• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – Maret 2020 di Poli Klinik Rawat Jalan Paru Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Penelitian ini menguraikan dan menjelaskan tentang hasil penelitian yang dilaksanakan.

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sejarah pendirian Rumah Sakit USU sebenarnya telah dimulai pada tahun 2003 dengan diajukannya usulan proyek pembangunan pusat penelitian dan diagnostik kesehatan (PPDK) USU ke Bappenas yang kemudian direvisi menjadi usulan pembangunan Rumah Sakit Pendidikan (RSP) USU. Pada tahun 2004, diperoleh rekomendasi/dukungan Mendiknas kepada Bappenas untuk mendirikan RSP USU. Akhirnya usulan pembangunan RSP USU disetujui dan masuk dalam perencanaan Bappenas (blue book).

Rekomendasi/dukungan Menkes kepada Rektor USU untuk mendirikan RSP USU diperoleh pada tahun 2005. Pada tahun yang sama Islamac Development Bank (IDB) menawarkan loan untuk membangun RSP USU. Terjadi proses negosiasi antara IDB dengan pemerintah tentang Loan pembiayaan RSP USU tersebut. IDB menyetujui pemberian Loan pembangunan RSP USU pada tanggal 01 Februari 2006.

Antara 2007 – 2009 berlangsung proses lelang pelaksanaan pembangunan RSP USU

yang akhirnya menetapkan PT Waskita Karya sebagai pelaksana pembangunan RSP USU (19 Juli 2009).

Pembangunan RSP USU berlangsung antara tahun 2009 – 2011 dan sementara itu mulai pula disusun usulan rencana pengadaan alkes/non alkes dan usulan ketenagaan. Depdiknas mengalokasi sejumlah tenaga berstatus PNS untuk ditempatkan sebagai tenaga di RSP USU. Antara tahun 2011 – 2013 berlangsung pengadaan alkes/non alkes RSP USU. Disamping itu mulai pula disusun rencana program dan anggaran operasional RSP USU. Dengan berbagai persiapan operasional tersebut, diharapkan RS USU dapat segera beroperasional secara penuh. “soft opening” RS USU dilaksanakan pada tanggal 04 Desember 2014 dan pembukaan operasional penuh baru dapat terlaksanan pada tanggal 28 Maret 2016.

Berdasarkan cikal bakal tempat penelitian tersebut peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian di RSP USU Medan penelitian ini termasuk jenis penelitian quasi eksperimen bagian dari pra eksperimen dengan teknik two grup control pre test dan post test. Pengumpulan data dilaksanakan mulai bulan februari s/d Maret 2020.

Dengan latihan kombinasi ektremitas atas dan bawah yang diberikan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil pada dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan jumlah masing-masing jumlah responden 18 setiap kelompok sehingga total seluruh jumlah responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah 36 orang responden pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil di Poli Paru RS USU Medan. Peneliti memilih lokasi penelitian ini di Poli Paru RS USU kerena dari hasil survai awal yang dilakukan ke Poli Paru RS USU pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil yang

melalukan rawat jalan ± ada sekitar 7-15 orang perhari yang melalukan pengobatan/rawatan jalan ke Poli Paru RS USU dan dari jumlah tersebut banyak yang masuk ke kategori ktriteria inklusi dari responden penelitian yang dilakukan oleh peneliti sehingga sewaktu sidang proposal di putuskan oleh semua Ketua Komisi untuk melakukan penelitian ini di Poli Paru RS USU Medan, dengan Hasil penelitian diuraikan dalam tiga bagian meliputi deskripsi lokasi penelitian, data demografi dan analisa univariat yang akan diuraikan dengan lengkap dibawah ini.

Hasil Penelitian

Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 36 orang pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik stabil yang dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan setiap kelompok terdiri dari 18 pasien. Setiap pasien yang di diagnosa Penyakit Paru Obstruktif Kronik stabil derajat ringan- berat yang didiagnosa di Poli Paru RS Universitas Sumatera Utara (USU) Medan dijelaskan dan dimotivasi untuk ikut dalam program penelitian. Sebelum program dimulai, pasien menyetujui dengan menandatangani informed consent. Kemudian dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (frekuensi napas, nadi, dan tekanan darah), dan pemeriksaan fisik.

