• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Oleh: HIZKIANTA SEMBIRING / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. Oleh: HIZKIANTA SEMBIRING / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KOMBINASI LATIHAN KETAHANAN EKSTREMITAS ATAS DAN BAWAH TERHADAP FREKUENSI PERNAPASAN DAN

SATURASI OKSIGEN PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL

TESIS

Oleh:

HIZKIANTA SEMBIRING

177046007 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

PENGARUH KOMBINASI LATIHAN KETAHANAN EKSTREMITAS ATAS DAN BAWAH TERHADAP FREKUENSI PERNAPASAN DAN

SATURASI OKSIGEN PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) Dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah Pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HIZKIANTA SEMBIRING

177046007/ KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)
(4)
(5)
(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Data Diri

Nama : Hizkianta Sembiring

Tempat/Tanggal Lahir : Delitua, 29 Agustus 1993 Agama Kristen : Kristen Protestan

Anak : 3 dari 4 bersaudara

Alamat : Desa Suka Mulia Hulu,Kec Namo Rambe

No. HP : 085360847051

E-Mail : hizkiantasembiring@gmail.com

II. Data Orang Tua

Nama Ayah : Alm. Jemat Sembiring Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Kristen Protestan

Nama Ibu : Dk,Malem Ukur Br Ginting Pekerjaan : Bertani

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Desa Suka Mulia Hulu,Kec Namo Rambe III PENDIDIKAN

1999 - 2005 : SD Negeri 101803 Namo Pinang 2005 - 2008 : SMP Negeri 1 Namo Rambe 2008 - 2011 : SMA Swasta YAPIM Namo Rambe

2011 - 2015 : S1 Keperawatan di Institut Kesehatan Deli Husada Deli Tua

2015 - 2016 : Ners Profesi di Institut Kesehatan Deli Husada Deli Tua

2017 - 2020 : Sedang menyelesaikan Program Magister Keperawatan (Keperawatan Medikal Bedah) di Universitas Sumatera Utara

IV. PENDIDKAN NON VERBAL

2018 : Mengikuti Pelatihan BTCLS di HIPGABI

2019 : Mengikuti Pelatihan Woumd Care Clinician Associate Program

2019 : Mengikuti Pelatihan Interprestasi Dasar EKG di RSUP HAM Medan

V. RIWAYAT PEKERJAAN

Oktober - November 2016 : Perawat Pelaksana di RS Grandmad Lubuk Pakam 2017 – Sekarang : Sebagai Asdos di Institut Kesehatan Deli Husada

(7)

Judul Tesis : Pengaruh Kombinasi Latihan Ketahanan Ekstremitas Atas Dan Bawah Terhadap Frekuensi Penapasan Dan Saturasi Oksigen Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil

Nama Mahasiswa : Hizkianta Sembiring Nomor Induk Mahasiswa : 177046007

Program Studi : Magister Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2020

PENGARUH KOMBINASI LATIHAN KETAHANAN EKSTREMITAS ATAS DAN BAWAH TERHADAP FREKUENSI PENAPASAN DAN

SATURASI OKSIGEN PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL

ABSTRAK

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronis yang ditandai oleh terjadinya obstruksi atau hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversible atau reversible parsial. Penelitian ini menggunakan pendekatan desain penelitian quasi eksperimental two group pretest posttest. Metode Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel consecutive sampling.

Pengumpulan data penelitian menggunakan instrumen pemeriksaan saturasi oksigen dengan alat pulse oxsimetry dan mMRC/Inspeksi nilai normal respiratory rate. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif, paired t test dan independent t test. Hasil penelitian menunjukkan pasien jenis kelamin laki-laki memiliki jumlah penderita terbanyak yaitu 94,44% pada kelompok perlakuan dan 83,33% pada kelompok kontrol, Sebanyak 44,44% pada kelompok perlakuan berumur 71-80 tahun dan 55,56% pada kelompok kontrol berumur 61-70 tahun, skala mMRC didapatkan terbanyak pada nilai mMRC 1. Frekuensi penderita gangguan faal paru pada obstruksi pada kategori sedang sebanyak 55,6% pada kelompok perlakuan dan 66,67% pada kelompok kontrol. Restriksi pada kategori sedang sebanyak 55,6% pada kelompok perlakuan dan 11 pasien 61,11% pada kelompok kontrol dan nilai Indeks Brinkman terbanyak pada kategori berat 55,6% pada kelompok perlakuan dan 72,22% pada kelompok kontrol. Frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen pada pasien didapat nilai yaitu 91,38 ± 2,25, lalu mengalami penurunan nilai saturasi oksigen selama waktu tertentu menjadi 90,22 ± 0,51. Sedangkan pada kelompok perlakuan yaitu 92,06 ± 2,88 sementara sesudah dilakukan latihan menjadi 95,72 ± 2,32. Kesimpulan dari penelitian adalah terdapat pengaruh pengaruh kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil.

Kata kunci: Latihan gerakan ekstremitas atas dan bawah, frekuensi penapasan dan saturasi oksigen, penyakit paru obstruktif kronik stabil

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal tesis ini.

Selama melakukan penulisan proposal tesis ini. Penulis banyak memproleh bantuan moril dan materi dari berbagai pihak, oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

3. Dewi Elizadiani Suza, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara 4. Dr. dr Amira P Tarigan., M.Ked.,Sp.P (K) selaku Pembimbing I yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, motivasi dan mengarahkan dengan penuh kesabaran kepada penulis selama penyusunan proposal tesis ini.

5. Asrizal, S.Kp., Ns., M.Kep selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, motivasi dan mengarahkan dengan penuh kesabaran kepada penulis selama penyusunan proposal tesis ini.

(10)

6. Orang tua penulis dan keluarga, terkhusus Ibu Malem Ukur Br. Ginting dan alm. Ayah Jemat Sembiring yang telah memberikan dukungan, perhatian dan mendoakan penulis selama penyusunan proposal tesis ini.

7. Teman-teman Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Angkatan 2017 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberi dorongan untuk menyusun proposal tesis ini.

Penulis menyadarai proposal tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga proposal tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan keberkahan untuk kita semua.

Medan,……. November 2020 Penulis,

Hizkianta Sembiring

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SKEMA ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 6

Tujuan Penelitian ... 7

Hipotesis ... 8

Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10

Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ... 10

Definisi PPOK ... 10

Etiologi PPOK ... 11

Patofisiologi PPOK ... 13

Manifestasi Klinis ... 14

Diagnosis PPOK ... 15

Klasifikasi Derajat PPOK ... 17

Komplikasi ... 18

Penatalaksanaan Umum PPOK ... 19

PPOK Stabil ... 21

Disfungsi otot pada penderita PPOK ... 23

(12)

Latihan fisik pada penderita PPOK ... 28

Jenis Latihan Fisik ... 29

Pemeliharaan latihan ... 30

Latihan Tubuh Bagian Atas ... 31

Latihan Tubuh Bagian Bawah ... 33

Saturasi Respirasi Oksigen ... 34

Pengukuran Saturasi Oksigen ... 35

Landasan Teori ... 36

Framework Konsep Teori Adaptasi ... 43

Alur Penelitian ... 46

Kerangka Konseptual Penelitian ... 47

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 48

Jenis Penelitian ... 48

Waktu dan Tempat Penelitian ... 50

Populasi dan Sampel ... 50

Populasi ... 50

Sampel ... 51

Metode Pengumpulan Data ... 52

Tahap Persiapan ... 53

Tahap Pelaksanaaan ... 53

Variabel dan Definisi Operasional ... 56

Variabel Bebas (Independen) ... 57

Variabel Terikat (Dependen) ... 57

Metode Pengukuran ... 58

Instrumen Penelitian ... 59

Validitas ... 59

Reabilitas ... 60

Metode Analisis Data ... 60

(13)

