• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latihan Pernapasan Pengaturan Posisi Tubuh

TINJAUAN PUSTAKA

6. Latihan Pernapasan Pengaturan Posisi Tubuh

Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas.

Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga

PPOK Stabil

Tujuan dari penatalaksanaan PPOK Stabil adalah untuk mempertahankan fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup, mencegah eksaserbasi akut terhadap pasien PPOK. Dikatakan PPOK stabil bila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik

2. Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PCO2

3. Dahak jernih tidak berwarna. > 60 mmHg.  Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri).

4. Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan.  Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.

Tujuan terapi untuk PPOK Stabil adalah : A. Mengurangi gejala

1. Meredakan gejala

2. Meningkatkan toleransi terhadap latihan 3. Meningkatkan status kesehatan

B. Mengurangi Resiko.

1. Mencegah progresivitas penyakit 2. Mencegah eksaserbasi

3. Mengurangi Mortalitas

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil. Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun oleh keluarganya. Tujuan penatalaksanaan di rumah :

a. Menjaga PPOK tetap stabil

b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini

d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik

f. Meningkatkan kualiti hidup

Disfungsi otot pada penderita PPOK

Struktur dan fungsi otot pada penderita PPOK sering tidak normal. Pada penderita PPOK dapat terjadi disfungsi otot pernapasan. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa disfungsi otot dapat mengurangi kualitas hidup terkait kesehatan dan harapan hidup penderita PPOK. Disfungsi otot adalah keadaan dimana terjadi gangguan pada daya tahan (endurance) dan kekuatan (strength) otot skeletal sehingga fungsi fisiologis otot tersebut terganggu. Disfungsi otot terbagi 2 terminologi yaitu lelah (fatiqe) dan lemah (weakness). Fatige sifatnya sementara dan akan kembali pulih fungsinya dalam waktu tertentu, sedangkan weakness lebih permanen atau menetap dan istirahat tidak akan mempengaruhi fungsinya. Disfungsi otot pada penderita PPOK terjadi pada otot-otot respirasi di bagian toraks dan perifer (Gea

Joaquim, 2016). Disfungsi otot sebagian besar terjadi pada quadriceps, khususnya vastus lateralis dan sebagian otot bagian distal

ekstremitas bawah(Maltais et al., 2014).

Disfungsi otot ekstremitas atas akan menyebabkan gangguan koordinasi gerak seperti menggenggam, sedangkan disfungsi otot pada ekstremitas bawah akan menyebabkan penderita mengalami keterbatasan gerak atau mobilisasi yang nantinya menimbulkan persepsi bagi penderita bahwa ia tidak mampu lagi beraktivitas (Gea, 2015). Terdapat beberapa faktor sistemik yang terlibat pada kejadian disfungsi otot pada PPOK diantaranya:

1. Inflamasi

Aktivitas inflamasi dapat dianggap sebagai faktor sistemik maupun local karena aktivitasnya dijumpai pada berbagai jaringan yang berbeda pada pasien PPOK. Saat ini diyakini bahwa rokok dan/atau polutan melintasi alveolus menuju kapiler dan segera menyebar ke dalam sirkulasi sistemik yang akan melibatkan organ berbeda diluar paru, peneliti lain menyatakan bahwa proses inflamasi awal yang diinduksi oleh faktor pencetus pada saluran napas, parenkim paru, dan pembuluh darah paru yang kemudian akan mengalami penyebaran ke sirkulasi sistemik (teori spill-over) akan tetapi berbagai penelitian menyangkal teori ini (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

Secara umum, telah diterima bahwa inflamasi sistemik kronik dan aktivitas inflamasi multi-lokal yang mengikutinya merupakan kontributor yang signifikan terhadap disfungsi otot yang terjadi pada PPOK. Berbagai penelitian membuktikan hal ini dengan ditemukannya peningkatan kadar C-reactive Protein (CRP),

fibrinogen, berbagai sitokin pro inflamasi, dan abnormalitas dari sel darah putih di sirkulasi (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015, Maltais, et al., 2014).

2. Stress Oksidatif dan Nitrosatif

Spesies oksigen reaktif (ROS), sebuah hasil dari metabolisme oksigen, dan nitrit oksida (NO) umum dijumpai pada otot rangka. Selain itu, kadar ROS yang menengah yang dihasilkan oleh jalur respirasi mitokondria dan beberapa enzim mikrosom dibutuhkan untuk ikatan eksitasi-kontraksi dan kontraksi otot yang sesuai.