Pasien yang memenuhi persyaratan sesuai kriteria inklusi dan kriteria eksklusi diikutkan dalam program penelitian. Sebelum mengikuti program penelitian, pasien dinilai frekuensi pernapasan, derajat frekuensi pernapasan dan pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oksimetri. Kemudian pasien melakukan program latihan ketahanan fisik kombinasi ekstrimitas atas dan bawah berupa cycle ergometry 10

menit, dan diamati saturasi selama latihan fisik dan setelah selesai dilakukan pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oksimetri.

Hasil Analisis Univariat

Karakteristik Penelitian

Gambaran karakteristik responden berdasarkan hasil penelitian di RS USU Medan sejumlah 36 responden dengan masing-masing kelompok terdiri dari 18 responden dapat dilihat pada Tabel 4.1 sebagai berikut :

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Responden Penderita PPOK stabil berdasarkan karakteristik responden pada Kelompok Perlakuan dan Kontrol(n=36)

Kelompok Perlakuan 17 94,44

Kelompok Kontrol

Perempuan 3 16,67

Kelompok Perlakuan 1 5,56

Umur Kelompok Kontrol

< 60 tahun 4 22,22

Kelompok Perlakuan 2 11,11

Kelompok Kontrol

61-70 tahun 10 55,56

Kelompok Perlakuan 5 27,78

Kelompok Kontrol

71-80 tahun 4 22,22

Kelompok Perlakuan 8 44,44

Kelompok Kontrol

> 80 tahun 0 0

Kelompok Perlakuan 3 16,67

Lama Merokok Kelompok Kontrol

Tidak Merokok 3 16,67

Kelompok Perlakuan 2 11,11

Kelompok Kontrol

10-15 5 27,78

Kelompok Perlakuan 5 27,78

Kelompok Kontrol

16-20 9 50

Kelompok Perlakuan 8 44,44

Kelompok Kontrol 21-25 0 0

Kelompok Perlakuan 1 5,56 Kelompok Kontrol

26-30 1 5,56

Kelompok Perlakuan 2 11,11

Kelompok mMRC Kelompok Kontrol

1 9 50

Kelompok Perlakuan 7 38,9

Kelompok Kontrol

2 2 11,11

Kelompok Perlakuan 5 27,8

Kelompok Kontrol

3 7 38,89

Kelompok Perlakuan 6 33,3

Gangguan Faal Paru Kelompok Kontrol

Obstruksi Ringan 4 22,2

Kelompok Perlakuan 4 22,2

Kelompok Kontrol

Obstruksi Sedang 12 66,67

Kelompok Perlakuan 10 55,6

Kelompok Kontrol

Obstruksi Berat 2 11,11

Kelompok Perlakuan 4 22,22

Kelompok Kontrol

Restriksi Ringan 4 22,22

Kelompok Perlakuan 5 27,8

Kelompok Kontrol

Restriksi Sedang 11 61,11

Kelompok Perlakuan 10 55,6

Kelompok Kontrol

Restriksi Berat 3 16,6

Kelompok Perlakuan 3 16,6

Kategori Indeks Brinkman Kelompok Kontrol

Ringan 4 22,22

Kelompok Perlakuan 7 38,8

Kelompok Kontrol

Sedang 3 16,6

Kelompok Perlakuan 1 5,6

Kelompok Kontrol

Berat 10 55,6

Kelompok Perlakuan 10 55,6

Karakteristik penderita berdasarkan Jenis Kelamin.

Tabel 4.1 menunjukkan distribusi berdasarkan jenis kelamin pasien Paru Obstruktif Kronik Stabil didominasi oleh pasien dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 17 pasien (94,44%) pada kelompok perlakuan dan 15 pasien (83,33%) pada kelompok kontrol.

Hasil distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin sesuai dengan penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Aryl dan Mannino (2014) menunjukkan

dikarenakan sebagian besar karena infeksi pernapasan laki-laki lebih parah dibandingkan wanita dan hal ini dapat mengarah pada kematian, penyebab dari infeksi saluran pernapasan pada pasien PPOK antara lain karena faktor merokok.

