Fane (2003) mengemukakan bahwa perubahan di dalam alokasi bantuan pada setiap wilayah (region) tampaknya kurang cepat perubahannya (revolutionary) dibandingkan dengan desentralisasi legislasi tahun 1999 yang
dipertimbangkan karena wilayah yang memiliki sumberdaya yang kaya akan dapat menekan pemerintah untuk memodifikasi (merubah) rumusan fiscal gap
yang diusulkan selama alokasi tujuan umum pemberian bantuan sama bebannya seperti pada status quo. Di samping itu tidak semua pajak didesentralisasi, karena tidak banyak peningkatan penerimaan daerah di dalam otonomi untuk wilayah- wilayah yang memiliki sedikit sumberdaya alam. Ditambah lagi, bahwa prosedur untuk alokasi bantuan tahun 2002 menciptakan insentif untuk pemekaran wilayah (regional fragmentation) dan tidak memperhitungkan kemiskinan pada posisi
yang seharusnya.
Pardede (2004) meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap pembangunan ekonomi di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kota Medan dengan menggunakan model Input-Output. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal menurunkan kapasitas fiskal daerah dalam membiayai pengeluaran rutin daerah. Ratio PAD dan dana bagi hasil terhadap pengeluaran rutin di Kabupaten Tapanuli Utara lebih kecil dibandingkan dengan di Kota Medan. Hal ini mengindikasikan bahwa Kabupaten Tapanuli Utara memiliki ketergantungan yang lebih besar terhadap Pemerintah Pusat dalam membiayai pengeluaran rutin.
Peranan Dana Alokasi Umum (DAU) dalam pembentukan output, pendapatan dan kesempatan kerja di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kota Medan sesudah desentralisasi fiskal semakin besar, mengimplikasikan bahwa bantuan dana Pemerintah Pusat masih dominan dalam pembentukan output, pendapatan dan kesempatan kerja daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal berdampak terhadap menurunnya peranan investasi swasta dibandingkan peranan pengeluaran pembangunan pemerintah di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kota Medan. Peranan investasi swasta lebih besar di Kota Medan dibandingkan di Kabupaten Tapanuli Utara.
Kebijakan desentralisasi fiskal berdampak terhadap meningkatnya perekonomian daerah, tetapi sebaliknya mengakibatkan terjadinya disparitas yang semakin besar antara Kabupaten Tapanuli Utara dan Kota Medan. Hal ini ditunjukkan dari semakin besarnya selisih output per kapita dan pendapatan per kapita di kedua daerah sesudah desentralisasi fiskal.
Peningkatan investasi di Kabupaten Tapanuli Utara untuk sektor gilingan padi, pembersihan dan pengupasan kopi akan berpihak pada output, untuk sektor perkebunan lainnya berpihak pada pendapatan, sedangkan menaikkan investasi untuk sektor infrastruktur berpihak pada penyerapan tenaga kerja. Peningkatan investasi di Kota Medan untuk industri kayu akan berpihak pada output, untuk sektor makanan lainnya berpihak pada pendapatan, sedangkan menaikkan investasi untuk sektor peternakan dan hasil-hasilnya berpihak pada penyerapan tenaga kerja.
Nanga (2006) meneliti tentang dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan model ekonometrika. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa transfer fiskal dalam berbagai bentuknya seperti bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, dan dana alokasi umum, memiliki dampak yang cenderung memperburuk kemiskinan di Indonesia. Hal ini terjadi karena kenaikan berbagai jenis transfer fiskal tersebut memiliki dampak yang cenderung meningkatkan ketimpangan (inequalizing effect), sementara kemiskinan itu sendiri
memiliki hubungan yang positif dan responsif (elastis) terhadap perubahan dalam ketimpangan pendapatan. Ada indikasi kuat bahwa transfer fiskal dalam berbagai bentuknya cenderung lebih menguntungkan sektor non pertanian daripada sektor pertanian. Hal ini tercermin dari dampaknya terhadap peningkatan PDRB dan penyerapan tenaga kerja yang cenderung lebih besar pada sektor non pertanian daripada sektor pertanian. Hal ini mungkin juga yang menjadi salah satu penyebab mengapa transfer fiskal tersebut tidak memberikan dampak terhadap penurunan kemiskinan seperti yang diharapkan.