Hal yang serupa juga terjadi pada NO yang memiliki peranan dalam diferensiasi mioblas, metabolisme karbohidrat, regulasi aliran darah ke otot, dan mekanisme elektromekanis otot (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015).

Bila terjadi peningkatan dalam produksi reaktan oksigen atau nitrogen dan/atau sel scavenger tidak mampu menyeimbangkannya, maka akan terjadi stress oksidatifdan nitrosatif. Hal ini akan menyebabkan kerusakan struktural pada protein, lipid, dan DNA. Yang lebih menarik adalah produksi radikal bebas dimodulasi oleh berbagai faktor termasuk adanya mediator inflamasi, aliran darah, dan tingkat aktivitas (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

Stress akibat radikal bebas diyakini terlibat dalam patogenesis PPOK. Selain itu, seperti pada inflamasi, stress oksidatif dan nitrosatif terjadi hingga mencakup sistem organ lainnya. Derajat stress oksidatif pada otot pernapasan berhubungan langsung dengan beban mekanis yang harus dihadapi otot. Otot ekstremitas bawah cenderung menunjukkan kondisi stress yang melebihi otot pernapasan dan gangguan

kinase dan carbonic anhydrase (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

3. Penurunan Kondisi (Deconditioning)

Penurunan kondisi otot merupakan akibat dari penurunan aktivitas fisik dan merupakan kondisi yang umum dijumpai pada pasien PPOK dikarenakan hambatan ventilasi yang terjadi yang menyebabkan gaya hidup yang tidak aktif dan terjadi depresi. Terdapat bukti yang menunjukkan terjadinya penurunan kondisi otot akibat berbagai perubahan struktural dan biokimiawi serupa dengan yang terjadi ketika penurunan kondisi otot ini diakibatkan oleh kurangnya penggunaan otot. Meskipun begitu, disfungsi otot pada pasien PPOK juga dijumpai pada otot lengan meskipun terus digunakan sehari-hari dan tidak kembali pulih sepenuhnya meskipun telah dilakukan latihan fisik. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan kondisi otot bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi disfungsi otot pada pasien PPOK (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

4. Abnormalitas Nutrisi

Abnormalitas nutrisi diekspresikan sebagai penurunan berat badan dan komposisi tubuh juga sering dijumpai pada pasien PPOK. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan parameter nutrisi yang digunakan saat ini dikarenakan berhubungan dengan jelas terhadap angka harapan hidup pasien PPOK. (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

Malnutrisi yang berhubungan dengan PPOK dapat menyebabkan penurunan massa otot, perubahan proporsi dan ukuran serat otot dan disfugsi otot. Kondisi ini telah dihubungkan dengan beberapa faktor termasuk diantaranya inflamasi sistemik,

penurunan asupan makanan (mungkin dikarenakan perubahan metabolisme leptin) dan peningkatan beban metabolik dikarenakan adanya peningkatan usaha bernapas (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

5. Gangguan Pertukaran Gas

Ketidakcocokan ventilasi-perfusi yang terdapat pada pasien PPOK sering menyebabkan hipoksia kronik dengan ataupun tanpa adanya hiperkapnea. Selain itu, disfungsi otot pernapasan juga berkontribusi terhadap abnormalitas pertukaran gas melalui adanya hipoventilasi. Hipoksia akan menyebabkan penurunan kekuatan dan daya tahan otot sehingga menyebabkan keterbatasan aktivitas (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015) Kerusakan fungsi otot ini dapat dijelaskan melalui induksi dari inflamasi sistemik, stress oksidatif dan apoptosis, ketidakseimbangan sintesa dan katabolisme protein (proteostasis), hambatan jalur aerob, dan gangguan regenerasi otot (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, &

Barreiro, 2015) 6. Merokok

Perokok, meskipun asimptomatis, dapat menyebabkan kelelahan dan penurunan daya tahan otot. Hal ini dapat dijelaskan melalui efek anoreksik dari tembakau, yang dapat menurunkan massa otot serta menyebabkan inflamasi, stress oksidatif, ketidakseimbangan sintesa protein, degradasi otot, dan blockade transmisi neuromuskular (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

7. Obat-obatan

Beberapa obat, seperti steroid sistemik memiliki efek yang buruk terhadap

PPOK. Steroid dapat menginduksi miopati akut dan kronik, bahkan pada dosis rendah, obat ini dapat menyebabkan miopati kronik (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