Asap rokok mengandung Reactive Oxygen Species (ROS) dengan konsentrasi yang tergolong sangat tinggi sehingga terjadinya proses inflamsi dengan meningkatnya infiltrasi sel radang di saluran udara. Selain itu zat akrolein yang terkandung di dalam rokok juga dapat menginduksi ekspresi gen MUC5AC sehingga menyebabkan pembesaran sel goblet dan hyperplasia kelenjer, pembesaran ini menyebabkan terjadinya hipersekresi mucus. Penyempitan saluran pernapasan dan produksi mucus yang berlebihan akan menyebabkan fungsi paru mengalami penenurunan sehingga terjadi manifestasi klinis berupa dispnea (Sulistiasari, 2018).

Shamara dan Fachri (2014) mengemukakan bahwa jumlah perokok aktif pada laki-laki di indonesia berada sekitar 52,9% dan perempuan hanya sekitar 3,6%.

Faktor lainnya adalah karena penurunan alami dalam tubuh terjadi lebih awal pada pria kurang lebih pada dimulai pada usia 42 tahun dibandingkan dengan wanita yang dimulai pada usia 48 tahun. (Yulanda, N. 2019).

Karakteristik penderita berdasarkan umur.

Tabel 4.1 menunjukkan distribusi berdasarkan umur penderita didapati kelompok umur yang paling banyak mengidap penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dalam penelitian ini adalah kelompok umur 71-80 tahun dan 61-70 tahun, dimana pasien dengan penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil sebanyak 8 orang (44,44%) pada

kelompok perlakuan berumur 71-80 tahun dan 10 orang (55,56%) pada kelompok kontrol berumur 61-70 tahun

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang ada yaitu resiko terkena Paru Obstruktif Kronik Stabil akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia dan paparan terhadap partikel-partikel berupa gas yang terakumulasi dalam waktu yang lama (Sulistiasari, 2018). Penuaan juga dapat menyebabkan penurunan fungsi tubuh salah satunya penurunan fungsi paru-paru, penurunan fungsi paru-paru menyebabkan berkurangnya elastisitas jaringan paru dan dinding dada sehingga terjadi penurunan kekuatan konrtraksi otot pernapasan yang mengakibatkan sulitnya bernapas. Akibat dari penurunan fungsi pada jaringan paru dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi bronkus kecil yang mengalami penutupan (Obstruksi awal fase ekspirasi) sehingga udara akan masuk kedalam alveolus dan menyebabkan penumpukan udara (Nurmayanti, 2019).

Karakteristik penderita berdasarkan riwayat merokok.

Tabel 4.1 menunjukkan distribusi berdasarkan Riwayat Merokok penderita didapati pasien Paru Obstruktif Kronik Stabil memiliki riwayat merokok paling lama selama 16-20 tahun dengan jumlah pasien sebanyak 8 pasien (44,44%) pada kelompok perlakuan dan 9 pasien (50%) pada kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap pasien sebanyak 7 orang pasien tidak memiliki riwayat merokok, peneliti menduga ke 7 pasien tersebut dapat mengalami PPOK diakibatkan oleh paparan dari asap rokok yang terhirup oleh orang yang

Pada dasarnya kejadian PPOK telah terbukti mempunyai hubungan dengan kebiasaan merokok baik secara aktif maupun pasif. Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa merokok merupakan salah satu faktor risiko terjadinya PPOK.

Sebuah studi di India, menunjukkan bahwa perokok mempunyai proporsi PPOK yang lebih tinggi sebesar 2,65 kali dibandingkan bukan perokok. Dari penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa perokok pasif mempunyai risiko 1,4 kali menderita PPOK dibandingkan populasi yang tidak merokok. Penelitian lain di China, menunjukkan pada populasi yang terpajan asap rokok (perokok pasif) mempunyai peningkatan risiko kematian karena PPOK dengan nilai RR: 2,30; 95% CI: 1,06-5,00) (Kusumawardani, 2016).

Asap rokok merupakan penyebab utama yang paling sering ditemukan.