Setelah kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan diperoleh bahwa kemiskinan di daerah pedesaan semakin meningkat, sementara di daerah perkotaan menunjukkan hal sebaliknya. Artinya, kemiskinan di daerah perkotaan, cenderung berkurang setelah kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan. Salah satu dugaan mengapa dampak transfer fiskal pada kebijakan desentralisasi fiskal cenderung positif di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan adalah karena perbedaan dalam kondisi sarana dan prasarana yang dimiliki kedua wilayah tersebut, termasuk di dalamnya kondisi sumberdaya manusianya. Secara rata-rata, daerah perkotaan memiliki sarana dan prasarana, termasuk kelembagaan dan sumberdaya manusia yang kondisinya jauh lebih bagus bila dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi (PDRB) dapat menjadi salah satu cara efektif untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, yang pada gilirannya dapat mengurangi jumlah pengangguran di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini penting mengingat penyerapan tenaga kerja di Indonesia memiliki hubungan yang positif dan responsif (elastis) terhadap perubahan dalam PDRB, baik di sektor pertanian maupun di sektor non pertanian.
Transfer fiskal cenderung lebih menguntungkan sektor non pertanian daripada sektor pertanian. Hal ini tampak dari dampak yang ditimbulkan transfer fiskal tersebut, baik terhadap output maupun penyerapan tenaga kerja sektor pertanian yang selalu lebih kecil dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan terhadap sektor non pertanian.
Sumedi (2005) meneliti tentang dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antar daerah dan kinerja perekonomian nasional dan daerah dengan menggunakan model ekonometrika. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa implementasi kebijakan desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kapasitas fiskal daerah dan berdampak pada peningkatan kinerja sektor perekonomian terutama pada tingkat nasional. Dampak positif kebijakan desentralisasi fiskal terhadap sektor pertanian diindikasikan dengan meningkatnya PDRB sektor pertanian, baik pangan maupun non pangan, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, dan peningkatan produksi padi. Untuk kasus Jawa Barat, kebijakan desentralisasi fiskal meskipun berdampak positif terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah namun berdampak negatif terhadap alokasi pengeluaran pembangunan pada semua sektor. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan daerah lebih
dominan digunakan untuk pembiayaan rutin dibandingkan dengan pembangunan, meskipun secara absolut terjadi peningkatan pengeluaran pembangunan yang disebabkan oleh meningkatnya pendapatan daerah.
Produk domestik regional bruto (PDRB) berdampak positif terhadap penerimaan daerah. Semantara penerimaan daerah berdampak positif terhadap pengeluaran daerah. PDRB sektor dipengaruhi oleh pengeluaran daerah dan tenaga kerja sektor. Di lain pihak, PDRB sektor berpengaruh positif terhadap tenaga kerja sektor.
Peningkatan transfer dari pusat berupa DAU yang sangat besar menyebabkan ketergantungan fiskal daerah kepada pusat semakin meningkat, meskipun pendapatan asli daerah juga mengalami peningkatan setelah desentralisasi fiskal. Dengan demikian meskipun kapasitas fiskal daerah meningkat setelah desentralisasi fiskal, namun kesenjangan fiskal (fiscalgap) juga
semakin besar.
Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal yang dimulai pada tahun 2001, dengan harapan mampu mengurangi kesenjangan keuangan pusat dan daerah (vertikal) melalui bagi hasil pajak dan sumberdaya dan kesenjangan antar daerah (horizontal) melalui DAU, ternyata justru berdampak meningkatkan kesenjangan antar daerah, meskipun pada tahun berikutnya kesenjangan tersebut terdapat kecenderungan menurun seiring dengan perbaikan formulasi alokasi DAU. Peningkatan kesenjangan antar daerah terutama disebabkan oleh pendapatan dari bagi hasil yang tidak merata karena ketimpangan potensi sumberdaya antar wilayah dan komponen alokasi DAU yang masih dominan pada komponen penyeimbang.
