• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kematangan emosi tiga suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) yang sedang menjalani studi tahun 2009/2010 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kematangan emosi tiga suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) yang sedang menjalani studi tahun 2009/2010 - USD Repository"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KEMATANGAN EMOSI TIGA SUSTER YUNIOR

KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS)

YANG SEDANG MENJALANI STUDI

TAHUN 2009/2010

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Astuti Christina

NIM: 051114004

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

KEMATANGAN EMOSI TIGA SUSTER YUNIOR

KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS)

YANG SEDANG MENJALANI STUDI

TAHUN 2009/2010

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh: Astuti Christina NIM: 051114004

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

MOTTO

“Akulah Pokok Anggur, barangsiapa tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia ia berbuah banyak.

Jikalau kamu tinggal didalam Aku dan firman-Ku tinggal dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki

dan kamu akan menerima-Nya”

(Yohanes 15: 5-7)

“Ia tahu menyesuaikan diri dengan semua, Ia bergembira dengan orang yang gembira dan turut berduka dengan yang berdukacita. Ia selalu bersedia membantu semua. Terutama dalam waktu sulit ia mendampingi kami sambil membantu dan membesarkan hati kami”

(6)

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Semua suster SSpS Provinsi Maria Bunda Allah Jawa

yang telah mendukung dan menyemangati saya selama menjalani tugas studi di Program Studi Bimbingan dan Konseling

Jurusan Ilmu Pendidikan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

(7)
(8)
(9)

viii ABSTRAK

KEMATANGAN EMOSI PADA TIGA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS)

YANG SEDANG MENJALANI STUDI TAHUN 2009/2010

Astuti Christina

Universitas Sanata Dharma 2010

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kematangan emosi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) yang sedang studi tahun 2009/2010 dan untuk menemukan program pendampingan yang sebaiknya dilakukan untuk tiga suster SSpS yunior dan sebayanya untuk dapat meningkatkan kematangan emosi mereka.

Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif. Subjek dalam penelitian ini ada tiga (3) suster yunior yang berada di Komunitas Yogyakarta dan Surabaya. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data menggunakan wawancara mendalam dengan para subjek. Instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan pedoman wawancara yang disusun oleh peneliti dan dikonsultasikan dengan pembimbing. Data yang diperoleh dari hasil wawancara direkam dengan menggunakan tape-recorder dan disusun dalam bentuk transkrip.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek penelitian menampakkan kematangan emosi mereka. Hal ini bisa terlihat dari sikap, tutur kata dan perbuatan mereka dalam kehidupan bersama baik di komunitas maupun di kampus. Dalam menghadapi dan menanggapi sesuatu mereka tidak mudah terbawa oleh emosi sesaat, melainkan mereka mampu menanggapi dengan tenang setelah menenangkan diri dan berefleksi. Meskipun demikian mereka masih perlu untuk terus-menerus melatih diri dengan tekun karena emosi yang muncul belum diolah secara mendalam sehingga masih mengganggu dalam berproses untuk menerima diri dan orang lain. Mereka juga menyadari betapa pentingnya hidup dalam kesadaran karena hal ini sangat membantu mereka dalam mengolah diri dan mengolah emosi dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang religius yang sedang menjalani tugas studi. Selain itu mereka juga mampu menemukan manfaat dan mampu memaknai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan bersama, sehingga membuat mereka semakin berkembang dalam kepribadian dan mencapai kematangan dalam hidup beriman. Nilai-nilai yang semakin bertumbuh dengan kuat dalam proses kematangan emosi adalah kerendahan hati, kasih, berani ambil resiko, pengampunan, penghargaan diri, empati dan beriman kuat.

(10)

ix ABSTRACT

THE EMOTIONAL MATURITY OF THREE JUNIOR SISTERS OF THE HOLY SPIRIT MISSION CONGREGATION (SSpS)

WHO ARE STUDYING IN THE YEAR 2009/2010 Astuti Christina

Sanata Dharma University 2010

This research is aimed to know the level of the emotional maturity of the junior sisters of the Holy Spirit Mission Congregation (SSpS) who are studying in the year 2009/2010, and it is to find out the assisting programme which should be done for the three SSpS junior sisters, and their friends of the same age, in order to improve their emotional maturity.

The type of this research is a qualitative one. The subjects of this research are three junior sisters who are living in Yogyakarta and Surabaya.

The method used for the data collecting is by using the profound interview with the subjects. The research instrument is using the form of directive questions which were compiled by the researcher and were consulted with the advisor. The Data that obtained from the interview is recorded using a tape-recorder and is arranged in the form of transcription.

The result of the research indicated that the three subjects of the research showed up their emotional maturity. It is see through their attitude, words and actions in their social life, both in the religious community and in the campus. When facing something, they are not easily affected by their emotion at that moment, but they are able to respond calmly after going through some quiet time for themselves and through personal reflections.

However, they still need to practize diligently and continuously because the emotion shown is not yet processed deeply and therefore it is still disturbing in the process of accepting oneself and others.

They are aware of how important to live consciously, which help them for personal and emotional development in everyday-life as religious who are still in the study progress.

They also find the benefits and meanings of events that happen in community life which make them more developed in their personalities and becoming mature in faith.

Values that grow stronger in their emotional maturity are: humility, love, courage to take risks, forgiveness, self respect, emphaty and strong faith.

Based on this research, the researcher suggested some topics for assistance to improve the emotional maturity.

Suggestions that can be done are: Improvement of emotional maturity in the context of vision, mission and Congregation Spirituality; Emotion Management during study period; Becoming free, mature and holistic persons.

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah Yang Maha Kasih yang telah membimbing dalam proses penyusunan sampai dengan selesainya skripsi ini melulu hanya karena PenyelenggaraanNya, anugerah dan belaskasih serta bimbinganNya dan berkat bantuan, bimbingan, perhatian serta dorongan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat selesai.

Atas bantuan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak, dengan hati yang tulus penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.

2. Dr. M. M. Sri Hastuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah memberi kesempatan, dukungan dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Drs. YB. Adimassana, M.A., selaku pembimbing I yang telah berkenan membimbing penulis dengan penuh kesabaran, empati, bijaksana dan memberikan ide-ide yang bagus.

4. Drs. H. Sigit Pawanta, SVD, M.A., selaku pembimbing II yang telah berkenan membimbing penulis dengan penuk kasih, kesabaran, empati dan bijaksana.

(12)

xi

6. Tim Pimpinan Provinsi yang telah memberi kepercayaan dan kesempatan untuk mengembangkan diri dalam studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Progaram Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, serta setiap suster SSpS di Provinsi Maria Bunda Allah Jawa yang telah mendukung lewat cinta, doa-doa dan perhatiannya sehingga dapat menyelesaikan tugas studi ini dengan baik.

7. Sr. A, Sr. B dan Sr. C (nama samaran) yang telah berkenan membagikan dan mempercayakan sebagian pengalaman hidupnya kepada penulis demi kelancaran penyusunan skripsi ini.

8. Para suster komunitas Biara Roh Suci Yogyakarta yang telah memberikan dukungan, doa, perhatian khususnya dalam proses penyusunan skripsi ini. 9. Para suster komunitas St. Vincentius a Paulo Surabaya yang telah

memberikan dukungan dan ijin untuk penelitian.

10.Pater Thobias Muda Kraeng SVD, Andreas Nugroho WH, yang telah berkenan mengoreksi, mengkritisi dan memberi semangat dalam proses akhir penyusunan skripsi ini.

11.Teman-teman seangkatan 2005 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

12.Sanak saudara, rekan-rekan, sahabat dan kenalan baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah memberi dukungan dan bantuannya demi kelancaran penulisan skripsi ini.

(13)

xii

penyempurnaannya. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan membantu para suster yunior dalam usaha meningkatkan kemampuan mengelola emosi mereka sehingga mereka semakin matang dan dewasa dalam hidup panggilan sebagai religius misionaris SSpS yang berkualitas dan tangguh.

(14)

xiii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

E. Devinisi Operasional dan Variabel Penelitian ... 8

1. Definisi Operasional ... 8

2. Variabel Penelitian ... 8

3. Keterbatasan Penelitian ... 9

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Kecerdasan/Kematangan Emosi ... 10

B. Kedewasaan pribadi ... 14

C. Pembinaan masa Yuniorat ... 19

BAB III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 21

5. Pertanggungjawaban mutu alat penelitian ... 29

6. Teknik Analisa Data ... 31

(15)

xiv

B. Pembahasan ... 36

C. Usulan topik-topik Pendampingan yang dapat Membantu Meningkatkan Kematangan Emosi Para Suster SSpS Yunior yang Sedang Menjalani Studi ... 44

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 49

B. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab I ini akan dibahas pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, dan

variabel penelitian.