Pengolahan Data ... 60

Analisis Data ... 61

Analisis Univariat ... 61

Analisis Bivariat ... 61

Analisis Multivariat ... 62

Pertimbangan Etik ... 62

Asas Manfaat (beneficience) ... 63

Bebas dari Kerugian dan Ketidaknyamanan ... 63

Bebas dari Eksploitasi ... 63

Asas Menghargai Hak Asasi Manusia (respect for human dignity) .. 63

Hak Untuk Memperoleh Informasi (the right to full disclosure) ... 64

Asas Keadilan (Justice)... 64

Hak Untuk Mendapatkan Privasi (the right to privacy) ... 65

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 66

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 66

Hasil Analisa Univariat ... 69

Karakteristik responden ... 69

Pembahasan ... 69

Karakteristik responden ... 76

Jenis Kelamin ... 77

Umur ... 70

Riwayat Merokok ... 71

Nilai Mmrc ... 72

Hasil Faal Paru ... 73

Indeks Brinkman ... 75

Hasil Analisa Bivariat ... 76

Terhadap Saturasi Oksigen ... 76

Terhadap Frekuensi Penapasan ... 78

(14)

Pembahasan Penelitin ... 81

Jenis Kelamin ... 81

Umur ... 83

Riwayat Merokok ... 86

Skala Mmrc ... 88

Faal Paru ... 89

Indeks Brinkman ... 90

Pengaruh Kombinasi Latihan Terhadap Saturasi Oksigen ... 92

Pengaruh Kombinasi Latihan Terhadap Pernapasan ... 94

Keterbatasan Penilitian ... 97

Implikasi Penelitian ... 98

Terhadap Pendidikan Keperawatan ... 98

Terhadap Pelayanan Keperawatan ... 98

Terhadap Peneliti Keperawatan ... 99

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

Kesimpulan ... 100

Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA . ... 104

(15)

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 2.1 Manusia Sebagai Sistem Adaptif ... 43 Gambar 3.1 Bagan Rencana Penelitian ... 49

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel

Tabel 2.1 Derajat Skala Sesak Napas ... 17 Tabel 3.1 Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 57 Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden PPOK Stabil

Berdasarkan Karakteristik Responden Pada Kelompok Perlakuan Dan Kontrol (N = 36). ... 69 Tabel 4.2 Hasil Pengamatan Pengaruh Latihan Ketahanan Ekstremitas

Atas Dan Bawah Terhadap Saturasi Oksigen Pasien Dengan Penyakit Obstruktif Kronik Stabil (n=36) ... 77 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pernapasan Pada Pasien Dengan Penyakit

Paru Obstruktif Kronik Stabil Berdasarkan Derajat Nilai Inspeksi (N = 36). ... 79

(17)

DAFTAR SKEMA

Hal Skema 2.1 Kerangka Konseptual ... 47 Skema 3.1 Diagram Alur Penelitian... 56

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lampiran Tentang Penelitian penelitian Lampiran 2 Lampiran Lembar Persetujuan

Lampiran 3 Lembar Observasi Frekuensi Pernapasan Dan Saturasi Oksigen Lampiran 4 Standar Prosedur Operasional

Lampiran 5 Lembar Observasi Ektremitas Atas Dan Bawah Lampiran 6 Master Data Hasil Penelitian

Lampiran 7 Hasil Uji Statistik Penelitian

Lampiran 8 Dokumentasi Penelitian di Rumah Sakit USU Medan

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini polusi udara merupakan masalah yang mempengaruhi kesehatan pernapasan secara global, berdasarkan hasil penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah salah satu dari jenis penyakit pernapasan yang menyebabkan mortalitas dan morbiditas di seluruh dunia. PPOK ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang progresif dan tidak dapat disembuhkan dan umumnya disebabkan oleh paparan partikel berbahaya atau gas yang menyebabkan abnormalitas jalan napas atau alveolar, umunnya pasien PPOK memiliki masalah seperti ketidakaktifan fisik, masalah psikologis, penyakit kardivaskular dan kangker paru-paru. Organisasi kesehatan dunia World Health Organization memprediksikan bahwa morbiditas dan jumlah kematian akibat PPOK akan terus meningkat pada beberapa decade berikunya sehingga menjadi yang ketiga penyebab utama kematian di seluruh dunia (Zhang, 2018)

PPOK akut ditandai dengan memburuknya gejala pernapasan dibandingkan dengan pernapasan yang normal sehari-hari sehingga membutuhkan terapi, penyakit PPOK dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien, mempercepat progresivitas dan meningkatkan resiko kematian, angka kematian pasien PPOK yang tercatat di rumah sakit umumnya berkisar antara 4%-30% (Megasari, 2019).

Rehabilitasi penyakit paru akan mempengaruhi program latihan yang akan dirancang untuk meningkatkan kondisi fisik dan psikologis pasien penyakit

(20)

pernapasan kronis, penggunaan alat terapi adalah kondisi terbanyak yang dipraktikan dalam program rehabilitasi penyakit PPOK dimana telah terbukti memberikan peningkatan signifikan dalam kapasitas fungsional terhadap gejala dispnea (Kaushal, 2019).

Organisasi kesehatan dunia World Health Organization menyatakan bahwa dari 3 juta orang atau 5% dari populasi manusia secara global meninggal karena terjangkit penyakit PPOK, lebih dari 90% manusia yang meninggal disebabkan oleh penyakit PPOK terjadi di beberapa negara rendah seperti Afrika, Liberia, Nigeria, Ethiopia, Malawi dan Congo (Nurmalasari. 2018). Di Indonesia pravelensi pengidap penyakit PPOK sendiri menempati peringkat ke-6 dari 10 Penyebab penyakit mematikan di Indonesia, dengan jumlah kematian sebesar 3,7%. Penyebab kematian tersebut meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan cenderung pada penderita berjenis kelamin laki-laki dengan jumlah kematian sebesar 4,2% sedangkan perempuan sebesar 3,3% (Putri, 2018). PPOK merupakan penyakit yang berada pada peringkat pertama pada kelompok penyakit paru dengan angka kesakitan tertinggi yaitu 35% (Eriza, 2018).

Pada negara maju seperti Amerika Serikat Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan penyebab utama kematian ketiga di tahun 2013, dan lebih dari 11 juta orang telah didiagnosis dengan ppok (Febriani, 2019). Manino dkk. menyatakan pada usia 25-75 tahun, diperkirakan terdapat 6,9% menderita PPOK derajat ringan dan 6,6% derajat sedang sampai berat di Amerika Serikat (Andayani, 2019), sedangkan negara berkembang di kawasan asia tenggara, seperti di Negara Vietnam prevelensi

(21)

Prevelensi PPOK di Indonesia tertinggi terdapat di daerah Nusa Tenggara Timur dengan penderita sebanyak 10%, penderita tertinggi selanjutnya terdapat pada daerah Sulawesi Tengah dengan jumlah penderita sebesar 8% lalu Sulawesi Barat 6,7%, Sulawesi Selatan 6,7% Jawa Timur 3,6% dan Sumatera Utara 3,6%. (Rikesda, 2013), di sumatera utara khususnya kota medan tercatat pada tahun 2015 pasien dengan penyakit PPOK yang di rawat di RSU H. Adam Malik sebanyak 170 pasien (Julike, 2019).