Meskipun pelaksanaan desentralisasi fiskal belum mampu membawa dampak yang diharapkan, namun hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa kinerja fiskal (penerimaan, pengeluaran dan kapasitas fiskal) dan ekonomi (PDRB dan penyerapan tenaga kerja) daerah akan berdampak buruk jika kebijakan desentralisasi tidak dilaksanakan. Upaya peningkatan pendapatan daerah memiliki dampak positif terhadap kinerja keuangan dan ekonomi daerah namun lebih kecil jika dibandingkan dengan peningkatan pendapatan daerah melalui peningkatan DAU. Kebijakan yang berdampak paling besar terhadap kinerja fiskal dan ekonomi daerah adalah realokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan.
Pada kasus Provinsi Jawa Barat, meskipun secara relatif dampak berbagai kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam kerangka desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan ekonomi daerah sama, namun besaran dampaknya terhadap perekonomian daerah lebih kecil dibandingkan rata-rata nasional. Hal ini menunjukkan efektivitas alokasi anggaran Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Barat lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional sehingga kurang mampu mendorong kinerja perekonomian.
Kebijakan desentralisasi fiskal mampu menurunkan kesenjangan antar daerah dalam skala nasional (antar propinsi), namun berdampak pada peningkatan kesenjangan antar daerah (antar kabupaten) di Jawa Barat. Pada skala nasional kebijakan yang mampu menurunkan kesenjangan antar daerah baik di kawasan timur Indonesia (KTI) maupun di kawasan barat Indonesia (KBI) yang paling besar adalah realokasi 10 persen anggaran rutin untuk meningkatkan anggaran pembangunan sektoral 20 persen.
Hasil analisis untuk kasus Provinsi Jawa Barat, secara umum simulasi kebijakan tidak membawa dampak yang besar terhadap kesenjangan antar daerah. Peningkatan transfer dana pusat (DAU dan DAK) akan meningkatkan kesenjangan antar daerah, baik di daerah industri maupun pertanian, sementara peningkatan pajak dan retribusi daerah serta bagi hasil sedikit menurunkan kesenjangan di daerah industri, namun sebaliknya di daerah pertanian. Realokasi anggaran rutin ke anggaran pembangunan meskipun meningkatkan kinerja perekonomian namun berdampak juga pada peningkatan kesenjangan antar daerah.
Nanga (2005) meneliti tentang dampak tranfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia. Hasil penelititan menunjukkan bahwa PDRB berdampak positif terhadap penerimaan daerah. Sementara penerimaan daerah berdampak positif terhadap pengeluaran daerah. PDRB sektor dipengaruhi oleh pengeluaran daerah dan tenaga kerja sektor. Di lain pihak, PDRB sektor berpengaruh terhadap tenaga kerja sektor.
Pakasi (2005) meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara dengan menggunakan model ekonometrika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor berdampak pada peningkatan jumlah output sektor. Di lain pihak, peningkatan tenaga kerja sektor berdampak terhadap PDRB sektor. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa krisis ekonomi dan ketidakpercayaan masyarakat dalam tatanan politik memicu perubahan hubungan pusat dan daerah, dari sistem sentralisasi kekuasaan dan
keuangan menjadi desentralisasi. Dalam tatanan ekonomi, sistem desentralisasi sebagai kebijakan fiskal diharapkan dapat mempengaruhi perekonomian daerah. Hasil penelitian Pakasi (2005) juga menunjukkan bahwa setelah desentralisasi fiskal, kinerja fiskal daerah dari sisi fiscal available didominasi oleh transfer DAU dan dari sisi fiscal needs didominasi oleh anggaran rutin.
Kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun pengaruhnya relatif kecil terhadap perekonomian daerah, sedangkan dampak investasi berpengaruh besar terhadap perekonomian daerah. Realokasi anggaran rutin ke anggaran sektor yang terkait dengan masyarakat (infrastruktur, kesejahteraan sosial, pendidikan) berdampak besar terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah.
Astuti (2007) meneliti tentang dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan dan perekonomian daerah di Provinsi Bengkulu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PDRB berdampak positif terhadap penerimaan daerah. Semantara penerimaan daerah berdampak positif terhadap pengeluaran daerah. PDRB sektor dipengaruhi oleh pengeluaran daerah dan tenaga kerja sektor. Di lain pihak, PDRB sektor berpengaruh terhadap tenaga kerja sektor.
Erikasari (2005) meneliti tentang kesempatan kerja, migrasi, dan transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor berdampak pada peningkatan jumlah output sektor.