A. Latar Belakang Masalah

Kematangan emosi setiap pribadi sangat dibutuhkan dalam kehidupan, juga dalam

kehidupan bersama di biara. Hal tersebut merupakan salah satu tuntutan dalam kehidupan membiara. Mengingat emosi atau perasaan sangat penting dalam hidup manusia, setiap pribadi hendaknya menata emosinya agar lebih tenang dalam bertingkah laku, lebih aman bersama orang lain, lebih bijak dalam mengambil keputusan dan lebih damai. Dalam hidup membiara, pengaturan emosi sangatlah penting bahkan juga dalam hubungan dengan Tuhan.

(19)

2

(20)

3

Kebanyakan para religius yang hidup membiara mempunyai optimisme dan idealisme hidup yang dijalaninya. Namun demikian idealisme dan optimisme tersebut secara perlahan dapat hilang bersama berjalannya waktu dan digantikan oleh kelemahan manusiawi yang kerap dirasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Ciri melemahnya idealisme dan optimisme antara lain: orang condong mengikuti gejolak emosi yang muncul oleh adanya tawaran-tawaran dari dunia sekitarnya, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang menjadi idealismenya.

Kebersamaan dalam keanekaragaman yang tercipta dalam hidup membiara memang sudah sepatutnya menjadi realitas yang harus dihayati oleh setiap anggota. Hal ini menjadi suatu tuntutan karena sebuah Kongregasi religius bukanlah persatuan minat yang sama, seragam, budaya/suku yang sama, pekerjaan yang sama, melainkan karena panggilan dan perutusan atas dasar iman yang sama. Mereka dipersatukan dalam hidup bersama dalam Kongregasi bukan karena pilihan pribadi, melainkan setiap manusia diciptakan dan dipanggil untuk turut serta dalam kebersamaan hidup dengan Allah secara rohani, mengambil bagian pada kehidupan Allah Tritunggal.

(21)

4

Roh Kudus yang mempersatukan kita dalam cinta persaudaraan yang tulus. Dalam keanekaan kebudayaan, bangsa, kepribadian dan usia kita mengalami kekayaan karunia Roh Kudus dalam diri kita masing-masing. Hendaknya kita saling menghargai, menyemangati, membantu, saling berbagi rasa dan saling memberi perhatian pada hidup dan karya. Kehadiran Roh Cinta di tengah-tengah kita dinyatakan dalam saling percaya dan cinta yang penuh perhatian. (Konstitusi SSpS, artikel 304, hal 75).

Keanekaragaman suku di dalam komunitas, jika disikapi dengan emosi yang belum matang, dapat menimbulkan keretakan, pertengkaran, atau ketidak harmonisan dalam kehidupan bersama (komunitas). Bisa jadi keanekaragaman menjadi alasan untuk mengundurkan diri dari hidup membiara karena mengalami shock budaya. Oleh karena itu sebagai suster yunior perlu mengolah kematangan emosinya sebagai anggota komunitas SSpS dan melatih emosinya agar lebih teratur dan tidak merugikan orang lain maupun dirinya sendiri dalam tugas perutusan.

Keanekaragaman usia pun bisa menjadi suatu penyebab kesalahpahaman dalam kebersamaan hidup membiara. Masing-masing generasi (generasi tua dan generasi muda) dapat saja saling mempertahankan gaya dan cara hidup mereka. Hal inilah yang kerap menjadi pemicu terjadinya konflik dalam sebuah lembaga hidup bakti.

(22)

5

bagian dalam kebersamaan hidup di biara. Setiap anggota diharapkan memiliki kerendahan hati dan keterbukaan hati untuk saling melengkapi dan saling belajar satu dengan yang lainnya, bersama-sama untuk memajukan dan mengembangkan kongregasi dimungkinkan adanya anggota komunitas yang kurang rendah hati dalam status pendidikan. Oleh sebab itu Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) yang merupakan salah satu lembaga religius Kepausan, dengan kaul-kaul umum, berada di bawah wewenang tertinggi Tahta Suci, masih terus-menerus berbenah diri untuk meningkatkan dan mengembangkan kerasulan yang bisa dimulai dari masing-masing pribadi.

Tidaklah mudah bagi seorang suster yunior untuk mencapai kematangan emosi manusiawi dalam hidup religiusnya. Ada banyak faktor yang dapat menghambat perkembangan mereka, baik dari dalam diri maupun dari luar diri mereka. Hambatan dari dalam diri antara lain: masih adanya luka-luka batin yang belum diolah dengan tuntas tidak disiplin dalam memupuk hidup rohani, jarang melakukan refleksi, malas membaca dan mendalami Konstitusi, suka menunda, malas mengolah perasaan, hidup doa hambar dan dangkal, kurang memperdalam nilai-nilai spiritualitas kongregasi, dan sibuk dengan dunianya sendiri. Hal-hal seperti inilah yang akan semakin mengancam hidup panggilan mereka, merasa terbebani, mengalami kejenuhan, dan tidak menemukan arah, tujuan serta makna hidupnya.

(23)

6

kesungguhan dari suster yang lebih senior. Selain itu perkembangan teknologi yang semakin canggih juga bisa mempengaruhi mereka bahkan melemahkan prinsip-prinsip kedewasaan emosi mereka.

Dari gejala yang mengemuka demikian nampak adanya masalah yang mempengaruhi penghayatan tri kaul para suster yunior dalam hidup membiara. Menurut dugaan penulis akar penyebabnya adalah kurangnya pengolahan gejolak emosi yang terjadi dalam diri mereka. Maka dari itu penulis terdorong untuk meneliti salah satu dari permasalahan diatas yaitu kematangan emosi para suster SSpS yunior dalam menjalani tugas studi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk membantu mereka mengolah emosi dengan program pendampingan.

B. Perumusan Masalah

Masalah yang akan dijawab/diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Sejauhmana kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani masa studi?

2. Topik-topik pendampingan apa yang dapat membantu meningkatkan kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani masa studi?

C. Tujuan Penelitian

(24)

7

1. Mengetahui sejauhmana kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani masa studi.

2. Tersusunnya topik-topik pendampingan yang dapat membantu meningkatkan kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani masa studi.

D. Manfaat hasil penelitian 1. Manfaat teoretis

Kepada program studi Bimbingan dan Konseling memberikan sumbangan teoritis tentang tingkat kematangan emosi para suster yunior yang sedang menjalani masa studi, sehingga prodi dapat dengan efektif dalam mendampingi para biarawan – biarawati dan mahasiswa melalui mata kuliah yang berkaitan langsung dengan kematangan emosi.

2. Manfaat praktis a. Bagi peneliti sendiri

Semakin mengerti dan memahami serta mampu mengolah emosi yang ada dalam diri.

b. Bagi para suster SSpS

(25)

8

formandi dan memberikan bantuan secara tepat sesuai dengan kebutuhannya.

E. Definisi Operasional dan Variabel Penelitian 1. Definisi Operasional

a. Kematangan emosi adalah suatu sikap batin untuk mengakui keberadaan diri secara bebas, memampukan pribadi yang bersangkutan untuk mengidentifikasi setiap rasa perasaan yang muncul sebagai bagian dari dirinya sebagai manusia dan menghantar seseorang pada kedewasaan pribadi yang bertanggungjawab akan segala sesuatu yang dilakukannya sebagai manusia.

b. Suster Yunior SSpS studi adalah suster SSpS yang masih dalam tahap formasi masa yuniorat dan belum kaul kekal yang sedang mendapat tugas studi tahun 2009/2010 di Provinsi Jawa.

c. Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) adalah suatu lembaga hidup bakti/kongregasi internasional. Khusus untuk maksud dan tujuan penelitian ini Kongregasi SSpS Provinsi Maria Bunda Allah Jawa yang berpusat di Jl. Jambi 20 Surabaya, Jawa Timur Indonesia berpusat di Roma-Italia.

2. Variabel Penelitian

(26)

9 3. Keterbatasan Penelitian

Mengingat bahwa penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan 3 suster yunior SSpS sebagai subjek, sekalipun hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga suster matang dalam emosinya, akan tetapi penelitian ini masih sangat terbatas. Karena hasil penelitian tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dari masing-masing subjek. Sehingga penelitian ini belum dapat mewakili kebanyakan orang.

(27)

10 BAB II KAJIAN PUSTAKA

Bab ini memuat landasan teori yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani studi pada tahun akademik 2009/2010.