Penyakit paru obstruktif kronik dapat berdampak luas jika ditanggani secara tidak benar, beberapa masalah yang sering dialami pasien PPOK antara lain sesak napas, batuk dan peningkatan produksi sputum. Sesak napas terjadi karena penyempitan saluran pernapasan yang mengakibatkan minimnya suplai oksigen ke dalam paru-paru (Widiyanto, 2009). Pada pasien PPOK dampak yang akan muncul antara lain hipoksemia dan hiperkapnia akibat ketidaksesuaian ventilasi perfusi dan keterbatasan difusi. Hipoksemia terjadi akibat dari beragam cara oksigen dan karbondioksida berikatan dengan hemoglobin (Loscalzo, 2014), Sehingga suplai oksigen terganggu, darah dalam arteri kekurangan oksigen dan terjadi penurunan saturasi oksigen.

Sesak napas adalah sensasi yang dirasakan akibat ketidaknyamanan penderita akibat kesulitan bernapas dimana pasien digambarkan dengan reaksi perasaan tidak mendapatkan cukup udara pada proses bernapas (Indra, 2017).. Pemberian obat secara inhalasi bertujuan untuk relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan modulasi pelepasan mediator dari sel mast (PDPI, 2018).

(22)

Gangguan pada fungsi otot pada PPOK bersifat heterogen dimana kekuatan dan daya tahan ekstremitas atas lebih terjaga dari pada ekstremitas bawah. Otot ekstremitas bawah pada pasien PPOK juga menunjukkan kerentanan yang lebih besar terhadap kelelahan bila dibandingkan dengan individu yang sehat pada umur yang sama. Disfungsi otot ekstremitas dapat dicegah dan diperbaiki secara menyeluruh maupun sebagian dengan latihan fisik (Maltais, et al., 2014). Beberapa literature menunjukkan adanya usaha untuk mencari pendekatan yang efektif untuk memperbaiki fungsi otot. Program rehabilitasi paru telah dikembangkan dan diimplementasikan pada pasien PPOK dengan tujuan utama meningkatkan toleransi aktivitas dan memperbaiki kualitas kehidupan. Rehabilitasi paru adalah pendekatan individualistik, komprehensif dan multidisiplin yang meliputi latihan fisik, edukasi, dukungan psikososial dan intervensi nutrisi dalam rangka meningkatkan penanganan penyakit, minimalisir beban gejala, optimalisasi status fungsional dan meningkatkan partisispasi dalam aktivitas sehari-hari (Neyberg, 2016).

Latihan pernapasan dirancang dan dijalankan untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola aktifitas otot-otot pernafasan yang tidak berguna, tidak terkoordinasi, melambatkan frekuensi pernafasan, serta mengurangi udara yang terperangkap. Latihan yang teratur juga akan mengakibatkan meningkatnya aktifitas beta adrenergik saluran pernafasan yang menyebabkan terjadinya dilatasi bronkus dan menghambat sekresi mukus, sehingga paru dapat memasukkan dan mengeluarkan udara dengan lebih baik (Surya, 2014).

(23)

Organisasi Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) merekomendasikan latihan menggunakan tes berjalan 6 menit (6MWT). 6MWT adalah metode latihan pernapasan yang sederhana dan murah namun bermanfaat dalam kapasitas latihan fungsional dan secara progresif diidentifikasikan sebagai bagian penting dalam rehabilitasi paru dimana pasien PPOK sering mengeluh kelelahan yang ekstrim dan dispnea selama aktivitas latihan bagian atas tubuh, dimana bagian atas anggota tubuh dapat meningkatkan hiperinflasi paru dan kapasitas fungsional residual (Ozsoy et. al., 2018).

Selain itu terdapat juga beberapa latihan rehabilitasi yang dapat mempengaruhi perbaikan paru dan ventilasi pada pasien PPOK diantaranya tekhnik nafas dalam, latihan pernapasan diafragmatik, latihan rekondisi (aerobic dan yoga), latihan posisi tubuh, endurance exercise (ergocycle dan treadmil) dan terapi fisik dada (GOLD, 2017). Dalam praktek klinis, tehnik tersebut dapat memperbaiki pengembangan paru, mencegah kelelahan otot pernapasan dan mengurangi kerja nafas. Namun tehnik ini membutuhkan instruktur dan dianggap repot dalam pelaksanaannya terutama latihan rekondasi, latihan posisi tubuh endurance exercise (ergocycle dan treadmil) dan terapi fisik dada (GOLD, 2017). Sesak napas dan kelelahan otot merupakan gejala yang umum terjadi pada pasien sehat dengan keterbatasan latihan dan pada pasien dengan gangguan pernapasan. Kelelahan otot merupakan faktor yang menyebabkan keterbatasan latihan pada pasien sehat dan pada pasien dengan gangguan jantung-paru. Pemeriksaan kuantitatif pada kedua gejala diatas dapat diperiksa dengan skala kategori seperti Borg.

(24)

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan,maka peneliti ingin meneliti apakah terdapat pengaruh kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil di RS USU Medan.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah adalah:

1. Bagaimana pengaruh tindakan kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil yang menjalani program rehabilitasi medik.

2. Bagaimana pengaruh tindakan kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap saturasi oksigen yang diukur dengan pulse oksimetri pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil yang menjalani program rehabilitasi medik.

3. Bagaimana pengaruh tindakan kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap frekuensi pernapasan yang diukur dengan menghitung respiratory rate dengan cara menginspeksi pernapasan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil yang menjalani program rehabilitasi medik.

4. Bagaimana pengaruh tindakan kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap kualitas hidup yang diukur dengan CAT pada pasien dengan

(25)

Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil yang menjalani program rehabilitasi medik.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil yang menjalani program rehabilitasi medik.

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik pasien berdasarkan demografi dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil yang menjalani program rehabilitasi medik

2. Untuk melihat saturasi oksigen pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil yang menjalani program rehabilitasi medik dan latihan kombinasi atas dan bawah.

3. Untuk melihat pengaruh tindakan kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap saturasi oksigen pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil.

4. Untuk melihat pengaruh tindakan kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap frekuensi pernapasan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil yang menjalani program rehabilitasi medik di RS USU Medan.

(26)

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan kalimat. Jika data yang diperoleh tidak didasarkan pada fakta empiris dan tidak ada jawaban yang relavan maka teori tersebut masih dikatakan sebagai jawaban sementara meskipin didasarkan pada pengumpulan data (Sugiyono, 2015).

Berdasarkan tinjauan pustakan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Ada pengaruh tindakan kombinasi ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen pada Pasien Dengan Penyakit Obstruktif Kronik Stabil yang menjalani program rehabilitasi medik.

2. Terdapat pengaruh tindakan kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap saturasi oksigen yang diukur dengan pulse oksimetri pada Pasien Dengan Penyakit Obstruktif Kronik Stabil yang menjalani program rehabilitasi medik.

3. Terdapat perbedaan derajat pengaruh pengaruh tindakan kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap frekuensi pernapasan yang diukur dengan menghitung respiratory rate dengan cara menginspeksi pernapasan pada Pasien Dengan Penyakit Obstruktif Kronik Stabil yang menjalani program rehabilitasi medik.

4. Terdapat derajat pengaruh pengaruh tindakan kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap kualitas hidup yang diukur dengan lembar

(27)

observasi pada Pasien Dengan Penyakit Obstruktif Kronik Stabil yang menjalani program rehabilitasi medik.