8. Penurunan Hormon Anabolik

Kadar testosterone plasma, yang merupakan hormon steroid yang memiliki efek anabolik yang penting seperti meningkatkan sintesa protein otot, dan pada pasien PPOK hormon ini mengalami penurunan. Abnormalitas yang terjadi ini kemungkinan disebabkan oleh efek rokok, hipoksia, dan terapi obat-obatan (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015)

9. Latihan Fisik

Latihan fisik merupakan faktor yang penting untuk performa otot tetapi latihan sebaiknya tetap dilakukan dalam batasan fisiologis. Ketika latihan terlalu berat, maka akan terjadi disregulasi metabolik, inflamasi sistemik dan stress oksidatif, kerusakan otot dan terhambatnya ekspresi gen yang diperlukan untuk pemeliharaan massa otot. Pada latihan fisik, tidak hanya intensitas dari latihan yang memiliki dampak terhadap otot tetapi juga waktu latihan terhadap respon otot pada pasien PPOK (Gea, Pascual, Casadevall, Orozco-Levi, & Barreiro, 2015).

Latihan fisik pada penderita PPOK

Latihan fisik didefinisikan sebagai pergerakan tubuh yang diproduksi oleh otot rangka yang menyebabkan terpakainya energi. Aktifitas fisik dikehidupan sehari-hari dapat dikategorikan kedalam pekerjaan, olahraga dan aktifitas sesehari-hari-sehari-hari.

Latihan adalah bagian dari aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur dan berulang

dan memiliki tujuan akhir perbaikan atau mempertahankan kebugaran fisik (Spruit, et al., 2016)

Pada umumnya prinsip latihan fisik pada individu dengan PPOK tidak berbeda dengan individu yang sehat ataupun atlet. Agar latihan fisik menjadi lebih efektif, beban latihan total harus merefleksikan kebutuhan spesifik individu, harus melebihi beban yang dijumpai pada aktivitas sehari-hari untuk memperbaiki kapasitas aerob dan kekuatan otot, dan harus progresif agar terjadi perbaikan. Berbagai model latihan akan dibutuhkan untuk terjadi perbaikan dalam ketahanan kardiorespirasi, kekuatan dan atau fleksibilitas (Spruit, et al., 2013).

American Thoracic Society dan European Respiratory Society (ATS/ERS) pada tahun 2006 menyatakan bahwa rehabilitasi respirasi adalah intervensi multidisiplin dan komprehensif yang telah terbukti efektif berdasarkan evidence-based medicine nya untuk penderita PPOK (Marciniuk et al, 2010). Program yang mencakup rehabilitasi paru meliputi edukasi pasien dan keluarga, fisioterapi dada, latihan, dukungan emosional dan nutrisi. Terapi latihan merupakan terapi pilihan yang berpengaruh terhadap masalah disfungsi otot ekstremitas (GOLD, 2017).

American College of Sport Medicine (ACSM) menganjurkan latihan penguatan ekstremitas 2-3x dalam 1 minggu, latihan dilakukan 60-80% dari repetisi maksimum, terdiri dari 8-10 latihan yang melibatkan otot besar utama dengan 8-15 repetisi. Peningkatan kekuatan otot dapat dicapai dengan latihan penguatan yang dilakukan tersendiri atau kombinasi dengan latihan aerobic (Chen, 2014). Penderita PPOK akan mengurangi aktivitas fisik harian mereka untk menghindari

penurunan fungsionalnya. Intoleransi terhadap latihan melibatkan banyak hal, namun mekanisme yang dianggap berperan antara lain:

a. Pengurangan kegiatan sehari-hari yang menyebabkan deconditioning otot.

b. Gangguan pertukaran gas,hipoksemia arteri sistemik dan aliran oksigen tidak memadai sehingga oksigenasi jaringan tidak cukup.

c. Metabolisme yang buruk akibat dari gizi buruk dan sebagai akibat deplesi energi fosfat dalam otot rangka (Carone. M, 2007).