A. Kecerdasan/Kematangan Emosi

Banyak pihak yang belum bersepakat mengenai definisi secara pasti tentang arti kecerdasan. Hal ini bisa dilihat dari cukup lamanya orang beranggapan bahwa IQ (Intellegence quotient) merupakan ukuran penentu kesuksesan belajar dan hidup seseorang. Bila IQ-nya tinggi, maka orang itu akan sukses dalam belajarnya dan akhirnya sukses dalam kehidupan. Ternyata pendapat itu tidak selalu benar, ada banyak orang yang IQ-nya tinggi tapi gagal dalam hidupnya. Karenanya banyak pihak berpendapat bahwa selain IQ ukuran kesuksesan juga ditentukan dengan emotional quotient (EQ) kemampuan emosional dan juga spiritual quotient (SQ) kemampuan spiritual. Kedua hal ini juga harus diperhatikan dalam kehidupan agar seseorang dapat sukses. Beragamnya definisi inteligensi membuka ruang bagi semua orang untuk yakin akan kecerdasan mereka (Goleman, 1997).

(28)

11

Reframed, ia menambahkan ada dua inteligensi baru, yaitu inteligensi lingkungan atau naturalis (naturalist intellegence) dan inteligensi eksistensial (existensial intellegence). Dengan demikian saat

ini ada sembilan inteligensi yang telah dirumuskan. Dari sembilan kecerdasan, menurut Gardner, peneliti mengambil tiga intelegensi yang berkaitan langsung dengan kematangan emosi, yaitu:

a. Inteligensi Interpersonal yaitu kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, temperamen orang lain. Orang yang kuat dalam inteligensi Interpersonal biasanya sangat mudah bekerja sama dengan orang lain dan mudah berkomunikasi dengan orang lain.

b. Inteligensi Intrapersonal yaitu kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptatif berdasar pengenalan diri. Orang yang menonjol dalam inteligensi intrapersonal biasanya mudah berkonsentrasi dengan baik.

c. Inteligensi Eksistensial, inteligensi ini lebih menyangkut kepekaan dan kemampuan seseorang untuk menjawab persoalan-persoalan dalam eksistensi atau keberadaan manusia. Orang yang menonjol dengan inteligensi eksistensial akan mempersoalkan keberadaannya di tengah alam raya yang besar ini.

(29)

12

Hal ini akan membantu seseorang untuk mengakui dan menerima keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya. Jika seseorang tidak memahami keanekaragaman inteligensi ini bisa men- jadi pemicu gejolak emosi yang tidak seimbang dalam dirinya.

Kecerdasan emosi ditandai dengan adanya kematangan emosi. Kematangan emosi dapat didefinisikan sebagai kemampuan pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri (Goleman, 1997:xiii). Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memotivasi diri, bertahan dalam menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak berlebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati mengatur dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa (Goleman,1997:45).

Menurut Goleman (1997:58-59), kecerdasan emosi mencakup banyak kemampuan dalam mengelola emosi, yang dapat dirangkum sebagai berikut:

a. Mengenali emosi diri :

Kesadaran diri mengenali perasaannya sendiri pada saat perasaan itu sedang terjadi, dan memahami penyebab perasaan yang timbul, serta mengenali perbedaan perasaan dan emosi yang sedang bergejolak di dalam dirinya tanpa diingkari atau ditutupi.

b. Mengelola emosi :

(30)

13

kata-kata ejekan, emosi terungkap dengan pas, mampu mengungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi, tidak berperilaku agresif, perasaan lebih positif terhadap diri, sesama, keluarga, mengatasi ketegangan jiwa, dan mengurangi kesepian, kecemasan dalam pergaulan.

c. Memotivasi diri sendiri :

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri dan menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Lebih bertanggung jawab, dan mampu memusatkan perhatian pada tugas, lebih produktif dan efektif dalam hidup. d. Kemampuan berempati :

Mampu menerima sudut pandang orang lain, memperbaiki rasa empati pada orang lain, dan lebih bisa mendengarkan orang lain.

e. Mengenali emosi orang lain.

Orang yang empatik adalah orang yang mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Atau orang yang mampu untuk mengerti dan memahami perasaan-perasaan ataupun emosi-emosi orang lain.

f. Membina hubungan :

(31)

14

Menurut kamus Oxfortd English Dictionary, sebagaimana dikutip oleh Goleman(1997:411), diidentifikasikan bahwa “emosi” adalah “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”. Emosi atau perasaan sangat penting dalam hidup, akan tetapi perlu ditata dan empati dalam diri juga perlu dibangun berdasarkan kesadaran diri, sehingga diri kita semakin terbuka terhadap emosi diri sendiri, dan semakin terampil membaca perasaan sendiri maupun perasaan orang lain melalui ungkapan kata maupun tingkah laku yang diisyaratkan. Kaum religius dituntut untuk memiliki kematangan emosi agar semakin menjadi religius yang penuh empati serta memiliki tujuan hidup yang jelas.

B. Kedewasaan Pribadi

Dalam buku Psikologi Hidup Rohani 2 (Mardi Prasetya,1992:100-104), dituliskan bahwa “pribadi yang dalam hidupnya menunjukkan kedewasaan dalam dimensi-dimensinya dan juga memiliki kebebasan efektif lebih besar untuk membatinkan nilai-nilai panggilan, maka ia mempunyai disposisi untuk mengikuti panggilannya secara lebih baik.”, ciri-ciri kedewasaan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

(32)

15

2. Menerima dan menghayati apa yang bernilai: Sebagai religius ia berani menerima dan menghayati nilai-nilai injili (nilai hidup rohani) dan menghayatinya demi Kristus dan bukannya demi kepentingan yang menguntungkan diri, membela diri dan sekedar memamerkan kesalehan. Dengan kata lain ia berusaha mengatur dan menghayati hidup atas dorongan motivasi yang lurus dalam panggilan, yaitu nilai-nilai hidup rohani, dengan ini akan tampak bahwa ia ambil bagian dalam kebebasan untuk memeluk cinta dan afeksi rohani.

3. Mengarahkan daya-daya hidupnya untuk menghayati nilai-nilai yang dipeluk dan diwartakannya dalam hidup: Ia mampu mengendalikan ketegangan yang mungkin terjadi dalam mengambil dan melaksanakan keputusan, mampu bertoleransi terhadap ketidakpastian dalam mencapai tujuan dan cita-cita hidupnya, mampu bertekun mewujudkan nilai-nilai yang diyakini baik atas dasar pengalaman rohaninya.

4. Tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu pragmatisme : Ia memiliki fleksibilitas sekaligus sikap seorang ‘hamba Tuhan’ yang setaraf dengan kedewasaannya, lebih-lebih dalam membela nilai-nilai Kristus dalam arti bahwa ia tidak menjadi agresif dan fanatik dalam membela diri dan kemudian menghindari tanggung jawab. Ia lebih peka dan lebih terbuka terhadap perasaan orang lain.

(33)

16

cinta ini tidak akan mudah frustrasi, dan menomorsatukan nilai cinta kasih Kristus.

6. Sikap realistis. Sikap realistis yang dimaksudkan di sini khususnya berhubungan dengan pelaksanaan nilai dan sikap hidup panggilan. Ia mampu membedakan mana yang fakta dan mana yang prinsip, ia mampu membedakan antara kompromi fakta dan kompromi prinsip. Ia pun tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam.

7. Mampu mempercayai orang lain, ini adalah sikap dasar yang muncul dari kepercayaan terhadap diri sendiri. Ia tidak mendominasi dan tidak merendahkan orang lain.

8. Memiliki kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri, ia selalu siap dengan pertobatan manakala hidupnya kurang sesuai dengan nilai panggilan yang dipeluk dan dicintainya, dan berusaha membaharui diri sejauh mungkin atas rahmat dan kemampuan diri sendiri.

9. Relasi sosial yang berciri ‘dependibility’, mampu mengambil keputusan dan tanggung jawab, mampu menyesuaikan diri, memiliki kepekaan, menghargai kebebasan orang lain dan diri sendiri.

(34)

17

Tentang kedewasaan manusia Cencini (2008:99-105) dalam buku “Kematangan Rohani dan Emosi” menuliskan ciri-ciri kedewasaan yang secara ringkas mencakup karakteristik sebagai berikut:

1. Dari ketulusan menuju kebenaran, seseorang yang dewasa mampu mengenal dirinya sendiri. Ketulusan merupakan kebebasan untuk mengenali apa yang dirasakan seseorang dan mengatakannya secara terbuka mengenai hal tersebut, kepada dirinya sendiri, dan pada orang lain bila perlu. Kebenaran merupakan suatu kebebasan untuk memahami bukan saja emosi, yang biasanya jelas, tapi juga akar-akarnya.

2. Kekuatan dalam kelemahan, menjadi dewasa berarti menjadi kuat untuk mampu menghindari ketidakkonsistenan dan sifat-sifat tidak matang sebelumnya.

3. Kebebasan untuk mengungkapkan diri, pada hakikatnya manusia dipanggil untuk menyatakan dirinya, untuk menghadapi sebuah panggilan untuk menjadi dirinya yang sebenarnya dengan mengatasi dirinya.