Manfaat Penelitian

Pelayanan Keperawatan

Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pelayanan keperawatan agar dapat mengaplikasikan pengaturan kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil yang menjalani program rehabilitasi medik.

Pasien PPOK

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pasien tentang mempertahankan frekuensi dan saturasi oksigen dengan cara memberikan pengetahuan tentang kombinasi latihan ketahanan ekstemitas atas dan bawah serta mengaplikasikan langsung latihan kekuatan dan ketahanan ekstremitas atas dan bawah.

Peneliti Keperawatan

Diharapkan penelitian ini dapat menambah referensi dan memperkaya penelitian tentang pemberian kombinasi latihan kekuatan dan ketahanan ekstemitas atas dan bawah terhadap frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen pada pasien dengan Dengan Penyakit Obstruktif Kronik Stabil.

Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pustaka untuk diselidiki oleh peneliti masa depan sehingga variabel yang berhubungan dengan

(28)

PPOK dapat diperluas lagi dengan kondisi yang dialami oleh penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil.

(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Definisi PPOK

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah penyakit paru kronis yang ditandai oleh terjadinya obstruksi atau hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversible atau reversible parsial. PPOK meliputi bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik yaitu suatu kelainan saluran pernapasan yang digejalai oleh batuk berdahak yang kronik selama minimal 3 bulan selama setahun, minimal 2 tahun berturut-turut dan gejala tersebut bukan disebabkan oleh penyakit lain.

Sedangkan emfisema adalah pelebaran jalan udara bagian distal dari bronkiolus terminal dan disertai dengan kerusakan pada dinding alveoli (PDPI, 2011).

Gejala PPOK mencakup sesak, batuk kronik, dan produksi sputum kronik.

Sesak bersifat progresif, memberat dengan latihan serta persisten merupakan gejala utama dan hal ini menjadi penyebab kecemasan dan ketidakmampuan penderita dalam beraktivitas sehari hari. Pada tahun 2010 sebanyak 384 juta orang atau sekitar 11,7% penduduk dunia merupakan penderita PPOK dengan angka kematian mencapai tiga juta orang tiap tahunnya (GOLD, 2017). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyebutkan bahwa pada tahun 2015, sedikitnya 4,5 – 5,5 % penduduk Indonesia merupakan penderita PPOK, dan angka ini bisa meningkat mencapai 7,2% di daerah pedesaan (PDPI, 2016). World Health Organization

(30)

(WHO) sendiri menyebutkan bahwa PPOK pada tahun 2013 tercatat sebagai penyebab kematian tertinggi ketujuh di Indonesia, dan diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan menduduki urutan ketiga sebagai penyebab kematian diseluruh dunia (GOLD, 2017).

PPOK sebagian besar disebabkan merokok dan mungkin terlihat pada pasien yang berusia diatas 35 tahun, perokok pasif, polusi udara, paparan bahan kimia industri, alergen, cuaca dan defisiensi enzim α-antitrypsin yang mengakibatkan munculnya tanda dan gejala termasuk sesak saat beraktifitas, batuk kronis, produksi sekret yang menetap, wheezing, barrel-shaped chest dan kehilangan berat badan (Black J. M. 2014).

Etilogi PPOK

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru obstuktif kronik (PPOK) yang paling beresiko menurut Russi et al.,(2013) adalah :

1. Kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Di seluruh dunia, faktor risiko yang paling umum untuk COPD merupakan asap tembakau. Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun, dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian (Kemenkes RI, 2017).

(31)

2. Faktor Pejamu (Host)

Faktor pejamu (host) meliputi usia, genetik, hiper responsif jalan napas (akibat pajanan asap rokok atau polusi) dan pertumbuhan paru (masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak, penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru) (Kemenkes RI, 2017).

3. Jenis Kelamin

Faktor risiko jenis kelamin sebenarnya belum diketahui secara pasti kaitannya dengan PPOK. Penelitian yang dilakukan Suradi dengan total responden 65 dan rata- rata usia 67 tahun didapatkan hasil responden dengan jenis kelamin laki-laki 46 responden dan perempuan 19 responden. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih berisiko terkena PPOK dari pada perempuan (Suradi, 2012).

4. Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi dianggap sebagai faktor yang meningkatkan risiko PPOK. Hal ini berkaitan dengan kemiskinan karena pemenuhan status gizi, kepadatan pemukiman, paparan polusi, akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, dan infeksi (GOLD, 2015). Malnutrisi dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan massa otot dan kekuatan serabut otot. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah (PDPI, 2011).

5. Status Pekerjaan

Status pekerjaan adalah jenis pekerjaan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha/kegiatan. Seseorang yang memiliki masalah kesehatan disfungsi

(32)

paru akan semakin berisiko untuk menderita penyakit PPOK jika terpapar debu berbahaya dalam melakukan pekerjaanya (Suparyanto, 2010).

6. Faktor Lingkungan (Polusi Udara)

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) dan polusi diluar ruangan (outdoor). Polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan fungsi tubuh, termasuk gangguan faal paru. Polusi udara juga dapat meningkatkan kejadian asma bronkial dalam masyarakat (Kemenkes RI, 2008).

7. Riwayat Penyakit Saluran Pernapasan

Seseorang yang pernah menderita penyakit saluran pernapasan sebelumnya (asma, bronkhitis, dan emfisema) dapat menjadi faktor risiko timbulnya PPOK (GOLD, 2015). Pada penderita PPOK sering ditemukan penyakit emfisema dan bronkhitis meskipun kedua penyakit ini merupakan dua proses penyakit yang berbeda (Fitriana, 2015).

8. Infeksi

Infeksi (virus dan bakteri) dapat berkontribusi pada patogenesis dan perkembangan PPOK serta peradangan pada saluran napas. Infeksi pernapasan sebelumnya pada masa anak-anak berkaitan dengan berkurangnya fungsi paru-paru dan meningkatkan gejala pernapasan di masa dewasa. Diagnosis infeksi berat meningkat pada anak-anak yang memiliki hiperesponsif jalan napas, hal tersebut dianggap sebagai faktor risiko untuk PPOK. Kerentanan yang disebabkan infeksi virus mungkin terkait dengan PPOK (GOLD, 2015).

(33)

Patofisiologi PPOK

Telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang khas. Tingkat peradangan, fibrosis dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil berkorelasi dengan penurunan VEP1

dan rasio VEP1/KVP. Penurunan VEP1 merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi, sementara transfer gas menurun terjadi akibat kerusakan parenkim paru pada emfisema (Fitriana, 2015).

Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan yang terlihat sebagai sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya sesak napas pada aktivitas (Fitriana, 2015).

Manifestasi Klinis

Gejala antara lain batuk, produksi sputum, sesak napas, dan keterbatasan aktivitas. Ketidakmampuan beraktivitas pada pasien PPOK terjadi bukan hanya akibat dari adanya kelainan obstruksi saluran napas pada parunya saja tetapi juga akibat pengaruh beberapa faktor, salah satunya adalah penurunan fungsi otot skeletal.

Adanya disfungsi otot skeletal dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup penderita karena akan membatasi kapasitas latihan dari pasien PPOK. Penurunan aktivitas pada kehidupan sehari hari akibat sesak napas yang dialami pasien PPOK akan mengakibatkan makin memperburuk kondisi tubuhnya (Khotimah, 2013).

