• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipan dalam penelitian ini adalah guru PAUD yang sedang berstatus mahasiswa di Program Studi PGPAUD Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Sebanyak 62 guru dari semester satu, tiga, dan lima menjadi partisipan dalam penelitian ini. Dari 62 kuesioner, hanya 1 yang tidak kembali, dan 58 di antaranya diisi dengan lengkap sehingga dapat dianalisis lebih lanjut. Berdasarkan data tersebut diketahui sebagian besar partisipan berusia 31- 40 tahun dengan presentase 44,82%. Hal ini menunjukkan bahwa tugas belajar guru PAUD memang diproyeksikan bagi mereka yang berada dalam kelompok usia produktif dan memiliki pengalaman mengajar yang cukup. Kesimpulan ini diperkuat dengan data masa kerja yang

International Conference on Indonesian Islam, Education and Science (ICIIES) 2017 443 menunjukkan mayoritas ada pada kategori 6 – 10 tahun masa kerja atau sebesar 31,03%. Namun demikian, data masa kerja ini pada kelompk usia lain memiliki sebaran yang cukup merata. Dari 58 partisipan tersebut, 62,06% merupakan pegawai dengan status tetap sementara 37,93% sisanya belum menjadi pegawai tetap. Sementara data latar belakang pendidikan menunjukkan sebagian besar partisipan berpendidikan terakhir SMA atau sederajat yaitu sebesar 67,24%. Hal ini juga sejalan dengan tujuan program beasiswa guru yaitu memberikan kesempatan bagi mereka yang belum menempuh S1 namun memiliki pengalaman kerja yang mencukupi. Data terakhir mengenai riwayat kesehatan mental menunjukkan terdapat 13,79% partisipan memiliki masalah kesehatan di masa lalu.

Tingkat Stres Guru

Berdasarkan analisis deskriptif, diketahui bahwa tingkat stres guru di semua semester berada pada level lebih tinggi dibanding rerata stres pada populasi umum yang berkisar pada angka 14.52 sampai 17.73. Tingkat stres pada semester tiga adalah yang tertinggi, diikuti semester lima dan semester satu.

Tabel 1. Tingkat Stres Guru PAUD Berdasarkan Semester

N Min Max Mean SD

Semester 1 20 15.00 25.00 20.85 2.85

Semester 3 19 15.00 32.00 22.78 4.90

Semester 5 19 15.00 27.00 21.68 2.66

Analisis selanjutnya dilakukan untuk menguji apakah ada perbedaan tingkat stres antar semester perkuliahan menggunakan teknik One Way Anova dengan bantuan program SPSS 16. One Way Anova digunakan sebab sample yang diperbandingkan berasal dari kelompok yang tidak berhubungan. Uji analisis menunjukkan taraf signifikansi sebesar 0.252 > 0.05 yang berarti tidak ada perbedaan tingkat stres guru berdasarkan semester perkuliahan.

Adapun kategorisasi skor partisipan termasuk tinggi, sedang, atau rendah dapat ditetapkan dengan menggunakan kriteria kategorisasi (Azwar, 2003). Skor partisipan dibagi dalam 3 kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah melalui penghitungan rerata hipotetik. Pada teknik ini, rerata dan deviasi standar yang dipakai sebagai bahan penyusunan titik kategori didapatkan dari alat ukur itu sendiri. Hasil kategorisasi tersebut ditunjukkan pada tabel berikut: Tabel 2. Kategorisasi Skor Stres Guru Pada Semester 1

Rentang Nilai Kategori Jumlah Presentase

X < 18 Rendah 1 5%

18  X < 24 Sedang 17 85%

24  X Tinggi 2 10%

Deskripsi kategori skor di atas menunjukkan sebagian besar (85%) partisipan dari semester satu berada pada kategori stres sedang , sementara 10% di antaranya berada pada kategori stres tinggi, dan 5% atau satu orang berada pada kategori rendah. Dengan menggunakan teknik serupa, didapatkan hasil kategorisasi untuk kelompok semester tiga sebagai berikut:

444 International Conference on Indonesian Islam, Education and Science (ICIIES) 2017 Tabel 3. Kategorisasi Skor Stres Guru Pada Semester 3

Rentang Nilai Kategori Jumlah Presentase

X < 18 Rendah 3 15,7%

18  X < 28 Sedang 13 68,4%

28  X Tinggi 3 15,7%

Kategorisasi tersebut menunjukkan pola yang tidak terlalu jauh berbeda dengan semester satu. Sebagian besar partisipan berada pada stres kategori sedang (68,4%), selanjutnya pada kategori rendah dan tinggi ada pada presentase yang sama yaitu 15,7%. Adapun untuk semester lima didapat hasil sebagai berikut:

Tabel 4. Kategorisasi Skor Stres Guru Pada Semester 5

Rentang Nilai Kategori Jumlah Presentase

X < 19 Rendah 2 10,5%

19  X < 24 Sedang 16 84,2%

24  X Tinggi 1 5,2%

Pada kelompok semester lima, juga ditemukan pola yang serupa dimana sebagian besar partisipan berada pada kategori skor sedang (84,2%). Terdapat sedikit perbedaan dengan sebaran di semester satu, dimana pada semester lima ini presentasi partisipan dengan stres rendah lebih tinggi dibanding kategori stres tinggi. Deskripsi data pada ketiga semester tersebut menunjukkan sebagian besar guru PAUD yang sedang menjalani tugas belajar S1 mengalami stres pada derajat sedang.