Pajanan yang terus menerus dan berlangsung lama dengan asap rokok dapat menyebabkan gangguan dan perubahan mukosa jalan napas. 75% kasus bronkitis kronik dan emfisema diakibatkan oleh asap rokok, 45% perokok berisiko untuk terkena PPOK. Gejala PPOK jarang muncul pada usia muda umumnya setelah usia 50 tahun ke atas, paling tinggi pada laki-laki usia 55-74 tahun. Hal ini dikarenakan keluhan muncul bila terpapar asap rokok yang terus menerus dan berlangsung lama (Salawti, 2016).

Karakteristik penderita berdasarkan Nilai MMRC

Tabel 4.1 Hasil penelitian terlihat distribusi frekuensi penderita PPOK stabil berdasarkan skala mMRC penderita terbanyak dengan skala mMRC didapatkan terbanyak pada nilai mMRC 1 yaitu sebanyak 7 pasien (38,9%) pada kelompok

perlakuan dan 9 pasien (50%) pada kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Asap rokok merupakan penyebab terpenting terjadinya PPOK, sehingga merokok menjadi faktor resiko utama (Nugraha, 2012).

Sesuai dengan penelitian Anwar D dkk. tahun 2011 di rumah sakit M. Djamil Padang di dapat kesimpulatn semakin tinggi derajat sesak napas berdasarkan kuesioner mMRC, makin tinggi derajat PPOK (Anwar, D. 2012). Menurut Bestall JC dkk. pada tahun 1999 modifikasi skala sesak napas mMRC merupakan skala yang mudah dan validasinya telah dibuktikan di Inggris (Bestall, dkk. 1999). Di banyak negara, polusi udara akibat penggunaan batubara, arang, kayu bakar ataupun biomassa lainnya sebagai penghasil energi untuk memasak juga meningkatkan resiko terjadinya PPOK, akan tetapi merokok merupakan faktor resiko utama dalam menyebabkan perkembangan dan peningkatan PPOK (Nugraha, 2012).

Karakteristik penderita berdasarkan Hasil Faal Paru

Tabel 4.1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi frekuensi penderita gangguan faal paru pada obstruksi terbanyak berada pada kategori sedang yaitu 10 pasien (55,6%) pada kelompok perlakuan dan 12 pasien (66,67%) pada kelompok kontrol. Pada Tabel 4.1 hasil penelitian juga menunjukkan bahwa distribusi frekuensi penderita gangguan faal paru pada Restriksi terbanyak berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 10 pasien (55,6%) pada kelompok perlakuan dan 11 pasien (61,11%) pada kelompok kontrol.

Penentuan gangguan faal paru ditentukan oleh nilai persen (%) dari FEV1 dan juga FVC. Penderita obstruksi ringan, mengalami penurunan %FEV1, pada kondisi faal paru nomal nilai FEV1 harus lebih dari sama dengan 75%. Sedangkan, penderita obstruksi ringan nilai %FEV1 dimulai dari 74 sampai dengan 60. Pada penderita restriksi nilai % FVC-nya lah yang mengalami penurunan. Faal paru normal memiliki nilai FVC lebih dari sama dengan 80, sedangkan penderita restriksi ringan dimulai dari 79 sampai dengan 60 (Sholihah, 2015). Nilai standar untuk restriksi berat adalah VC% kurang dari 50, restriksi sedang bila VC antara 50-59 dan restriksi ringan antara 60-79. FEV1 adalah jumlah udara yang dapat diekspirasi secara paksa pada detik pertama. FEV1% adalah persentase dari FEV1 yang diperoleh dari pemeriksaan dengan nilai standar Indonesia sesuai dengan umur, berat badan, tinggi badan dan kelembaban udara saat pemeriksaan. Obstruksi berat jika FEV1 kurang dari 40;

obstruksi sedang jika 40- 59 dan obstruksi ringan jika 60-79 (Subijanto, 2008).