(34)

Menurut Hatice (2011) menilai gambaran klinis pada klien PPOK harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan; (b) Perkembangan gejala bersifat progresif lambat; (c) Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam dan luar ruangan serta tempat kerja); (d) Sesak pada saat melakukan aktivitas; (e) Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal).

Diagnosis PPOK

Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri, dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK klinis.

Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, dan PPOK berat) (Kemenkes RI, 2008). Diagnosis PPOK klinis ditegakkan apabila:

1. Anamnesis (Kemenkes RI, 2008)

Ada faktor risiko (Usia pertengahan), riwayat pajanan, asap rokok, polusi udara dan polusi tempat kerja. Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi.

Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan:1) Batuk Kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. 2) Berdahak Kronik yaitu kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. 3) Sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas.

(35)

Anamnesis harus dilakukan dengan teliti dapat menggunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak.

Tabel 2.1. Skala Sesak

Sumber : Kemenkes, RI (2008).

2. Pemeriksaan Fisik (Kemenkes RI, 2008)

Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOKringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umumpada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:1) Inspeksi bentuk dada:

barrel chest (dada seperti tong ), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup), hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas, pelebaran sela iga. 2) Perkusi pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah. 3) Auskultasi fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, dan mengi.

3. Pemeriksaan penunjang (Kemenkes RI, 2008)

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain: 1) Radiologi (foto toraks), 2) Spirometri, 3) Laboratorium darah rutin (timbulnya

No Skala

Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas 1 0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

2 1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat 3 2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

4 3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit 5 4 Sesak bila mandi atau berpakaian

(36)

polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik), 4) Analisis gas darah, 5) Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi).

Meskipun hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosispenyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.

Klasifikasi (Derajat) PPOK

Menurut GOLD (2017) penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sebagai berikut:

1. Derajat Ringan (Grade I)

Gejala klinis : a). dengan atau tanpa batuk ; b). dengan atau tanpa produksi sputum ; c). sesak napas derajat sesak 1. Spirometri:VEP1 ≥80% prediksi (normal spirometri).

2. Derajat Sedang (Grade II)

Gejala klinis: a). dengan atau tanpa batuk ; b). dengan atau tanpa produksi sputum ; c). sesak napas : derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).

Spirometri: 50% ≤ VEP1 < 80% prediksi.

3. Derajat Berat (Grade III)

Gejala klinis: a). sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik

; b). eksaserbasi lebih sering terjadi ; c). disertai komplikasi korpulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri: 30%≤ VEP1< 50% prediksi.

4. Derajat Sangat Berat (Grade IV)

(37)

Gejala klinis: a). sesak napas derajat sesak 5 dengan gagal napas kronik ; b).

eksaserbasi lebih sering terjadi dan c). disertai komplikasi korpulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri: 30% <VEP1 prediksi.

Komplikasi (PDPI, 2011) 1. Gagal napas

Gagal napas dibagai menjadi dua, yaitu:1) Gagal napas kronik. Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 >60mmHg, dan pH normal. 2) Gagal napas akut pada gagal napas kronik. Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh:a.

Sesak napas dengan atau tanpa sianosis, b. Sputum bertambah dan purulen, c. demam dan kesadaran menurun.

2. Infeksi Berulang

Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.

Penatalaksanaan Umum PPOK (PDPI, 2011) Penatalaksanaan Secara Umum PPOK, yaitu:

1. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. PPOK adalah penyakit kronik yang irreversibel dan progresif. Inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi

(38)

paru. Tujuan edukasi pada pasien PPOK:1) Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan, 2) Melaksanakan pengobatan yang maksimal, 3) Mencapai aktivitas optimal, 4) Meningkatkan kualitas hidup. Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan dapat ditentukan skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut :

1). Berhenti Merokok

Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan.

2). Pengunaan Obat – obatan

Macam obat dan jenisnya, cara penggunaannya yang benar (oral atau nebuliser), waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selang waktu tertentu atau kalau perlu saja) dan dosis obat yang tepat dan efek sampingnya.

3). Penggunaan Oksigen

Kapan oksigen harus digunakan, berapa dosisnya, mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen, mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen.

4). Penilaian Dini Eksaserbasi Akut dan Pengelolaannya.

Tanda eksaserbasi: Batuk atau sesak bertambah, Sputum bertambah dan Sputum berubah warna.

5). Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

6). Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas

(39)

2. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. Manfaat oksigen adalah: 1) Mengurangi sesak, 2) Memperbaiki aktivitas, 3) Mengurangi hipertensi pulmonal, 4) Mengurangi vasokonstriksi, 5) Mengurangi hematokrit, 6) Memperbaiki fungsi neuro psikiatri, 7) Meningkatkan kualitas hidup.

Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen diatas 90%.

3. Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah. Malnutrisi dapat dievaluasi dengan:1) Penurunan berat badan, 2) Kadar albumin darah, 3) Antropometri, 4) Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatanotot pipi), 5) Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia).

(40)

Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxygen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.

4. Rehabilitasi

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan kedalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai: gejala pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat, dan kualitas hidup yang menurun.

5. Psikososial

Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat diberikan obat.

6. Latihan Pernapasan Pengaturan Posisi Tubuh

Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas.

Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga

(41)

PPOK Stabil

Tujuan dari penatalaksanaan PPOK Stabil adalah untuk mempertahankan fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup, mencegah eksaserbasi akut terhadap pasien PPOK. Dikatakan PPOK stabil bila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik

2. Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PCO2

3. Dahak jernih tidak berwarna. > 60 mmHg.  Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri).

4. Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan.  Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.

Tujuan terapi untuk PPOK Stabil adalah : A. Mengurangi gejala

1. Meredakan gejala

2. Meningkatkan toleransi terhadap latihan 3. Meningkatkan status kesehatan

B. Mengurangi Resiko.

1. Mencegah progresivitas penyakit 2. Mencegah eksaserbasi

3. Mengurangi Mortalitas

(42)

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil. Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun oleh keluarganya. Tujuan penatalaksanaan di rumah :

a. Menjaga PPOK tetap stabil

b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini

d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik

f. Meningkatkan kualiti hidup

Disfungsi otot pada penderita PPOK

Struktur dan fungsi otot pada penderita PPOK sering tidak normal. Pada penderita PPOK dapat terjadi disfungsi otot pernapasan. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa disfungsi otot dapat mengurangi kualitas hidup terkait kesehatan dan harapan hidup penderita PPOK. Disfungsi otot adalah keadaan dimana terjadi gangguan pada daya tahan (endurance) dan kekuatan (strength) otot skeletal sehingga fungsi fisiologis otot tersebut terganggu. Disfungsi otot terbagi 2 terminologi yaitu lelah (fatiqe) dan lemah (weakness). Fatige sifatnya sementara dan akan kembali pulih fungsinya dalam waktu tertentu, sedangkan weakness lebih permanen atau menetap dan istirahat tidak akan mempengaruhi fungsinya. Disfungsi otot pada penderita PPOK terjadi pada otot-otot respirasi di bagian toraks dan perifer (Gea

(43)

Joaquim, 2016). Disfungsi otot sebagian besar terjadi pada quadriceps, khususnya vastus lateralis dan sebagian otot bagian distal

ekstremitas bawah(Maltais et al., 2014).