Jenis latihan fisik

Kekuatan otot dan daya tahan meningkat pada otot yang dilatih. Dengan demikian, baik tungkai atas dan tungkai bawah dianjurkan untuk dilatih. Pelatihan tungkai bawah meliputi treadmill, cycle ergometri dan berjalan di koridor (corridor walking). Berbagai penelitian telah melaporkan peningkatan puncak kapasitas latihan, jarak berjalan dan daya tahan. Banyak pasien PPOK memiliki kesulitan dalam melakukan kegiatan yang melibatkan penggunaan tungkai atas. Pelatihan tungkai atas meliputi ergometri, melempar dan angkat beban. Sama seperti latihan otot tungkai bawah, ketahanan dan kekuatan otot juga meningkat dengan latihan otot tungkai atas ( Carone. Et. all., 1997)

Pemeliharaan latihan

Pasien dengan PPOK berat yang diindikasikan untuk pemeriksaan spirometri, biasanya menunjukkan desaturasi oksigen selama beraktifitas. Hal ini merupakan hasil dari rendahnya tekanan oksigen darah vena diikuti dengan rendahnya ventilasi

perfusi dan hipoventilasi. Pada pasien PPOK derajat ringan pasien mungkin mengalami dispnea saat beraktivitas berat dan akan menurun seiring dengan usia.

Pada pasien derajat sedang dan berat umumnya mengalami kesulitan melakukan tugas sehari-hari, rekreasi olahraga, hobi, dan perawatan diri. Dispnea, kelelahan kaki, dan ketidaknyamanan adalah gejala utama yang membatasi latihan, dan pasien biasanya membatasi kegiatan mereka untuk menghindari ketidaknyamanan.

Ketidakmampuan beraktifitaspun berlanjut hingga meningkatkan suatu upaya pernapasan sesuai dengan beban yang diberikan. Akhirnya, pasien menjadi semakin terisolasi dan memilih tinggal di rumah, yang dapat berkembang menjadi depresi dan merasa kecemasan. Beberapa faktor berkontribusi untuk intoleransi terhadap latihan pasien PPOK. Yang penting, adalah sedapat mungkin meningkatkan toleransi latihan dari pasien PPOK, disamping penurunan fungsi paru yang permanen. Optimalisasi terapi medis, penggunaan strategi pernapasan seperti pursed-lips breathing dan terapi oksigen, manajemen cemas, pernapasan dalam dan lambat, dan intervensi gizi sangatlah bermanfaat. (Chiappini, et. all. 1998)

Program latihan telah terbukti secara meyakinkan dapat meningkatkan toleransi latihan pada pasien PPOK melebihi keuntungan yang didapat dengan mengoptimalkan terapi medis. Harus dicatat bahwa banyak uji klinis menunjukkan manfaat dari latihan telah dilakukan dalam konteks program rehabilitasi paru (PR) yang komprehensif. Intoleransi terhadap latihan umumnya terjadi pada pasien PPOK dan dibutuhkan kesesuaian dalam kegiatan sehari-hari yang akhirnya berhubungan dengan kualitas hidup (Jensen, 1998).

Latihan Tubuh Bagian Atas

Dalam keseharian penderita PPOK, ekstremitas atas banyak dilibatkan dalam aktivitasnya. Latihan tubuh bagian atas adalah program wajib dalam rehabilitasi paru, dimana program ini menunjukkan hasil yang baik dalam peningkatan kualitas hidup dan aktivitas harian si penderita. Latihan tubuh bagian atas terdiri dari latihan daya tahan atau endurance (dengan arm ergometri atau peregangan lengan atas tanpa alat) dan latihan kekuatan atau strength. Latihan tubuh baian atas berperan dalam membantu mengurangi beban mekanis diafragma pada saat bernapas. Selain itu latihan ini juga dapat meningkatkan kapasitas fungsional (Rochester, 2003).

Pasien dengan PPOK mengalami beban metabolik dan sesak napas yang relatif lebih tinggi dan sering selama melakukan kegiatan harian dibandingkan dengan orang yang sehat. Saat beraktivitas yang melibatkan lengan harus di elevasikan, maka akan melibatkan otot inspirasi yaitu otot trapezius (Kenneth, 2014).