4. Penyerahan hidup, orang yang matang biasanya tidak mencukupi dirinya sendiri, ia mengakui perlunya orang lain, mempercayai mereka yang barada di sisinya pada saat ia siap menyerahkan hidupnya ke dalam tangan orang lain dan saat membiarkan dirinya dibatasi oleh kelemahan orang lain.

(35)

18

positif (syukur, gembira, senang, tentram, aman, damai, dll), maupun emosi negatif (jengkel, marah, sedih, tersinggung, hilang harapan, dll). Kematangan emosi menyebabkan seseorang menjadi lepas bebas dalam mengaktualisasikan dirinya secara optimal dengan menyadari keberadaannya. Hal ini membantu seseorang memiliki keberanian untuk mengalami dan menerima rasa-perasaan yang muncul dalam dirinya. Maka kematangan emosi adalah suatu disposisi atau sikap batin untuk mengakui keberadaan diri secara bebas. Kematangan emosi memampukan pribadi yang bersangkutan memberi nama/mengidentifikasi setiap rasa-perasaan yang muncul sebagai bagian dari dirinya. Emosi adalah suatu reaksi batin yang wajar dan manusiawi, yang tidak harus cepat-cepat diikuti atau ditolak, melainkan harus dipahami asal-usulnya. Emosi adalah perasaan yang muncul secara spontan sebagai reaksi atas adanya suatu hal yang menyentuh atau merangsang batin kita. Hal itu bisa menimbulkan reaksi berupa emosi positif dan negatif. Emosi itu akan merangsang munculnya pikiran tertentu dalam keinginan ke arah tindakan tertentu. Di sinilah orang sudah memiliki kematangan emosi tidak akan begitu saja terbawa oleh emosi yang muncul secara spontan dalam dirinya, tanpa berpikir secara mendalam. Kematangan emosi menghantar seseorang pada kedewasaan pribadi yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan sebagai manusia. Seperti yang diharapkan oleh SpSS, yang tertulis dalam konstitusi SpSS sebagai berikut:

(36)

19

dapat dipertanggungjawabkan” (Konstitusi SpSS, artikel 503, baris ke 4, hal 106).

C. Pembinaan Masa Yuniorat

Mengenai tarekat hidup bakti Gereja dalam buku Kitab Hukum Kanonik (Kan 573- art 1) menegaskan sebagai berikut:

Hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat injili adalah bentuk kehidupan tetap di mana orang beriman, dengan mengikuti Kristus secara lebih dekat atas dorongan Roh Kudus, dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling dicintai, agar demi kehormatan bagi-Nya dan demi pembangunan Gereja serta keselamatan dunia mereka dilengkapi dengan alasan baru dan khusus mengejar kesempurnaan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah, dan sebagai tanda unggul dalam Gereja mewartakan kemuliaan surgawi.

Pada Kanon 659 art 1 dikatakan bahwa:

Dalam masing-masing tarekat, hendaknya pendidikan semua anggota diteruskan sesudah profesi pertama, agar dapat menghayati hidup khas tarekat secara lebih penuh serta untuk dapat melaksanakan perutusan mereka secara lebih baik (Kan 659 art 1)

Bertitik tolak dari Kitab Hukum Kanonik di atas, diharapkan suster yunior SSpS dapat menemukan dan merasakan suasana rohani dengan meningkatkan kematangan emosinya dalam mempertanggungjawabkan terhadap tugas studinya. Konstitusi SSpS tentang yuniorat juga menuliskan:

(37)

20

Pendampingan untuk para yunior diusahakan secara integral dan intensif untuk membantu mereka dalam meningkatkan kematangan emosi dalam bertanggung jawab sebagai suster studi dan semakin siap melibatkan diri dalam tugas perutusan lainnya yang dipercayakan oleh Kongregasi. Dalam mendampingi para suster yunior hendaknya penuh empati dan integral agar yunior mampu membina diri dan meleburkan dirinya serta menerima, menghayati kharisma dan hidup kerohanian kongregasinya, sehingga semakin menjadi religius yang matang dan dewasa dalam melaksanakan tugas perutusannya dengan penuh dedikasi.

(38)

21 BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini dijelaskan desain penelitian, fokus penelitian, subjek penelitian, dan alat pengumpul data.

A. Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan desain fenomenologi. Menurut Arikunto (2002:12), salah satu dari empat dasar filosofis dari penelitian kualitatif adalah “fenomenologis” yang berpendapat bahwa kebenaran sesuatu itu dapat diperoleh dengan cara menangkap fenomena atau gejala yang memancar dari subjek yang diteliti.

Seperti yang dikutip dalam buku Poerwandari, (2005:24-25)

Secara umum pendekatan kualitatif mencoba menerjemahkan bahwa pandangan-pandangan dasar interpretatif dan fenomenologis antara lain: (1) realitas sosial adalah sesuatu yang subjektif dan diinterpretasikan, bukan sesuatu yang lepas di luar individu-individu: (2) manusia tidak secara sederhana disimpulkan mengikuti hukum-hukum alam di luar diri, melainkan menciptakan rangkaian makna menjalani hidupnya:(3) ilmu didasarkan pada kehidupan sehari-hari, bersifat induktif, idiografis dan tidak bebas nilai, serta (4) penelitian bertujuan untuk memahami kehidupan sosial (Sarantakos, 1993)

(39)

22

untuk mengetahui bagaimana mereka melatih diri dalam pengendalian emosi agar menjadi pribadi yang lebih matang.

Menurut Poerwandari, (2005:36-49) ada beberapa ciri dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini peneliti menggunakan metode kualitatif adalah untuk dapat mengungkapkan kompleksitas realitas sosial yang diteliti bertumpu pada kekuatan narasi untuk memahami kedalaman makna dan interpretasi terhadap keutuhan fenomena. Dalam pengamatan dan wawancara tak berstruktur, peneliti tidak memanipulasi tetapi melakukan studi terhadap fenomena dalam situasi di mana fenomena itu berada dan dilihat dalam konteks alamiah (‘apa adanya’) serta lebih menekankan pada dinamika dan proses sehingga akan diperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena subjek yang diteliti.

B. Fokus Penelitian

(40)

23 C. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil subjek sebanyak 3 suster SSpS yunior yang sedang studi. Yang berdomisili di Yogyakarta 1 suster, 2 suster lainnya di Surabaya. Para suster ini dijadikan subjek penelitian, karena mereka masih dalam masa formasi yuniorat sebelum memasuki tahap persiapan kaul kekal. Ketika mengucapkan kaul kekal, mereka harus sudah mantap dan matang serta terintegrasi dalam hidup membiara sebagai anggota Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) dalam perutusannya. Para suster SSpS yunior yang sedang studi telah mengucapkan kaul sementara antara kaul ke 3 sampai dengan kaul ke 5. Para suster ini diasumsikan mampu mengungkapkan pengalaman dalam proses mengelola tingkat kematangan emosi mereka sebagai suster SSpS yunior dalam tanggung jawab studi.

Secara lebih ringkas ada dua alasan yang mendasari peneliti memilih para suster SSpS yunior yang sedang studi sebagai subjek penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Para suster SSpS yunior ini masih termasuk dalam tahap formasi awal/lanjutan.

(41)

24 D. Pengumpulan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode wawancara. Pewawancara (peneliti sendiri) berperan sebagai pengatur jalannya wawancara. Keberhasilan metode ini sangat bergantung pada keluwesan dan kemampuan peneliti saat mewawancarai responden. Untuk memperlancar tugas ini, peneliti menggunakan tape recorder untuk merekam wawancara dan buku catatan untuk mencatat hal-hal yang penting. Wawancara ini dilaksanakan dengan efektif yaitu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya akan diperoleh data sebanyak-banyaknya (Arikunto 2002:203).

Dalam wawancara ini, peneliti akan meminta responden untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan secara terbuka dan jujur. Peneliti akan berusaha bersikap sabar dalam mendengarkan, rileks, empatik, menciptakan suasana yang baik dalam berinteraksi, dan mengemas pertanyaan-pertanyaan dengan baik agar data yang diperoleh data yang objektif dan dapat dipercaya (Arikunto 2002:203).

Pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara secara lengkap dapat dilihat pada tabel instrument wawancara sebagai berikut:

Tabel

Instrumen Wawancara Kode Aspek Wawancara Panduan Pertanyaan

A Pemahaman diri (fokus pada emosi)

1. Apakah anda menyadari bahwa perasaan yang muncul dalam diri anda merupakan bagian dari diri anda yang harus dikelola? 2. Apakah anda dapat membedakan berbagai

(42)

25

3. Apakah anda menyadari emosi sebagai sinyal rasa aman?

4. Apakah anda mengetahui penyebab mengapa emosi-emosi tersebut muncul? B Kemampuan

mengolah emosi

1. Bagaimana anda meyikapi emosi yang muncul

atas berbagai peristiwa baik yang positif maupun negatif?