Haryono (2008) dengan menggunakan Model CGE Recursive Dynamic
dan kemiskinan pedesaan. Hasil penelititan menunjukkan bahwa peningkatan output sektor berdampak pada peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor. Di lain pihak, peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor berdampak terhadap peningkatan output sektor.
Salah satu penelitian tentang tenaga kerja dilakukan oleh Mangkuprawira (2000). Mangkuprawira (2000) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi angkatan kerja, upah riil, dan produktivitas kerja menurut jenis sektor kegiatan ekonomi dan jenis wilayah di Jawa (kecuali DKI Jaya) dan Bali. Data yang digunakan adalah pooling data tahun 1997 dan 1998, yang sumber utamanya dari Badan Pusat Statistik dan Departemen Tenaga Kerja. Model persamaan diduga dengan 2 SLS dan pengolahan data dilakukan dengan program komputer SAS/ETS. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa jumlah penduduk perkotaan usia produktif berpengaruh positif terhadap jumlah angkatan kerja perkotaan dengan elastisitas yang tinggi. Sementara tingkat upah sektor industri di perkotaan, jumlah penduduk usia belum produktif perkotaan dan jumlah penduduk kelompok bukan angkatan kerja yang mengurus rumahtangga di perkotaan tidak berpengaruh nyata.
Jumlah penduduk usia produktif dan perbedaan (kenaikan) upah sektor pertanian dari tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap jumlah angkatan kerja perkotaan. Sementara peubah-peubah jumlah penduduk usia belum produktif pedesaan dan jumlah penduduk kelompok bukan angkatan kerja yang mengurus rumah tangga di pedesaan tidak berpengaruh nyata.
Baik di pedesaan maupun di perkotaan, faktor jumlah penduduk berusia produktif secara nyata berpengaruh positif terhadap angkatan kerja dengan
elastisitas yang tinggi. Nilai elastisitas yang lebih dari satu menunjukkan bahwa jumlah angkatan kerja bertambah lebih cepat dibandingkan dengan jumlah penduduk usia produktif. Artinya tekanan terhadap supply tenaga kerja menjadi
semakin besar.
Di perkotaan, produk regional sektor industri dan nilai taksiran mesin industri berpengaruh nyata terhadap kesempatan kerja sektor industri. Sementara tingkat upah sektor industri tidak berpengaruh nyata. Upah riil sektor pertanian berpengaruh negatif, sedang PDRB sektor pertanian berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja di sektor pertanian. Secara teoritis, dari sisi permintaan, fenomena tersebut adalah logis. Elastisitas kesempatan kerja terhadap output kurang dari satu menunjukkan bahwa sektor pertanian sedang mengalami perubahan dari sektor yang labor intensive menuju capital intensive.
Sementara itu, investasi sektor jasa dan PDRB secara nyata berpengaruh positif terhadap kesempatan kerja sektor jasa di perkotaan. Elastisitas PDRB lebih tinggi atau lebih peka daripada elastisitas investasi terhadap kesempatan kerja sektor jasa. Hal demikian logis karena investasi membutuhkan waktu untuk mencapai tingkat perkembangan produksi tertentu.
Di daerah pedesaan, produk domestik regional di sektor industri pedesaan dan nilai taksiran mesin industri berpengaruh sangat nyata terhadap kesempatan kerja sektor industri, sedangkan tingkat upah dan investasi tidak berpengaruh nyata. Hal ini diduga karena tingkat upah sektor industri dan investasinya di daerah yang berbeda tidak memiliki keragaman yang tinggi.
Sementara itu, investasi di sektor pertanian, produk regional pertanian bruto, dan jumlah traktor berpengaruh nyata pada kesempatan kerja di sektor
pertanian walaupun dengan taraf nyata dan elastisitas yang berbeda. Kesempatan kerja sektor pertanian di pedesaan jauh lebih peka terhadap produk domestik regional pertanian bruto dan jumlah traktor dibandingkan terhadap investasi.
Di pedesaan kesempatan kerja sektor jasa dipengaruhi oleh faktor investasi sektor jasa dan lag kesempatan kerja sektor jasa di pedesaan. Sementara
tingkat upah sektor jasa dan produk domestik regional bruto sektor jasa tidak berpengaruh nyata.