Faktor Penyebab Stres

Analisis faktor penyebab stres guru didapatkan melalui kuesioner dengan jenis pertanyaan open-ended yang memberikan kesempatan luas pada partisipan untuk merespon sesuai kondisi masing-masing. Semua guru pada tiap semester melaporkan pentingnya peran keluarga dalam mereduksi stres. Bentuk dukungan keluarga ini berwujud semangat dan motivasi, serta kesediaan keluarga untuk melakukan berbagai penyesuaian. Selain itu dukungan dari sekolah juga dipersepsi mampu mengurangi tingkat stres, terutama dari pihak rekan seprofesi yang bersedia membantu penyelesaian berbagai tugas di sekolah.

Pada guru yang masih menjadi mahasiswa baru, keharusan menggunakan berbagai teknologi informasi menjadi faktor eksternal yang cukup banyak disebutkan sebagai pemicu stres. Hal ini nampak dari contoh pernyataan (DK) berikut:

―Kelemahan saya pada pemakaian computer yang menyebabkan saya harus bolak-balik rentalan untuk menyelesaikan tugas. Sy jg belum bs memakai email untuk melihat portal. Sy khawatir keterbatasan ini akan menggangu nanti…”

Pernyataan tersebut mengindikasikan partisipan merasa keterbatasannya akan menyebabkan masalah lebih besar di kemudian hari. Selain itu faktor jarak sekolah dan manajemen waktu juga muncul sebagai sumber stres yang belum mampu diatasi.

Secara internal, guru pada semester satu merasa harus menyesuaikan diri lagi pada pola-pola baru sebagai mahasiswa. Pola ini tidak jarang dirasa berpotensi menimbulkan konflik

International Conference on Indonesian Islam, Education and Science (ICIIES) 2017 445 di sekolah sebab mereka takut akan adanya ketimpangan tanggung jawab dengan rekan kerja. Hal ini Nampak dari pernyataan salah satu mahasiswa (HT) berikut:

“Ada perasan tidak enak karena beberapa kali meninggalkan acara di TK dan guru lain harus menyelesaikan tugas saya‖

Peran rekan kerja dan atasan ini di satu sisi mampu mereduksi tingkat stres partisipan, namun di sisi lain kekhawatiran internal menyebabkan partisipan juga mudah terpicu stres.

Pada guru dari semester tiga, faktor yang cukup dominan disebutkan adalah kesulitan pada penyelesaian tugas yang umumnya berbentuk kelompok. Partisipan merasa tugas kelompok lebih berat diselesaikan karena kesulitan menyesuaikan waktu masing-masing. Pernyataan salah satu partisipan (LYN) adalah sebagai berikut:

“Semester ini banyak sekali tugasnya dan umumnya harus kelompok. Karena rumah saya jauh dan sulit sinyal internet jadi sy sering tidak bisa bergabung dengan teman-teman‖

Respon serupa juga ditunjukkan oleh partisipan (ST) berikut:

“Jika saya boleh usul…. Tolong bapak/ibu dosen jangan beri kami tugas dalam kelompok yang berbeda-beda. Kadang terjadi miskomunikasi karena tidak semua guru punya waktu yang fleksibel”

Kedua pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pada semester tiga, hal-hal yang menyebabkan stres lebih berorientasi pada penyelesaian tugas. Anatara lain sistem berkelompok, jumlah tugas, dan minimnya waktu yang dimiliki untuk penyelesaian tugas tersebut.

Pada semester lima, muncul respon yang cukup bervariasi. Sumber stres yang dirasakan semester lima antara lain: membagi waktu antara kegiatan ekstra, kuliah, dan sekolah , kesulitan menyesuaikan ritme dengan beberapa dosen, dan kebingungan pada beberapa materi kuliah. Dari faktor internal ditemukan beberapa penyebab stres adalah rasa malas dan menurunnya motivasi. Hal ini dapat dilihat sebagaimana pernyataan (NN) berikut:

―Hambatan terbesar saya saat ini merasa lebih cepat lupa pada materi pelajaran. Kadang tercampur antara satu mata kuliah dengan yang lain. Dari dalam diri juga harus mengalahkan rasa malas dan kantuk di kelas.‖