2. Bagaimana reaksi emosi spontan anda jika tiba-tiba pemimpin bertanya hal yang tidak anda lakukan dengan nada yang agak keras?

3. Bagaimana anda mampu menemukan penyebab emosi yang muncul ketika ada suatu peraturan baru muncul yang harus ditaati?

4. Bagaimana anda melatih emosi agar lebih teratur dalam hidup anda?

5. Bagaimana anda dapat mengecek logis tidaknya reaksi emosi yang muncul?

6. Dalam masa studi mengapa sering muncul perasaan jenuh, kesal, capek, jengkel, dan lain-lain? Dan bagaimana cara menyikapi itu semua?

7. Bagaimana anda membangun sikap yang bebas dengan menumbuhkan keberanian untuk mengambil jarak dan merasakan emosi apa saja tanpa bereaksi dan lebih berpegang pada pikiran yang jernih?

8. Bagaimana anda mengambil posisi sebagai pengendali emosi yang bijaksana?

C Kemampuan menentukan pilihan sikap/tindakan

secara bertanggung jawab

1. Apa akibat/konsekuensi dari mengikuti reaksi emosi anda yang sedang bergejolak? 2. Apa manfaat dari kemampuan anda untuk

mengendalikan emosi?

3. Bagaimana anda dapat menentukan pilihan sikap secara bertanggung jawab?

D Pemahaman terhadap orang lain (apa yang dirasakan orang lain)

1. Sejauhmana anda mampu mengerti dan me mahami perasaan orang lain, apabila sedang mengalami emosi tinggi (marah-marah, kecewa atau gembira, tertawa?) 2. Apakah anda mudah hanyut dalam perasaan

orang lain saat anda mendengarkan keluhan/curhat lawan bicara anda?

(43)

26

sungguh-sungguh sewaktu orang lain berbicara sehingga anda mampu untuk memahami apa yang ia rasakan?

4. Dengan cara bagaimana anda menunjukkan sikap empatik terhadap orang lain?

E Kemampuan memberikan

tanggapan yang tepat terhadap orang lain

1. Bagaimana anda menjalin relasi dengan orang lain baik sejenis maupun lawan jenis?

2. Bagaimana anda memposisikan diri dalam berelasi dengan orang lain dengan berbagai macam karakter/keadaan?

3. Dalam pembicaraan dengan orang lain bagaimana anda bersikap? Apakah anda lebih ingin didengarkan atau mendengarkan?

4. Bagaimana usaha anda untuk menguasai emosi sewaktu anda mendengarkan orang lain bermasalah/curhat?

5. Bagaimana usaha anda untuk meningkatkan kemampuan anda dalam memberikan tanggapan terhadap yang bermasalah atau yang memiliki beraneka karakter?

2. Format

Dalam wawancara peneliti menggunakan pertanyaan tidak berstruktur atau terbuka atau bebas. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memberi kebebasan kepada responden dalam menjawabnya atau mengemukakan pendapatnya. (Masidjo, 1995:75).

(44)

27 3.Tahap penelitian

Tahap-tahap dalam penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pra lapangan dan tahap pekerjaan lapangan (Moleong, 2006:127-148).

a. Tahap pra-lapangan Tahap ini meliputi:

1). Menyusun rancangan penelitian dan melakukan pendekatan dengan subjek yang

akan diteliti maupun sumber lain, menginformasikan topik penelitian, membuat daftar pertanyaan, menentukan waktu dan wawancara untuk penelitian.

2). Memilih lapangan penelitian, peneliti memilih dua komunitas yaitu 1 komunitas di Yogyakarta dan 1 komunitas berada di Surabaya.

3). Mengurus perizinan, peneliti meminta izin kepada pemimpin komunitas baik secara langsung maupun melalui telepon untuk mengadakan wawancara dengan subjek, pemimpin komunitas dan teman dekat subjek. 4). Menjajaki dan menilai lapangan, peneliti tinggal bersama di komunitas

tempat subjek tinggal untuk menyesuaikan diri dengan jadwal dan kegiatan subjek serta sumber lain.

(45)

28

6). Menyiapkan perlengkapan penelitian, peneliti menyiapkan perlengkapan yang akan digunakan dalam proses penelitian antara lain: tape recorder dan kaset kosong untuk merekam wawancara, buku catatan dan alat tulis serta rencana biaya penelitian.

7). Persoalan etika penelitian, peneliti tetap akan menjaga rahasia berkenaan dengan hasil wawancara, menjalin relasi dengan baik, menghargai dan menghormati sebagai pribadi.

b. Tahap pekerjaan lapangan

Tahap ini dilakukan pada saat peneliti mengumpulkan data penelitian berlangsung. Peneliti mewawancarai tiga suster SSpS yunior sebagai subjek penelitian dan beberapa sumber lain yang telah mengenal subjek. Mereka tinggal di dua komunitas yaitu satu di komunitas Yogyakarta dan dua tinggal di komunitas Surabaya. Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu: tahap I pada hari Senin, 8 Pebruari 2010 sampai dengan Kamis,11 Pebruari 2010. Tahap II Senin, 15 Pebruari 2010 sampai dengan Selasa, 16 Pebruari 2010. dan Tahap III pada hari Jum’at 19 Pebruari 2010.

4. Cara mengolah jawaban

(46)

29

jujur, akurat, penuh minat, dan adaptif. Untuk itu, pewawancara perlu memiliki sifat periang dalam situasi apa saja, juga humoris.

5. Pertanggungjawaban mutu alat penelitian a. Pemeriksaan Validitas alat penelitian

1) Konsep Validitas alat penelitian

Oleh beberapa ahli, seperti yang dikutip oleh Poerwandari

(2005:181) dalam buku Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, istilah yang pertama dan yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah “kredibilitas”. Kredibilitas menjadi istilah yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas,

dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif.

Kredibilitas alat penelitian dalam penelitian ini didasarkan pada konsultasi dengan ahli, yaitu dengan dua dosen pembimbing skripsi ini dan Pater Thobias Muda Kraeng SVD

2) Pengukuran Validitas hasil penelitian

Untuk mengetahui validitas alat dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan beberapa cara, menurut Stangl (1980) dan Sarantakos (1993) antara lain “validitas kumulatif” dicapai bila temuan dari studi-studi lain mengenai topik yang sama menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa. “Validitas komunikatif” dicapai melalui

(47)

30

penelitian. “Validitas argumentatif” tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalisasinya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah. “Validitas ekologi” menunjuk pada sejauh mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dari subjek yang diteliti, sehingga justru kondisi ‘apa adanya’ dan kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting penelitian Poerwandari (2005:182) b. Triangulasi

(48)

31

berstruktur, dokumentasi, interpretasi dokumen sejarah oral dan pribadi, introspeksi dan refleksi diri.

6. Teknik Analisis Data

Untuk menjawab masalah penelitian “Bagaimana kematangan emosi para suster yunior dalam menghadapi/menjalani tanggung jawab studi sebagai suster SSpS?” dan “Program bimbingan dan konseling mana yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kematangan emosi melalui tanggung jawab studi sebagai suster SSpS?” ditempuh beberapa langkah menurut Poerwandari (2005:150-154) sebagai berikut:

a. Kodifikasi

Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemisasikan data secara lengkap dan detil sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari.

b. Klasifikasi

Klasifikasi merupakan proses pengelompokan informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu, dan hal-hal di antara atau gabungan dari yang telah disebutkan, Boyatzis (1998).

c. Penafsiran/Interpretasi

(49)

32 d. Kesimpulan

Kesimpulan atau dugaan sementara. Kesimpulan yang berkembang tersebut harus terus dipertajam dan diuji ketepatannya.

Menurut Poerwandari (2005:194-195), hal-hal praktis yang dapat dilakukan agar deskripsi lebih akurat maka perlu memperhatikan langkah-langkah berikut ini:

1. Mencatat hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap setting, partisipan maupun hal lain yang terkait.

2. Mendokumentasikan secara rapi dan lengkap data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisisnya.

3. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti sebelumnya sebagai masukan dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk penelitiannya sendiri.

4. Menyertakan patner sebagai pengkritik yang memberikan saran dan pembelaan dengan pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti.

(50)

33

(51)

34 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan tiga (3) subjek dan sumber lain dalam penelitian, diperoleh hasil tentang kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani tugas studi. Berdasarkan analisis atas data yang diperoleh dalam penelitian tersebut, maka berikut ini akan dipaparkan hasil penelitian dan pembahasaannya.

Mengingat hasil wawancara yang menjadi inti masukan penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan lebih dari satu halaman (5 halaman), maka untuk alasan praktis peneliti meletakkan hasil wawancara pada lampiran 2 dan hasil penelitian tersebut pada lampiran 3, sedangkan pembahasannya diuraikan pada halaman selanjutnya.