Dari ulasan tentang perkotaan dan pedesaan tersebut maka dapat diperoleh informasi penting bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja baik dilihat dari jenis sektor dan tipe daerah cenderung beragam. Hanya ada satu faktor yang sama-sama mempengaruhi kesempatan kerja di berbagai tipe sektor dan daerah yaitu produk domestik regional sektor bruto. Indikasi dari kenyataan ini menunjukkan diperlukannya pertumbuhan produk domestik regional atau pendapatan regional bruto di semua sektor dan wilayah untuk meningkatkan kesempatan kerja. Dalam jangka pendek dimana diantara 1997-1998 merupakan periode krisis ekonomi diperlukan program padat karya dan program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal.
Faktor investasi hanya berpengaruh pada kesempatan kerja di sektor- sektor jasa perkotaan, pertanian pedesaan dan jasa pedesaan, walaupun dengan elastisitas yang relatif kecil. Implikasi dari situasi tersebut adalah untuk meningkatkan kesempatan kerja diperlukan investasi, khususnya yang berorientasi padat karya.
Upah riil sektor pertanian ternyata merupakan satu-satunya yang signifikan terhadap kesempatan kerja di sektor pertanian. Sementara upah riil
sektor-sektor industri dan jasa di perkotaan dan pedesaan tidak berpengaruh nyata terhadap kesempatan kerja di sektor masing-masing. Dilihat dari tanda koefisien parameter dugaan peubah upah riil ternyata untuk sektor industri perkotaan dan pedesaan bertanda positif walau tidak berpengaruh nyata terhadap kesempatan kerja. Hal ini bertentangan dengan teori dimana seharusnya bertanda negatif. Fenomena tersebut diduga karena tenaga kerja terampil di sektor industri cenderung masih langka. Dalam kondisi tersebut proposisi yang muncul adalah terjadinya kompetisi di kalangan para industri untuk menarik calon pekerjanya dengan upah riil yang lebih tinggi.
Selanjutnya, hal lain yang penting bagi tenaga kerja adalah produktivitas pekerja. Produktivitas pekerja adalah jumlah output yang dihasilkan per pekerja. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produktivitas dapat berasal dari pekerja sendiri seperti pendidikan, pengalaman, keterampilan, kesehatan dan motivasi, maupun dari faktor luar seperti tingkat upah, iklim kerja dan sebagainya.
Pada sektor industri, produktivitas pekerja dipengaruhi positif oleh konsumsi kalori pekerja dan jumlah tenaga kerja terdidik di sektor industri. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia dapat berpengaruh terhadap produktivitas.
Pada sektor pertanian, faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap produktivitas pekerja adalah konsumsi kalori pekerja, jumlah tenaga kerja tidak terdidik dan jumlah tenaga kerja terdidik. Sementara faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas pekerja di sektor jasa adalah konsumsi kalori dan jumlah penduduk tidak terdidik.
Tampak bahwa produktivitas pekerja sektor pertanian, industri dan jasa dipengaruhi oleh konsumsi kalori. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan tingkat gizi (kalori) sangat menentukan produktivitas di semua sektor. Oleh karena itu kebijakan yang mampu meningkatkan ketersediaan pangan karbohidrat akan mampu meningkatkan tingkat produktivitas. Di samping itu, tingkat pendidikan memiliki peranan cukup penting (positif) terhadap produktivitas pekerja. Implikasinya adalah pendidikan perlu diberi dan dikembangkan bagi pekerja untuk mampu meningkatkan kinerjanya.
Suryahadi (2003) meneliti tentang kebijakan upah minimum dan dampaknya terhadap kesempatan kerja sektor formal di perkotaan. Sejak akhir tahun 1980-an, upah minimum menjadi bagian penting dari kebijakan ketenagakerjaan Pemerintah Indonesia. Kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan upah rata-rata riil dan produk domestik bruto per kapita, di lain pihak upah minimum menjadi pembatas bagi kebanyakan pekerja di sektor formal. Dari studi tersebut diketahui bahwa dengan penerapan kebijakan upah minimum secara signifikan berdampak negatif terhadap pekerja sektor formal di pedesaan. Pemutusan hubungan kerja terbesar terjadi pada pekerja wanita dan pekerja yang berpendidikan rendah. Sementara kebijakan upah minimum berdampak positif pada pekerja lulusan perguruan tinggi. Beberapa pekerja yang kehilangan pekerjaan di sektor formal akan beralih ke sektor informal dengan penghasilan yang lebih rendah dan fasilitas kerja yang lebih buruk.