Dari pernyataan ini dapat diketahui faktor eksternal dan internal memberikan pengaruh cukup besar pada kondisi partisipan. Perasaan ini dimungkinkan muncul sebab pada semester lima hamper semua mahasiswa mengambil ekstra sks sehingga beban kuliah menjadi semakin berat. PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat stres dan faktor penyebab stres pada guru PAUD yang sedang memiliki peran ganda sebagai mahasiswa. Dengan hasil identifikasi tersebut, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi basis dibentuknya support system yang lebih baik bagi guru PAUD untuk menurunkan tingkat stres dan mencapai hasil studi yang lebih baik. Hasil pengukuran menunjukkan sebagian besar baik guru pada semester satu, tiga, dan lima berada pada kategori stres sedang. Hasil ini juga sesuai jika dibandingkan pada rerata stres populasi general, dimana guru PAUD yang sedang menjalani tugas belajar S-1 secara umum memiliki tingkat stres lebih tinggi dibanding masyarakat umum. Pola ini menunjukkan bahwa peran ganda guru PAUD ternyata menjadi stresor tersendiri dengan intensitas yang cukup konsisten sepanjang periode perkuliahan.

Adapun faktor yang menjadi penyebab stres tersebut cukup bervariasi di tiap semester. Pada semester awal guru dihadapkan pada lingkungan baru sehingga problem terkait penyesuaian sosial menjadi dominan. Penyesuaian ini tidak hanya dengan lingkungan baru

446 International Conference on Indonesian Islam, Education and Science (ICIIES) 2017 namun juga dengan lingkungan sekolah tempat guru mengajar. Respon rekan kerja dan kepala sekolah yang kurang supportif membuat guru merasa terbebani ketika meninggalkan urusan sekolah yang seharusnya menjadi prioritas. Samad, Hashim, Moin, dan Abdullah (2010) menyatakan stres pada guru akan muncul saat tuntutan dipersepsi tinggi, sementara kontrol diri dipersepsi kurang, dan dukungan dari lingkungan juga terbatas. Selain faktor eksternal, ditemukan juga faktor internal berupa stres akademik. Guru merasa minimnya kemampuan dalam penguasaan IT menghambat proses perkuliahan. Kekhawatiran ini semakin bertambah sebab guru merasa teman-teman juga memiliki masalah serupa sehingga sulit dimintai pertolongan

Paradigma stres memiliki tiga domain konseptual yang saling berkaitan, yaitu: (1) sumber stres, (2) moderator stres (sumber daya sosial dan koping), dan (3) akibat /efek stres. Sumber daya koping berfungsi untuk :(1) mengubah makna dari suatu peristiwa sehingga stres akan berukurang, (2) memodifikasi atau menghapuskan kondisi-kondisi yang mengarah pada permasalahan, atau (3) mengatur level respon emosional terhadap stresor (Brown, Vanable, Carey & Elin, 2010) ). Dalam hal ini, guru menganggap sumber stres yang mereka rasakan baik dari eksternal maupun internal, tidak memiliki moderator stres yang mencukupi sehingga efeknya muncul berbagai keluhan psikologis.

Pada semester tiga, faktor penyebab stres lebih mengarah pada problem penyelesaian tugas. Guru merasa sistem berkelompok, terbatasnya waktu, kesulitan mencari referensi perkuliahan, adalah hal-hal yang secara umum belum dapat diatasi. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Geng, Midford, Buckworth (2015) yang menyatakan guru yang telah menjalani separuh masa studi mayoritas merasakan beban cukup tinggi untuk menyelesaikan tugas sebaik mungkin. Harapan ini jika tidak diimbangi dengan kemampuan yang memadai dapat memicu stres pada level fisik.

Perasaan tidak mampu mengatasi stres pada semester lima muncul pada berbagai aspek afektif. Guru melaporkan adanya penurunan motivasi dan semangat, kesulitan membagi waktu antara kegiatan ekstra, kuliah, dan sekolah , kesulitan menyesuaikan ritme dengan beberapa dosen, dan kebingungan pada beberapa materi kuliah. Namun demikian, guru pada semester lima nampak memiliki strategi koping yang lebih adekuat. Hal ini nampak dari respon sebagian besar guru yang merasa mampu mengatasi stresor tersebut.

Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal tempat pengambilan sampel yang hanya berasal dari satu universitas. Pemahaman tentang variabel stres guru ini dimungkinkan dapat lebih komprehensif apabila didapatkan dari berbagai lingkungan akademik berbeda. Lebih lanjut, meskipun tingkat stres guru di tiap semester telah teridentifikasi, namun hasilnya belum menjelaskan secara detail bagaimana stres tersebut terjadi. Begitupun eksplorasi pada peran sekolah dan lingkungan keluarga masih dapat diteliti lebih spesifik. Peneliti merekomendasikan dilakukan penelitian lanjutan tentang bagaimana lingkungan sosial dapat menjadi support system bagi guru. Dengan demikian baik sekolah maupun universitas dapat menyediakan model pendampingan yang lebih baik untuk mengatasi problem stres guru PAUD.