(52)

35

(53)

36 B. Pembahasan

Berikut ini dipaparkan pembahasan atas hasil penelitian ditinjau dari lima aspek.

a. Pemahaman diri

Pemahaman diri yang difokuskan pada emosi yang dialami oleh ketiga subjek hampir serupa satu dengan yang lain, yaitu mereka menyadari pentingnya mengolah emosi yang ada dalam diri, sadar, merefleksikan, “eling” dan peka karena hal tersebut merupakan bagian integral dari diri. Mereka mengenali emosi sebagai perasaan yang muncul karena ada sesuatu yang terjadi. Mereka bisa membedakan emosi yang muncul berdasarkan stimulusnya, salah satunya yaitu perasaan terharu/ tersentuh. Disadari pula bahwa emosi merupakan sinyal rasa aman dalam diri yang harus disadari dan dipahami asal-usulnya sehingga tahu bagaimana menyikapinya, tidak langsung diikuti melainkan undur diri, bertanya dalam diri “kenapa reaksiku seperti itu?” Masing-masing subjek menyadari bahwa mereka butuh waktu untuk berproses.

Dalam memahami emosi yang muncul dalam diri ketiga subjek nampak sudah cukup memiliki kemampuan yang memadai. Hal ini mungkin disebabkan karena mereka telah terbiasa untuk meneliti diri, bermeditasi, dan lain-lain di komunitasnya.

Meskipun demikian, hal yang perlu mendapat perhatian di sini adalah semakin meningkatkan kesadaran pentingnya mengolah emosi dan memberi

(54)

37 b. Kemampuan mengolah emosi

Dalam menyikapi emosi yang muncul atas berbagai peristiwa, ketiga subjek mencoba untuk diam, undur diri, ”menikmati”/merasakan, dan mencari penyebab kemunculan emosi tersebut. Mereka juga mencoba mengontrol dan men-sharing-kan perasaannya kepada orang lain. Terhadap emosi spontan yang muncul, salah satu subjek merasa perlu untuk diam mendengarkan. Ia pada mulanya merasa terkejut dan takut jika berada di dekat pimpinan, karena adanya pengalaman trauma masa lalu, namun ia sekarang sudah mulai berubah, sehingga perasaan tersebut mulai berkurang. Satu subjek yang lain ketika berhadapan dengan pimpinan, baru dapat meng-komunikasikan isi hatinya secara terbuka setelah menenangkan diri. Subjek yang lain diam mendengarkan orang lain berbicara sampai selesai, sesudah itu baru mengklarifikasikan dalam suasana hati yang tenang.

(55)

38

diterima. Mereka sadar bahwa masing-masing orang itu unik, merasa bebas dan merasa semakin berharga, ada niat kuat untuk terus berefleksi dan berproses untuk lebih melihat ke dalam diri sendiri daripada melihat orang lain. Untuk dapat mengecek logis tidaknya reaksi emosi yang muncul mereka mengundurkan diri untuk melihat persoalan secara lebih jernih, mengambil jarak terhadap perasaan yang muncul supaya bisa memberikan tanggapan secara objektif, melakukan dialog antara pikiran dan perasaan sehingga tidak mudah tersinggung lagi. Ketika dalam menjalani studi muncul rasa jenuh, capek, dan jengkel, salah satu subjek mengalami dan merasakan hal tersebut disebabkan oleh kurangnya kemampuan untuk memotivasi diri, walaupun ia memiliki kemauan dan komitmen untuk tekun dalam menjalankan tugas studi yang dipercayakan kepadanya. Salah satu subjek yang lain merasa terganggu oleh pembicaraan teman-teman di kampus tentang suster-suster lain yang kurang menunjukkan sikap serius dalam menjalani studi, maka ia berusaha untuk menetralkan perasaannya dengan cara berwawan hati dengan Tuhan lalu mensyeringkan dengan pembimbing. Selain itu, ia mengalihkan emosinya dengan bermain gitar atau organ. Satu subjek yang lain lagi, tidak merasa bosan dan tidak malas dalam menjalani studi karena ada rasa ingin tahu yang tinggi akan pengetahuan yang baru, sehingga ia tetap bersemangat dalam belajar. Ia selalu berusaha kembali melihat motivasi awal dan mau meluangkan waktu untuk duduk diam dan berefleksi.

(56)

39

dengan demikian mereka mampu menyesuaikan diri dan fleksibel. Mereka dapat mengambil peran sebagai pengendali emosi yang bijaksana dengan penuh kesadaran, refleksi, dialog dan berusaha untuk tidak menuruti emosi sesaat dan menjadi pribadi yang netral.

Dalam hal pengolahan emosi ketiga subjek telah menunjukkan kemampuan atau kematangan yang cukup tinggi karena telah mampu mengolah emosi yang muncul, tidak langsung mengikutinya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ketiga subjek telah terbiasa untuk melakukan refleksi atas pengalaman-pengalaman yang mereka alami.

Akan tetapi mereka masih perlu terus-menerus mengupayakan cara yang

lebih baik untuk dapat mengolah dengan lebih serius dan tekun.

c. Kemampuan menentukan pilihan sikap

(57)

40

saling memahami di dalam komunitas sehingga ketika mendapat kritikan dari sesama, mereka bisa menerima dengan tenang. Subjek juga menyadari bahwa penentuan pilihan sikap merupakan suatu hal yang penting karena menyangkut orang lain dan demi orang lain. Untuk itu mereka merasa butuh suatu keberanian keluar dari diri sendiri dan terbuka terhadap masukan-masukan orang lain guna menambah wawasan, mengembangkan kualitas kepribadian dan kesetiaan menjalin relasi dengan Tuhan yang adalah sumber kekuatannya.

Dalam menentukan pilihan sikap/tindakan, ketiga subjek telah menunjukkan kemampuan yang cukup memadai karena mereka bisa mengambil keputusan tanpa dipengaruhi oleh emosi yang muncul. Hal ini dapat dimengerti, karena mereka selama menjadi suster telah dilatih untuk mengambil jarak terhadap emosi, pikiran, atau keinginan yang muncul secara spontan, dan lebih mengikuti dorongan nurani yang jernih.

Meskipun mereka sudah matang, namun mereka masih perlu untuk terus-menerus belajar dengan rendah hati dan terbuka, sehingga semakin peka terhadap suara hati untuk menentukan pilihan sikap dalam hidup berkomnitas.

d. Pemahaman terhadap orang lain

(58)

41

berusaha untuk mendengarkan dengan hati dan memberi semangat pada teman. Mereka menunjukkan sikap empati terhadap orang lain dengan sapaan, senyuman, anggukan, memberi perhatian dan semangat, mendekati secara pribadi dengan ramah dan berbagi pengalaman hidup yang meneguhkan dan membahagiakan. Ketiga subjek dalam hal ini sudah cukup matang dalam memahami

perasaan orang lain, sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka juga mampu membagikan pengalaman hidupnya pada sesama dan saling meneguhkan. Hal ini kemungkinan disebabkan atau dilatarbelakangi oleh kebiasaan mereka melatih diri bersikap ramah dan perhatian pada sesamanya.

e. Kemampuan memberikan tanggapan yang tepat terhadap orang lain Ketiga subjek sangat terbuka dalam menjalin relasi dengan sesamanya.

Mereka berelasi dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan dan bisa menyesuaikan diri. Ketika berelasi dengan orang lain, subjek mempunyai prinsip bahwa semua manusia itu unik. Dalam hal ini mereka telah mampu menghargai keunikan orang lain, bisa berbaur dan akrab bergaul, meskipun ada rasa segan dengan orang yang memiliki jabatan. Kadang-kadang mereka ingin juga didengarkan tetapi mereka juga berusaha mendengarkan dan masuk ke dalam pengalaman orang lain dengan tenang. Apabila apa yang disampaikan oleh orang lain kurang jelas, subjek menanyakan kembali dengan santun dan terfokus.

(59)

42

membantu orang lain. Dalam memberikan bantuan kepada orang lain subjek tidak segan-segan meminta bantuan orang lain yang kompeten untuk memberi petunjuk atau jalan keluar dari kesulitan. Hal ini sekaligus sebagai pengontrol kerendahan hati dan rasa tanggung jawabnya. Dengan itu mereka semakin berani mensyeringkan pengalaman secara terbuka, melatih kepekaan dan semakin termotivasi menambah wawasan pengetahuan dengan banyak membaca.

Hal yang menonjol dari ketiga subjek adalah mereka itu orang-orang yang reflektif, tekun dalam doa, bersedia belajar dari orang lain dan tahu menempatkan diri, tidak malu untuk bertanya, jujur, terbuka menjalin relasi yang baik serta berani menanggung resiko, serius dalam panggilan, dan melakukan disermen yang serius dalam mengambil keputusan dan tindakan.