Gangguan kondisi faal paru yaitu obstruksi dan restriksi dipengaruhi karena beberapa hal, diantaranya adalah merokok. Rokok yang dihisap mengandung senyawa-senyawa yang dapat mengendap dalam paru seperti nikotin. Endapan senyawa-senyawa tersebut semakin lama semakin banyak dan dapat mempersempit jalur udara untuk keluar dan masuk, sehingga dapat mempengaruhi fisiologi paru seseorang. Kelainan obstruksi dapat dijumpai pada kelainan intra luminer (lumen bronkus normal tetapi ada massa dalam lumen tersebut yang dapat berupa tumor maupun benda asing) atau karena menebalnya lumen bronkus seperti pada perokok, penderita asma, dan penderita bronkitis kronis (Arganata, 2016).

Karakteristik penderita berdasarkan Indeks Brinkman

Tabel 4.1 Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi frekuensi penderita PPOK berdasarkan indeks brinkman terbanyak berada pada kategori berat yaitu 10 pasien (55,6%) kelompok perlakuan dan 10 pasien (55,6%) pada kelompok kontrol.

Berdasarkan lamanya merokok dan jumlah rokok yang dihisap perhari dapat ditentukan derajat merokok dengan menggunakan indeks Brinkman. Derajat merokok menurut Indeks Brinkman adalah hasil perkalian antara lama merokok dengan rata-rata jumlah rokok yang dihisap perhari. Jika hasilnya kurang dari 200 dikatakan perokok ringan, jika hasilnya antara 200 – 599 dikatakan perokok sedang dan jika hasilnya lebih dari 600 dikatakan perokok berat. Semakin lama seseorang merokok dan semakin banyak rokok yang dihisap perhari, maka derajat merokok akan semakin berat (Amelia, 2016).

Hasil Analisis Bivariat

Pengaruh Kombinasi Latihan Ketahanan Ekstremitas Atas Dan Bawah Terhadap Saturasi Oksigen

Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Pengaruh Latihan Ketahanan Ekstremitas Atas Dan Bawah Terhadap Saturasi Oksigen Pasien Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil (n=36)

Kelompok Perlakuan Nilai Saturasi Mean ± SD

P Value Sebelum Sesudah

Kelompok Kontrol 91,38 ± 2,25 90,22 ± 0,51 0,030*

Kelompok Perlakuan 92,06 ± 2,88 95,72 ± 2,32 0,001*

Pada tabel 4.2 menunjukkan nilai mean ± SD saturasi oksigen sebelum latihan kombinasi pada kelompok kontrol didapat nilai yaitu 91,38 ± 2,25, sementara sesudah dilakukan latihan kombinasi pada kelompok perlakuan nilai saturasi oksigen menjadi 90,22 ± 0,51. Sedangkan pada kelompok perlakuan nilai mean ± SD saturasi oksigen sebelum latihan kombinasi pada kelompok didapat nilai yaitu 92,06 ± 2,88 sementara sesudah dilakukan latihan kombinasi pada kelompok perlakuan nilai saturasi oksigen menjadi 95,72 ± 2,32. Kemudian dilakukan uji statistik menggunakan mann whitney didapatkan nilai p pada kelompok kontrol sebesar 0,030. Dengan demikian, terdapat nilai saturasi oksigen yang tidak signifikan sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol yaitu dari 1,72 menjadi 1,16. Sedangkan uji statistik menggunakan mann whitney didapatkan nilai p pada kelompok perlakuan sebesar 0,0001 Dengan demikian, terdapat nilai saturasi oksigen yang signifikan sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol yaitu dari 92,06 menjadi 95,72.

Hasil penelitian diatas sejalan dengan teori yang ada yaitu frekuensi pernaasan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil disebabkan oleh faktor kerja mekanisme dari otot-otot pernapasan, peningkatan tahanan dinding dada, kurangnya asupan oksigen kedalam tubuh gangguan pertukaran gas, hambatan pada jalan nafas dan kelemahan dari otot-otot pernapasan. Penyebab-penyebab tersebut dapat diatasi dengan melakukan aktivitas atau latihan dengan mengupayakan peningkatan aktivitas saraf eferen inspirasi pada otot diafragma, peningkatan reflek kemoresptor dari abnormalitas proses ventilasi (Perfusi) alveolar dan desaturasi oksgen, upaya-upaya tersebut dapat mengatasi sensasi rasa kekurangan udara dan dispnea pada saat melakukan aktivitas latihan ketahanan atas dan bawah. Peregangan

otot tubuh bagian atas juga mampu mengoptimalkan fungsi neuromekanik dari otot pernapasan yang menurun pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil . Adanya peregangan pada otot tubuh bagian atas disertai dengan latihan pernapasan diafragma dapat membantu menurunkan dispnea pada saat beraktivitas sehingga meningkatkan kapasitas latihan dan ketahanan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil (Rosyadi, I. 2019).