Disfungsi otot ekstremitas atas akan menyebabkan gangguan koordinasi gerak seperti menggenggam, sedangkan disfungsi otot pada ekstremitas bawah akan menyebabkan penderita mengalami keterbatasan gerak atau mobilisasi yang nantinya menimbulkan persepsi bagi penderita bahwa ia tidak mampu lagi beraktivitas (Gea, 2015). Terdapat beberapa faktor sistemik yang terlibat pada kejadian disfungsi otot pada PPOK diantaranya:

1. Inflamasi

Aktivitas inflamasi dapat dianggap sebagai faktor sistemik maupun local karena aktivitasnya dijumpai pada berbagai jaringan yang berbeda pada pasien PPOK. Saat ini diyakini bahwa rokok dan/atau polutan melintasi alveolus menuju kapiler dan segera menyebar ke dalam sirkulasi sistemik yang akan melibatkan organ berbeda diluar paru, peneliti lain menyatakan bahwa proses inflamasi awal yang diinduksi oleh faktor pencetus pada saluran napas, parenkim paru, dan pembuluh darah paru yang kemudian akan mengalami penyebaran ke sirkulasi sistemik (teori spill-over) akan tetapi berbagai penelitian menyangkal teori ini (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

Secara umum, telah diterima bahwa inflamasi sistemik kronik dan aktivitas inflamasi multi-lokal yang mengikutinya merupakan kontributor yang signifikan terhadap disfungsi otot yang terjadi pada PPOK. Berbagai penelitian membuktikan hal ini dengan ditemukannya peningkatan kadar C-reactive Protein (CRP),

(44)

fibrinogen, berbagai sitokin pro inflamasi, dan abnormalitas dari sel darah putih di sirkulasi (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015, Maltais, et al., 2014).

2. Stress Oksidatif dan Nitrosatif

Spesies oksigen reaktif (ROS), sebuah hasil dari metabolisme oksigen, dan nitrit oksida (NO) umum dijumpai pada otot rangka. Selain itu, kadar ROS yang menengah yang dihasilkan oleh jalur respirasi mitokondria dan beberapa enzim mikrosom dibutuhkan untuk ikatan eksitasi-kontraksi dan kontraksi otot yang sesuai.

Hal yang serupa juga terjadi pada NO yang memiliki peranan dalam diferensiasi mioblas, metabolisme karbohidrat, regulasi aliran darah ke otot, dan mekanisme elektromekanis otot (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015).

Bila terjadi peningkatan dalam produksi reaktan oksigen atau nitrogen dan/atau sel scavenger tidak mampu menyeimbangkannya, maka akan terjadi stress oksidatifdan nitrosatif. Hal ini akan menyebabkan kerusakan struktural pada protein, lipid, dan DNA. Yang lebih menarik adalah produksi radikal bebas dimodulasi oleh berbagai faktor termasuk adanya mediator inflamasi, aliran darah, dan tingkat aktivitas (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

Stress akibat radikal bebas diyakini terlibat dalam patogenesis PPOK. Selain itu, seperti pada inflamasi, stress oksidatif dan nitrosatif terjadi hingga mencakup sistem organ lainnya. Derajat stress oksidatif pada otot pernapasan berhubungan langsung dengan beban mekanis yang harus dihadapi otot. Otot ekstremitas bawah cenderung menunjukkan kondisi stress yang melebihi otot pernapasan dan gangguan

(45)

kinase dan carbonic anhydrase (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

3. Penurunan Kondisi (Deconditioning)

Penurunan kondisi otot merupakan akibat dari penurunan aktivitas fisik dan merupakan kondisi yang umum dijumpai pada pasien PPOK dikarenakan hambatan ventilasi yang terjadi yang menyebabkan gaya hidup yang tidak aktif dan terjadi depresi. Terdapat bukti yang menunjukkan terjadinya penurunan kondisi otot akibat berbagai perubahan struktural dan biokimiawi serupa dengan yang terjadi ketika penurunan kondisi otot ini diakibatkan oleh kurangnya penggunaan otot. Meskipun begitu, disfungsi otot pada pasien PPOK juga dijumpai pada otot lengan meskipun terus digunakan sehari-hari dan tidak kembali pulih sepenuhnya meskipun telah dilakukan latihan fisik. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan kondisi otot bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi disfungsi otot pada pasien PPOK (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

4. Abnormalitas Nutrisi

Abnormalitas nutrisi diekspresikan sebagai penurunan berat badan dan komposisi tubuh juga sering dijumpai pada pasien PPOK. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan parameter nutrisi yang digunakan saat ini dikarenakan berhubungan dengan jelas terhadap angka harapan hidup pasien PPOK. (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

Malnutrisi yang berhubungan dengan PPOK dapat menyebabkan penurunan massa otot, perubahan proporsi dan ukuran serat otot dan disfugsi otot. Kondisi ini telah dihubungkan dengan beberapa faktor termasuk diantaranya inflamasi sistemik,

(46)

penurunan asupan makanan (mungkin dikarenakan perubahan metabolisme leptin) dan peningkatan beban metabolik dikarenakan adanya peningkatan usaha bernapas (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

5. Gangguan Pertukaran Gas

Ketidakcocokan ventilasi-perfusi yang terdapat pada pasien PPOK sering menyebabkan hipoksia kronik dengan ataupun tanpa adanya hiperkapnea. Selain itu, disfungsi otot pernapasan juga berkontribusi terhadap abnormalitas pertukaran gas melalui adanya hipoventilasi. Hipoksia akan menyebabkan penurunan kekuatan dan daya tahan otot sehingga menyebabkan keterbatasan aktivitas (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015) Kerusakan fungsi otot ini dapat dijelaskan melalui induksi dari inflamasi sistemik, stress oksidatif dan apoptosis, ketidakseimbangan sintesa dan katabolisme protein (proteostasis), hambatan jalur aerob, dan gangguan regenerasi otot (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, &

Barreiro, 2015) 6. Merokok

Perokok, meskipun asimptomatis, dapat menyebabkan kelelahan dan penurunan daya tahan otot. Hal ini dapat dijelaskan melalui efek anoreksik dari tembakau, yang dapat menurunkan massa otot serta menyebabkan inflamasi, stress oksidatif, ketidakseimbangan sintesa protein, degradasi otot, dan blockade transmisi neuromuskular (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

7. Obat-obatan

Beberapa obat, seperti steroid sistemik memiliki efek yang buruk terhadap

(47)

PPOK. Steroid dapat menginduksi miopati akut dan kronik, bahkan pada dosis rendah, obat ini dapat menyebabkan miopati kronik (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

8. Penurunan Hormon Anabolik

Kadar testosterone plasma, yang merupakan hormon steroid yang memiliki efek anabolik yang penting seperti meningkatkan sintesa protein otot, dan pada pasien PPOK hormon ini mengalami penurunan. Abnormalitas yang terjadi ini kemungkinan disebabkan oleh efek rokok, hipoksia, dan terapi obat-obatan (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

9. Latihan Fisik

Latihan fisik merupakan faktor yang penting untuk performa otot tetapi latihan sebaiknya tetap dilakukan dalam batasan fisiologis. Ketika latihan terlalu berat, maka akan terjadi disregulasi metabolik, inflamasi sistemik dan stress oksidatif, kerusakan otot dan terhambatnya ekspresi gen yang diperlukan untuk pemeliharaan massa otot. Pada latihan fisik, tidak hanya intensitas dari latihan yang memiliki dampak terhadap otot tetapi juga waktu latihan terhadap respon otot pada pasien PPOK (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015).

Latihan fisik pada penderita PPOK

Latihan fisik didefinisikan sebagai pergerakan tubuh yang diproduksi oleh otot rangka yang menyebabkan terpakainya energi. Aktifitas fisik dikehidupan sehari- hari dapat dikategorikan kedalam pekerjaan, olahraga dan aktifitas sehari-hari.