Dapat disimpulkan bahwa pada aspek ini ketiga subjek sudah cukup matang. Mereka telah cukup matang dalam hal ini kerena mereka berusaha setia melatih diri dan terbuka untuk menerima masukan dari sesamanya. Namun mereka masih perlu terus-menerus untuk melatih diri mengolah emosi dengan tekun dan sabar.

(60)

43

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa ketiga subjek telah memiliki kematangan dalam mengolah emosi karena mereka selalu refleksi diri, koreksi diri, terbuka, setia dan tekun dalam doa, sehingga akan semakin merasa bebas menentukan pilihan untuk mengembangkan kualitas diri secara sadar dan bertanggungjawab, tidak begitu saja terbawa atau tenggelam dalam arus emosi spontan yang kadang-kadang muncul.

Dalam buku Ki Ageng Suryomentaraman (Adimassana, 2001:95,99) tertulis bahwa:

“Kesempurnaan hidup dan kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai jika orang memiliki jiwa yang telah bebas merdeka. Dan bagi orang yang jiwanya bebas kalau toh mesti marah, ia akan marah dengan tenang dan marah dengan kesadaran”.

Benar juga apa yang dikatakan Arnoldus Janssen dalam suratnya tertanggal 20-11-1902 dan 08-09-1901, (Konstitusi SSpS hal 104):…”Kita mencapai kesempurnaan melalui penyerahan total kepada Allah dan melalui pemeliharaan hidup rohani. Semakin jiwa manusia maju di jalan kesempurnaan, semakin ia mengalami terang dalam dirinya”

(61)

44

C. Usulan Topik-topik Pendampingan yang dapat Membantu Meningkatkan Kematangan Emosi Para Suster SSpS Yunior yang Sedang Menjalani Studi.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap ketiga suster SSpS yunior ini, ada beberapa hal yang masih perlu diperhatikan secara khusus untuk meningkatkan kematangan emosi mereka.

Berdasarkan pengalaman mereka, masih ditemukan adanya hal-hal yang membuat mereka terpancing oleh reaksi emosi spontan karena ulah atau emosi orang lain, seperti cepat tersinggung dan reaktif, meskipun kadarnya rendah. Apabila hal ini tidak diberi perhatian secara serius mereka akan mengalami kesulitan dalam berelasi dengan orang lain dan dengan Tuhan serta mempersulit dirinya dalam mengambil keputusan secara bijaksana.

Dari pengalaman ketiga subjek tersebut dapatlah dikatakan bahwa mereka menanggapi sangat positif perihal pentingnya mengolah emosi, agar kematangan emosi masing-masing pribadi semakin nampak jelas dalam perjalanan panggilan hidup religiusnya.

Untuk itu peneliti mengusulkan beberapa program bimbingan dan konseling yang dapat membantu meningkatkan kematangan emosi para suster SSpS sebagai berikut:

(62)

45

Peningkatan kematangan emosi tersebut membutuhkan suatu proses pendampingan dengan kesabaran, ketekunan, kesetiaan dan berani mengalami pergulatan batin yang sangat melelahkan. Diharapkan mereka dapat tumbuh menjadi pribadi yang matang dan yang mampu menerima kenyataan dalam hidupnya serta dapat mengelola emosinya dengan baik, sehingga bisa menyikapi segala sesuatu dengan tenang, sabar dan penuh pengertian karena batin mereka telah bebas dari emosi yang muncul secara spontan. Kematangan emosi tersebut akan dapat dilihat dari cara mereka menyampaikan sesuatu seperti misalnya: dengan lembut, tutur kata dan nada yang halus serta penuh perhatian.

(63)

46

komitmen yang kuat. Komitmen ini perlu diperjuangkan dan diwujudkan dalam hidup keseharian untuk semakin memurnikan motivasi, sehingga semakin berani menentukan pilihan seturut kehendak Allah.

c. Pelatihan tentang menjadi pribadi yang bebas dan dewasa secara holistik. Untuk dapat melaksanakan tugas studi dengan baik dan berhasil dibutuhkan

(64)

47

(65)

48 Usulan:

Topik-topik Pendampingan yang dapat Membantu Meningkatkan Kematangan Emosi Para Suster SSpS Yunior yang Sedang Menjalani Studi

N o

Topik Tujuan Materi Bentuk Kegiatan Pelatihan

Nara Sumber Pelaksanaan

1. Peningkatan kematangan emosi dalam konteks visi, misi dan spiritualitas Kongregasi

Peserta mampu mengembangkan hidupnya

dalam kebebasan batin

- Mendalami kematangan emosi

Workshop Rekoleksi

• Pater Tobhias Muda Kraeng SVD • Pater Sigit Pawanta

SVD

Desember 2010

2. Manajemen emosi selama menjalani studi

Peserta mampu mengelola emosi dengan baik, sehingga dapat membangun relasi personal dengan Allah dan membagi hidup dengan sesama

- Mengelola hidup dengan hati

Workshop

Rekoleksi • Pater Tobhias Muda Kraeng SVD

Agustus 2011

3. Menjadi pribadi yang bebas dan dewasa secara holistik

Peserta mampu menerima kelebihan dan kekurangan serta semakin bertumbuh dan berkembang dalam kebebasan batin

- Jadual harian - Jurnal

Workshop Rekoleksi

• Sr. Ines Setiono SSpS

• Sr. Ernestildis SSpS

(66)

49 BAB V PENUTUP

Pada bagian akhir skripsi ini akan dikemukakan mengenai kesimpulan dan saran.

A. Kesimpulan

Perkembangan zaman yang semakin pesat mulai dari teknologi alat-alat canggih, mode sampai dengan makanan yang cepat saji menimbulkan begitu banyak tawaran duniawi yang menggiurkan. Dalam kehidupan sehari-hari mau tidak mau orang dihadapkan pada banyaknya pilihan tersebut. Gaya hidup zaman sekarang sangat mempengaruhi watak dan pola hidup kaum muda. Generasi penerus zaman sekarang dapat digambarkan sebagai generasi instant yang ingin cepat-cepat menerima hasil tanpa harus berusaha. Tuntutan zaman dan kemajuan teknologi yang begitu pesat sangat mempengaruhi kehidupan kaum religius saat ini. Melihat gejala yang demikian merebak dikalangan generasi muda, maka bimbingan dan konseling dirasa sangat dibutuhkan dengan membuat program-progam yang sesuai dan dapat mengimbangi kebutuhan orang. Bimbingan dan konseling bertujuan agar mereka memiliki kepribadian yang utuh dan integral untuk menghadapi berbagai macam tawaran yang menggiurkan dengan segala macam pengaruhnya dalam kehidupan.

(67)

50

dan konseling ini diharapkan dapat membantu para suster yunior untuk semakin berani membuka diri dan siap sedia menerima perutusan misi di manapun dibutuhkan seturut kehendak Allah melalui Kongregasi.

Dalam pendampingan para suster yunior, para pendamping dan pemimpin komunitas diharapkan profesional dalam melaksanakan pendampingan. Kematangan emosi, kedalaman hidup rohani dan keteladanan hidup sangat mereka butuhkan. Mengingat bahwa keteladanan hidup dari pendamping dan pemimpin komunitas secara tidak langsung dapat mempengaruhi subjek yang didampingi. Karenannya konsistensi dalam pendampingan hendaknya dimiliki oleh pendamping dan pemimpin komunitas maupun suster yang berkaul kekal sebagai upaya memberikan keteladanan dalam hidup sehari-hari secara berkualitas.

(68)

51

mengupayakan hidup dalam kesadaran agar hidup semakin bermakna dan mempunyai tujuan yang jelas.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti akan memberikan beberapa saran berikut ini yang dapat dijadikan bahan pertimbangan:

1. Hendaknya Kongregasi mempersiapkan dengan sungguh-sungguh suster yang dipilih untuk menjadi pendamping para prenovis, novis, yunior. Hal ini dianggap perlu karena peran seorang pendamping sangatlah besar bagi perkembangan kematangan emosi dan kepribadian mereka serta masa depan Kongregasi, mengingat bahwa mereka adalah generasi penerus Kongregasi. 2. Dalam membentuk pribadi yang integral, hendaknya program tahun rohani

dan live in bagi yunior diadakan kembali agar para yunior benar-benar mampu mengendapkan dan merefleksikan pengalaman serta melatih dan menghayati ketiga kaul di komunitas karya selama dua tahun sesudah mengikrarkan kaul pertama mereka.

3. Para suster yunior SSpS hendaknya semakin melatih diri dan mengembangkan kematangan emosi sehingga semakin bersikap dewasa dalam tingkah laku dan tutur kata dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam komunitas maupun di lingkungan di mana mereka berada.