Pengaruh Latihan Ketahanan Ekstremitas Bawah Dan Atas Terhadap Distribusi Frekuensi Penapasan Pada Pasien Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil Berdasarkan Nilai Inspeksi (Pengelihatan)

Tabel 4.3. Distribusi frekuensi Penapasan Pada Pasien Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil Berdasarkan Inspeksi (Pengelihatan) (n=36)

Kelompok

Tabel 4.3 menunjukkan distribusi Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil pada kelompok kontrol memiliki jumlah pasien terbanyak pada derajat frekuensi pernapasan dengan nilai 3 (29-32 x/menit) dan derajat frekuensi pernapasan dengan nilai 4 (33-35 x/menit) sedangkan

pernapasan dengan nilai 2 (25-28 x/menit), hal ini menunjukkan bahwa latihan ekstremitas atas dan bawah mampu menurunkan derajat frekuensi pernapasan berdasarkan perhitungan frekuensi pernapasan yang kita lakukan secara inspeksi.

Frekuensi pernapasan yang dilakukan secara inspeksi pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dengan kelompok kontrol diamati setelah pasien melakukan latihan gerakan-gerakan pada prosedur latihan.

Frekuensi pernapasan merupakan masalah utama pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dan sebagai alasan penderita mencari pengobatan.

Frekuensi pernapasan bersifat persisten serta progresif dan juga sebagai penyebab ketidakmampuan penderita untuk melakukan aktivitas. Frekuensi pernapasan harus dievaluasi secara rutin pada setiap penderita atau pasien pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil. Frekuensi pernapasan biasanya dinilai dengan menghitung fungsi paru dengan cara spirometri, namun untuk menilai derajat frekuensi pernapasan pada penderita dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dapat juga digunakan atau langsung mengukur dan menilai respiratory rate (RR) yang dialami oleh pasien, pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil tersebut.

Penelitian di Libanon menyatakan bahwa derajat frekuensi pernapasan penderita atau pasien dengan pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil menurut pengukuran frekuensi pernapasan dengan menghitung secara bermakna berhubungan dengan nilai volume ekspirasi 5,6,7 paksa detik pertama (Anwar, D. 2012).

Lisboa dkk melakukan penelitian pada 20 pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dengan melakukan latihan pernafasan selama 30 menit selama 10 minggu mendapatkan hasil dapat mengurangi frekuensi pernapasan

dibandingkan kontrol (Lisboa., et. all. 1994). Sanchez-Riera dkk melakukan penelitian pada 20 pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dengan melakukan latihan pernafasan selama 15 menit 2x sehari selama 24 minggu didapati hasil perbaikan dalam sesak nafas tapi tidak signifikan bermakna dibandingkan kontrol (Sanchez, et. all. 2001). Harver dkk melakukan penelitan pada 20 pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dengan melakukan latihan pernafasan 15 menit 2x sehari selama 8 minggu didapati hasil perbaikan dalam sesak nafas dan berbeda bermakna dibandingkan kontrol (Harver et. all. 1989).

Ortega dkk melakukan latihan pernafasan untuk melihat manfaat strength, endurance training. Strength training adalah latihan dengan berbagai cara untuk menguatkan otot-otot pernafasan sedangkan endurance adalah latihan yang menetap pada satu cara tertentu. Kombinasi dari manfaat tersebut akan memperbaiki ventilasi, mengurangi volume akhir ekspirasi dan sesak nafas (Ortega et. all. 2002).