BlomstrÖm dan Wolff (1997) meneliti dampak transformasi sturktural terhadap laju pertumbuhan produktivitas tenaga kerja pada perusahaan manufaktur di Mexiko. Transformasi yang dimaksud adalah perubahan dari
sektor tradisional dengan ciri skala usaha kecil menuju sektor modern dengan ciri skala usaha besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produkstivitas tenaga kerja di sektor modern (skala usaha besar) relatif sama dengan di sektor tradisional (skala usaha kecil). Perbedaan produktivitas di setiap sektor disebabkan karena perbedaan dalam intensitas penggunaan kapital.
Nugrahadi (2007) menganalisis sumber pertumbuhan, keterkaitan dan distribusi pendapatan dalam proses perubahan struktural ekonomi Provinsi Jawa Barat. Analisis menggunakan pendekatan ekonometrik, IO dan SAM. Hasil studi menunjukkan bahwa berdasarkan struktur output dan tenaga kerja, terjadi penurunan share sektor pertanian baik di sisi output dan tenaga kerja, sedangkan
berdasarkan distribusi pendapatan rumahtangga terjadi perubahan yang menunjukkan semakin melebar kesenjangan pendapatan rumahtangga. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa sumber pertumbuhan terhadap output adalah permintaan akhir domestik, terutama dari konsumsi rumahtangga dan investasi, dan ekspor barang dan jasa.
Dari hasil penelitian di atas belum ada penelitian yang menghubungkan antara kebijakan fiskal dengan perubahan struktur output dan tenaga kerja. Oleh karena itu penelitian ini akan menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap perubahan struktur output dan tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat.
2.9. Sintesis Tinjauan Pustaka
Transformasi struktur ekonomi dan tenaga kerja dapat terjadi antara lain karena: (1) pertumbuhan ekonomi, (2) pengalihan teknologi dari negara maju ke negara berkembang, (3) pergeseran investasi dan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian, (4) faktor pendorong dari sektor peranian, (5)
faktor penarik dari luar pertanian, (6) semakin lambatnya permintaan barang- barang pertanian dibandingkan dengan barang-barang non pertanian dan (7) adanya kemajuan teknologi di bidang pertanian. Sementara, pertumbuhan ekonomi dapat digerakkan antara lain oleh: (1) kebijakan fiskal, (2) kebijakan moneter, (3) kebijakan perdagangan dan nilai tukar, (4) aliran investasi nasional kotor dari negara importir yang stok kapitalnya tinggi ke negara eksportir, (5) ekspor, (6) peningkatan produktivitas, (7) liberalisasi perdagangan, (8) peningkatan daya saing, (9) peningkatan pemerataan aset (lahan) dan investasi agregat, (10) penambahan asset bagi masyarakat miskin, dan (11) perbaikan teknologi.
Faktor pendorong yang berasal dari dalam sektor pertanian antara lain: (1) perubahan sikap mental tenaga kerja terhadap modernisasi sehingga aktivitas usahatani kurang menarik, (2) upah sektor pertanian cenderung tetap (nilai riilnya turun), (3) tingkat pendidikan penduduk usia muda yang makin meningkat, (4) perubahan norma-norma yang berhubungan dengan jenis dan situasi pekerjaan di kalangan pencari kerja dan masyarakat pada umumnya, dan (5) sempitnya pemilikan lahan sawah dan meluasnya penggunaan teknologi pertanian. Sementara faktor penarik yang berasal dari luar sektor pertanian antara lain: (1) timbulnya kesempatan kerja di sektor non pertanian, (2) kenyamanan bekerja di sektor non pertanian relatif lebih baik, (3) upah lebih tinggi, (4) daya tarik kota/daerah industri, (5) assesibilitas dan komunikasi yang semakin baik, dan (6) adanya peluang untuk bekerja atau berusaha di luar sektor pertanian.
Pada penelitian ini, ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan hasil