Gerakan pernapasan dengan mulut mencucu/pursed-lips breathing dan pernafasan diafragma/diaphragmatic breathing merupakan teknik sederhana dari gerakan tubuh bagian bawah untuk mengoptimalkan fungsi ventilasi pada saat istirahat dan latihan pada penderita PPOK. Gerakan lain untuk tubuh bagian atas seperti mengangkat beban, aerobik dan arm ergometry juga dapat di lakukan sebagai latihan untuk tubuh bagaian atas. ATS juga merekomendasikan bahwa olahraga tubuh bagian atas sebaiknya dilakukan rutin dalam program rehabilitasi paru. Untuk latihan tubuh atas ini belum ada konsensus yang menyatakan latihan apa yang tepat yang di berikan dan belum dinyatakan juga alat spesifik apa yang digunakan, namun hanya

disebutkan adalah latihan yang rutin untuk dilakukan agar otot pernapasan dan otot ekstremitas bertambah baik (Rochester, 2003).

Latihan pernapasan dengan mulut mencucu juga latihan yang mudah di lakukan untuk tubuh bagian atas untuk mengurangi sesak napas serta meningkatkan kemampuan otot respirasi. Latihan pernapasan ini juga berguna untuk meningkatkan kemampuan latihan bagi penderita PPOK yang mengalami penurunan kemampuan latihan (Gloeckl, 2013).

Latihan kekuatan otot tubuh bagian atas memiliki banyak contoh gerakan, gerakan untuk melatih tubuh dan lengan atas dengan menggunakan beban dan ada yang tidak. Beberapa contohnya adalah gerakan menarik kabel, gerakan mengangkat bahu atau seperti sikap terserah, menarik kabel dari atas kebawah, front raise, upright row, biceps curl, dan triceps extension, gentle chair exercise dan masih banyak lagi latihan lainnya. Prinsipnya latihan ini semua memberikan manfaat yang baik untuk penderita PPOK dan bertujuan untuk melatih semua komponen otot respirasi dan otot tubuh bagian atas (Covey, 2014).

Latihan Tubuh Bagian Bawah

Pada penderita PPOK yang sering mengalami penurunan kekuatan otot adalah otot quadriceps dan merupakan otot yang sering dipelajari untuk meneliti disfungsi otot skeletal pada PPOK. Penurunan kekuatan otot quadriceps pada penderita PPOK mencapai nilai 43 % setelah latihan, diikuti dengan peningkatan rasa lelah pada ekstremitas bawah serta peningkatan kadar laktat pada darah. Pada penderita PPOK

juga didapati atropi otot quadriceps di bandingkan dengan orang yang sehat (Miranda, 2011).

Berjalan adalah kegiatan yang paling penting dan sering dilakukan penderita PPOK setiap harinya. Latihan dengan sepeda statis atau pun dengan treadmil sama saja prinsipnya dengan berjalan namun sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan penderita PPOK. Latihan berjalan atau bersepeda dapat meningkatkan efektivitas dan kemampuan kapasitas latihan dan kualitas hidup penderita PPOK (Gloeckl, 2013).

Penelitian tentang latihan ektremitas baik berupa latihan ekstremitas bawah maupun ekstremitas atas oleh novianti dkk, menyimpulkan bahwa terjadi peningkatan nilai 6 menit berjalan, nilai VO2 maks, fat –free mass(FFM). Penelitian ini juga menganjurkan latihan ekstremitas atas dan bawah selama 6 minggu pada penderita PPOK sesuai dengan penyebab keterbatasan nya, selain itu mereka mengusulkan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kombinasi latihan atas dan bawah pada penderita PPOK dalam program rehabilitasi paru untuk melihat kaitannya dengan nilai kualitas hidup dan gejala sesak napas (Novianti, 2015).

Saturasi Respirasi Oksigen

Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95 – 100 %. Dalam kedokteran , oksigen saturasi (SO2), sering disebut sebagai "SATS", untuk mengukur persentase oksigen yang diikat oleh hemoglobin di dalam aliran darah. Pada tekanan parsial oksigen yang rendah, sebagian besar hemoglobin terdeoksigenasi, maksudnya adalah

proses pendistribusian darah beroksigen dari arteri ke jaringan tubuh ( Hidayat, 2007).

Pada sekitar 90% (nilai bervariasi sesuai dengan konteks klinis) saturasi oksigen meningkat menurut kurva disosiasi hemoglobin-oksigen dan pendekatan 100% pada tekanan parsial oksigen> 10 kPa. Saturasi oksigen atau oksigen terlarut (DO) adalah ukuran relatif dari jumlah oksigen yang terlarut atau dibawa dalam media tertentu. Hal ini dapat diukur dengan probe oksigen terlarut seperti sensor oksigen atau optode dalam media cair.