Latihan adalah bagian dari aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur dan berulang

(48)

dan memiliki tujuan akhir perbaikan atau mempertahankan kebugaran fisik (Spruit, et al., 2016)

Pada umumnya prinsip latihan fisik pada individu dengan PPOK tidak berbeda dengan individu yang sehat ataupun atlet. Agar latihan fisik menjadi lebih efektif, beban latihan total harus merefleksikan kebutuhan spesifik individu, harus melebihi beban yang dijumpai pada aktivitas sehari-hari untuk memperbaiki kapasitas aerob dan kekuatan otot, dan harus progresif agar terjadi perbaikan. Berbagai model latihan akan dibutuhkan untuk terjadi perbaikan dalam ketahanan kardiorespirasi, kekuatan dan atau fleksibilitas (Spruit, et al., 2013).

American Thoracic Society dan European Respiratory Society (ATS/ERS) pada tahun 2006 menyatakan bahwa rehabilitasi respirasi adalah intervensi multidisiplin dan komprehensif yang telah terbukti efektif berdasarkan evidence- based medicine nya untuk penderita PPOK (Marciniuk et al, 2010). Program yang mencakup rehabilitasi paru meliputi edukasi pasien dan keluarga, fisioterapi dada, latihan, dukungan emosional dan nutrisi. Terapi latihan merupakan terapi pilihan yang berpengaruh terhadap masalah disfungsi otot ekstremitas (GOLD, 2017).

American College of Sport Medicine (ACSM) menganjurkan latihan penguatan ekstremitas 2-3x dalam 1 minggu, latihan dilakukan 60-80% dari repetisi maksimum, terdiri dari 8-10 latihan yang melibatkan otot besar utama dengan 8-15 repetisi. Peningkatan kekuatan otot dapat dicapai dengan latihan penguatan yang dilakukan tersendiri atau kombinasi dengan latihan aerobic (Chen, 2014). Penderita PPOK akan mengurangi aktivitas fisik harian mereka untk menghindari

(49)

penurunan fungsionalnya. Intoleransi terhadap latihan melibatkan banyak hal, namun mekanisme yang dianggap berperan antara lain:

a. Pengurangan kegiatan sehari-hari yang menyebabkan deconditioning otot.

b. Gangguan pertukaran gas,hipoksemia arteri sistemik dan aliran oksigen tidak memadai sehingga oksigenasi jaringan tidak cukup.

c. Metabolisme yang buruk akibat dari gizi buruk dan sebagai akibat deplesi energi fosfat dalam otot rangka (Carone. M, 2007).

Jenis latihan fisik

Kekuatan otot dan daya tahan meningkat pada otot yang dilatih. Dengan demikian, baik tungkai atas dan tungkai bawah dianjurkan untuk dilatih. Pelatihan tungkai bawah meliputi treadmill, cycle ergometri dan berjalan di koridor (corridor walking). Berbagai penelitian telah melaporkan peningkatan puncak kapasitas latihan, jarak berjalan dan daya tahan. Banyak pasien PPOK memiliki kesulitan dalam melakukan kegiatan yang melibatkan penggunaan tungkai atas. Pelatihan tungkai atas meliputi ergometri, melempar dan angkat beban. Sama seperti latihan otot tungkai bawah, ketahanan dan kekuatan otot juga meningkat dengan latihan otot tungkai atas ( Carone. Et. all., 1997)

Pemeliharaan latihan

Pasien dengan PPOK berat yang diindikasikan untuk pemeriksaan spirometri, biasanya menunjukkan desaturasi oksigen selama beraktifitas. Hal ini merupakan hasil dari rendahnya tekanan oksigen darah vena diikuti dengan rendahnya ventilasi

(50)

perfusi dan hipoventilasi. Pada pasien PPOK derajat ringan pasien mungkin mengalami dispnea saat beraktivitas berat dan akan menurun seiring dengan usia.

Pada pasien derajat sedang dan berat umumnya mengalami kesulitan melakukan tugas sehari-hari, rekreasi olahraga, hobi, dan perawatan diri. Dispnea, kelelahan kaki, dan ketidaknyamanan adalah gejala utama yang membatasi latihan, dan pasien biasanya membatasi kegiatan mereka untuk menghindari ketidaknyamanan.

Ketidakmampuan beraktifitaspun berlanjut hingga meningkatkan suatu upaya pernapasan sesuai dengan beban yang diberikan. Akhirnya, pasien menjadi semakin terisolasi dan memilih tinggal di rumah, yang dapat berkembang menjadi depresi dan merasa kecemasan. Beberapa faktor berkontribusi untuk intoleransi terhadap latihan pasien PPOK. Yang penting, adalah sedapat mungkin meningkatkan toleransi latihan dari pasien PPOK, disamping penurunan fungsi paru yang permanen. Optimalisasi terapi medis, penggunaan strategi pernapasan seperti pursed-lips breathing dan terapi oksigen, manajemen cemas, pernapasan dalam dan lambat, dan intervensi gizi sangatlah bermanfaat. (Chiappini, et. all. 1998)

Program latihan telah terbukti secara meyakinkan dapat meningkatkan toleransi latihan pada pasien PPOK melebihi keuntungan yang didapat dengan mengoptimalkan terapi medis. Harus dicatat bahwa banyak uji klinis menunjukkan manfaat dari latihan telah dilakukan dalam konteks program rehabilitasi paru (PR) yang komprehensif. Intoleransi terhadap latihan umumnya terjadi pada pasien PPOK dan dibutuhkan kesesuaian dalam kegiatan sehari-hari yang akhirnya berhubungan dengan kualitas hidup (Jensen, 1998).

(51)

Latihan Tubuh Bagian Atas

Dalam keseharian penderita PPOK, ekstremitas atas banyak dilibatkan dalam aktivitasnya. Latihan tubuh bagian atas adalah program wajib dalam rehabilitasi paru, dimana program ini menunjukkan hasil yang baik dalam peningkatan kualitas hidup dan aktivitas harian si penderita. Latihan tubuh bagian atas terdiri dari latihan daya tahan atau endurance (dengan arm ergometri atau peregangan lengan atas tanpa alat) dan latihan kekuatan atau strength. Latihan tubuh baian atas berperan dalam membantu mengurangi beban mekanis diafragma pada saat bernapas. Selain itu latihan ini juga dapat meningkatkan kapasitas fungsional (Rochester, 2003).

Pasien dengan PPOK mengalami beban metabolik dan sesak napas yang relatif lebih tinggi dan sering selama melakukan kegiatan harian dibandingkan dengan orang yang sehat. Saat beraktivitas yang melibatkan lengan harus di elevasikan, maka akan melibatkan otot inspirasi yaitu otot trapezius (Kenneth, 2014).

Gerakan pernapasan dengan mulut mencucu/pursed-lips breathing dan pernafasan diafragma/diaphragmatic breathing merupakan teknik sederhana dari gerakan tubuh bagian bawah untuk mengoptimalkan fungsi ventilasi pada saat istirahat dan latihan pada penderita PPOK. Gerakan lain untuk tubuh bagian atas seperti mengangkat beban, aerobik dan arm ergometry juga dapat di lakukan sebagai latihan untuk tubuh bagaian atas. ATS juga merekomendasikan bahwa olahraga tubuh bagian atas sebaiknya dilakukan rutin dalam program rehabilitasi paru. Untuk latihan tubuh atas ini belum ada konsensus yang menyatakan latihan apa yang tepat yang di berikan dan belum dinyatakan juga alat spesifik apa yang digunakan, namun hanya

(52)

disebutkan adalah latihan yang rutin untuk dilakukan agar otot pernapasan dan otot ekstremitas bertambah baik (Rochester, 2003).