Mota dkk melakukan penelitian latihan pernafasan pada 16 pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dalam waktu yang singkat (5 minggu) di dapati hasil tidak ada perubahan dalam faal paru diantara dua kelompok, peningkatan uji jalan 6 menit sebesar 13% pada kelompok perlakuan dan tidak ada perubahan dalam kelompok kontrol dan pengurangan derajat frekuensi pernapasan pada kelompok perlakuan (3±1 vs 2±1, p < 0,01). tetapi tidak pada kelompok kontrol (2±2 vs 2±1). Menurut Mota dkk latihan pernafasan dapat mengurangi frekuensi pernapasan karena dapat mengurangi hiperinflasi melalui 2 cara, yaitu memodifikasi keseimbangan antara paru dan dinding dada (meningkatkan otot inspirasi dan

dada) dan meningkatkan aktivitas otot ekspirasi untuk mengkompensasi aktivitas otot inspirasi (Mota. et. all. 2007).

Pembahasan Penelitian

Pada pembahasan ini, penulis menguraikan interpretasi dan pembahasan hasil penelitian serta menganalisa pengaruh pengaruh kombinasi latihan ketahanan ekstremitas atas dan bawah terhadap frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen pasien penyakit paru obstruktif kronik stabil yang dilakukan di Ruang Rawat Jalan (Poli Paru) RS USU Medan pada bulan Februari – Maret 2020 selama kurang lebih 4 minggu.

Karakteristik Responden

Data hasil karakteristik responden yang terdapat dalam penelitian ini terdiri dari jenis kelamin dan umur dari pada Pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil.

Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pasen dengan jenis kelamin penderita laki-laki pada pasien PPOK lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu sebesar 94,44% pada kelompok perlakuan dan 83,33% pada kelompok kontrol. Hal ini terjadi karena kebanyakan dari pasien laki-laki memiliki kebiasaan merokok.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit kronik yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara yang terus menerus, bersifat progresif, dan

tidak sepenuhnya reversibel yang berhubungan dengan respon inflamasi terhadap partikel atau gas yang merusak (Yovi, I. 2015).

Asap rokok merupakan penyebab utama yang paling sering ditemukan kegiatan merokok yang terus menerus dan berlangsung lama dengan asap rokok dapat menyebabkan gangguan dan perubahan mukosa jalan napas, 75% kasus bronkitis kronik dan emfisema diakibatkan oleh asap rokok sehingga 45% perokok berisiko untuk terkena PPOK. Hubungan antara merokok dengan PPOK adalah hubungan dose response, semakin banyak batang rokok yang di hisap setiap hari dan semakin lama kebiasaan merokok, maka risiko untuk terkena PPOK akan lebih besar pula, bronkoalveolar perokok menunjukkan bahwa rokok adalah penyebab PPOK yang sangat berkontribusi terhadap morbidity dan mortality dimana ditemukannya peningkatan jumlah makrofag dan neutrofil lebih tinggi pada perokok dibanding bukan perokok. Pada perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru yang dapat menyebabkan batuk, hipersekresi mukus, sumbatan saluran pernapasan dan berisiko tinggi untuk menderita PPOK. Risiko ini tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari,

Asap rokok merupakan penyebab utama yang paling sering ditemukan kegiatan merokok yang terus menerus dan berlangsung lama dengan asap rokok dapat menyebabkan gangguan dan perubahan mukosa jalan napas, 75% kasus bronkitis kronik dan emfisema diakibatkan oleh asap rokok sehingga 45% perokok berisiko untuk terkena PPOK. Hubungan antara merokok dengan PPOK adalah hubungan dose response, semakin banyak batang rokok yang di hisap setiap hari dan semakin lama kebiasaan merokok, maka risiko untuk terkena PPOK akan lebih besar pula, bronkoalveolar perokok menunjukkan bahwa rokok adalah penyebab PPOK yang sangat berkontribusi terhadap morbidity dan mortality dimana ditemukannya peningkatan jumlah makrofag dan neutrofil lebih tinggi pada perokok dibanding bukan perokok. Pada perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru yang dapat menyebabkan batuk, hipersekresi mukus, sumbatan saluran pernapasan dan berisiko tinggi untuk menderita PPOK. Risiko ini tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari,

Dokumen terkait