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. Manfaat oksigen adalah: 1) Mengurangi sesak, 2) Memperbaiki aktivitas, 3) Mengurangi hipertensi pulmonal, 4) Mengurangi vasokonstriksi, 5) Mengurangi hematokrit, 6) Memperbaiki fungsi neuro psikiatri, 7) Meningkatkan kualitas hidup. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.

Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen diatas 90%.

Pengukuran Saturasi Oksigen

Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik.

terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Tarwoto, 2006).

Saturasi oksigen perifer (Sp O2) adalah estimasi dari tingkat kejenuhan oksigen yang biasanya diukur dengan oksimeter pulsa. Pemantauan saturasi O2 yang sering adalah dengan menggunakan oksimetri nadi yang secara luas dinilai sebagai salah satu kemajuan terbesar dalam pemantauan klinis (Giuliano & Higgins, 2005). Untuk pemantauan saturasi O2 yang dilakukan di perinatalogi ( perawatan risiko tinggi ) Rumah Sakit Islam Kendal juga dengan menggunakan oksimetri nadi. Alat ini merupakan metode langsung yang dapat dilakukan di sisi tempat tidur, bersifat sederhana dan non invasive untuk mengukur saturasi O2 arterial (Astowo, 2005 ).

Landasan Teori

Teori keperawatan yang akan diaplikasikan pada penelitian ini adalah teori keperawatan Adaptasi Callista Roy.

Konsep Dasar Teori Adaptasi

Asal mula Model Adaptasi Roy untuk keperawatan mencakup dari sebuah kutipan kerja Harry Helson di psiko-fisik yang meluas pada ilmu sosial dan perilaku (Roy, 1984). Pada Teori Adaptasi Helson, respons adaptif adalah sebagai fungsi dari datangnya stimulus sampai tercapainya derajat adaptasi yang dibutuhkan individu.

Stimulus adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi respons. Stimuli dapat berasal dari internal atau eksternal lingkungan (Roy, 1984). Roy menjelaskan lebih lanjut adaptasi untuk digunakan di abad ke 21. Menurut Roy, model adaptasi mengacu pada proses dan outcome yang mana pikiran dan perasaan manusia sebagai

individu atau dalam kelompok digunakan sebagai dasar kesadaran dan memilih untuk membuat integrasi manusia dan lingkungan (Roy & Andrews, 1999).

Model adaptasi Roy difokuskan pada konsep adaptasi dari individu. Konsep ini meliputi keperawatan, manusia, sehat dan lingkungan yang semua saling berhubungan satu sama lain. Manusia secara terus menerus mengalami stimulus lingkungan sehingga menimbulkan respons. Respons ini mungkin adalah respons adaptif atau inefektif. Respons adaptif meningkatkan integritas dan membantu manusia mencapai tujuan adaptasi yang mana untuk bertahan hidup, tumbuh, reproduksi, berkuasa, dan perubahan bentuk manusia dan lingkungan. Keperawatan adalah tujuan unik untuk membantu usaha adaptasi manusia oleh manajemen lingkungan. Hasilnya adalah mencapai level optimal dari kesehatan manusia.

Model Roy fokus pada konsep adaptasi dari manusia. Roy memandang ada empat komponen sentral tentang paradigma keperawatan yaitu manusia, lingkungan, kesehatan, dan keperawatan.

1. Keperawatan

Keperawatan adalah ilmu dan praktek yang meningkatkan kemampuan adaptasi individu dengan lingkungannya. Tujuannya adalah meningkatkan adaptasi individu atau kelompok dalam empat adaptasi model yang berkontribusi untuk kesehatan, kualitas hidup dan kematian dengan bermartabat.

Roy mendefinisikan perawat secara luas sebagai profesi pelayanan kesehatan yang fokus pada proses hidup manusia dan menekankan pada promosi kesehatan untuk individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat secara keseluruhan. Secara

kemampuan adaptif dan meningkatkan transformasi manusia dengan lingkungan. Roy mengidentifikasi aktifitas perawat sebagai penilai tingkah laku dan stimuli yang dapat mempengaruhi adaptasi. Dasar proses keperawatan terdiri dari pengkajian dan

kemampuan adaptif dan meningkatkan transformasi manusia dengan lingkungan. Roy mengidentifikasi aktifitas perawat sebagai penilai tingkah laku dan stimuli yang dapat mempengaruhi adaptasi. Dasar proses keperawatan terdiri dari pengkajian dan

Dokumen terkait