• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam buku Psikologi Hidup Rohani 2 (Mardi Prasetya,1992:100-104), dituliskan bahwa “pribadi yang dalam hidupnya menunjukkan kedewasaan dalam dimensi-dimensinya dan juga memiliki kebebasan efektif lebih besar untuk membatinkan nilai-nilai panggilan, maka ia mempunyai disposisi untuk mengikuti panggilannya secara lebih baik.”, ciri-ciri kedewasaan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan untuk menerima kenyataan: Ia terbuka untuk mengetahui dan menerima dirinya dan orang lain, karena ia mempunyai keyakinan diri dan kepastian untuk berpijak, mempunyai integritas pribadi yang dapat ditunjukkannya melalui perilakunya.

15

2. Menerima dan menghayati apa yang bernilai: Sebagai religius ia berani menerima dan menghayati nilai-nilai injili (nilai hidup rohani) dan menghayatinya demi Kristus dan bukannya demi kepentingan yang menguntungkan diri, membela diri dan sekedar memamerkan kesalehan. Dengan kata lain ia berusaha mengatur dan menghayati hidup atas dorongan motivasi yang lurus dalam panggilan, yaitu nilai-nilai hidup rohani, dengan ini akan tampak bahwa ia ambil bagian dalam kebebasan untuk memeluk cinta dan afeksi rohani.

3. Mengarahkan daya-daya hidupnya untuk menghayati nilai-nilai yang dipeluk dan diwartakannya dalam hidup: Ia mampu mengendalikan ketegangan yang mungkin terjadi dalam mengambil dan melaksanakan keputusan, mampu bertoleransi terhadap ketidakpastian dalam mencapai tujuan dan cita-cita hidupnya, mampu bertekun mewujudkan nilai-nilai yang diyakini baik atas dasar pengalaman rohaninya.

4. Tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu pragmatisme : Ia memiliki fleksibilitas sekaligus sikap seorang ‘hamba Tuhan’ yang setaraf dengan kedewasaannya, lebih-lebih dalam membela nilai-nilai Kristus dalam arti bahwa ia tidak menjadi agresif dan fanatik dalam membela diri dan kemudian menghindari tanggung jawab. Ia lebih peka dan lebih terbuka terhadap perasaan orang lain.

5. Memiliki cinta yang tidak egois: Cinta yang tidak egois adalah cinta yang melampaui ‘personalisme’ dan tanpa pamrih. Maka orang yang memiliki

16

cinta ini tidak akan mudah frustrasi, dan menomorsatukan nilai cinta kasih Kristus.

6. Sikap realistis. Sikap realistis yang dimaksudkan di sini khususnya berhubungan dengan pelaksanaan nilai dan sikap hidup panggilan. Ia mampu membedakan mana yang fakta dan mana yang prinsip, ia mampu membedakan antara kompromi fakta dan kompromi prinsip. Ia pun tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam.

7. Mampu mempercayai orang lain, ini adalah sikap dasar yang muncul dari kepercayaan terhadap diri sendiri. Ia tidak mendominasi dan tidak merendahkan orang lain.

8. Memiliki kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri, ia selalu siap dengan pertobatan manakala hidupnya kurang sesuai dengan nilai panggilan yang dipeluk dan dicintainya, dan berusaha membaharui diri sejauh mungkin atas rahmat dan kemampuan diri sendiri.

9. Relasi sosial yang berciri ‘dependibility’, mampu mengambil keputusan dan tanggung jawab, mampu menyesuaikan diri, memiliki kepekaan, menghargai kebebasan orang lain dan diri sendiri.

10.Mampu membatinkan nilai panggilan, dapat menerima iman dan kepercayaan karena memang sesuai dengan sistem dasariah nilai dan tujuan hidupnya. Ia berusaha maju dan bertekun dalam panggilan dan hidup rohaninya.

17

Tentang kedewasaan manusia Cencini (2008:99-105) dalam buku “Kematangan Rohani dan Emosi” menuliskan ciri-ciri kedewasaan yang secara ringkas mencakup karakteristik sebagai berikut:

1. Dari ketulusan menuju kebenaran, seseorang yang dewasa mampu mengenal dirinya sendiri. Ketulusan merupakan kebebasan untuk mengenali apa yang dirasakan seseorang dan mengatakannya secara terbuka mengenai hal tersebut, kepada dirinya sendiri, dan pada orang lain bila perlu. Kebenaran merupakan suatu kebebasan untuk memahami bukan saja emosi, yang biasanya jelas, tapi juga akar-akarnya.

2. Kekuatan dalam kelemahan, menjadi dewasa berarti menjadi kuat untuk mampu menghindari ketidakkonsistenan dan sifat-sifat tidak matang sebelumnya.

3. Kebebasan untuk mengungkapkan diri, pada hakikatnya manusia dipanggil untuk menyatakan dirinya, untuk menghadapi sebuah panggilan untuk menjadi dirinya yang sebenarnya dengan mengatasi dirinya.

4. Penyerahan hidup, orang yang matang biasanya tidak mencukupi dirinya sendiri, ia mengakui perlunya orang lain, mempercayai mereka yang barada di sisinya pada saat ia siap menyerahkan hidupnya ke dalam tangan orang lain dan saat membiarkan dirinya dibatasi oleh kelemahan orang lain.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, kematangan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosi yang ada dalam dirinya baik emosi

18

positif (syukur, gembira, senang, tentram, aman, damai, dll), maupun emosi negatif (jengkel, marah, sedih, tersinggung, hilang harapan, dll). Kematangan emosi menyebabkan seseorang menjadi lepas bebas dalam mengaktualisasikan dirinya secara optimal dengan menyadari keberadaannya. Hal ini membantu seseorang memiliki keberanian untuk mengalami dan menerima rasa-perasaan yang muncul dalam dirinya. Maka kematangan emosi adalah suatu disposisi atau sikap batin untuk mengakui keberadaan diri secara bebas. Kematangan emosi memampukan pribadi yang bersangkutan memberi nama/mengidentifikasi setiap rasa-perasaan yang muncul sebagai bagian dari dirinya. Emosi adalah suatu reaksi batin yang wajar dan manusiawi, yang tidak harus cepat-cepat diikuti atau ditolak, melainkan harus dipahami asal-usulnya. Emosi adalah perasaan yang muncul secara spontan sebagai reaksi atas adanya suatu hal yang menyentuh atau merangsang batin kita. Hal itu bisa menimbulkan reaksi berupa emosi positif dan negatif. Emosi itu akan merangsang munculnya pikiran tertentu dalam keinginan ke arah tindakan tertentu. Di sinilah orang sudah memiliki kematangan emosi tidak akan begitu saja terbawa oleh emosi yang muncul secara spontan dalam dirinya, tanpa berpikir secara mendalam. Kematangan emosi menghantar seseorang pada kedewasaan pribadi yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan sebagai manusia. Seperti yang diharapkan oleh SpSS, yang tertulis dalam konstitusi SpSS sebagai berikut:

“…Perkembangan menuju kematangan terjadi, dengan belajar mengenal diri semakin baik, mengembangkan bakat-bakat pribadi secara harmonis, menerima keterbatasan dan mampu mengatasi konflik dan penderitaan. Dengan demikian kita mencapai kebebasan hati yang memungkinkan kita mengambil keputusan yang

19

dapat dipertanggungjawabkan” (Konstitusi SpSS, artikel 503, baris ke 4, hal 106).

Dokumen terkait