hidup yang meneguhkan dan membahagiakan. Ketiga subjek dalam hal ini sudah cukup matang dalam memahami

perasaan orang lain, sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka juga mampu membagikan pengalaman hidupnya pada sesama dan saling meneguhkan. Hal ini kemungkinan disebabkan atau dilatarbelakangi oleh kebiasaan mereka melatih diri bersikap ramah dan perhatian pada sesamanya.

e. Kemampuan memberikan tanggapan yang tepat terhadap orang lain Ketiga subjek sangat terbuka dalam menjalin relasi dengan sesamanya.

Mereka berelasi dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan dan bisa menyesuaikan diri. Ketika berelasi dengan orang lain, subjek mempunyai prinsip bahwa semua manusia itu unik. Dalam hal ini mereka telah mampu menghargai keunikan orang lain, bisa berbaur dan akrab bergaul, meskipun ada rasa segan dengan orang yang memiliki jabatan. Kadang-kadang mereka ingin juga didengarkan tetapi mereka juga berusaha mendengarkan dan masuk ke dalam pengalaman orang lain dengan tenang. Apabila apa yang disampaikan oleh orang lain kurang jelas, subjek menanyakan kembali dengan santun dan terfokus.

Dalam upaya meningkatkan kemampuan untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain yang bermasalah, mereka hadir untuk mendengarkan dengan penuh kesabaran, namun tetap sadar akan keterbatasan kemampuannya dalam

42

membantu orang lain. Dalam memberikan bantuan kepada orang lain subjek tidak segan-segan meminta bantuan orang lain yang kompeten untuk memberi petunjuk atau jalan keluar dari kesulitan. Hal ini sekaligus sebagai pengontrol kerendahan hati dan rasa tanggung jawabnya. Dengan itu mereka semakin berani mensyeringkan pengalaman secara terbuka, melatih kepekaan dan semakin termotivasi menambah wawasan pengetahuan dengan banyak membaca.

Hal yang menonjol dari ketiga subjek adalah mereka itu orang-orang yang reflektif, tekun dalam doa, bersedia belajar dari orang lain dan tahu menempatkan diri, tidak malu untuk bertanya, jujur, terbuka menjalin relasi yang baik serta berani menanggung resiko, serius dalam panggilan, dan melakukan disermen yang serius dalam mengambil keputusan dan tindakan.

Dapat disimpulkan bahwa pada aspek ini ketiga subjek sudah cukup matang. Mereka telah cukup matang dalam hal ini kerena mereka berusaha setia melatih diri dan terbuka untuk menerima masukan dari sesamanya. Namun mereka masih perlu terus-menerus untuk melatih diri mengolah emosi dengan tekun dan sabar.

Oleh karena itu mereka perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas diri dan hidup serta banyak belajar untuk semakin memantapkan motivasi panggilan hidup membiara sesuai dengan konstitusi kongregasi SSpS artikel 528: “…mereka harus mencapai tingkat kematangan manusiawi dan religius…” dan artikel 119: “…secara tetap kita berusaha untuk tumbuh dan menjadi matang dalam cinta ini sehingga kita menjadi segala-galanya untuk semua orang” (bdk. IKor 9:22).

43

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa ketiga subjek telah memiliki kematangan dalam mengolah emosi karena mereka selalu refleksi diri, koreksi diri, terbuka, setia dan tekun dalam doa, sehingga akan semakin merasa bebas menentukan pilihan untuk mengembangkan kualitas diri secara sadar dan bertanggungjawab, tidak begitu saja terbawa atau tenggelam dalam arus emosi spontan yang kadang-kadang muncul.

Dalam buku Ki Ageng Suryomentaraman (Adimassana, 2001:95,99) tertulis bahwa:

“Kesempurnaan hidup dan kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai jika orang memiliki jiwa yang telah bebas merdeka. Dan bagi orang yang jiwanya bebas kalau toh mesti marah, ia akan marah dengan tenang dan marah dengan kesadaran”.

Benar juga apa yang dikatakan Arnoldus Janssen dalam suratnya tertanggal 20-11-1902 dan 08-09-1901, (Konstitusi SSpS hal 104):…”Kita mencapai kesempurnaan melalui penyerahan total kepada Allah dan melalui pemeliharaan hidup rohani. Semakin jiwa manusia maju di jalan kesempurnaan, semakin ia mengalami terang dalam dirinya”

Mengingat tingkat kematangan ketiga subjek masih belum betul-betul mantab, maka mereka masih perlu meningkatkan diri dalam aspek-aspek tertentu, antara lain: kematangan psiko-spiritual untuk mencapai kepribadian yang utuh. Secara konkrit untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut diusulkan program bimbingan seperti tertulis pada bagian berikut ini.

44

C. Usulan Topik-topik Pendampingan yang dapat Membantu Meningkatkan

Dokumen terkait