Latihan pernapasan dengan mulut mencucu juga latihan yang mudah di lakukan untuk tubuh bagian atas untuk mengurangi sesak napas serta meningkatkan kemampuan otot respirasi. Latihan pernapasan ini juga berguna untuk meningkatkan kemampuan latihan bagi penderita PPOK yang mengalami penurunan kemampuan latihan (Gloeckl, 2013).

Latihan kekuatan otot tubuh bagian atas memiliki banyak contoh gerakan, gerakan untuk melatih tubuh dan lengan atas dengan menggunakan beban dan ada yang tidak. Beberapa contohnya adalah gerakan menarik kabel, gerakan mengangkat bahu atau seperti sikap terserah, menarik kabel dari atas kebawah, front raise, upright row, biceps curl, dan triceps extension, gentle chair exercise dan masih banyak lagi latihan lainnya. Prinsipnya latihan ini semua memberikan manfaat yang baik untuk penderita PPOK dan bertujuan untuk melatih semua komponen otot respirasi dan otot tubuh bagian atas (Covey, 2014).

Latihan Tubuh Bagian Bawah

Pada penderita PPOK yang sering mengalami penurunan kekuatan otot adalah otot quadriceps dan merupakan otot yang sering dipelajari untuk meneliti disfungsi otot skeletal pada PPOK. Penurunan kekuatan otot quadriceps pada penderita PPOK mencapai nilai 43 % setelah latihan, diikuti dengan peningkatan rasa lelah pada ekstremitas bawah serta peningkatan kadar laktat pada darah. Pada penderita PPOK

(53)

juga didapati atropi otot quadriceps di bandingkan dengan orang yang sehat (Miranda, 2011).

Berjalan adalah kegiatan yang paling penting dan sering dilakukan penderita PPOK setiap harinya. Latihan dengan sepeda statis atau pun dengan treadmil sama saja prinsipnya dengan berjalan namun sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan penderita PPOK. Latihan berjalan atau bersepeda dapat meningkatkan efektivitas dan kemampuan kapasitas latihan dan kualitas hidup penderita PPOK (Gloeckl, 2013).

Penelitian tentang latihan ektremitas baik berupa latihan ekstremitas bawah maupun ekstremitas atas oleh novianti dkk, menyimpulkan bahwa terjadi peningkatan nilai 6 menit berjalan, nilai VO2 maks, fat –free mass(FFM). Penelitian ini juga menganjurkan latihan ekstremitas atas dan bawah selama 6 minggu pada penderita PPOK sesuai dengan penyebab keterbatasan nya, selain itu mereka mengusulkan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kombinasi latihan atas dan bawah pada penderita PPOK dalam program rehabilitasi paru untuk melihat kaitannya dengan nilai kualitas hidup dan gejala sesak napas (Novianti, 2015).

Saturasi Respirasi Oksigen

Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95 – 100 %. Dalam kedokteran , oksigen saturasi (SO2), sering disebut sebagai "SATS", untuk mengukur persentase oksigen yang diikat oleh hemoglobin di dalam aliran darah. Pada tekanan parsial oksigen yang rendah, sebagian besar hemoglobin terdeoksigenasi, maksudnya adalah

(54)

proses pendistribusian darah beroksigen dari arteri ke jaringan tubuh ( Hidayat, 2007).

Pada sekitar 90% (nilai bervariasi sesuai dengan konteks klinis) saturasi oksigen meningkat menurut kurva disosiasi hemoglobin-oksigen dan pendekatan 100% pada tekanan parsial oksigen> 10 kPa. Saturasi oksigen atau oksigen terlarut (DO) adalah ukuran relatif dari jumlah oksigen yang terlarut atau dibawa dalam media tertentu. Hal ini dapat diukur dengan probe oksigen terlarut seperti sensor oksigen atau optode dalam media cair.

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. Manfaat oksigen adalah: 1) Mengurangi sesak, 2) Memperbaiki aktivitas, 3) Mengurangi hipertensi pulmonal, 4) Mengurangi vasokonstriksi, 5) Mengurangi hematokrit, 6) Memperbaiki fungsi neuro psikiatri, 7) Meningkatkan kualitas hidup. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.

Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen diatas 90%.

Pengukuran Saturasi Oksigen

Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik.

(55)

terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Tarwoto, 2006).

Saturasi oksigen perifer (Sp O2) adalah estimasi dari tingkat kejenuhan oksigen yang biasanya diukur dengan oksimeter pulsa. Pemantauan saturasi O2 yang sering adalah dengan menggunakan oksimetri nadi yang secara luas dinilai sebagai salah satu kemajuan terbesar dalam pemantauan klinis (Giuliano & Higgins, 2005). Untuk pemantauan saturasi O2 yang dilakukan di perinatalogi ( perawatan risiko tinggi ) Rumah Sakit Islam Kendal juga dengan menggunakan oksimetri nadi. Alat ini merupakan metode langsung yang dapat dilakukan di sisi tempat tidur, bersifat sederhana dan non invasive untuk mengukur saturasi O2 arterial (Astowo, 2005 ).

Landasan Teori

Teori keperawatan yang akan diaplikasikan pada penelitian ini adalah teori keperawatan Adaptasi Callista Roy.

Konsep Dasar Teori Adaptasi

Asal mula Model Adaptasi Roy untuk keperawatan mencakup dari sebuah kutipan kerja Harry Helson di psiko-fisik yang meluas pada ilmu sosial dan perilaku (Roy, 1984). Pada Teori Adaptasi Helson, respons adaptif adalah sebagai fungsi dari datangnya stimulus sampai tercapainya derajat adaptasi yang dibutuhkan individu.

Stimulus adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi respons. Stimuli dapat berasal dari internal atau eksternal lingkungan (Roy, 1984). Roy menjelaskan lebih lanjut adaptasi untuk digunakan di abad ke 21. Menurut Roy, model adaptasi mengacu pada proses dan outcome yang mana pikiran dan perasaan manusia sebagai

Referensi

Dokumen terkait

Judul Tesis : Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Nama Mahasiswa

10) Mahasiswa yang tidak membawa laporan asuhan keperawatan pada saat post conference atau laporan tidak lengkap sesuai ketentuan yang berlaku maka

membuat laporan resume kasus sebelumnya. 3) Mahasiswa wajib menyusun Laporan akhir/ Laporan Asuhan Keperawatan pada setiap ruangan dengan minimal 3 hari perawatan, jika

Paru – paru merupakan alat pernapasan paling utama sekaligus salah satu organ terpenting bagi manusia. Letak paru – paru ada di dalam rongga dada. Lebih tepatnya di

Setelah melaksanakan Program Praktek Belajar Klinik ini mahasiswa diharapkan dapat menerapkan proses keperawatan pada pasien dewasa yang mengalami gangguan pada

Setelah melaksanakan Program Praktek Belajar Klinik ini mahasiswa diharapkan dapat menerapkan proses keperawatan pada pasien dewasa yang mengalami gangguan pada

DAFTAR HADIR BIMBINGAN MAHASISWA SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PRODI SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK-UMJ TAHUN AKADEMIK 2022/2023 Nama : Rinawati NPM : 22090500029

Definisi Leukimia Leukemia adalah kanker dari salah satu jenis sel darah putih di sumsum tulang, yang menyebabkan proliferasi salah satu jenis sel darah putih dengan menyingkirkan