(69)

52 Daftar Kepustakaan:

Adimassana, YB, 2001. Self-analysis Untuk Mencapai “Jiwa Bebas” Model Psikologi Terapan Ki Ageng Suryomentaraman, dalam Bunga Rampai Psikologi Yogyakarta: Penerbit USD

Arikunto,Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (edisi Revisi V), Jakarta: PT. Asdi Mahasatya

Ari Setyaningtyas, 2001.(Skripsi) Wiwiet, Pembinaan Iman Para SusterYunior Dalam Proses Kematangan Pribadi Berdasarkan Nilai-Nilai Spiritualitas Tarekat Misi Abdi Roh Kudus Melalui Katekese, (Skripsi), Yogyakarta,USD

Bungin, Burhan, 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Cencini, Amadeo, 2008. Kematangan Rohani dan Emosi (terjemahan) Medan: Penerbit Bina Media Perintis

Chaplin, J.P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Gardner, Howard, 2003. Multiple Intelligences, Kecerdasan Majemuk teori dalam

Praktek. (terjemahan) Batam, Interaksara

Goleman, Daniel, 1996. Emotional Intelligence, Kecerdasan Emisional. (terjemahan) Jakarta: PT. Gramedia

Jacobs, Tom, 1987. Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. Yogyakarta: Kanisius

Kartosiswoyo, V, dkk, 2001. Kitab Hukum Kanonik (terjemahan) Jakarta: Penerbit Obor Kerjasama dengan Sekretariat KWI

Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus, 1984. Konstitusi dan Direktorium, Kapitel Jenderal Kesembilan 21 Mei – 19 Juli 1984, Roma

Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus, Manuale untuk Pembinaan, Administration Jendral, Casa Generalizia, Via Casia, 645, 00189 Rome Italy

Masidjo, Ign, 1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di sekolah, Yogyakarta: Kanisius

(70)

53

Poerwandari, Kristi, 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, LPSP3, Fakultas Psikologi UI

Prasetyo Mardi, F, 1992. Psikologi Hidup Rohani 2, Yogyakarta: Kanisius ____________ ,2000. Unsur-unsur Hakiki dalam Pembinaan 2, Yogyakarta:

Kanisius

Sarwono, Jonathan, 2006.Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Yogyakarta: Graha Ilmu

Sugiyono, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV.Alfabeta

Sukarsih, Kristiana, 2008. (Skripsi) Persepsi Para Suster Yunior Kongregasi Puteri Bunda Hati Kudus Provinsi Indonesia Tahun 2007-2008 Tentang Relasinya Dengan Lawan Jenis. Yogyakarta: USD

Suparno, Paul, 2005. Rekoleksi FBB - Studi. Yoyakarta

___________, 2004. Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius

(71)

LAMPIRAN

(72)
(73)
(74)

(3) LAMPIRAN 2

Hasil Wawancara dengan ketiga Subjek Penelitian dan Sumber lain

A. Aspek Pemahaman diri (fokus pada emosi)

Subjek A

Apakah anda menyadari bahwa perasaan yang muncul dalam diri anda

merupakan bagian dari diri anda yang harus dikelola? Ya jelas, penting untuk

dikelola, nyata dalam diri, tidak mengacuhkan untuk menetralkan suasana hati,

berusaha memberi nama. Apakah anda dapat membedakan berbagai macam

emosi yang muncul?

Mengenali perasaan yang muncul karena ada sesuatu yang sebelumnya tetjadi.

Ada sesuatu yang ingin disampaikan “apa yang akan saya lakukan” (misalnya rasa

marah saya terganggu) bagaimana saya mendialogkan, menyadari, berdamai

dengan perasaan itu sehingga tahu menyikapinya. Apakah anda menyadari emosi

sebagai sinyal rasa aman? dan apakah anda mengetahui penyebab mengapa

emos-emosi tersebut muncul? Ya, semua itu ada penyebabnya. Cukup reflektif,

mengolah diri.

Cukup mampu membedakan emosi yang muncul, pengalaman dengan anggota

keluarga di rumah, di komunitas meskipun masih baru, ketika mengalami

kesulitan dengan sesama yunior saya mengungkapkan sesudah saya refleksi dan

bertanya diri.

Masukan dari sumber lain yaitu sinyal dalam dirinya sangat nampak lewat

wajah… Mengenali penyebab emosi, menyesuaikan diri, terbuka, tidak mudah

(75)

(4) ia sadar bahwa dirinya adalah anggota komunitas dan langsung minta maaf, butuh

dalam kebersamaan.

B. Aspek Kemampuan mengolah emosi

Subjek A

Bagaimana anda menyikapi emosi yang muncul atas berbagai peristiwa

baik yang positif maupun negatif? Mencoba untuk diam, berhenti untuk melihat

sungguh-sungguh, misalnya takut dinilai lalu saya urai penyebab rasa itu,

sharingkan dengan orang lain, mengakui kalau salah. Bagaimana reaksi emosi

spontan anda jika tiba-tiba pemimpin bertanya hal yang tidak anda lakukan

dengan nada agak keras? Memasukkan nada humor, diam tanya dalam hati

maksudnya apa? Bagaimana anda mampu menemukan penyebab emosi yang

muncul ketika ada suatu peraturan yang baru muncul yang harus ditaati? Tanya

kalau belum jelas, komunikasi, terbuka dan dialog.Kembali pada diri, tanya pada

diri “kenapa, ada apa kamu ini?” kalau peraturan itu memang perlu ditaati ya saya

jalan terus, tapi kalau tidak logis saya

tanyakan.

Bagaimana anda melatih emosi agar lebih teratur dalam hidup anda? Sejauh

masukan dari sesama, kalau saya marah nampak sekali dalam wajah, maka lebih

baik saya diam dulu beberapa saat, baru saya omong, meskipun beberapa suster

kalau bicara dengan nada seru, dengan diam, doa panah dan buat pertimbangan

saya terbantu untuk dapat mengungkapkan secara objektif.

(76)

(5) Misalnya kalau saya marah, lalu saya tanya pada diri hal ini logis apa tidak,

kenapa suster itu mengingatkan saya, memberi jarak pada rasa marah supaya saya

bias objektif.

Dalam masa studi mengapa sering muncul perasaan jenuh, kesal, capek, jengkel

dan lain-lain? Dan bagaimana cara menyikapi itu semua?

Belum bosan, belum malas, karena saya senang hal baru sehingga saya

bersemangat untuk belajar, meski begitu saya kembali melihat motivasi awal

untuk apa saya studi? menyadarkan perasaan lihat kembali motivasi awal apa

yang ingin saya tuju?, sharing, sudah menemukan spiritualitas akuntansi yaitu

berani duduk diam untuk refleksi.

Bagaimana anda membangun sikap yang bebas dengan menumbuhkan

keberanian untuk mengambil jarak dan merasakan emosi apa saja tanpa reaksi

dan lebih berpegang pada pikiran yang jernih?

Perasaan itu selalu benar bagi saya, menunjukkan sesuatu yang tidak beres dengan

diri yang harus saya perbaiki demi perkembangan dan keselamatan saya.

Bagaimana anda mengambil posisi sebagai pengendali emosi yang bijaksana?

Sebagai pribadi yang netral, orang lain juga netral, perasaan yang sering

membantu.

Masukan dari sumber lain: Menyikapi/mengatasi emosi baik dalam peristiwa

positif maupun negatif, bisa berbaur, berani mengungkapkan rasa jengkelnya.

Kalau dimarahi tidak apa-apa hal tersebut dijadikan bahan untuk refleksi dan

Gambar

Tabel  Instrumen  Wawancara
Tabel  Hasil Penelitian dari Subjek Penelitian dan Sumber Lain

Referensi

Dokumen terkait

Keuntungan menggunakan yang berkecepatan tinggi adalah untuk akses program maupun menyimpan data lebih cepat, tetapi dalam tanda kutip bahwa beda antara keduanya tidak

Beras hitam merupakan varietas lokal yang mengandung pigmen (terutama antosianin) paling baik, berbeda dengan beras putih atau beras warna lain.. Beras hitam memiliki rasa dan

Penyebab dari terjadinya KLB DBD di Kabupaten Gianyar yaitu sebagian besar disebabkan oleh tingkat mobilitas penduduk yang tinggi dan faktor lingkungan. Setiap harinya

sumur gali, saluran air, dan terowongan air untuk mendapatkan air tanah yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis sebagai sarana eksplorasi, pengambilan, pemakaian, dan

Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata nilai gain yang dinormalisasi untuk kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan konseptual interaktif yang menggunakan

Desain halaman Materi utama pada pengembangan media interaktif dirancang berisikan logo, identitas pengembang, tombol navigasi Home, tombol navigasi Lanjut, tombol

Kapiler dapat dikelompokkan dalam 3 jenis menurut struktur dinding sel endotel: (1) Kapiler kontinu yang memiliki susunan sel endotel rapat; (2) Kapiler fenestrata atau

[r]